23 September 2008

Roma 10:18-21: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-13: Percaya atau "Percaya"-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-12


“Israel” Sejati atau Palsu-13:
Percaya atau “Percaya”-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:18-21


Setelah mempelajari pengajaran Paulus tentang realita percaya sejati vs “percaya” di ayat 16 dan 17, sekarang kita akan mempelajari bersama di bagian kedua tentang hal ini yang dikaitkan dengan kedaulatan Allah dan predestinasi-Nya di ayat 18 s/d 21.

Ayat 16 dan 17, Paulus memaparkan bahwa tidak semua orang yang mengaku diri percaya sungguh-sungguh adalah orang percaya, karena yang dinamakan orang percaya adalah orang yang percaya melalui pendengaran Firman Kristus (ayat 17). Pertanyaan selanjutnya, kalau ada yang tidak percaya kepada Kristus, apakah berarti mereka tidak pernah mendengar tentang Dia? TIDAK. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 18 (dan ayat-ayat selanjutnya—19 s/d 21).
Di ayat 18, Paulus mengatakan, “Tetapi aku bertanya: Adakah mereka tidak mendengarnya? Memang mereka telah mendengarnya: "Suara mereka sampai ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi."” Inilah yang sering kali dilontarkan oleh banyak orang (mungkin juga orang “Kristen), yaitu, orang yang tidak percaya kepada Kristus berarti orang itu tidak pernah mendengar Firman atau tentang Dia, sehingga tidak boleh disalahkan. Anggapan ini jelas ditolak Paulus. Di ayat ini, ia mengutip Mazmur 19:5, “tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.” King James Version menerjemahkan ayat ini di ayat 4 (Psalm 19:4), “Their line is gone out through all the earth, and their words to the end of the world.” Konteks Mazmur 19 sedang membicarakan tentang kemuliaan Tuhan dalam pekerjaan tangan-Nya dan Taurat-Nya (baca Judul Perikop Mazmur 19 di Alkitab LAI). Diawali dengan ayat 2 yang menyatakan bahwa langit dan cakrawala memberitakan kemuliaan Allah dan pekerjaan tangan-Nya. Berarti, ciptaan Allah secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah itu ada dan mulia serta menciptakan (bdk. Roma 1:20). Di dalam theologi Reformed, hal ini dikenal dengan wahyu umum Allah yang diberikan kepada semua manusia. Dan respon terhadap wahyu umum Allah ini berupa agama dan kebudayaan. Tetapi apakah cukup dengan wahyu umum Allah saja? TIDAK. Mulai Mazmur 19:8, Daud menyatakan bahwa Allah menyatakan diri-Nya secara khusus dalam bentuk Taurat kepada orang Israel, sehingga mereka lebih mengerti Pribadi-Nya ketimbang agama-agama lain yang hanya mampu meresponi penyataan umum Allah berupa alam. Dari konteks ini, kita belajar bahwa bangsa Israel bukan tidak mendengar Firman Allah, karena mereka telah mendengar dan belajar firman-Nya. Tetapi apakah mereka yang mendengar dan belajar firman-Nya membuktikan bahwa mereka umat pilihan-Nya? Di dalam Geneva Bible Translation Notes, hal ini dipertanyakan, “if calling is a testimony of election, were not the Jews called?” (=jika panggilan adalah suatu kesaksian pemilihan, mengapa orang-orang Yahudi tidak dipanggil?) lalu diakhiri dengan konklusi bahwa orang Yahudi memang tidak pernah dipanggil. Sungguh unik apa yang Paulus ajarkan di bagian ini. Perhatikan. Bangsa Israel mendapat penyataan Allah secara khusus (meskipun belum sempurna, karena perlu Perjanjian Baru), tetapi uniknya, di Roma 9-11, Paulus menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak semua dipilih dan dipanggil, mengapa? Apakah karena mereka tidak pernah mendengar Firman? TIDAK! Itu tergantung pada kedaulatan Allah yang memilih siapa pun menjadi umat-Nya, bukan karena seberapa dalam kita mendengar, belajar dan mengerti Firman Allah. Dengan kata lain, bangsa Israel telah menyia-nyiakan anugerah Allah yang telah menyatakan diri-Nya secara khusus kepada bangsa Israel. Bagaimana dengan kita? Kita sering kali menganggap bahwa semua orang Kristen adalah anak Allah, yang lebih bahaya lagi, jika kita menemukan ada orang Kristen yang aktif, rajin, giat beribadah dan melayani Tuhan, kita langsung mengatakannya sebagai anak Tuhan. Benarkah? Ingatlah bagian ini, tidak semua orang yang mengaku mendengar Firman/Injil, bahkan belajar dan mengerti Firman benar-benar umat pilihan-Nya. Jangan pernah terkecoh oleh penampilan luar seseorang, perhatikanlah esensinya. Biarlah pelajaran bangsa Israel yang tidak semuanya dipilih ini menjadi pelajaran bagi kita, untuk semakin jeli dan teliti membedakan manakah orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya dan yang tidak meskipun mengklaim diri sudah mendengar Firman berkali-kali. Selain itu, kita diajar juga untuk mengintrospeksi diri masing-masing. Mungkin kita telah sering mendengar Firman/Injil, belajar Firman Allah, dll, apakah itu benar-benar mengubah hidup kita atau kah kita hanya menjadikan studi tersebut ssebagai bahan untuk menambah pengetahuan theologi yang tanpa implikasi di dalam kehidupan kita sehari-hari? Reformed theology harus berkaitan dengan Reformed spirituality.


