27 September 2007

Matius 4:12-17 : ESSENCE OF CALLING, SUFFERING AND KERYGMA-3

Ringkasan Khotbah : 15 Agustus 2004

The Essence of Calling, Suffering & Kerygma (3)
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:12-17



Matius menuliskan kembali berita tentang tanah Zebulon dan tanah Naftali yang diungkapkan nabi Yesaya (Yes. 8:23-9:1) sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Zebulon merupakan anak ke lima sedang Naftali merupakan anak ke sepuluh dari Yakub yang disebut Israel. Zebulon dan Naftali menempati sebagian kecil wilayah yang berada di sebelah Timur, seberang sungai Yordan. Karena letak geografisnya yang berada di seberang sungai Yordan maka daerah ini dapat berkembang hingga ke wilayah Dekapolis. Namun perkembangan ini justru menyebabkan penderitaan karena di satu sisi, mereka terpisah dari sepuluh suku lain yang berada di sebelah barat sungai Yordan dan karena wilayahnya tidak dibatasi oleh sungai dimana sungai menjadi benteng pertahanan paling efektif akibatnya wilayah Naftali, Zebulon dan wilayah lain yang berada di sisi timur sungai Yordan sangat mudah diserang oleh bangsa Asyur, bangsa Babel dan bangsa lain.
Hal ini membuktikan bahwa besarnya wilayah tidak menjadikan hidup mereka lebih aman, lebih makmur atau lebih kaya. Konsep ini sangat penting untuk kita pahami dan Alkitab telah berulang kali memberikan gambaran bahwa kalau kita salah mengkategorikan nilai dan panggilan Tuhan maka itu menjadi titik awal kehancuran, manusia akan mengalami penderitaan yang tidak ada pahalanya. Kita dapat memetik pelajaran dari peristiwa berpisahnya Abraham dan Lot. Lot, sang keponakan yang tidak tahu diri ini memilih tempat yang paling baik, tanah yang paling subur dan paling menguntungkan. Secara manusia, Abraham tentu merasa dirugikan dengan tanah gersang tersebut namun Abraham tidak marah melihat kelakuan Lot karena ia menyadari tanah merupakan anugerah Tuhan, ia senantiasa berpaut pada Tuhan maka Dia tidak akan membiarkan ketidakadilan terjadi pada anak-anak-Nya. Andai, kita disuruh memilih maka kita pasti akan berlaku sama seperti Lot namun apa yang dipandang manusia baik justru berakhir dengan kehancuran.
Secara duniawi, tanah Naftali dan tanah Zebulon sangatlah menguntungkan dan hal ini membuat iri kesepuluh suku lain namun realita berbicara lain. Sejak jaman Hakim-hakim sampai Perjanjian Baru, daerah ini selalu menjadi bulan-bulanan dari bangsa Asyur, bangsa Babel, dan bangsa-bangsa lain. Alkitab mencatat negeri ini sebagai suatu negeri yang dinaungi maut. Sampai akhirnya, negeri ini mendapat serangan dari tentara Asyur yang paling kejam di bawah pimpinan raja Tiglat Pileser III dimana seluruh rakyat di negeri ini menjadi tawanan bangsa Asyur. Hal ini menjadikan daerah Zebulon dan Naftali sangat gersang dan mereka pun bercampur dengan bangsa-bangsa kafir. Kondisi bangsa Israel yang menderita ini telah digambarkan oleh Nabi Yesaya sejak jaman Perjanjian Lama namun demikian Tuhan tidak pernah melupakan apalagi meninggalkan mereka.
Manusia selalu berpikir dengan cara dunia sehingga semua tindakan yang dilakukan, kita selalu berpikir untung-rugi dan mencari daerah strategis. Seperti halnya ketika kita hendak mengembangkan pelayanan, cara siapa yang kita pakai, cara dunia atau cara Tuhan? Ingat, cara Tuhan berbeda dengan cara iblis begitu pula pengertian strategis Tuhan berbeda dengan manusia. Celakanya, hari ini banyak gereja yang menggunakan cara dunia untuk mengembangkan pelayanan; orang Kristen bukan lagi menjadi alat Tuhan tapi menjadi alat dunia. Kristus telah memberikan teladan yang indah pada kita, Dia datang dan melayani bangsa yang berada dalam kegelapan dan dinaungi maut. Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat (Luk. 5:12). Jangan biarkan dirimu dikendalikan oleh dunia tapi biarlah Tuhan yang memanggil kita untuk menjadi pemberita kebenaran itu saja yang mengendalikan hidup kita maka kita akan melihat tangan Tuhan yang bekerja dengan indah dan ajaib. Tuhan memanggil kita menjadi saksi-Nya yang memancarkan terang dimanapun kita berada.
