05 July 2008

WAHYU DAN KRITIK (Prof. Jakob van Bruggen, Th.D.)

Wahyu dan Kritik

oleh: Prof. Jakob van Bruggen, Th.D.



Bagi banyak orang di abad ke-20, kewibawaan kanon bukan lagi titik tolak dalam pendekatan Alkitab mereka. Kitab-kitab Suci diterima hanya sejauh kitab-kitab itu dapat bertahan terhadap uji coba kritik kita, atau jika sesuai dengan panjang gelombang pengalaman kita sendiri. Pergaulan bebas dengan Alkitab ini tampaknya disahkan oleh apa yang disebut ilmu pengetahuan Alkitab modern sejati. Karena banyak kritik terhadap Kitab-kitab Suci dilontarkan dengan kewibawaan ilmu pengetahuan, maka kita seakan-akan menjadi kurang ilmiah kalau bersikap kritis terhadap kritik itu. Tetapi justru pada pokok itu diperlukan sedikit perenungan. Bolehkah kita sungguh-sungguh menganggap sikap-sikap bebas terhadap Kitab-kitab Suci dan kanon yang diterima pada masa kini, sebagai hasil wawasan ilmiah yang lebih baik dan membebaskan orang dari kepercayaan kepada Alkitab secara lugu dan tanpa pertimbangan masak? Atau adakah perspektif yang lain?

Bab ini tidak membahas berbagai pertanyaan konkret yang diajukan oleh para penafsir modern, dan yang juga meminta jawaban konkret. Yang menjadi pokok bahasan pada halaman-halaman berikut ialah suasana dimana diskusi itu akan dilakukan. Kalau sikap bebas dan kritis terhadap Kitab-kitab Suci merupakan hasil ilmu pengetahuan yang sejati, berdasarkan fakta-fakta, dan bebas dari praanggapan, maka semua orang yang mau berdiskusi dengan mereka yang mendekati Alkitab secara kritis itu, sudah lebih dulu dicap sebagai manusia yang tidak mengikuti zamannya dan mencoba tetap mempertahankan dengan keras kepala pendiriannya yang kuno dan tidak ilmiah. Maka kritik terhadap kritik Alkitab tampaknya sesuai bagi orang-orang yang lahir terlambat dan yang lebih sesuai dengan periode sebelum abad ke-18 atau ke-19. Dengan cara ini, iklim untuk berdiskusi dengan sungguh-sungguh menjadi rusak.

Kita perlu mengusut secara historis apakah kritik terhadap kanon benar-benar baru muncul oleh ilmu pengetahuan modern. Atau apakah kritik ini barangkali jauh lebih tua dan hanya penampilannya yang baru di zaman kita? Jika yang terakhir ini benar, maka meskipun kita tidak dapat melepaskan diri dari diskusi dan penelitian lanjut, tetapi kita bebas dari anggapan membingungkan bahwa kritik Alkitab adalah modern dan ilmiah, sedangkan kepercayaan pada Alkitab adalah lugu dan tanpa pertimbangan masak.

Peninjauan kembali berikut ini terdiri dari tiga bagian. Mula-mula kita memperhatikan periode yang mendahului penetapan tertulis wahyu dan kononisasinya. Kemudian kita memperhatikan periode dimana wahyu berfungsi dalam bentuk tertulis sebagai kanon. Akhirnya, kita memperhatikan potret diri dari ilmu pengetahuan Alkitab yang modern dan kritis.
1. ASAL DAN BENTUK KRITIK
Kritik terhadap wahyu Allah tidak baru. Ia sama tuanya dengan taman Firdaus, jadi ia berasal dari zaman serangan pertama Iblis terhadap umat manusia ciptaan Allah. Pertanyaan pertama ular kepada perempuan itu, berbunyi, "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" Pertanyaan ini mengandung nada kritik terhadap Allah sendiri. Kritik terhadap Allah itu langsung menghasilkan kritik terhadap wahyu-Nya: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:1-5). Permulaan itu menandai kelanjutan yang berlangsung selama berabad-abad.