Apakah bangsa Israel yang telah mendengar Firman benar-benar membuktikan mereka semua adalah umat pilihan-Nya? TIDAK. Hal ini dipaparkan Paulus dengan tajam dan jelas di dalam 3 ayat, 19 s/d 21.
Di ayat 19, Paulus menyatakan, “Tetapi aku bertanya: Adakah Israel menanggapnya? Pertama-tama Musa berkata: "Aku menjadikan kamu cemburu terhadap orang-orang yang bukan umat dan membangkitkan amarahmu terhadap bangsa yang bebal."” Di sini, Paulus langsung menyatakan bahwa meskipun bangsa Israel sudah sering mendengar dan bahkan belajar Taurat, tetapi realitanya mereka banyak yang membangkang dan tidak pernah menaati Taurat. Hal ini dilihat dari kekejian mereka di hadapan Allah dengan menyembah patung-patung sebagai “allah”. Paulus mengungkapkan bagian ini dengan mengutip Ulangan 32:21, “Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka. Sebab itu Aku akan membangkitkan cemburu mereka dengan yang bukan umat, dan akan menyakiti hati mereka dengan bangsa yang bebal.” Konteks Ulangan 32 ini adalah sebuah nyanyian Musa ketika ia mau mati (baca: Ulangan 31:14, 30). Nyanyian ini sekaligus menjadi sebuah pengajaran yang mengajak umat Israel bertobat sungguh-sungguh dan tidak lagi menyembah ilah lain, karena Allah adalah Allah yang cemburu yang tidak ingin diri-Nya dinomerduakan (bdk. Keluaran 20:3-6). Atas kebebalan Israel, maka Allah membalas Israel dengan membuat Israel cemburu melalui tindakan-Nya yang tidak mengasihi Israel, malahan mengasihi orang-orang non-Israel. Tuhan mau menunjukkan bahwa kasih dan kedaulatan-Nya ditunjukkan bukan hanya bagi orang-orang Israel, tetapi untuk semua orang yang telah dipilih-Nya. Ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita. Ada dua pelajaran berharga,
Pertama, kesetiaan. Kita sering kali menjadi orang Kristen sudah lama bahkan sudah melayani di gereja, tetapi anehnya bukan Allah yang kita sembah dan layani, tetapi diri kita, uang, dll. Motivasi di balik setiap pelayanan banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” adalah untuk menonjolkan diri sebagai orang yang paling hebat, seolah-olah tanpa mereka, gereja dan Injil tidak bisa berkembang. Dengan kata lain, kita telah menjadikan diri kita dan sesuatu yang lain sebagai “allah” dan menggeser posisi otoritas Allah. Melalui ayat ini, kita diingatkan Paulus tentang makna kesetiaan. Tuhan menuntut kesetiaan kita, bukan seberapa aktif kita melayani atau berkhotbah. Amsal 20:6 berkata, “Banyak orang mengaku dirinya adalah kawan, tetapi yang betul-betul setia, sukar ditemukan.” Terjemahan yang lebih tepat adalah banyak orang mengaku kepada orang lain bahwa dia itu baik (teman), tetapi orang yang setia, siapa yang dapat menemukannya? Perhatikan terjemahan KJV, “Most men will proclaim every one his own goodness: but a faithful man who can find?” Kata “faithful” dalam bahasa Ibrani dapat diartikan dapat dipercaya (trustworthiness) yang berkaitan dengan kesetiaan (faithful) dan kebenaran (truth). Tuhan tidak menginginkan kita menjadi teman semua orang, setuju dengan semua orang apakah pendapat orang tersebut benar atau salah (pandangan orang postmodern), tetapi Tuhan menuntut kita SETIA! Setia seperti apa? Setia kepada Kebenaran dan Allah! Itu tantangan orang Kristen sejati di abad postmodern yang terlalu mudah “melacurkan” iman Kristen dengan semua paradigma filsafat manusia berdosa. Kalau kita sudah belajar banyak tentang Firman-Nya, setiakah kita menTuhankan Kristus dan menjadikan Firman-Nya