Hati-hati, jangan masuk dalam jebakan iblis karena sekali kita masuk maka akan sulit bagi kita untuk keluar dari cengkeramannya. Berbeda dengan Tuhan, ketika Tuhan memimpin Ia tidak pernah mencengkeram siapapun. Tuhan memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih apakah ia mau taat pada pimpinan Tuhan atau tidak? Tuhan tidak pernah merasuk siapapun, jadi barang siapa yang merasa terpaksa atau tanpa sadar melakukan sesuatu maka dapatlah dipastikan itu pasti bukan dari Tuhan. Tuhan tidak pernah menguasai seseorang sehingga orang menjadi kehilangan kesadaran, kehilangan kebebasan, kehilangan cara berpikir. Tidak! Tuhan sudah memberikan jalan yang terbaik, kini keputusan ada di tangan manusia, apakah kita mau taat/tidak pada-Nya? Ingat, siapa memilih maka dia yang harus bertanggung jawab akan akibatnya berbeda halnya kalau ia dipaksa melakukan tugas maka dia bisa lepas dari tanggung jawab. Tuhan pun memberikan kebebasan memilih pada Adam dan Hawa dan Tuhan pun sudah memberitahukan akibatnya, makan buah pengetahuan baik dan jahat berarti mati.
Bukan berarti Tuhan kurang bijaksana ketika Ia memilih nelayan-nelayan Galilea, bangsa yang katanya berada dalam kegelapan untuk menjadi alat-Nya. Karena pada jaman itu, selain penggembala domba, nelayan merupakan salah satu pekerjaan yang juga dipandang hina oleh bangsa Israel. Namun Tuhan memanggil orang yang dianggap “bodoh“ untuk membodohkan orang yang merasa diri pandai. Inilah panggilan Tuhan sejati. Apakah cara Tuhan yang berbeda dengan cara dunia ini akan menggagalkan seluruh misi Kerajaan Tuhan? Tidak! Alkitab mencatat murid-murid Kristus yang hanyalah seorang nelayan justru sukses menjalankan misi Kerajaan Allah. Secara logika manusia adalah tidak mungkin namun Tuhan memakai Petrus sebagai pemberita Injil dan 3000 orang bertobat dan masih banyak lagi. Lalu dimana kunci kesuksesan mereka sehingga seorang nelayan dapat mengerjakan pekerjaan besar sedemikian rupa?
Kuncinya adalah mereka telah berhasil keluar dari keadaan yang paling sulit. Seorang nelayan telah terbiasa hidup menderita, ia tahu apa arti penderitaan dan ia tahu bagaimana caranya keluar dari penderitaan maka oleh sebab itu Tuhan Yesus memilih mereka menjadi pengikut-Nya dan mengerjakan misi Kerajaan Allah. Orang yang terbiasa hidup dalam kenyamanan, tidak pernah menderita sepanjang hidupnya pada umumnya tidak memiliki daya juang karena untuk mencapai kesuksesan ia harus lewat dalam bayangan maut dan lembah kekelaman. Esensi panggilan Tuhan, yaitu melihat kembali kepada penderitaan yang sudah dilewati dengan demikian ia dapat membawa Terang pada setiap orang. Inilah jalur yang Tuhan mau pakai pada setiap kita maka kita akan melihat:
1. Kuasa Injil dapat mengubah seseorang. Secara logika, adalah mustahil untuk mengubahkan seseorang karena logika manusia dibangun dengan kausalitas sekuler atau sebab akibat. Manusia sudah dikuasai oleh dosa sehingga sukar baginya untuk keluar dari jeratan dosa. Agustinus mengatakan non-posse non-peccare, manusia tidak mungkin tidak berdosa. Namun ketika Terang itu datang dan kuasa Kristus menyadarkan manusia berdosa maka itu saatnya manusia berubah, manusia yang dulunya berada dalam kegelapan kini ia berada dalam terang. Seorang anak Tuhan yang belum pernah mengalami mujizat diubahkan, yaitu bagaimana Tuhan mengubah dari orang berdosa kembali pada kebenaran maka ia tidak akan pernah mendapatkan kuasa atau power. Ingat, kuasa bukan otoritas, kuasa dari kata dinamos yang berarti kekuatan atau kemampuan untuk mendobrak. Ingat, kekuatan atau kuasa itu bukanlah berasal dari diri sendiri melainkan dari Tuhan karena kalau dari Tuhan maka tidak mungkin manusia yang terbatas bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sangatlah disayangkan, Kekristenan kini telah kehilangan kuasa Injil, manusia telah dikunci oleh sekularisme dan dibutakan oleh materialisme. Berjalan bersama Tuhan maka tidak ada hal yang mustahil bagi kita untuk menggenapkan misi Kerajaan Allah, yakni memberitakan Injil pada mereka yang masih berada dalam gelap.