Dalam kebenciannya kepada karya Allah dan kasih Allah kepada manusia, Iblis mengerahkan berbagai sarana ke dalam peperangan. Misalnya senjata berupa ajaran sesat, atau penduniawian, atau pematahan semangat. Namun senjata-senjata tersebut seringkali diasah dengan batu asahan yang sama, yakni kritik terhadap wahyu Allah. Dengan kritik itu, segala sesuatu yang lain dirongrong, karena siapakah yang berani membangun hidupnya di atas dasar yang goyah dan meragukan? Dan bagaimana sebuah Alkitab yang diserang masih bisa menjadi batu penjuru bagi etika Kristen?

Dalam perjalanan sejarah, kita melihat bagaimana wahyu Allah selalu diiringi oleh kritik yang menggerogotinya. Ketika TUHAN melalui Musa membebaskan sebuah bangsa dan memberi hukum-hukum untuk kehidupan, kewibawaan hukum itu dirongrong oleh gerutuan, “Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?” (Bil. 12:2). Ketika TUHAN memberi nasihat keras melalui Yeremia untuk menyelamatkan bangsa-Nya dari kebinasaan, dan menyuruh supaya nubuat-nubuat itu dicatat untuk raja Yoyakim, kita melihat bahwa sesudah pembacaan nubuat itu, raja merobek-robek gulungan tulisan itu halaman demi halaman dan melemparkannya ke dalam perapian, sebagai benda yang tidak berharga (Yer. 36:23). Ketika orang banyak kagum melihat keunggulan Yesus atas roh-roh jahat, para ahli Taurat menuduh Yesus telah mengadakan perjanjian dengan penghulu setan, Beelzebul (Mrk. 3:22). Yesus Kristus dengan jelas menunjukkan asal dari penolakan dan kritik yang tiada habisnya itu. Pada waktu orang mengecam wahyu yang Ia terima dari Bapa, dan menyebut Dia kerasukan atau bersimpati terhadap bangsa Samaria (Yoh. 8:48). Yesus menjawab orang-orang Yahudi yang menghakimi-Nya itu, "Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melalukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:43-44). Teguran yang tajam dan keras itu diucapkan kepada orang-orang yang mengira bahwa mereka berdiri dalam tradisi iman. Firman itu memperingatkan kita juga supaya menyadari bahwa pengakuan terhadap wahyu Allah bukan hal yang otomatis bagi siapa pun. Allah memberikan wahyu-Nya di dunia yang penuh asap mesiu peperangan. Dan gas beracun dapat memabukkan kita sehingga kita tidak mendengar dengan sungguh-sungguh atau tidak mau mendengar apa yang Allah katakan. Sejak saat Allah memberikan wahyu-Nya, terdapat gerakan menentang yang hebat untuk menutupi wahyu itu dengan cara apa pun.

Mengenai bentuk-bentuk kritik itu, setidak-tidaknya kita dapat membedakannya dalam beberapa bentuk utama.
a. Kritik terhadap asal-usul wahyu. Pada saat TUHAN melakukan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar di dunia ini, tidak mudah bagi manusia untuk mengingkari kenyataan itu. Firaun tak dapat mengabaikan keajaiban yang dilakukan Musa. Tetapi raja itu berusaha menganggap tanda-tanda itu bukan berasal dari TUHAN, tetapi dari keahlian sihir yang dimiliki Musa. Bukankah para tukang sihirnya sendiri mampu melakukan hal yang sama? Akhirnya jalan pelarian ini ditutup, karena pada tulah yang ketiga para tukang sihir Firaun tidak berdaya. Dan dengan terkejut mereka mengatakan, "Inilah tangan Allah!" (Kel. 8:18-19). Usaha untuk menghindari kuasa wahyu dengan berkata bahwa asal-usulnya bukan pada Allah, juga kita lihat ketika mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus dianggap berasal dari Iblis (Beelzebul), padahal alasan seperti itu tidak mereka kemukakan ketika ada orang lain yang mengusir roh jahat (Luk. 11:18-20). Lalu Yesus mengingatkan orang-orang Yahudi bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk melihat “tangan Allah” (Luk. 11:20).