sebagai satu-satunya otoritas kebenaran yang memerintah hidup kita? Ataukah kita malahan menjadikan firman-Nya tidak berotoritas, atau berotoritas hanya untuk masalah-masalah tertentu yang menurut rasio kita cocok dan membuang sisanya dengan argumentasi “theologis”, misalnya bagian ini bukan Firman Allah (hanya tulisan Paulus, Petrus, dll)? Tuhan TIDAK membutuhkan argumentasi theologis yang Anda (atau kita) pelajari di bangku seminari theologi, tetapi Tuhan menuntut kita setia dan patuh pada apa yang telah difirmankan-Nya. Setia belajar Firman, setia juga dalam menundukkan diri di bawah Firman (siap dikoreksi oleh Firman) dan setia juga lah dalam menjadi saksi Kristus melalui pemberitaan Injil dan perbuatan kita sehari-hari. Itulah kesetiaan yang Tuhan tuntut: kesetiaan holistik.
Kedua, kedaulatan Allah dan predestinasi-Nya. Kepada orang yang setia, Ia mengasihi mereka, tetapi kepada orang yang tidak setia bahkan berani mempermainkan-Nya, Ia tidak segan-segan menghukum mereka. Contoh jelas yang Ia tunjukkan dalam hal ini adalah Israel. Dalam hal ini, Israel telah dipilih Allah, tetapi bukan sebagai suatu bangsa, melainkan sebagai kaum pilihan. Ini yang Paulus jelaskan di Roma 9-11 yang membukakan pikiran orang Israel di Roma tentang arti umat pilihan Allah. Ketika ada umat pilihan-Nya berdosa, Ia menegur mereka dan menghukum mereka, tetapi kepada orang-orang yang jelas tidak dipilih-Nya, Ia membiarkan mereka. Hal ini dibukakan lebih jelas ketika Paulus membahas dengan mengutip PL bahwa Allah membuat Israel cemburu dengan menjadikan orang-orang dari bangsa lain juga sebagai umat-Nya. Tindakan Allah ini TIDAK dilakukan setelah Ia mengetahui kebebalan Israel, tetapi sebelumnya, karena Ia adalah Allah yang berdaulat yang tentu mengetahui apa yang akan terjadi kelak. Tindakan-Nya ini adalah kedaulatan-Nya yang berhak memilih siapa pun untuk menjadi umat-Nya. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita. Jangan kira semua orang Kristen adalah anak Tuhan, justru mungkin sekali ada beberapa orang-orang yang non-Kristen telah dipilih-Nya untuk menjadi anak-Nya, tetapi sekarang memang belum waktunya mereka mendengar Injil. Tinggal tunggu waktu Tuhan, banyak orang non-Kristen, mungkin yang dulu menganiaya Kristus dan Kekristenan, akan dipimpin Roh Kudus menuju kepada Injil dan menjadi anak-anak-Nya yang sejati yang percaya di dalam Kristus. Kalau sampai Tuhan melakukan hal ini, kita perlu berhati-hati dan mengintrospeksi diri. Mengapa? Karena jika Tuhan melakukan hal ini, apa yang terjadi pada Israel terulang kembali, yaitu Ia hampir jarang menemukan orang Kristen yang setia dan taat pada-Nya dan Firman-Nya, sebaliknya mungkin sekali Ia banyak menemukan orang yang mengaku diri “Kristen”, “melayani” di gereja, bahkan tidak sedikit para “pemimpin gereja” ternyata para pendusta dan munafik yang kelihatan percaya kepada Allah dan Alkitab, tetapi ternyata percaya pada rasio dan keinginan mereka. Berhati-hatilah dan waspadalah! Ingatlah, iblis sedang merajalela di abad postmodern ini dengan beragam filsafat dunia yang mulai meracuni Kekristenan pelan namun pasti. Sudahkah kita dipanggil untuk tetap setia dan memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya? Percayalah, di dalam penginjilan, Roh Kudus akan menyertai kita, dan Allah akan memanggil umat-Nya untuk mendengar Injil dan meresponinya dengan sungguh-sungguh bertobat sebagai bukti bahwa mereka adalah umat pilihan-Nya sejati.