2. Kuasa Injil mempunyai Otoritas Ilahi. Sebagai anak Tuhan, kita harus menyadari bahwa Tuhan, Raja alam semesta yang seharusnya berotoritas atas hidup kita. Logika manusia mungkin melihat bahwa pilihan kita lebih baik namun percayalah pimpinan Tuhan pasti lebih indah meski kelihatan susah jalannya. Jangan pakai otoritas manusia untuk menindas otoritas Tuhan. Ketika kita melihat otoritas Tuhan diinjak-injak maka itulah saatnya anak Tuhan untuk bertindak dan menyatakan kebenaran; jangan takut Tuhan akan memberikan kemampuan dan kekuatan untuk melawan musuh. Membiarkan diri dikuasai oleh otoritasasi dunia sama halnya menyerahkan hidup pada jurang kehancuran. Selama kita tidak kembali pada Tuhan dan bertobat maka kita akan mudah dipermainkan dunia. Memang, bukanlah hal yang mudah menggenapkan rencana Tuhan di dunia yang kacau ini namun percayalah otorisasi Tuhan lebih berkuasa dari otorisasi siapun di dunia sehingga rencana Tuhan tidak mungkin digagalkan oleh manusia. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen takut menghadapi tantangan, mereka selalu menggunakan logika ketika hendak mengerjakan pekerjaan Tuhan yang besar. Seorang pelayan sejati mau tunduk mutlak dan mempunyai jiwa yang taat dan hal ini berlaku di semua aspek hidup kita, baik ketika kita memilih pekerjaan, studi, teman hidup, dan lain-lain. Ketika otorisasi Tuhan sedang dijalankan pasti banyak tantangan yang harus dihadapi namun jangan takut dengan kekuatan dari Tuhan kita pasti bisa menghadapinya dengan demikian kita mempunyai kesaksian indah dan menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan telah memberikan pada kita untuk hidup dalam Terang sehingga kita dapat merasakan indahnya berjalan dalam kuasa Terang karena itu jangan sia-siakan kesempatan.

