26 February 2008

Matius 9:9-13: RADICAL CONVERSION

Ringkasan Khotbah : 17 April 2005



Radical Conversion


oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.




Nats: Mat. 9:9-13




Pendahuluan

Kita telah memasuki bagian ketiga dari implikasi Kerajaan Sorga, yaitu separasi atau pemisahan; mengikut Tuhan berarti memisahkan diri dari dunia. Tuhan Yesus menegaskan bahwa tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan, yaitu Allah dan Mamon; kita harus pilih salah satu, mengikut Tuhan berarti kita harus meninggalkan mamon dan sebaliknya. Pilihan ini menjadi tantangan besar bagi manusia sebab manusia ingin Allah sekaligus mamon dengan kata lain manusia ingin dirinyalah sebagai tuan yang jadi penentu. Tapi, manusia bukanlah pemegang kontrol maka manusia harus taat pada siapa yang ia pilih untuk menjadi tuannya. Kita telah memahami bahwa tema sentral dari bagian cerita orang lumpuh yang disembuhkan ini terletak pada kalimat “dosamu sudah diampuni“ dan ini menimbulkan konflik antara Tuhan Yesus dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Ahli Taurat dan orang Farisi merasa diri sebagai orang yang beragama, mereka merasa bahwa ia sudah mendapatkan Sorga namun Tuhan Yesus membukakan bahwa mereka bukanlah bagian dari pemisahan itu.

Kalau pada kisah tentang orang lumpuh disembuhkan, Markus dan Lukas menulis lebih detail dibandingkan dengan Matius maka pada kisah pemungut cukai yang mengikut Yesus ini, pembahasan Matius, Markus maupun Lukas sama bahkan urutan dan settingnya pun sama. Dan menurut kebudayaan Yahudi merupakan hal yang biasa kalau seseorang mempunyai lebih dari satu nama, ada orang yang menyebut Petrus dengan Simon atau Kefas dan Matius dengan Lewi. Alkitab mencatat selain Tuhan Yesus yang diundang, banyak pemungut cukai dan orang berdosa yang juga diundang dan datang ke pesta itu. Pesta perjamuan ini kemungkinan adalah pesta perpisahan, farewell party. Ironisnya, Matius yang mengadakan pesta tetapi yang menjadi tuan rumah dalam pesta itu adalah Tuhan Yesus dan hal itu mendatangkan kejengkelan dari ahli Taurat dan orang Farisi.

Mengapa Matius jadi Pemungut Cukai?

Sesungguhnya para ahli Taurat dan orang Farisi ini sangat mengagumi hikmat bijaksana yang ada pada Yesus akan tetapi mereka tidak menyukai perilaku Yesus sebab perilaku Yesus sebagai salah seorang Rabbi Yahudi dirasakan tidak sesuai dengan para ahli Taurat dan orang Farisi pada umumnya. Mereka marah pada Tuhan Yesus akan tetapi seperti kejadian sebelumnya, kali inipun, mereka hanya menggerutu dalam hati, mereka tidak berani berbicara langsung pada Tuhan Yesus tetapi mereka menegur murid-murid-Nya. Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi ganjalan hati mereka dan Tuhan Yesus memberi jawab dimana jawaban ini bersifat paradoxical: Bukan orang sehat yang perlu tabib tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa (Mat. 8:12,13). Jawaban ini terasa menyakitkan hati sebab mereka harus memikirkan ulang kembali dirinya, pikiran theologi dan hidupnya.