Lebih dalam lagi, di ayat 20-21, dengan mengutip Yesaya 65:1-2, Paulus memaparkan kedaulatan Allah dan predestinasi-Nya bagi orang-orang non-Israel (dan beberapa orang Israel), “Dan dengan berani Yesaya mengatakan: "Aku telah berkenan ditemukan mereka yang tidak mencari Aku, Aku telah menampakkan diri kepada mereka yang tidak menanyakan Aku." Tetapi tentang Israel ia berkata: "Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada bangsa yang tidak taat dan yang membantah."” Yesaya 65 diberi judul oleh LAI, Jawab Allah: Hukuman bagi orang berdosa dan keselamatan bagi orang saleh. Judul ini tepat, karena pasal ini jelas membedakan dua macam reaksi Allah kepada manusia, yaitu berkat dan keselamatan bagi mereka yang setia dan hidup di jalan-Nya, sedangkan hukuman berat bagi mereka yang tidak setia dan memberontak. Di ayat 1, Yesaya mengungkapkan bahwa Allah melakukan tiga hal kepada bangsa yang justru tidak mencari Dia, yaitu: memberi petunjuk, berkenan ditemukan dan menyatakan diri-Nya secara langsung. Paulus memberi tafsiran pada Yesaya 65:1 sebagai orang-orang non-Israel. Ini adalah berkat dan keselamatan Allah bagi umat pilihan-Nya yang bukan dari Israel. Sebaliknya, tentang orang-orang Israel yang mengaku diri umat pilihan Allah, justru Allah mengatakan bahwa Ia akan mengulurkan tangan-Nya untuk menghukum mereka. Dan di ayat selanjutnya, Allah berfirman bahwa Israel adalah bangsa yang menyakitkan hati-Nya dengan beribadah kepada ilah lain (ayat 3, 7). Tetapi puji Tuhan, di dalam keadilan dan murka-Nya, Ia tetap mengasihi umat-Nya, dari semua bangsa Israel, Allah berkenan memilih beberapa orang daripadanya untuk dijadikan umat pilihan-Nya (ayat 8-10). Dan sisa dari orang-orang yang tidak dipilih-Nya akan mendapatkan celaka dengan sendirinya (ayat 11-16). Bagaimana dengan kita? Kedua ayat ini memberi pelajaran penting bagi kita.
Pertama, Allah mencari manusia. Dari dua ayat yang Paulus paparkan dan dari Yesaya 65:1-2 yang dikutip Paulus, kita belajar bahwa Allah lah yang mencari manusia. Ia berkenan menunjukkan jalan dan menyatakan diri-Nya kepada manusia yang bahkan tidak mencari Dia. Perhatikan kontras di Yesaya 65:1 antara karya Allah yang aktif dan karya manusia yang pasif (Aku telah berkenan ... kepada orang yang tidak menanyakan Aku, dst). Kontras ini jelas menyatakan bahwa manusia yang berdosa TIDAK pernah bisa mencari Allah (Roma 3:10-11), tetapi justru Allah lah yang mencari manusia dan menyelamatkan mereka yang terhilang (umat pilihan-Nya). Tuhan Yesus berkata di dalam Injil Yohanes 15:16, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” Bukan kita yang memilih Allah, tetapi Allahlah yang memilih kita bahkan sebelum dunia dijadikan (Roma 8:29-30; Efesus 1:4a; 2:1-8), supaya kita hidup memuliakan Allah dengan menghasilkan buah yang memuliakan-Nya (Yohanes 15:16b; Roma 8:30; Efesus 1:4b; 2:10). Baru setelah kita menghasilkan buah, kita mendapatkan hak kita, yaitu meminta kepada Bapa dalam nama Kristus (tentu berkaitan dengan usaha menghasilkan buah bagi-Nya) dan kita akan menerimanya. Tetapi banyak ajaran “Kristen” saat ini membalik konsep ini dan mengajar bahwa sebut, tuntutlah dan mintalah kepada Allah, Ia pasti mengabulkan permohonanmu, karena kamu adalah anak-anak Raja. Mereka terus mendengungkan untuk mengklaim hak kita (seolah-olah Allah pernah berutang sesuatu, sehingga perlu diklaim), tetapi mereka hampir tidak pernah berbuah bagi kemuliaan-Nya. Konsekuensi dan akibat dari Allah mencari dan memilih manusia adalah kita sebagai manusia diwajibkan tanpa paksa untuk berbuah bagi Allah dan bukan sebaliknya (kita berbuat baik bagi Allah, baru Allah mencari dan memilih kita). Inilah bedanya gereja dan theologi yang berpusat pada Allah (Theosentris) vs gereja dan theologi yang berpusat pada otonomi manusia berdosa (antroposentris). Manakah yang Anda pilih?