3. Kuasa Injil memberikan Bijaksana Ilahi. Rencana Allah sungguh amat bijaksana, Ia sudah menata sedemikian rupa supaya Kristus pergi ke utara, daerah yang berada dalam kegelapan dan kemudian turun lagi ke daerah selatan. Manusia tidak pernah mengerti kenapa harus Kapernaum yang menjadi pusat dari pelayanan Kristus pertama kali? Begitu pula di kehidupan kita terkadang kita tidak mengerti kenapa Tuhan memberikan pekerjaan yang kita rasa tidak berarti, kenapa Tuhan menempatkan kita di kota yang kecil? Janganlah kita mempercepat sejarah yang Tuhan sedang tata dengan bijaksana. Manusia selalu ingin melihat hasil akhir yang berakhir dengan kesuksesan namun itu justru membuat kita hancur. Rencana dan waktu Tuhan adalah yang terbaik, Ia tahu dari mana harus dimulai, bagaimana harus mencapai kesuksesan dan waktunya berapa lama. Kalau kita dihadapkan pada dua pilihan pekerjaan, yaitu memilih menggenapkan rencana Tuhan namun gaji kecil atau gaji besar dengan pekerjaan yang menyita waktu sehingga kita tidak dapat menggenapkan rencana Tuhan; manakah yang akan kita pilih? Orang Kristen yang materialisme humanis pasti akan memilih pilihan kedua meskipun kita tidak dapat mengerjakan panggilan Tuhan. Apakah itu merupakan keputusan yang bijaksana?
Bijak adalah tahu mengambil keputusan apa yang paling tepat dengan demikian kita tidak menjadi salah langkah karena keputusan itu akan menentukan posisi kita, yaitu sebagai anak Tuhan atau anak iblis. Tidak setiap orang pandai yang berintelektual tinggi mempunyai bijaksana karena orang pandai biasanya selalu terkunci dengan rasio sehingga sukar baginya untuk melihat pekerjaan Tuhan. Kepandaian bukanlah hal yang utama tapi kecermatan melihat segala sesuatu secara integratif itulah hikmat sejati yang melampaui intelektualitas, empirisme dan pikiran manusia. Dunia hanya menuju pada kehancuran maka hendaklah kita balik pada bijaksana Ilahi yang menjadikan sebagai pemberita Terang Tuhan. Tuhan memanggil kita dan memberikan kuasa pada kita untuk melewati tantangan dan kuasa itu tidak menjadikan kita egois sebaliknya Ia mau supaya kita membawa Terang. Kuasa pemberitaan akan muncul kalau kita hidup bersama Tuhan yang memberikan hikmat dan bijaksana. Inilah kekuatan kerygma.
Puji Tuhan kalau Ia masih berkenan memakai kita manusia yang terbatas ini sebagai pembawa berita kebenaran sehingga orang-orang yang berada dalam kegelapan kembali pada Terang sejati. Panggilan Tuhan, penderitaan yang kita alami dan berita yang kita sampaikan merupakan satu ikatan yang saling terkait. Bagaimana mungkin buah zaitun akan menjadi minyak kalau ia tak ditekan? Bagaimana mungkin buah anggur akan menjadi anggur kalau ia tak diperas? Tiap pukulan Tuhan pasti berguna karena Dia sedang menggembleng kita dengan demikian kita semakin jelas melihat esensi panggilan Tuhan sehingga kita mempunyai kekuatan dan kuasa untuk memberitakan Injil dan dengan bijaksana Ilahi hendaklah kita dipakai menjadi saksi bagi-Nya, memancarkan terang di tengah dunia yang gelap ini. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-23 : ALKITAB DAN AKHIR ZAMAN (Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE BIBLE AND THE FUTURE
(Alkitab dan Akhir Zaman)

oleh : Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2004

Penerjemah : Ev. Kalvin S. Budiman.





Buku ini merupakan suatu studi mengenai eskatologi Alkitab, yaitu pengajaran Alkitab mengenai akhir zaman. Berdasarkan tesis bahwa eskatologi adalah realitas yang meliputi baik masa kini maupun masa yang akan datang, penulis membagi buku ini menjadi dua bagian besar.

Bagian Pertama. Eskatologi yang telah ditegakkan (Inaugurated Eschatology), berkenaan dengan berkat-berkat eskatologis yang sekarang telah dinikmati oleh komunitas umat tebusan. Bagian Kedua. Eskatologi yang akan datang (Future Eschatology), membahas topik-topik seperti keberadaan orang percaya di masa antara kematian dan kebangkitan, tanda-tanda zaman, kedatangan Kristus yang kedua kalinya, milenium (kerajaan seribu tahun), kebangkitan tubuh, penghakiman terakhir dan bumi yang baru.

Dalam buku ini, penulis menguraikan keempat pandangan utama konsep milenium : pandangan postmilenialisme, premilenialisme historis, premilenialisme dispensasi, dan amilenialisme. Ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dieksegesis oleh penulis secara teliti. Ini merupakan suatu studi yang mendalam mengenai akhir zaman. Buku ini akan menghidupkan kembali pengharapan Kristen dalam diri umat Allah.

Buku ini mendapat rekomendasi dari Dr. Herman N. Ridderbos.





Profil Dr. Anthony A. Hoekema :
Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. (1913-1988) adalah seorang theolog Kristen yang melayani sebagai profesor Theologia Sistematika di Calvin Theological Seminary selama 21 tahun.
Hoekema lahir di Belanda tetapi berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1923. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Calvin College, Master of Arts (M.A.) dari University of Michigan, Bachelor of Theology (Th.B.) dari Calvin Theological Seminary dan Doctor of Theology (Th.D.) dari Princeton Theological Seminary pada tahun 1953. Setelah menggembalakan beberapa gereja-gereja Kristen Reformed (1944-1956), beliau menjadi Associate Professor of Bible di Calvin College (1956-58). Dari tahun 1958 sampai dengan 1979, ketika pensiun, beliau adalah Profesor Theologia Sistematika di Calvin Theological Seminary di Grand Rapids, Michigan.