b. Kritik terhadap realita wahyu itu. Apabila antara perbuatan Allah dan masa dimana kita hidup telah berlalu beberapa waktu, lebih mudah untuk menyatakan bahwa mungkin semua mukjizat itu tidak pernah terjadi. Peristiwa besar itu menjadi sebuah cerita dan cerita itu tidak dipercaya, sehingga realita sejarah di mana Allah menyatakan diri-Nya diragukan. Demikianlah Sanherib dengan kata-kata penghinaan yang ditujukan kepada penduduk Yerusalem, sama sekali meremehkan fakta bahwa TUHAN benar-benar telah memimpin bangsa-Nya keluar dari Mesir (Yes. 36-37). Dan saat gempa bumi pada hari Paskah itu telah berlalu, dan para penjaga kuburan yang tadinya lari tunggang langgang tak lagi ketakutan, Sanhedrin menyebarkan berita dusta bahwa jenazah Yesus dicuri oleh murid-murid-Nya. Dengan demikian, mereka hendak mengingkari kenyataan kebangkitan Yesus dan tidak memperhitungkan wahyu mengenai hal itu (Mat. 28:11-15). Dan sudah dalam suratnya yang kedua, rasul Petrus harus melawan orang-orang yang menganggap para rasul mempercayai dongeng-dongeng (2Pet. 1:16).

c. Kritik terhadap kewibawaan wahyu. Meskipun seandainya orang-orang tidak mempersoalkan asal dan realita wahyu, tetapi wakyu itu tetap dapat dirongrong. Sesuai sifatnya, wahyu Allah menuntut pengakuan, kepercayaan dan ketaatan karena ALLAH yang memberikan wahyu kepada manusia ciptaan-Nya. Namun kewibawaan itu dapat dilemahkan. Hal itu terjadi ketika nabi-nabi palsu berdiri di samping nabi sejati dan meminta perhatian dan penghormatan yang paling berbeda untuk pemberitaan yang berbeda. Demikianlah nabi Hananya merongrong perkataan Yeremia dan mematahkannya, diiringi kata-kata, “Beginilah firman TUHAN: Dalam dua tahun ini begitu jugalah Aku akan mematahkan kuk Nebukadnezar, raja Babel itu, dari pada tengkuk segala bangsa” (Yer. 28:11). Dan Zedikia bin Kenaana, menampar pipi Mikha sesudah nabi itu menyampaikan pesannya yang mengandung malapetaka kepada Ahab, dan berkata: “Mana boleh Roh TUHAN pindah daripadaku untuk berbicara kepadamu?” (1Raj. 22:24). Juga rasul Paulus harus melawan orang-orang yang menyamar sebagai rasul, sebagai malaikat terang, yang ingin memudarkan wahyu yang diberikan Tuhan kepada Paulus dan mengurangi rasa hormat bagi perkataannya (2Kor. 11:13-15; 12:11-21).

Kritik atas wahyu Allah dapat kita lihat juga di sekitar wahyu yang dituangkan dalam tulisan, yakni Alkitab. Namun kritik Alkitab bukanlah awalnya. Yang lebih tua dari kritik Alkitab ialah kritik terhadap wahyu, yang kemudian melahirkan kritik terhadap Alkitab.


2. KRITIK TERHADAP KITAB SUCI
Kritik terhadap Perjanjian Baru dalam abad-abad pertama mempunyai prasejarah dalam kritik terhadap Perjanjian Lama dalam abad-abad sebelum Masehi. Pertama-tama, kaum kafir yang sanagt membenci bangsa Yahudi, mengkritik isi kitab yang dijadikan pedoman hidup bangsa itu. Menurut kaum kafir, “Alkitab” Yahudi adalah dokumen yang mencatat usaha mempertahankan diri, buah pikiran beberapa orang kusta yang dihina dan diusir dari Mesir (demikianlah kata Tacitus, orang kafir pencatat sejarah di awal abad kedua Masehi). Orang kafir khususnya mengecam hukum-hukum mengenai makanan orang Yahudi, dan cara hidup mereka yang memisahkan diri. Penulis Yahudi Josephus, yang lebih tua daripada Tacitus yang hidup sezaman dengannya, berusaha membantah kritik itu dalam tulisannya yang menentang Apion, dan juga dalam bukunya yang besar mengenai zaman-zaman lampau bangsa Yahudi, yang nadanya lebih positif.

Tetapi Kitab-kitab Suci Musa dan para nabi tidak hanya diserang oleh pihak kafir. Ada juga kesulitan mengenai jumlah Kitab-kitab Suci yang ditimbulkan oleh pihak lain. Bangsa Samaria dengan keras kepala menolak mengakui tulisan Daud, Salomo dan semua nabi; mereka menganggap memiliki wahyu Allah dalam bentuk yang lebih murni karena hanya mengakui kelima Kitab Musa dan karena lebih mementingkan Sikhem “dari zaman Musa” daripada Yerusalem “dari zaman Daud” (bnd. Yoh. 4:20). Di pihak lain, ada beberapa kalangan apokaliptis yang di samping Hukum Taurat dan para nabi, menjunjung tinggi pengungkapan rahasia dari Henokh atau Barukh, dan menganggapnya sebagai firman Allah. Jadi, sejak sebelum Masehi isi dan cakupan Perjanjian Lama sudah menjadi sasaran tekanan dan kritik.

Apa yang terjadi pada awal Masehi dengan Perjanjian Baru, sebetulnya berjalan sejajar dengan apa yang terjadi dengan Perjanjian Lama. Di sini juga kita temukan kritik terhadap isi dan cakupan.

Isi Injil dan surat-surat diserang oleh pihak kafir. Sebagaimana Josephus membantah Apion, begitu juga Origen satu abad kemudian menentang Celcus, orang kafir yang ahli filsafat. Orang ini menyerang Injil dalam tulisannya “Firman yang Benar” (Alêthês Logos, kira-kira tahun 175). Ia berpendapat bahwa tak mungkin kebenaran tunggal yang begitu mulia dapat terpecah-pecah menjadi empat Injil yang berbeda-beda. Celcus menganggap Yesus lebih sebagai produk zaman-Nya. Menurutnya, penyihiran dari Mesir telah memberi sumbangan pada mukjizat Yesus, sedang pemujaan helenistis terhadap manusia sebagai dewa menyebabkan Yesus disembah sebagai ilahi oleh para pengikut-Nya. Pada abad ketiga dan keempat, Kaum neoplatonisme, dan para pengikut Mani mengecam agama Kristen yang menurut mereka merupakan gejala penyakit dalam kebudayaan. Seorang pengikut neoplatonisme, Porphyrius (lahir tahun 232) sudah menunjukkan berbagai hal dimana menurut pendapatnya, Injil saling bertentangan satu sama lain. Ia juga memperhatikan apa yang pada abad ke-20 disebut "Parusieverzögerung" (penundaan kedatangan kembali Yesus Kristus). Menurutnya, perkataan Yesus mengenai akhir dunia yang sudah dekat, tidak terwujud sebagaimana yang dimaksudkan, dan belum terjadinya kedatangan-Nya kembali membuktikan bahwa ucapan-ucapan dalam Injil tidak dapat dipercayai. Kaisar Julianus si murtad yang bertahta kemudian, yang sesudah mengikuti pendidikan Kristen pindah ke agama kafir Neoplatonisme, menulis banyak buku menentang orang Kristen, yang disebutnya kaum “Galilea.” Ia merekonstruksi semacam sejarah evolusi agama Kristen, karena penyebutan Yesus sebagai Allah dipandangnya sebagai perkembangan yang timbul kemudian oleh pengaruh Yohanes, padahal sejarah sebenarnya mulai dengan seorang guru yang hanya manusia saja, sebagaimana para penulis Injil sering menggambarkan Yesus. Pada waktu yang sama, pada paruh kedua abad keempat Masehi, mantan Neoplatonis, Augustinus, bukannya tanpa alasan menulis buku yang khusus dibaktikan untuk membasmi pemikiran bahwa ada pertentangan dalam Injil. Tulisannya yang tidak jadi diselesaikan “Kesesuaian Para Penulis Injil” (De consensu evangelistarum) menunjukkan aktualnya kritik terhadap Injil dan perlawanan terhadapnya di abad-abad pertama gereja. Isi Injil diserang dengan kritik terhadap Kitab-kitab Suci di mana Injil itu ditulis.

Di abad-abad yang sama cakupan kanon Perjanjian Baru juga dikritik. Ini dilakukan terutama oleh pihak orang murtad yang memiliki penilaian lain tentang kebenaran wahyu. Di satu pihak di beberapa kalangan Gnostik, berbagai tulisan yang sangat dijunjung tinggi ditempatkan di samping Perjanjian Baru. Sebagaimana kalangan apokaliptis Yahudi menghormati wahyu-wahyu rahasia, begitu pula kelompok-kelompok Gnostik hidup dari pengetahuan rahasia mengenai aeon, manusia, dan kosmos. Pada akhir abad kedua, Irenaeus dalam bukunya “Melawan kesesatan” (Adversus Haereses) berusaha keras memerangi kaum Gnostik dan kitab-kitab mereka yang berisi wahyu-wahyu rahasia.