Kedua, kasih dan keadilan Allah. Allah adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kita belajar konsep ini dari Alkitab. Memisahkan atribut Allah ini berarti memisahkan dan tidak mengerti dan mengenal Pribadi Allah. Seluruh PL dan PB secara integratif memaparkan bahwa Allah yang mengasihi juga Allah yang menghukum dan mengadili mereka yang berdosa. Begitu pula sebaliknya, di dalam keadilan dan murka-Nya, Ia menunjukkan kasih-Nya kepada sisa-sisa dari manusia berdosa sehingga mereka mendapatkan dan mengalami kasih-Nya. Konsep ini bukan sekadar konsep di dalam wilayah theologi, tetapi juga berimplikasi pada kehidupan kita sehari-hari. Konsep kasih dan keadilan Allah mengakibatkan kita tidak lagi hidup mempermainkan Allah dengan tidak hormat, sekaligus di sisi yang sama, kita tetap menikmati anugerah dan pemeliharaan Allah sambil bersyukur. Biarlah konsep di dalam Yesaya 65:1-2 ini mengajar kita untuk makin setia dan taat kepada Allah bukan karena terpaksa tetapi sebagai respon ucapan syukur kita karena kita telah diselamatkan oleh-Nya melalui anugerah penebusan di dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita yang agung.


Kita telah merenungkan tiga ayat mengenai perbedaan jelas antara konsep percaya vs “percaya” dengan melihat teladan dari Israel dan non-Israel (bukan sebagai bangsa). Sudahkah kita hari ini mau berkomitmen untuk tidak lagi hidup berpusat pada diri, tetapi hidup berpusat pada Allah dan berbuah bagi-Nya dengan bersaksi memberitakan Injil-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 11:5-6: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-5

Ringkasan Khotbah : 11 Juni 2006

Kristus sebagai Pusat Hidup (5)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:5-6


Sebelumnya kita telah memahami lima tanda yang menunjukkan Kemesiasan Kristus. Hari ini kita akan merenungkan tanda yang terakhir, yaitu orang miskin mendapat kabar baik. Ironisnya, sampai hari ini, orang Yahudi masih menanti-nantikan kedatangan Mesias. Masa penantian ini disebut dengan advent. Tuhan menegaskan orang miskin mendapat kabar baik bukan orang miskin menjadi kaya. Hati-hati jangan masuk dalam jebakan iblis yang mengiming-imingi kekayaan duniawi namun berakhir dengan kebinasaan kekal. Manusia berdosa memanipulasi Firman demi keuntungan diri.
I. Konsep Miskin
1. Orang miskin secara konsep, orang ini selalu merasa kekurangan meskipun ia mempunyai harta melimpah, ia selalu merasa miskin. Amatlah kasihan hidup orang yang miskin konsep, sepanjang hidup menumpuk kekayaan tapi tidak dapat menikmati hasilnya. Gambaran ini cocok dengan Paman Gober yang super kaya tapi super miskin. Pertanyaannya adalah orang miskin model seperti ini lebih membutuhkan Injil atau uang?
2. Orang miskin yang tidak bisa makan. Golongan ini dibagi lagi menjadi dua, yakni: pertama, orang yang tidak mempunyai uang sehingga sulit baginya untuk makan; kedua, orang yang miskin motivasi, orang demikian ini selalu berpikir kalau kemiskinannya sebagai akibat dari korban lingkungan akibatnya ia tidak punya motivasi dan dorongan untuk menjalani hidup, ia akan malas untuk bekerja, ia hanya mau dikasihani orang lain. Orang miskin seperti ini tidak layak diberi uang seperti memasukkan air ke dalam laut dan bantuan itu justru menjadikannya semakin malas. Adalah natur manusia berdosa yang ingin hidup enak tanpa usaha dan perjuangan. Orang seharusnya berubah paradigma, kemiskinan tidak membuatnya kehilangan daya juang, kemiskinan seharusnya mendorong dia untuk hidup lebih baik. Kemiskinan bukanlah ikatan. Hari ini banyak orang sukses yang dulu miskin tapi karena perjuangan dan kegigihannya, ia berhasil lepas dari kemiskinan seperti pengalaman Yusuf Randi yang diceritakan kembali oleh pengkhotbah. Adalah tugas setiap murid Kristus untuk memberitakan Kebenaran sejati dengan demikian paradigma berpikir mereka yang salah diubahkan.