Beliau menulis beberapa buku yang terkenal, antara lain :
· The Four Major Cults: Christian Science, Jehovah's Witnesses, Mormonism, Seventh-Day Adventism (1963)
· What about Tongue-Speaking? (1966)
· Holy Spirit Baptism (1972)
· The Bible and the Future (1979)

Di Indonesia, buku dari Dr. Hoekema yang telah diterjemahkan, antara lain : Alkitab dan Akhir Zaman ; Manusia : Ciptaan Menurut Gambar Allah (diterjemahkan dari Created in God’s Image) ; dan Diselamatkan Oleh Anugerah (diterjemahkan dari Saved by Grace)

Roma 3:10-12 : BERDOSA TERHADAP ALLAH-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-3


Berdosa Terhadap Allah-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:10-12.

Setelah Paulus memaparkan tentang tiga sifat dosa, maka ia mulai menguraikan masing-masing dosa tersebut mulai ayat 10 sampai dengan 18 yang meliputi dosa secara pikiran, perasaan, perkataan dan berakhir pada dosa tindakan. Khusus pada bagian ini, saya hanya akan membahas hanya tiga ayat, mulai ayat 10-12 yang berbicara mengenai presuposisi dasar dari dosa itu sendiri, di mana semua dosa di dalam ketiga ayat ini adalah berdosa kepada Allah, bukan berdosa biasa (hanya sekedar kelemahan manusia, dll). Setiap dosa pada intinya bukan sekedar dosa biasa seperti orang-orang postmodern paparkan, tetapi lebih menunjuk kepada dosa kepada Allah, karena dosa sebenarnya adalah pelarian dari kehendak Allah atau ketidaksetiaan kepada-Nya dan perintah-Nya. Mari kita melihat wujud-wujudnya.

Ayat 10 dimulai dengan pernyataan, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Not even one person is righteous.” (= “Tidak satu orang pun yang baik adil.”) Terjemahan ISV memang hampir sama dengan banyak terjemahan Inggris lainnya dan Indonesia, tetapi terjemahan ini dirangkum di dalam satu pernyataan yang tidak diulang yaitu tidak satu orang pun yang baik adil/benar, sedangkan banyak terjemahan (KJV, Terjemahan Baru LAI, ESV) sama-sama menggunakan pengulangan, yaitu, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” Ayat 10 ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berbuat dosa. Ini sifat dosa pertama yang Paulus telah ungkapkan di ayat 9, yaitu dosa yang universal, tidak peduli pria wanita, tinggi pendek, besar kecil, orang tua maupun anak-anak, dll, semua orang sudah berdosa atau tidak ada yang benar. Apa yang dimaksud dengan kata “benar” di sini ? Kata “benar” dalam ayat ini di dalam terjemahan Inggris adalah righteous, di mana bahasa Yunaninya dikaios yang bisa berarti baik adil. Kalau kita melihat referensi ayat ini yaitu di dalam Mazmur 14:1-3 (khususnya ayat 3b) dan Mazmur 53:2-4 (khususnya ayat 4b), maka kata “benar” berarti berbuat baik, di mana kata ini dalam bahasa Ibrani juga bisa berarti baik, benar, adil. Selain dosa yang bersifat universal, ayat ini juga bisa menandakan ketidakadaan standar benar bagi manusia. Ketika Paulus mengajarkan bahwa tidak ada yang benar, tentu saja ia juga mengajarkan bahwa orang yang tidak benar itu sendirinya tidak mengenal apa itu benar/kebenaran (standar kebenaran). Mengapa demikian ? Standar kebenaran sudah dicemari oleh dosa manusia ketika manusia pertama (Adam dan Hawa) mulai mengganti otoritas Allah sebagai Sumber Kebenaran dengan dirinya yang menempatkan iblis sebagai “sumber kebenaran”. Dosa mengakibatkan standar kebenaran menjadi pudar dan kehilangan arah. Tidak heran, karena kehilangan standar ini, manusia mulai mencari “standar-standar” lain yang dirasa mampu memenuhi kebutuhan akan keterhilangan makna hidup yang dahulu diisi oleh Kebenaran Allah. Apakah “standar-standar” itu ? Bisa berupa rasio, materi, seks, kehebatan diri, kekuasaan, dll. Semua “standar” ini akhirnya mengakibatkan mereka melakukan apapun tanpa pertanggungjawaban dan pengertian yang beres, lalu mereka menyangka bahwa dengan berbuat baik mereka sudah “dibenarkan” Allah. Itu semua adalah akibat kehilangan standar kebenaran. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen sudah mengenal Kebenaran ? Ataukah kita masih tidak mengenal Kebenaran meskipun sudah berpuluh-puluh tahun mengikut Kristus apalagi melayani Tuhan ? Jika kita belum mengenal Kebenaran Allah di dalam Alkitab, maka belajar berusahalah mengenal-Nya karena Ia adalah Sumber Kehidupan dan Kebenaran bagi kita yang tersesat. Semakin kita meniadakan-Nya, tidak berarti hidup kita semakin beres, sebaliknya hidup kita semakin tak bernilai, tersesat dan akhirnya binasa.