Di sisi lain, di samping ekspansi kanon itu ada pula reduksi kanon yang formal, khususnya pada Marcion di pertengahan abad kedua. Para pengikut Marcion adalah orang-orang pertama yang melancarkan penilaian kritus dan reduksi terhadap kanon dari sudut semacam gambaran Allah yang "dicerahi" (lihat juga Bab III 2). Bentuk yang mereka pakai bersifat khas. Namun demikian, metode mereka sering muncul lagi di abad-abad kemudian. Mereka bertitik tolak dari anggapan bahwa Allah yang abadi jauh lebih tinggi daripada segala hal yang duniawi. Dia juga lebih tinggi daripada Allah Pencipta (demiurgos), yang menciptakan dunia yang dalam Perjanjian Lama disebut sebagai TUHAN (JHVH). Yesus telah mewahyukan Allah yang mahatinggi dan mengajarkan bahwa Dia adalah kasih dan karunia. Allah tidak mengenal emosi-emosi manusiawi seperti kemarahan dan kesedihan. Iman mempersatukan kita dengan Dia dan mengangkat kita di atas dunia yang diciptakan oleh Allah Pencipta demiurgos, dimana disana juga terdapat surga dan malaikat. Berdasarkan gambaran Allah itu, Marcion menolak Perjanjian Lama. Baginya Kitab itu hanya berfungsi sejauh dapat mendukung wahyu Injil yang datang kemudian. Di dalam Perjanjian Baru, ia hanya mempertahankan Injil Lukas, dan sepuluh surat Paulus. Menurutnya, rasul dan penginjil yang berhubungan erat dengannya itu paling jelas membedakan Injil dari Hukum Taurat yang diberikan oleh demiurgos (Perjanjian Lama). Para penulis Kristen pada akhir abad kedua, dipelopori oleh Tertulianus dengan bukunya “Menentang Marcion” (Adversus Marcionem), telah dengan sengit melawan perusakan kanon dan pembuatan patung Allah ini, hingga akhirnya para pengikut Marcion tidak dapat bertahan sebagai penentang gereja.

Kritik Kitab Suci itu memaksa Gereja Kuno untuk semakin teliti dan dengan kesepakatan umum mendaftarkan kitab-kitab yang sudah diakui oleh gereja-gereja sebagai yang mempunyai kewibawaan dan berasal dari Kristus. Pada akhirnya, kanon menjadi data yang begitu mutlak dalam sejarah gereja, sehingga kritik atas cakupan kanon itu hampir tidak diterima lagi. Kanon menjadi fakta yang tetap. Bahkan mereka yang di abad ke-20 memangkasi bagian-bagian pada semua sisi kanon itu dan hanya mau menyisahkan beberapa bagian kecil yang mereka anggap penting karena sifat otentik dan religiusnya, biasanya tidak punya rencana untuk menerbitkan Alkitab alternatif yang sudah "dimurnikan" sebagai pengganti Perjanjian Baru atau seluruh Alkitab. Oleh karena itu, dilihat sepintas lalu, Alkitab dalam bentuk dan cakupannya sekarang tampaknya telah diakui oleh semua orang sebagai titik tolak. Namun di abad-abad kemudian, muncullah bentuk kritik terhadap Kitab Suci yang ketiga, yakni bentuk campuran dari kritik terhadap isi dan cakupan kanon. Inilah kritik terhadap kewibawaan Kitab-kitab Suci.

Kita menyebutnya bentuk campuran. Ia mirip dengan kritik terhadap cakupan, karena dilontarkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya orang Kristen atau ahli theologi. Tetapi, kesamaannya dengan kritik terhadap isi ialah bahwa sekarang kritik orang kafir diterapkan, meskipun dengan pretensi Kristen. Dengan kritik Kitab Suci ini, hakikat agama Kristen tidak dijadikan sasaran dan kanon yang resmi tidak disentuh. Sepintas hal ini tampak lebih baik daripada kritik orang kafir atau kaum murtad di Gereja Kuno. Tetapi sebenarnya kritik atas kewibawaan kanon (atau bagian-bagian darinya) bisa disamakan dengan ngengat, baik dalam agama Kristen maupun dalam kanon.