3. Orang miskin yang invalid, hal ini disebabkan karena keterbatasan yang ada pada dirinya, seperti cacat tubuh atau cacat mental dan ia tidak mempunyai sanak saudara. Kondisi mereka tidak memungkinkannya mempunyai kapabilitas untuk dia melewati batas garis kondisi kritisnya sehingga dia harus membutuhkan orang lain untuk menopang hidupnya. Orang semacam ini jumlahnya sangat sedikit dan biasanya mereka mempunyai daya juang; cacat tubuh bukan menjadi penghalang baginya untuk bekerja dan berkarya. Orang miskin yang invalid total seperti mereka inilah yang layak mendapat pertolongan. Secara materi, ia miskin namun sesungguhnya hidupnya kaya.
II. Gejala Orang Miskin
1. Serakah. Orang miskin seperti ini biasanya tidak mempunyai harga diri. Ketika ada peluang atau tawaran yang menggiurkan, ia selalu ingin menjadi yang pertama dan terdepan, ia tidak peduli dengan kondisi atau situasi orang yang ada di sekitarnya. Dimanapun ia berada, ia selalu merasa orang yang paling miskin. Perhatikan, miskin bukan tergantung dari berapa banyak uang yang ia punyai. Tidak! Tapi tergantung dari sikapnya. Betapa menyedihkan orang yang berjiwa miskin (petokhos, bahasa Yunani), seumur hidup selalu merasa kekurangan dan ketika ia melihat orang lain hidup nyaman, ia menjadi marah. Keserakahan adalah dosa yang mematikan.
2. Iri hati. Iri hati timbul ketika orang mulai membandingkan dengan orang lain dan biasanya dalam hal kepemilikan. Orang tidak suka melihat ada orang lain yang sukses dan hidup nyaman. Inilah kondisi dunia berdosa. Orang iri hati inilah yang dikatakan sebagai orang miskin. Iri hati itu bersifat destruktif atau perusak. Iri hati dapat menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Jiwa petokhos ini merupakan akar dari kemiskinan. Pertanyaannya sekarang adalah ketika kita dapat melewati orang yang kepadanya kita merasa iri apakah hal itu menjadikan kita puas? Tidak! Hal itu justru membuatnya jatuh dalam dosa yang lain, yaitu sombong dan orang kehilangan motivasi untuk hidup.
3. Hidup boros. Kemiskinan yang paling mendasar adalah miskin dalam pengelolaan hidup. Orang tidak tahu bagaimana caranya mengatur hidup, mengelola seluruh daya yang ada pada dirinya, dan ia tidak bisa menjadi penatalayan yang baik, ia tidak dapat mengelola segala sesuatu yang Tuhan percayakan pada dirinya dengan baik. Ingat, jangan buang waktu dan tenagamu dengan percuma. Di masa muda ini kita harus pakai seluruh tenaga, waktu dan pemikiran kita untuk Tuhan. Usia sekolah dasar sampai sekolah menengah adalah usia yang paling tepat untuk mengisi otak kita segala macam pengetahuan sebanyak-banyaknya karena itu adalah waktu yang paling tepat. Setan yang mengetahui hal ini tidak tinggal diam, dengan licik, setan menggunakan berbagai model permainan seperti play station dan semacamnya. Orang tidak sadar kalau semua yang ada pada dirinya termasuk harta, tenaga dan kepandaian itu asalnya dari Tuhan dan kelak harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Orang tidak memahami konsep ini, orang hanya tahu konsep kepemilikan, yakni segala sesuatu adalah milik pribadi yang dapat dipergunakan sesuai dengan keinginan diri. Orang seperti ini membutuhkan Injil.