Matius bukanlah seperti pemungut cukai umumnya yang ada di pinggir jalan. Matius mengambil pajak dari setiap barang yang keluar atau masuk maka kantor bea cukai ini berada di daerah sentral, yaitu daerah perbatasan atau perdagangan. Penetapan pajak ini sudah menjadi peraturan dari pemerintah Romawi. Bayangkan, orang Yahudi yang bekerja keras tetapi pemerintah Romawi yang mengambil keuntungan maka tidaklah heran kalau orang Yahudi ini begitu membenci pemungut cukai apalagi Matius adalah orang Yahudi tetapi pro bangsa Romawi maka kebencian mereka pastilah berlipat-lipat. Orang Yahudi yang bekerja untuk pemerintah Romawi dikatakan sebagai pengkhianat atau kafir sebab mereka telah mempermainkan imannya dengan pro pada bangsa Romawi yang menyembah berhala. Ada ungkapan yang berbunyi: orang Romawi menjajah tubuh orang Yunani tapi orang Yunani menjajah otak orang Romawi. Memang benar, bangsa Yunani tidak dapat melawan bangsa Romawi tapi semua pemikiran filsafat Yunani sudah mencengkeram pemikiran orang-orang Romawi dimana dewa-dewa yang disembah dan cara penyembahannya mencontoh orang Yunani hanya namanya saja yang diganti, sebagai contoh dewi Artemis diganti menjadi Diana.

Bagi orang Yahudi, orang yang menyembah dewa adalah orang yang berdosa. Orang Yahudi telah belajar dari pengalaman 400 tahun mereka dibuang karena berulang kali jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala maka sejak masa pembuangan itu, mereka tidak menyentuh berhala sedikitpun. Mereka takut kejadian yang sama terulang kembali maka orang Yahudi membuat peraturan-peraturan yang sedemikian ketat, salah satunya yaitu tidak boleh bersentuhan dengan orang kafir. Karena itu orang Yahudi sangat benci pada pemungut cukai yang bergaul dengan orang Romawi yang kafir. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuat Matius rela dicap sebagai pengkhianat dan dimusuhi oleh bangsanya sendiri? Jawabannya hanya satu, yaitu demi uang; Matius adalah seorang materialis. Pada jaman itu, semua pemungut cukai hidup kaya, mereka digaji besar oleh pemerintah Romawi demi untuk menjaga agar mereka tidak korupsi dan Matius merupakan salah seorang yang hidupnya kaya sebab untuk membuat suatu pesta sedemikian besar pasti dibutuhkan biaya yang besar.

Akan tetapi, Matius tidak peduli dengan semua pandangan orang atas dirinya sebab baginya yang terpenting hanya satu, yaitu kaya. Bukankah hal ini terjadi sampai sekarang? Demi uang, orang rela berkorban dan mengorbankan apapun. Matius berpikir kekayaan akan membuat hidup bahagia; ia telah dikunci oleh paradigma hidupnya. Namun ketika Matius menjalankan seperti yang ia pikirkan ternyata berbeda; apa yang ia pikir ternyata tidak sesuai dengan realita. Orang tidak mau belajar, orang selalu ingin mengalami sendiri. Begitu juga dengan Matius ketika ia memilih menjadi pemungut cukai dan menjadi kaya, apakah hidupnya bahagia? Alkitab mencatat ternyata tidaklah demikian, Matius menjadi orang yang tersendiri, lonely. Pekerjaannya menjadi rutinitas, ia tidak dapat keluar dari pekerjaannya sebab oleh bangsanya sendiripun ia ditolak dan kalaupun ia keluar dari pekerjaannya maka tidak ada tempat lain yang lebih menjanjikan daripada pemungut cukai.

Hari inipun orang masih berpikir kalau ia kaya maka akan mudah mendapatkan segala sesuatu dan itu membuat bahagia. Tidak! Semua itu membuktikan bahwa kita belum pernah kaya sebab kalau orang sudah kaya maka pasti tidak akan pernah keluar kalimat seperti demikian. Apalah artinya kekayaan kalau keluarga kita berantakan, apalah artinya kekayaan kalau uang justru membuat kita tidak dapat hidup damai sejahtera. Inilah kehidupan orang kaya banyak beban yang harus ia tanggung, banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Kalau bukan Tuhan yang memberikan kekuatan maka sulit baginya untuk menanggung beban itu. Ingat, barangsiapa diberikan lima talenta maka Tuhan menuntut lima, barangsiapa mempunyai dua talenta maka Tuhan juga menuntut dua begitu juga jikalau kita diberikan satu talenta maka Tuhan hanya menuntut satu, tidak lebih dan tidak kurang. Kalau kita hanya diberikan satu talenta tapi kita mengerjakan secara berlebihan maka kita akan hancur sebab kita tidak mempunyai kekuatan cukup untuk menanggungnya.