Apa yang terjadi sekarang? Dari dalam, rasa hormat dan segan pada wahyu Allah digerogoti, dan dengan demikian, fondasi agama Kristen menjadi lapuk. Sekarang orang mengadakan pembedaan antara “kanon formal” dan “kanon material.” Dengan kanon formal orang memahami Alkitab sebagaimana yang telah diterima di gereja Kristen, sejak zaman dulu. Kanon material ialah bahan tertentu di dalam kanon formal, yang dianggap mempunyai kewibawaan religius tertentu. Jadi kanon sebenarnya terletak dalam kanon dan harus ditentukan lebih lanjut oleh penelitian ilmiah yang kritis. Bagaimanapun populernya ungkapan “kanon di dalam kanon” itu kini, tetapi kita berpendapat telah terjadi permainan kata yang keliru. Hal itu memang tak mungkin lebih dari permainan kata, yaitu pemakaian kata “kanon” dalam arti yang berbeda. Namun itu bukan permainan yang jujur, melainkan permainan curang. Meskipun terkadang maksudnya baik, sesungguhnya taruhannya disembunyikan. Taruhan dalam kata “kanon” ialah pengakuan terhadap kewibawaan ilahi dari wahyu yang ditetapkan dalam tulisan. Tetapi walaupun kata itu dipertahankan, taruhannya dengan diam-diam dihilangkan. Sebuah “kanon di dalam kanon” yang terbentuk lewat analisa dan penilaian kritis manusia, tak pernah dapat menjadi kanon yang berasal dari tempat lain, dan yang diliputi kewibawaan ilahi. Siapa yang membuat manusia menjadi cacat dan mengiris-irisnya, sambil berkata bahwa yang penting baginya ialah “manusia di dalam manusia,” telah menggantikan rasa hormat dan segan terhadap orang lain itu dengan gambarannya sendiri.

Usaha mencari kanon material selalu menemukan pembenarannya dalam berbagai ketidakberesan did alam atau di sekitar Alkitab yang menimbulkan kritik. Old soldier never die! Maka muncul lagi semua hal yang pada abad-abad pertama sebetulnya sudah dilihat oleh para musuh orang Yahudi dan penentang orang Kristen. Pertentangan antara Injil, persamaan dengana agama-agama kontemporer, keragaman theologi di dalam Injil, pertentangan dengan ilmu pengetahuan alam atau dengan ilmu pengetahuan sejarah, beberapa hal yang tak dapat diterima oleh orang-orang yang membaca Injil di abad-abad berikut, dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi kalau dulu semua itu diajukan untuk menyelesaikan masalah dengan orang Yahudi atau untuk mengesampingkan gereja Kristen, sekarang hal itu dipakai untuk mempertahankan kanon dan menghilangkan hakikatnya. Kitab-kitab Suci boleh tetap ada, sementara Apa Yang Ditulis dikecam dengan keras. Tetapi dalam abstraksi ini, iman tidak akan hidup! Namun demikian, perkataan berikut tetap berlaku, tanpa iman tak seorang pun akan selamat. Tetapi siapa yang dapat mempertahankan iman, apabila orang harus mengikuti petunjuk dari Kompas di dalam kompas?


Dikutip dari buku:
Siapa Yang Membuat Alkitab?
Mengenai Penyelesaian dan Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
oleh: Jakob Van Bruggen
Alih Bahasa oleh: J. P. D. Groen
Diterbitkan oleh: Momentum Christian Literature atas kerjasama dengan LITINDO
Cetakan pertama, Agustus 2002.
Hlm. 85-97


Disarikan dari:
http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/siapa_membuat_alkitab.htm



Profil Dr. Jakob van Bruggen:
Prof. Jakob van Bruggen, Th.D. lahir pada tahun 1936 di Belanda. Beliau meraih gelar Doctor of Theology (Th.D.) dari Utrecht. Selama 35 tahun, beliau bekerja sebagai profesor jurusan Perjanjian Baru di Universitas Theologi (Theologische Universiteit, Broederweg) di Kampen, Belanda, dan pensiun pada bulan Oktober 2001. Karya tulisnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Hongaria, Korea, dan Portugis. Tulisannya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris adalah The Ancient Text of the New Testament (1976), The Future of the Bible (1978), The Sermont on the Mount (1986), Jesus the Son of God (1999), yang dalam bahasa Indonesia adalah “Kristus di Bumi” (2001, BPK).