III. Kebutuhan Orang Miskin
1. Orang miskin membutuhkan Injil. Dapatlah disimpulkan bahwa semua gejala tersebut di atas merupakan ciri: DOSA. Penyebab kemiskinan yang paling fatal adalah ketika manusia melepaskan diri dari sumber kehidupan yang utama, yaitu Tuhan. Kalau kita memampatkan sumber mata air maka kita tidak akan mendapatkan sumber air segar. Demikian juga kalau kita memutuskan hubungan dengan Tuhan yang menjadi sumber segala sumber, Dia adalah sumber kapasitas, sumber kepandaian, sumber konsep, Dia adalah sumber utama kehidupan akibatnya seluruh hidup kita akan hancur dan berakhir dengan kematian. Betapa miskin hidup manusia yang dilepaskan dari Tuhan karena itu orang miskin seperti demikian ini tidak membutuhkan uang tapi ia lebih membutuhkan berita Kabar Baik, yakni orang harus diperdamaikan dengan Tuhan sehingga sumber yang tadinya tertutup dibukakan kembali. Hidup kita akan penuh berlimpah karena perubahan konsep yang terjadi dalam pemikiran kita. Celakalah hidup manusia yang menolak sumber kehidupan sejati. Sudahkah kita memberitakan Kabar Baik pada mereka yang miskin sehingga mereka diselamatkan? Jadi, orang yang telah dipengaruhi dengan ajaran teologi sukses bukan diselesaikan dengan penyelesaian secara teologis tapi akar persoalan, yaitu dosa itulah yang harus diselesaikan. Artinya kepada orang-orang kaya yang miskin inilah kita harus memberitakan Kabar Baik. Perhatikan, Tuhan tidak pernah janji hidup anak-anak-Nya akan sukses dan kaya. Tidak! Tuhan menegaskan orang miskin mendapat Kabar Baik.
2. Orang miskin membutuhkan revitalisasi motivasi dan paradigma. Janganlah engkau menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu sehingga engkau dapat membedakan mana kehendak Allah apa yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:2). Perubahan seperti inilah yang harus diberitakan kepada mereka yang miskin dengan demikian mereka disadarkan dan mempunyai jiwa atau mentalitas yang diperkenan Tuhan. Berita kabar baik inilah dibutuhkan oleh orang miskin yang seringkali egois. Mereka perlu disadarkan bahwa diri mereka bukanlah titik acuan yang utama tapi kehendak Allah itulah yang seharusnya menjadi titik pusat hidup kita. Merupakan pendapat yang salah yang menyatakan bahwa melakukan kehendak Tuhan justru akan menjadikan hidup kita miskin. Tidak! Pengertian miskin disini bukan semata-mata soal materi tapi miskin itu hidup. Dunia menyadari kalau seorang yang mempunyai pemikiran idealis itu tidak miskin. Di dunia profesi, orang yang idealis tidak peduli meski ia tidak punya uang bahkan ketika ia dalam kesulitan ekonomi pun ia tidak akan minta pertolongan orang lain. Orang yang berpikiran idealis inilah yang disebut sebagai orang kaya meskipun di satu sisi, mereka tidak punya uang. Bahkan orang yang idealis rela lapar dan tidak mendapat uang demi mewujudkan semua pikiran idealis-nya. Orang idealis biasanya lebih mementingkan nilai daripada harta dan mempunyai daya juang dan semangat untuk menjalani hidup di dunia dibanding mereka yang miskin yang selalu menyalahkan lingkungan di sekitarnya. Namun semua pemikiran idealis ini menjadi sia-sia kalau tidak di dalam Tuhan karena semua hanya berhenti di wilayah ciptaan yang tidak bersifat kekal. Sungguh amatlah disayangkan orang idealis yang punya iman besar tapi mereka mempunyai obyek iman yang salah. Ingat, Tuhan memberikan pada setiap anak-anak-Nya talenta dengan jumlah yang berbeda-beda maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mau bekerja meskipun pada kita hanya diberikan satu talenta. Adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan kalau orang justru menguburkan satu talenta karena ia merasa iri hati pada mereka yang mendapat lebih. Ingat, Tuhan menuntut pertanggung jawaban atas apa yang dia sudah berikan pada kita. Orang-orang seperti ini butuh rekonstruksi paradigma sehingga mereka mempunyai etos hidup yang diperbaharui. Hanya Kristus satu-satunya yang patut untuk kita jadikan teladan hidup sempurna karena Dia adalah kebenaran sejati. Karena itu hendaklah dalam hidupmu bersama engkau memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti yang dimiliki oleh Kristus.