Salah satu “standar-standar” palsu yang manusia buat adalah mengilahkan rasio sebagai “kebenaran”. Mereka pikir rasio adalah segala-galanya, padahal Allah melalui Paulus berkata, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi,” (Roma 3:11a) Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “tidak seorang pun yang mengerti”. Kata “mengerti” dalam BIS lebih tepat dengan terjemahan bahasa Inggris : understand (mengerti). Kalau kita coba menelusuri lebih lanjut di dalam Mazmur 14:1-4 (khususnya ayat 2) dan Mazmur 53:2-4 (khususnya ayat 3), kita akan mendapati satu fakta yang lebih mendalam, yaitu Allah melihat dari Surga untuk mengamati apakah ada anak-anak manusia yang berakal budi dan mencari Allah. Ini berarti apa yang manusia anggap di dalam rasio sebagai “kebenaran”, bagi Allah, itu suatu kesia-siaan, karena dari Surga Allah memandang ke bawah untuk mencari manusia yang berakal budi, tetapi ditutup dengan kesimpulan bahwa mereka hidup telah menyimpang dari jalan-Nya. Ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita yang terus mendewakan rasio kita. Rasio memang dianugerahkan oleh Allah untuk dipakai memuliakan Allah, tetapi rasio manusia tetap terbatas, sehingga apapun yang melampaui rasio biarlah iman yang berbicara dan mendahuluinya. Mujizat memang tidak dapat dipikirkan secara rasio tetapi itu bukan illogical (tidak masuk akal), tetapi di luar kemampuan akal manusia. Mengapa Allah mengatakan bahwa tidak ada orang yang mengerti sedangkan banyak dari mereka selalu menganggap diri serba mengerti apapun ? Mereka dianggap oleh Allah tidak berakal budi/mengerti karena pengertian dan akal budi mereka dibangun di atas presuposisi superioritas manusia dan kehebatannya yang melawan Allah. Pengertian yang sejati dibangun bukan di luar Allah dan Firman-Nya, tetapi di atas dasar Firman Allah, karena takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7a). Kata “takut” ini bukan sekedar perasaan, seperti kita “takut” setan di malam hari. “Takut” di sini menunjukkan suatu sikap hati dan pikiran kita yang hanya berfokus kepada Allah dan Firman-Nya, Alkitab. Marilah kita berusaha membangun pengertian di atas dasar Alkitab, karena itulah pengertian yang Allah kehendaki.

Apakah akibat dari orang yang tidak mengerti/berakal budi ? Akibatnya adalah mereka menjadi pragmatis dan atheis, masa bodoh apakah ada Allah atau tidak. Mengapa bisa demikian ? Orang yang tidak mengerti Kebenaran tentu akan masa bodoh/cuek apakah Kebenaran itu ada, karena bagi orang itu, yang penting adalah bagaimana menikmati hidup seenak dan sepraktis mungkin (tanpa mempedulikan eksistensi Allah, bahkan kalau perlu meniadakan eksistensi Allah itu lebih “enak”, karena baginya “Allah” itu sangat “mengganggu” dengan beragam peraturan yang “mengikat”nya). Tepatlah, apa yang Allah katakan melalui Paulus, “tidak ada seorangpun yang mencari Allah” (ayat 11b). Kata “mencari” dalam bahasa Yunani bisa berarti menyembah (worship). Seperti yang telah saya katakan, seorang yang sudah tidak berakal budi, tentu hidup pragmatis, masa bodoh dengan keberadaan Allah, dan tentunya orang tersebut tidak perlu mencari/menyembah Allah. Itulah kondisi semua manusia berdosa. Tetapi sayangnya realita ini tidak disukai oleh manusia. Sambil berdosa, manusia berupaya membangun suatu agama sebagai suatu “pencarian” akan “Allah”. Jadi, di dalam agama, manusia bukan mencari penyelesaian dari dosa, tetapi malahan menambah dosa dengan mengatakan “yang bukan Allah” sebagai “Allah” bahkan tidak jarang yang mengilahkan dirinya sendiri. Kalau kita kembali mereferensikan ayat ini dengan Mazmur 14:2 dan Mazmur 53:3, maka sudah jelas perkataan bahwa tidak ada seorangpun yang mencari Allah itu bukan dilontarkan oleh manusia, tetapi oleh Allah sendiri. Allah yang sejati berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang mencari/menyembah-Nya. Ini berarti ada suatu konfirmasi dari Allah sendiri tentang realita kebobrokan manusia yang bukan mencari perkenanan Allah, tetapi malahan membuat Allah murka (bandingkan Mazmur 14:1 ; 53:2). Hal serupa juga terjadi dalam perjalanan bangsa Israel. Mereka sudah memiliki Taurat, lalu mereka sombong, beberapa raja mereka dikisahkan menyelesaikan persoalannya tanpa mengandalkan Allah. Hal ini terus berlangsung di zaman Tuhan Yesus, ketika Kristus menyatakan Kebenaran, bukan orang atheis yang menolak-Nya, tetapi justru para ahli Taurat/agamawan yang menolak dan bahkan menyalibkan-Nya. Apakah dengan menyelidiki Taurat, sebenarnya para ahli Taurat sedang mencari dan menyembah Allah? TIDAK. Mereka sebenarnya sedang mencari celah-celah agar Taurat dapat dijadikan hukum bagi orang-orang Yahudi lalu membuat pengecualian bagi para ahli Taurat sendiri. Apakah kita juga berlaku demikian dengan mencari ayat-ayat Alkitab yang cocok tanpa mengerti keseluruhan Alkitab ? Jika kita berlaku demikian, kita tidak ada bedanya dengan para ahli Taurat dan kita tidak sedang mencari/menyembah Allah, tetapi sedang memperalat Allah. Marilah kita mengintrospeksi hal ini, apakah kita sedang mencari/menyembah Allah atau kita menyembah diri dan memperalat Allah ?

Seorang yang tidak menyembah/mencari Allah pastilah hidupnya tidak berarah. Tepatlah seperti yang Paulus katakan di ayat berikutnya, yaitu ayat 12a, “Semua orang telah menyeleweng,” BIS mengartikannya “sudah menjauhkan diri dari Allah ;” Terjemahan Yunani bisa diartikan menghindari (avoid) atau menurun dari standar kekudusan/kesalehan (decline {from piety}). Hidup yang tidak berarah dari orang yang tidak menyembah Allah pastilah orang itu di dalam hidupnya selalu menjauhkan dirinya dari Allah atau “membunuh” Allah, persis seperti yang dilakukan oleh F. Nietzsche dengan ide gilanya “DOG (Death of God) Theology” yang mengajarkan bahwa “Allah” sudah “dibunuh mati” oleh dirinya bukan dengan senjata tetapi dengan pikirannya sendiri. Inilah kegilaan manusia yang berdosa. Mengapa mereka menjauhkan diri dari Allah ? Mereka melakukan hal itu karena mereka menganggap bahwa diri merekalah “Allah” yang hebat, superior, dll. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Adam dan Hawa yang menyeleweng atau menjauhkan diri dari Allah ketika iblis menawari mereka untuk makan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Mereka menganggap diri mereka yang berhak menentukan manakah yang benar, Allah atau iblis. Dan ketika mereka bertindak demikian, maka tentulah iblis yang mereka pilih, mengapa ? Karena iblis lah yang lebih cocok dengan keinginan berdosa mereka. Bangsa Israel berlaku hal yang tidak jauh berbeda. Mereka setia kepada Allah di kala penderitaan menyerang dan ketika tidak ada penderitaan, mereka berubah setia dan menyembah ilah-ilah lain. Ketika mereka menyembah ilah lain, mereka sedang menempatkan diri mereka sebagai yang superior dan menjauhkan diri dari Allah. Mereka hanya mau Allah memenuhi keinginan mereka dan ketika Allah tidak mengabulkan permintaan mereka, mereka marah dan bersungut-sungut. Ini jugalah kehidupan orang-orang di abad postmodern yang serba pragmatis, dualis, humanis dan materialis. Iman tidak lagi menjadi hal yang paling penting dan mendasar, tetapi hal-hal sekuler lah yang menjadi “ilah” di dalam hidup mereka. Tidak heran, seorang dosen “Kristen” menyatakan bahwa religion dan science tidak ada hubungannya (pengaruh dualisme Plato). Apakah ketika mereka menganggap diri hebat, superior dan tidak membutuhkan Allah dengan menjauhkan diri dari-Nya, berarti mereka memang benar-benar hebat, berguna, dll ? TIDAK.

Orang yang selalu menganggap diri hebat, pandai, superior, dll, di mata Allah, “mereka semua tidak berguna,” (ayat 12). Kata “tidak berguna” di dalam terjemahan BIS adalah “sesat”. Sebenarnya di mata Allah, orang dunia yang selalu menganggap diri hebat adalah tidak ada apa-apanya atau tidak berguna atau tidak layak (worthless). Mengapa Allah mengatakan “tidak berguna” bagi mereka yang sombong atau menyombongkan diri ? Karena Allah menghendaki kita bersikap rendah hati. Bagi Allah, seorang yang rendah hati lah yang disebut berbahagia (Matius 5:5 ; BIS). Pemikiran Allah ini tentu berbeda dari pemikiran manusia di dalam memandang masalah konsep nilai. Manusia selalu menganggap diri orang baik kalau mereka telah berbuat baik, tetapi bagi Allah, manusia yang baik adalah manusia yang menganggap diri tidak baik yang perlu proses pembenaran terus-menerus. Perbedaan ini bukan perbedaan biasa, tetapi perbedaan yang signifikan, di mana ketika kita memang baik tetapi tidak berani mengatakan diri orang baik berarti kita rendah hati dan ingin terus-menerus diproses oleh Tuhan, sehingga justru menunjukkan kebaikan kita itu sejati. Jika tidak, lalu kita menggembar-gemborkan diri sebagai orang baik lalu layak masuk Surga karena perbuatan baik kita, di titik pertama, kita sudah tidak baik, karena orang baik bagi Allah adalah orang yang dinilai Allah mau berada di dalam proses pembenaran dan pengudusan terus-menerus yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Tanpa itu, jangan harap ada orang disebut Allah sebagai orang baik. Orang dunia yang selalu menganggap diri hebat, baik, dll, bukan hanya dikatakan tidak berguna, tetapi juga SESAT. Mengapa SESAT ? Karena mereka ingin mencari apa yang ingin mereka capai tanpa mempedulikan Allah. SESAT di mata Allah berarti tidak berada di dalam jalur yang Allah tetapkan. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga menganggap diri berguna lalu kita menjadi sombong ? Berhati-hatilah, ketika kita menganggap diri “berguna”, justru di situlah, Allah menganggapnya tidak berguna. Biasakanlah diri kita untuk menempatkan diri sebagai hamba yang rendah hati yang menganggap diri hanya sebagai sarana Tuhan bukan Tuhan sendiri, sehingga apapun yang kita kerjakan adalah untuk memuliakan Allah, dan bukan memuliakan diri.

Orang yang tidak berguna atau sesat akan berakibat orang itu mutlak tidak dapat bisa berbuat baik, seperti yang dikatakan Paulus, “tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” Kata “berbuat baik” di dalam terjemahan BIS adalah “berbuat yang benar”. Apakah ada perbedaan dua kata ini ? Tentu. Orang dunia banyak mengklaim diri sudah berbuat baik, padahal benarkah “baik” menurut standar mereka adalah BAIK menurut standar Allah ? Jadi, lebih tepat mengatakan bahwa berbuat benar lebih beres ketimbang berbuat baik. Berbuat benar pasti berbuat baik, tetapi berbuat “baik” belum tentu berbuat benar. Bagi mereka yang menolak menyembah Allah dan yang sesat jalannya tentu tidak suka berbuat benar, karena bagi mereka, kebenaran tidak memiliki signifikan apapun. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus juga tidak bertindak apapun yang benar ? Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak pilihan-Nya melakukan apa yang benar di mata-Nya karena itulah yang dikehendaki-Nya.

Soli DEO Gloria. Solus Christus.