Mengapa Matius mengikut Tuhan?

Di tengah-tengah kesibukannya bekerja, Tuhan Yesus mendatangi Matius dan berkata: “Ikutlah Aku.“ Seandainya kita berada di situasi itu bagaimanakah reaksi kita? Matius tentu bukan pertama kali mendengar tentang Yesus, pastilah Matius mendengar tentang segala perbuatan yang dilakukan oleh Yesus. Matius berasumsi bahwa Yesus sama seperti Rabbi Yahudi yang lain yang mempunyai konsep sama, yaitu menganggap dirinya pengkhianat dan orang berdosa. Akan tetapi di dalam hatinya sebenarnya Matius mempunyai kerinduan untuk lebih dekat dan mengenal Yesus, ia tahu bahwa Yesus pastilah dapat merubah hidupnya namun ia mengubur dalam-dalam impiannya tersebut sampai suatu ketika Tuhan Yesus datang padanya dan berkata: “Ikutlah Aku.“ Momen itu sangatlah krusial sebab mengikut Yesus bukanlah hal yang sederhana, orang tidak bisa masuk dan pergi kapan ia mau. Tidak!

Mengikut berasal dari kata akulotheo (bhs Ibrani) yang berarti mengikut tanpa syarat dan itu bersifat selamanya. Kalau mengikut Yesus berarti Matius harus keluar dari pekerjaannya sebagai pemungut cukai selamanya sebab banyak orang yang ingin menggantikan pekerjaan Matius. Hari itu, banyak orang yang berpikir sama, yaitu kekayaan akan membawa kenikmatan. Ingat, iblis sangat licik menjebak manusia dengan kekayaan yang justru akan membelenggu hidupnya dan akan sulit baginya untuk keluar dari belenggu iblis. Jangan pikir hidup kita akan menjadi nikmat ketika kita berpenghasilan semakin tinggi, tidak, sebab ketika kita jatuh maka tingginya penghasilan justru mencelakakan hidup kita dan menjadi tiang gantung bagi kita. Tuhan tahu sampai dimana batas kecukupan kita maka kalau sudah melampaui batas maka pasti bukan Tuhan yang memberi tapi asalnya dari iblis.

Tuhan tidak akan memberikan kemiskinan supaya jangan sampai kita mencuri dan mempermalukan nama Tuhan atau memberikan kekayaan sehingga kita melupakan Tuhan. Orang kaya sejati adalah orang yang tidak diikat dengan kekayaannya, dengan penghasilan seratus juta rupiah ia dapat hidup tapi dengan uang hanya satu juta rupiah pun ia dapat hidup. Biarlah kita belajar dari pengalaman iman Yusuf berjalan bersama Tuhan menyadarkannya bahwa Tuhan satu-satunya sandaran hidup kita. Inilah bedanya orang yang hidup bersandar pada mamon dan Tuhan. Tentunya menjadi pergumulan berat dalam diri Matius ketika Tuhan memanggilnya akan tetapi Matius telah melangkah dengan iman. Ingat, Tuhan tidak menjanjikan hidup kita akan bahagia dan nikmat ketika kita menjadi murid-Nya tetapi Tuhan janji: Ia akan selalu beserta ketika badai itu datang menimpa kita. Pilihan Matius adalah pilihan sempurna, dibutuhkan kesadaran penuh dan cara pandang Matius kini berbeda, ia melihat ada pengharapan di dalam Kristus.

Kesaksian indah mengikut Tuhan

Alangkah indahnya kalau hidup kita dipimpin Tuhan, memang saat ini mungkin yang ada di depan mata kita hanyalah kegelapan ketika kita mengikut Yesus tapi satu hal yang pasti Tuhan tidak akan membiarkan kita berjalan sendiri, Ia akan menuntun kita keluar dari kegelapan itu. Orang selalu terjebak dengan kekinian, mata kita mudah sekali melihat ke bawah tetapi sulit memandang Sorga. Cobalah renungkan, kalau memang benar, kekayaan dapat membuat hidup kita bahagia maka pasti tidak ada orang kaya yang bertobat. Karena itu dibutuhkan langkah iman yang besar untuk orang dapat bertobat. Hati-hati, dengan akal licik si iblis yang selalu menggoda manusia dengan segala kenikmatan namun berakhir dengan kehancuran. Iblis selalu meminta imbalan atas pemberiannya, ia tidak pernah memberikan gratis; iblis ingin nyawa kita sebagai gantinya. Berbeda dengan Tuhan, Ia memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi kita. Pada saat kita dihadapkan pada suatu titik kritis yang menuntut suatu keputusan maka disana nampaklah siapa sesungguhnya kita, termasuk orang bodoh ataukah orang bijak? Hendaklah kita menjadi bijak dengan tidak mudah tertipu oleh akal licik si iblis. Orang bijak bukanlah orang yang pandai tapi orang yang bijak adalah orang yang taat kehendak Tuhan.

Makna hidup kita tidak ditentukan oleh uang sebab ketika kita gagal menguasai uang maka uang itu berganti yang menguasai hidup kita dan akhirnya kita menjadi budak uang. Banyak orang yang ingin kaya, orang berharap dengan kekayaannya itu, ia dapat mengatur hidup namun fakta terbalik justru uang yang mengatur hidup kita, uang menjadi tuan yang membelenggu hidup. Kisah hidup seorang Elvis Presley dan para selebritis lain dapatlah kita jadikan pelajaran bagi kita. Demi untuk mendapatkan uang dan ketenaran maka Elvis harus membayar mahal, ia harus menukarnya dengan kebebasan dan hidupnya berakhir dengan kehancuran. Namun hari ini, masih banyak orang yang ingin hidup seperti Elvis Presley atau Lady Di yang dipuja dan kaya namun semua ketenaran dan kekayaan itu justru menghantar mereka menuju kehancuran. Hidup mereka berakhir dengan sangat mengenaskan.

Keputusan yang diambil Matius bukanlah keputusan biasa atau sekedarnya. Pesta yang ia adakan menjadi proklamasi dirinya, ia dapat bersaksi keindahan menjadi pengikut Tuhan Yesus. Matius tahu, mengikut Yesus berarti ia akan kehilangan kekayaannya tapi ia tahu ia akan mendapatkan kepenuhan hidup. Ketika Matius kembali pada Kristus, disana ia mendapatkan kemerdekaan dalam Kristus, ia tidak lagi menjadi budak uang. Matius telah mendapatkan yang terindah. Dunia hanya dapat memamerkan kekayaan tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana kehidupan yang sesungguhnya? Kita tidak tahu, apa yang tersembunyi di balik senyum dan penampilan seseorang yang memukau mungkin disana ada air mata yang berderai. Ketika kita mengikut Kristus mungkin hidup kita tidak akan kaya bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenal kita tapi hidup akan bahagia sebab kita mendapatkan makna hidup. Jangan sia-siakan waktumu dengan percuma tetapi jadikanlah hidupmu penuh makna sehingga hidup kita di dunia yang singkat ini tidak menjadi sia-sia dan berakhir dengan kehancuran. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)





Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050417.htm

Resensi Buku-44: TIDAKKAH KAMI MEMPUNYAI HAK? (Mabel Williamson)

...Dapatkan segera...




Buku

HAVE WE NO RIGHTS ?

(TIDAKKAH KAMI MEMPUNYAI HAK ?)

oleh : Mabel Williamson

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2007

Penerjemah : Lana Asali Sidharta

Prakata :

Ø Pdt. DR. STEPHEN TONG

Ø Rev. James Montgomery Boice, Th.D., D.D.

Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio :

Di zaman postmodern, banyak orang suka meneriakkan Hak Asasi Manusia (HAM) ketimbang lebih memperhatikan kewajiban asasi manusia. Beberapa pemimpin gereja pun (dan orang-orang Kristen) juga diajar untuk lebih memperjuangkan haknya. Benarkah kita harus memperjuangkan hak ? Ataukah kita harus membuang hak kita ? Selama pelayananya bertahun-tahun di China, Mabel Williamson belajar bahwa dirinya bukan miliknya sendiri. Dalam arti, ia tidak bisa terus mempertahankan hak-haknya sendiri, tetapi ia harus belajar mengorbankan hak-haknya atas kenyamanan hidup sehari-hari, kesehatan, keselamatan jasmani, privasi dalam pekerjaan, waktu, teman-teman, asmara, keluarga, dan rumah tangga. Itulah yang sedang dituturkan olehnya di dalam buku ini dengan sebuah kisah pengalaman di China baik pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain. Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai rekan kerja Mabel Williamson ketika mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang di dalam Prakatanya menuturkan bahwa Mabel Williamson meneladani semangat Paulus, yaitu “hak terbesar seorang yang melayani Tuhan ialah melepaskan haknya.” di dalam 1 Korintus 9:12,15. Di lain pihak, Rev. Dr. James M. Boice di dalam Prakatanya juga mengatakan, “...identitas... sesuatu yang dibentuk melalui pilihan-pilihan yang sulit, pekerjaan, dan komitmen pada orang lain.” Bahkan bagi Dr. Boice, buku ini adalah satu dari sepuluh buku yang paling berpengaruh bagi hidupnya. Saya pun juga diberkati melalui buku ringan dan singkat ini mengenai bagaimana kita mengorbankan hak-hak kita demi melayani Tuhan. Mungkin hal ini agak sulit, tetapi biarlah kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk melakukan hal ini dalam melayani dan memuliakan nama Allah.

Profil Mabel Williamson :

Mabel Williamson telah melayani di Indonesia sejak tahun 1960 sebagai pengajar Alkitab. Ia pernah mengajar selama sepuluh tahun di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan juga di Singapore Theological Seminary. Ia mengawali pelayanannya dengan China Inland Mission, yang kini dinamakan Overseas Missionary Fellowship (OMF), pada tahun 1934.

Roma 6:1-4: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-2: Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

Seri Eksposisi Surat Roma :

Manusia Lama Vs Manusia Baru-4



Implikasi Perbedaan Esensial-2 :

Kehidupan yang Mati Vs Kematian yang Hidup-1

oleh : Denny Teguh Sutandio

Nats : Roma 6:1-4.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin pertama yaitu di dalam Taurat dan anugerah Allah di ayat 20 s/d 21, maka kita akan mempelajari implikasinya yang kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 4. Mengapa saya memakai kedua istilah ini : kehidupan yang mati vs kematian yang hidup ? Kehidupan yang mati menandakan status dan kondisi kita ketika kita masih berdosa (manusia) lama, di mana kita secara fenomena hidup (dilihat dari aktivitas kita : makan, minum, bernafas, dll), tetapi jiwa dan keseluruhan esensi hidup kita sudah mati di dalam dosa, mengapa ? Karena kita menghidupi dosa (disebut hidup yang mematikan). Sedangkan ketika kita sudah ditebus oleh Kristus, kita menjadi manusia baru yang mematikan dosa dan hidup bagi Kristus. Dengan kata lain, kita mungkin dianggap “mati” oleh dunia berdosa (karena tidak mengikuti arus zaman yang gila ini), tetapi kita sebenarnya hidup karena kita mematikan dosa dan bangkit untuk mempersembahkan hidup kita bagi Kristus (Roma 12:1-2). Oleh karena itu, marilah kita melihat lebih teliti keempat ayat di dalam pasal 6 ini.

Di ayat 20 di pasal 5, Paulus menjelaskan bahwa ketika dosa bertambah banyak, di situ kasih karunia menjadi berlimpah-limpah. Konsep ini mungkin kelihatan tidak masuk akal, tetapi kita sudah merenungkannya di bagian sebelumnya. Konsep ini bisa disalahmengerti. Hal ini diungkit kembali oleh Paulus di pasal 6 ayat 1, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” Ini juga lah yang menjadi pertanyaan orang-orang dunia. Kalau di Alkitab kita membaca bahwa semakin dosa bertambah banyak, maka kasih karunia juga makin berlimpah, bukankah ini mengakibatkan banyak orang “Kristen” semakin tetap berdosa ? Apalagi ada orang “Kristen” sendiri yang memegang doktrin Arminianisme berani menuduh Calvinisme dengan mengatakan bahwa kalau seseorang sudah pasti selamat dan tidak mungkin murtad, bukankah ia boleh sembarangan berdosa, toh nantinya ia pasti selamat ? Pertanyaan Paulus ini merupakan pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban, tetapi sekaligus sebagai pertanyaan perenungan bagi jemaat di Roma maupun kita yang hidup saat ini.

Terhadap pertanyaan ini, Paulus menjawabnya di ayat 2, “Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Di titik pertama, Paulus langsung mengatakan bahwa meskipun kasih karunia semakin berlimpah di saat dosa semakin banyak, tidak berarti itu mengakibatkan kita semakin bertekun di dalam dosa. “Sekali-kali tidak!” dalam terjemahan King James Version (KJV) : “God forbid.” (=Allah melarangnya) Terjemahan ini bukan hanya terjemahan untuk kepentingan akademis, tetapi memiliki arti. Ketika dimunculkan pernyataan bahwa Allah melarang, berarti Allah membenci kita berbuat dosa setelah kita mengerti Kebenaran. Mengapa Allah melarang ? Di ayat 2b dan 3 yang merupakan alasan kita tidak bertekun di dalam dosa ini adalah ayat yang merupakan pertanyaan retoris sekaligus sebagai pertanyaan perenungan dan pengajaran tidak langsung dari Paulus.

Alasannya adalah karena kita telah mati bagi dosa. Mati bagi dosa artinya sama dengan mematikan dosa. Kita tidak lagi bertekun di dalam dosa karena kita sudah mati bagi dosa. Kapan kita sudah mati bagi dosa ? Yaitu ketika kita mengalami anugerah penebusan Kristus. Saat kita dibenarkan dan ditebus oleh Kristus secara cuma-cuma, ada dua hal yang terjadi : pertama, kita harus bertobat. Bertobat berarti berbalik 180 derajat dari posisi kita yang gelap kepada terang Allah. Ini adalah tindakan spontan/langsung. Kedua, secara progresif (terus-menerus/berkelanjutan) kita dikuduskan oleh Roh Kudus. Ini adalah proses kita semakin lama semakin mengenal Allah dan kehendak-Nya. Mengapa kita perlu mematikan dosa ? Karena Kristus yang sudah membenarkan dan menebus kita telah mematikan dosa itu bagi kita, sehingga kita pun wajib mematikan dosa kedagingan di dalam diri kita (meksipun itu hanya sisa-sisa saja). Dengan kata lain, penebusan Kristus terhadap dosa-dosa kita mengakibatkan kita semakin lama semakin mematikan (sisa-sisa) dosa kita sehingga kita nantinya makin menyerupai Kristus, Kakak Sulung kita. Kalau Kristus sudah menebus kita dari dosa, adalah suatu kekonyolan yang aneh jika kita yang telah ditebusnya mau tetap menghidupi dosa. Apa artinya menghidupi atau hidup di dalam dosa di dalam ayat ini ? Hidup di dalam dosa identik dengan menjadi hamba dosa (Yohanes 8:34). Menjadi hamba dosa, kata Tuhan Yesus, berarti orang itu terus-menerus berbuat dosa. Orang yang terus berbuat dosa jelas bukan lahir dari Allah, sedangkan orang yang lahir dari Allah tidak terus-menerus berbuat dosa (meskipun masih bisa berdosa lagi) (1 Yohanes 3:8-9). Apa bedanya ? Bukankah orang yang lahir dari Allah juga bisa berdosa lagi ? Orang-orang yang lahir dari Allah memang bisa berdosa lagi, tetapi yang menjadi fokus dan esensi hidupnya bukanlah dosa, tetapi Kristus. Dengan kata lain, dosa tidak lagi mengikat orang-orang yang lahir dari Allah. Bagaimana dengan kita ? Mungkin kita mengaku diri di depan masyarakat bahwa kita itu Kristen bahkan puluhan tahun, tetapi sayangnya kita masih menghidupi dosa itu, bukankah itu menandakan kita belum menjadi manusia baru yang lahir dari Allah ? Saya mengamati banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’” tetapi paradigmanya masih kacau dan masih dicengkeram oleh dosa dengan mencoba memisahkan antara iman Kristen dengan ilmu/kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada juga orang “Kristen” juga malas disuruh belajar Alkitab, meskipun di depan masyarakat, mengaku bahwa ia “melayani ‘tuhan’” di gereja tertentu. Itu semua adalah tanda kita belum mau menjadi manusia baru meskipun menyebut diri “Kristen. Bukan hanya orang-orang lain, saya pun menyadari kelemahan-kelemahan saya. Oleh karena itu, sudah saatnya marilah kita yang termasuk anak-anak Allah (umat pilihan Allah) keluar dari ikatan dosa dan iblis, lalu bangkit menjadi manusia baru.

Bagaimana kita bisa menjadi manusia baru ? Di titik pertama, kita perlu belajar bahwa menjadi manusia baru memang harus diusahakan tetapi itu bukan 100% hasil jerih payah kita, melainkan itu adalah anugerah Allah. Rasul Paulus menasehatkan, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:12-13) Seringkali untuk menyerang Calvinisme, para penganut Arminianisme (termasuk di dalamnya Katolik Roma dan liberal terselubung) dengan tidak bertanggungjawab mengajarkan bahwa Filipi 2:12 mengajarkan orang Kristen untuk mengerjakan keselamatan, dengan demikian berarti keselamatan kita bisa hilang. Benarkah ayat ini berarti demikian ? Kalau “benar”, maka apa yang Paulus ajarkan sangat berbeda dari ajaran Tuhan Yesus di dalam Yohanes 3:16 yaitu barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan beroleh hidup yang kekal (bukan hidup yang sebagian kekal). Kenyataannya TIDAK. Tafsiran merekalah yang kacau dan seenaknya sendiri. Filipi 2:12 memang mengajar kita untuk mengerjakan keselamatan, tetapi ayat ini disusul ayat 13 yang mengajarkan prinsip penting bahwa ketika kita bisa berbuat baik, itupun karena Allah yang memulai mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Dengan kata lain, Allah yang memulai, Ia pulalah yang mengakhirinya, karena Ia adalah Alfa dan Omega. Arminianisme (termasuk di dalamnya Open Theism, mayoritas Katolik Roma) yang memuja kehendak bebas manusia dan menghina kedaulatan Allah di titik pertama dapat ditumbangkan argumentasinya karena mereka tak mempercayai ketidakberubahan Allah.

Lalu, setelah kita mengerti bahwa Allah sebagai sumber di mana kita nantinya bisa melakukan/mengerjakan keselamatan, maka apa yang harus kita lakukan selanjutnya ? Di ayat 3, Paulus mengambil teladan dari Kristus bagi kita, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” Kata “kita semua” tidak sesuai dengan terjemahan asli maupun terjemahan King James Version yang memakai, “many of us”. Kata ini berarti tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” dibaptis di dalam Kristus, tetapi hanya umat pilihan Allah sejati di dalam Kristus yang dibaptis di dalam Kristus (tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” pasti termasuk umat pilihan Allah, karena banyak orang “Kristen” gadungan yang beriman di dalam diri ketimbang di dalam Kristus yang secara otomatis tidak termasuk umat pilihan-Nya). Cara kita menjadi manusia baru adalah pertama, dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya. Geneva Bible Translation Notes memberikan tafsiran atas ayat ini, “There are three parts of this sanctification: that is, the death of the old man or sin, his burial, and the resurrection of the new man, descending into us from the virtue of the death, burial, and resurrection of Christ, of which benefit our baptism is a sign and pledge.” (=Ada tiga bagian dalam pengudusan ini : yaitu, kematian manusia atau dosa lama kita, penguburannya, dan kebangkitan manusia baru) turun/diwarisi ke dalam kita dari kebaikan kematian, penguburan, dan kebangkitan Kristus, yang olehnya menguntungkan baptisan kita sebagai tanda dan jaminan/janji.) Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “The act of baptism denotes dedication to the service of him in whose name we are baptized.” (=Tindakan baptisan menandakan dedikasi untuk melayani Dia di dalam nama kita dibaptiskan.) Barnes merujuk kepada 1 Korintus 10:2 sebagai peringatan bahwa bangsa Israel juga dibaptiskan bagi Musa untuk melayani Musa atau mengakui Musa sebagai pemimpin mereka. Kita dapat belajar dari Barnes, bahwa baptisan bukan sekedar lambang lalu kita boleh mengabaikannya, atau di ekstrim lain, baptisan itu terpenting, sehingga sebelum dibaptis, begitu khusyuk, tetapi setelah dibaptis, banyak dari kita berlaku liar (karena sudah dibaptis). Kedua ekstrim ini harus dihindari. Alkitab mengajarkan bahwa baptisan itu janji sekaligus tanda kita terikat di dalam anggota keluarga Allah, di mana kita harus melayani-Nya. Melayani berarti harus mendedikasikan seluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya (bandingkan Roma 12:1-2). Dengan dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita juga berani untuk TIDAK melayani iblis dan dosa, tetapi melayani Allah sebagai hamba-Nya, hamba Kebenaran sejati.

Setelah dibaptis di dalam Kristus dan kematian-Nya, cara kedua adalah hidup baru di dalam Kristus (dibaptis di dalam kebangkitan-Nya). Hal ini disebutkan Paulus di dalam ayat 4, “Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Di dalam iman Kristen yang Alkitabiah, kita beriman bahwa setelah Kristus mati, Ia bangkit. Demikian juga, setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya, kita pun harus dibaptiskan di dalam kebangkitan-Nya. Artinya, ada hidup baru. Hidup baru bukan hanya mendedikasikan sseluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya, tetapi kita mau men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita. Men-Tuhan-kan Kristus berarti menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Pemilik hidup kita. Bagaimana dengan kita ? Seringkali kita berani mengaku diri “Kristen”, tetapi aneh sekali ketika nama Tuhan dan konsep iman Kristen disebutkan di luar gereja, kita sangat alergi dengan alasan yang dibuat-buat, “Tidak ada hubungannya.” Itukah cara kita men-Tuhan-kan Kristus ? Atau jangan-jangan kita sedang men-“tuhan”-kan iblis dan dosa, lalu kita mengklaim iblis sebagai “tuhan”. Itulah kegagalan postmodern yang mengilahkan dan memutlakkan relativisme. Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak Allah keluar dari bujuk rayu iblis melalui ide postmodern dan kembali kepada Alkitab untuk men-Tuhan-kan Kristus dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya fokus hidup kita. Itulah tandanya manusia baru yang dibaptis di dalam kebangkitan-Nya.

Mari dengan rendah hati, kita belajar taat mutlak kepada Allah dan Firman-Nya untuk terus-menerus berkomitmen untuk hidup bagi-Nya dan men-Tuhan-kan-Nya bukan diri kita atau iblis atau hal-hal sejenis yang najis di hadapan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.