3. Orang miskin harus melakukan aksi positif. Orang miskin tidak boleh berhenti pada tindakan yang berorientasi pada dirinya sendiri. Segala sesuatu yang berpusat pada diri malah akan mencelakakan dirinya. Karena itu, Firman Tuhan mengajarkan adalah lebih baik memberi daripada menerima. Namun manusia egois tidak mau memberi, ia hanya mau menerima karena ia selalu merasa diri kekurangan. Orang tidak menyadari pada saat memberi itulah kita tidak merasa miskin. Setelah diubahkan paradigmanya maka langkah selanjutnya harus nyata, yakni memberi. Sadarlah ketika kita memberi justru saat itu kita tidak merasa kekurangan. Hati-hati dengan ajaran iblis yang seringkali memutarbalikkan kebenaran: memberi menjadikan kita miskin. Salah! Orang yang selalu merasa kekurangan takut kalau sumbernya habis. Yang terjadi justu sebaliknya pada saat kita menerima itulah justru kita akan kehilangan. Orang yang beriman dan bersandar penuh pada Tuhan yang hidup, Tuhan yang adalah sumber segala kehidupan sangat menyadari bahwa ketika memberi justru hidup semakin berlimpah. Seperti sebuah sumur yang airnya terus memancar maka air itu tidak akan pernah habis meski selalu diambil sebaliknya air sumur justru akan menjadi kotor dan berbau kalau airnya didiamkan saja. Alkitab menegaskan justru saat memberi itulah kita adalah “orang kaya“. Pengertian kaya disini bukan kaya secara materi tapi kita kaya karena kita punya Tuhan sumber kehidupan. Pertanyaannya sekarang adalah sudahkan kita berjiwa kaya?
Jangan takut dan kuatir ketika hidup kita berpaut pada Tuhan yang adalah Sumber dari segala sumber kehidupan maka pada saat kita memberi, Tuhan tidak akan meninggalkan kita, Dia selalu memelihara hidup kita. Hal ini sudah terbukti, Tuhan mencukupkan kebutuhan seorang janda miskin dan anaknya ketika memberi roti pada Elisa, hamba-Nya. Tepung dan minyak itu tidak pernah habis meski dipakai untuk memasak. Begitu juga ketika kita menerima Firman maka yang terbaik adalah kita membagikannya pada orang lain. Saat kita membagikan Firman maka pada saat yang sama, Firman itu akan melekat di pikiran dan hati kita. Seorang guru yang membagikan ilmunya tidak akan pernah kehabisan ilmu justru ilmu kita semakin bertambah. Tuhan adalah sumber ilmu pengetahuan, sumber berkat, sumber semua kehidupan maka apapun yang kita kerjakan dan kita upayakan demi untuk kemuliaan Tuhan, Dia akan tambah-tambahkan pada kita. Percayalah, Tuhan akan menolong dan mencukupkan ketika Dia memberikan tugas dan pekerjaan pada anak-anak-Nya. Justru sebaliknya, kita seringkali takut dalam melangkah karena kita selalu memperhitungkan untung dan rugi. Sesungguhnya kitalah yang memiskinkan diri sendiri, mematikan kapasitas diri sendiri. Miskin membutuhkan perubahan konsep paradigma, miskin membutuhkan kabar baik. Orang miskin tidak cukup kalau diberikan uang dan dijadikan kaya. Jikalau kita mengerti konsep ini maka hidup kita menjadi kaya dan diperkaya oleh dunia, Tuhan akan memakai kita menjadi berkat bagi dunia. Biarlah kita diubahkan cara berpikir kita, hendaklah kita mempunyai hati yang senantiasa ingin memberi daripada menerima, kita tidak mempunyai iri hati ketika melihat orang lain lebih sukses dengan demikian hidup kita menjadi lebih berdaya guna.
Sebagai penutup, teladan hidup yang ditunjukkan oleh Pdt. Stephen Tong sebagaimana dia mengikut teladan Kristus ini dapatlah kita jadikan teladan sempurna. Pdt. Stephen Tong dibesarkan oleh seorang janda yang sangat miskin namun meski miskin, ia masih mempunyai hati yang memberi, setiap minggu ibunya memberi segenggam beras dan gula kepada orang yang lebih miskin. Stephen Tong kecil melihat apa yang dilakukan oleh ibunya ini justru semakin memacu semangatnya untuk berjuang dan menjadi berkat bagi orang lain. Miskin materi bukanlah faktor utama yang menjadikan hidupnya tidak dapat berdaya guna. Tidak! Ada harta lain yang melimpah dalam dirinya yang tidak menjadikannya miskin, yakni Tuhan yang menjadikan hidupnya kaya dan semakin diperkaya dan menjadi berkat bagi dunia. Biarlah kita berubah dalam paradigma dengan demikian tidak berjiwa miskin tetapi sebaliknya kita berjiwa kaya karena kita mempunyai Tuhan adalah sumber segala kehidupan. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: