13 June 2010

BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP (Denny Teguh Sutandio)

BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
(2Kor. 6:14)




Dunia anak muda adalah dunia yang penuh warna, mulai dari bergaul, kuliah, bekerja, hang-out, bahkan sampai memilih pasangan hidup. Khusus mengenai pasangan hidup, banyak anak muda zaman sekarang (tidak terkecuali banyak yang “Kristen”) seenaknya sendiri memilih pasangannya dengan alasan “cocok” (meskipun hal ini tidak salah 100%), dll. Mencari dan menemukan pasangan hidup TIDAKlah mudah, yang harus dilakukan oleh generasi muda Kristen adalah bergumul mencari pasangan hidup. Mengapa untuk mencari pasangan hidup harus bergumul? Apa definisi bergumul? Siapakah pasangan hidup yang Tuhan inginkan bagi anak-anak-Nya? Bagaimana mencarinya? Sebelum membahas bergumul mencari pasangan hidup, kita akan mencoba mengerti dua kata: bergumul dan pasangan hidup, setelah itu kita akan menggabungkan keduanya.


BERGUMUL
BERGUMUL adalah sebuah kata agung yang diajarkan Alkitab dan Kekristenan, namun sayangnya, hari-hari ini kata yang begitu agung ini dipakai secara tidak bertanggungjawab oleh beberapa orang Kristen untuk dipakai pada sesuatu yang “sampah”. Ambil contoh, seorang anak aktivis sebuah gereja di Surabaya menggunakan istilah bergumul untuk mencari pasangan hidup yang tidak seiman dan bahkan telah membina hubungan dengan lawan jenis yang tidak seiman, namun dikabarkan dia sedang mengalami masalah dan kembali orang ini menggunakan kata “bergumul”. Apa sebenarnya arti bergumul? Bergumul sebenarnya adalah sebuah kata yang dipakai hanya oleh umat pilihan-Nya di dalam berjuang menggenapkan kehendak Allah. Dengan kata lain, di dalam bergumul, ada tarik-menarik yang kuat antara kehendak Allah dan kehendak pribadi yang berdosa, namun hasrat umat-Nya ini jelas yaitu ingin taat pada kehendak Allah. Rasul Paulus mengungkapkan hal ini sebanyak 2 kali di dalam Roma 7: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” (ay. 15) dan “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” (ay. 19-20) Perhatikan apa yang Paulus katakan di dalam 2 ayat ini. Paulus sadar bahwa yang dia kehendaki itu adalah sesuatu yang jahat yang dia benci. Berarti, di dalam diri Paulus, dia berhasrat menyenangkan Allah, namun dosa tetap merongrong hidup dan pelayanannya. Hal ini diungkapkannya pada 5 ayat terakhir di Roma 7, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” (ay. 22-26)

Namun, kata “bergumul” yang kerap kali didengungkan oleh beberapa orang “Kristen” berarti TIDAK ada hasrat untuk menyenangkan Allah dan taat akan firman-Nya. Kembali ke contoh, anak aktivis gereja ini jelas mengetahui bahwa lawan jenis yang dipilihnya (dan yang sekarang telah menjadi pacarnya) adalah orang yang berbeda iman, namun mengapa ia masih memilih lawan jenis yang tidak seiman untuk menjadi pasangan hidupnya? Ia tahu yang dilakukannya itu salah (karena gembala sidangnya telah mengingatkannya secara implisit pada waktu khotbah mimbar), namun yang ia tahu tidak pernah diaplikasikannya (tahu secara kognitif). Dengan kata lain, kata “bergumul” yang ia pakai untuk memilih lawan jenis yang tidak seiman JELAS bukan bergumul yang Allah inginkan. Sebenarnya ia bukan lagi bergumul, karena jelas-jelas ia tidak taat akan firman, sehingga istilah yang tepat untuk menggantikan kata “bergumul” yaitu bernafsu. Saya memperingatkan kepada Anda, khususnya banyak generasi muda Kristen hari-hari ini BERHENTILAH memakai kata-kata yang agung dari Alkitab untuk hal-hal “sampah” yang justru mendukakan hati-Nya.


PASANGAN HIDUP
Apakah dan siapakah pasangan hidup itu? Saya mendefinisikan pasangan hidup (soulmate) adalah seorang lawan jenis yang Tuhan ciptakan dan pimpin untuk melengkapi hidup kita sampai maut memisahkan kita dan orang tersebut. So, dari definisi ini, kita akan belajar 4 prinsip tentang pasangan hidup:
Pertama, pasangan hidup adalah lawan jenis kita. Zaman sekarang adalah zaman postmodern di mana banyak manusia postmodern dengan ide postmodernisme ingin berpikir dan bertindak semau gue yang memenuhi hawa nafsu mereka. Tidak heran, di zaman ini, bukanlah hal baru jika seorang cowok suka dengan cowok (homoseksual) dan cewek suka dengan cewek (lesbian), kemudian mereka menikah bersama. Homoseksual dan lesbian sebenarnya bukan hal baru di zaman postmodern, di zaman Alkitab, Paulus telah mengungkapkan hal ini (Rm. 1:27). Alkitab mengajar kita bahwa pasangan hidup kita haruslah lawan jenis, artinya: cowok dengan cewek, tidak ada alternatif lain! Tuhan mengutuk pernikahan sesama jenis atau pernikahan cowok dengan banci/waria (lady-boy/she-male/transsexual)!

Kedua, pasangan hidup kita diciptakan dan dipimpin Tuhan. Pasangan hidup sejati bagi umat pilihan-Nya diciptakan dan dipimpin langsung dari Tuhan. Berarti, bagi umat pilihan-Nya, pasangan hidup berasal dari Tuhan. Apa artinya? Pertama, pasangan hidup itu diciptakan Tuhan sebagai pribadi yang unik, sehingga satu orang TIDAK mungkin sama dengan orang lain. Inilah yang Tuhan inginkan di dalam pernikahan, laki-laki dan perempuan bersatu dengan keunikan masing-masing. Yang lebih unik, setelah Tuhan mencipta Hawa dan Adam menyadari siapa Hawa, maka Tuhan berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:24) Kedua, setelah pasangan hidup kita diciptakan Tuhan, Ia jugalah yang akan memimpin kita mencari pasangan hidup yang telah Tuhan ciptakan itu. Dari poin ini, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya pasangan hidup kita ada di dalam tangan-Nya yang berdaulat dan kita sebagai anak-Nya dipimpin-Nya mencari dan menemukan pasangan hidup tersebut. Di sini, saya menggabungkan dua prinsip tentang siapa pasangan hidup kita: ditetapkan Tuhan dan dipimpin Tuhan. Tuhan tentu mengetahui siapa pasangan hidup kita yang cocok dengan kita, karena Ia yang menciptakan kita dan pasangan hidup kita, maka tentu Ia yang mengetahui detailnya. Namun hal ini TIDAK berarti karena Ia telah mengetahui siapa pasangan hidup kita, kemudian kita tidak bergumul mencari pasangan hidup kita atau kita hanya menunggu Tuhan langsung memberikan pasangan hidup kita tepat di depan mata kita. Tuhan yang mengetahui siapa pasangan hidup kita adalah Tuhan yang memimpin umat-Nya untuk mencari pasangan hidup tersebut. Ketiga, pasangan hidup kita harus sesuai dengan apa yang Tuhan mau: SEIMAN! Setelah dicipta dan dipimpin Tuhan, maka poin terakhir yang harus kita pelajari yaitu pasangan hidup kita haruslah sesuai dengan apa yang Tuhan mau di dalam Alkitab yaitu SEIMAN. Artinya, karena Ia yang mencipta, mengetahui, dan memimpin kita mencari pasangan hidup kita, maka Tuhan menginginkan kita taat mutlak untuk mencari pasangan hidup yang Ia mau yang hidupnya berpusat pada Kristus. Adalah suatu kekonyolan bahwa jika kita mengetahui dari khotbah mimbar seorang hamba Tuhan bahwa pasangan hidup kita dicipta dan dipimpin Tuhan, namun yang kita ketahui itu hanya sekadar mengisi otak (kognitif), namun di dalam aplikasinya, kita masih memakai hawa nafsu kita untuk mencari pasangan hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yaitu tidak seiman (dengan alasan “cocok”)! Kembali, apa arti seiman di dalam mencari pasangan hidup? SEIMAN apakah berarti seagama atau bahkan segereja? TIDAK! Seiman berarti sama-sama beriman pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Seagama dan bahkan segereja TIDAK menjamin SEIMAN, karena ada banyak orang “Kristen” yang pergi ke gereja hanya sebagai rutinitas, namun imannya masih pada diri sendiri. Kalau kita kembali ke contoh anak aktivis ini, anak aktivis ini adalah seorang yang aktif pergi ke gereja setiap hari Minggu dan katanya “terbeban” melayani Tuhan, namun sayangnya prinsipnya dalam mencari pasangan hidup jelas-jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Inikah namanya beriman pada Kristus? Atau sebenarnya beriman pada diri (baca: nafsu diri), namun kedoknya ini ditutupi dengan berpura-pura “melayani Tuhan”? Saya terus terang “takut” dengan model banyak orang “Kristen” zaman ini yang gembar-gembor “melayani Tuhan”, namun iman, konsep, dan prinsip hidupnya bertentangan dengan Alkitab! Hal ini tidak berarti ketika iman, konsep, dan prinsip hidup kita sesuai dengan Alkitab kemudian kita tidak mau melayani Tuhan. Itu juga salah. Yang benar adalah ketika iman, konsep, dan prinsip hidup kita sesuai dengan Alkitab, maka kita makin berapi-api melayani Tuhan secara bertanggungjawab!

Ketiga, saling melengkapi. Pasangan hidup kita selain lawan jenis dan berasal dari Tuhan, maka ia harus seorang yang bisa melengkapi kita dan kita melengkapi lawan jenis/pasangan hidup kita. Melengkapi di sini berarti: saling menegur, mengerti, dan juga memberi. Di sini harus ada hubungan timbal balik. Agar hubungan timbal balik ini bisa terjadi, maka syarat penting seorang pasangan hidup kita kelak adalah seorang yang rendah hati dan dapat diajar (teachable). Orang yang rendah hati dan dapat diajar ditandai dengan kerelaan orang ini untuk ditegur jika ia bersalah atau bahkan berdosa. Rendah hati yang ditandai dengan rela ditegur, bagi saya, merupakan salah satu ciri kedewasaan Kristen yang Alkitabiah. Jika kita aplikasikan di dalam hubungan lawan jenis. Maka, jika si cowok mendapati si cewek berbuat salah, maka si cowok dengan kasih namun tegas menegur si cewek, demikian juga sebaliknya jika si cewek mendapati si cowok ngawur, si cewek harus dengan kasih dan tegas menegur si cowok. Jika masing-masing individu baik cowok maupun cewek rela ditegur, maka mungkin sekali Tuhan menetapkan mereka untuk bersatu kelak di dalam pernikahan kudus. Terus terang, makin lama saya makin memperhatikan banyak orang postmodern (tidak terkecuali orang “Kristen”) adalah orang-orang yang keras kepala, sok tahu, dan tidak mau diajar. Ada orang “Kristen” bahkan hamba Tuhan kalau berkhotbah/mengajar salah atau bertindak salah, orang ini TIDAK mau ditegur dengan alasan “rohani” yaitu kita harus altruistik (memberi bagi orang lain). Orang-orang model ini hanya mau melengkapi pasangan hidupnya, namun pasangan hidupnya TIDAK mau melengkapi dirinya, karena falsafah hidupnya adalah dia hanya mau berbagi/memberi dengan/bagi orang lain (altruistik). Orang yang terus menekankan altruistik (saya setuju bahwa orang Kristen harus altruis, namun TIDAK berarti kita semata-mata hanya altruis) biasanya adalah seorang yang egois, karena orang itu hanya mau memberi, tanpa mau “menerima” (ditegur).

Keempat, pasangan hidup kita harus dijaga sampai maut memisahkan kita. Terakhir, pasangan hidup yang Tuhan mau bagi kita haruslah kita jaga dengan setia sampai pernikahan bahkan sampai maut memisahkan kita. Di sini, kesetiaan sangat dibutuhkan di dalam mempertahankan pasangan hidup. Ada orang bilang bahwa mencari lebih mudah daripada mempertahankan. Mungkin hal ini benar, karena biasanya setelah kita mencari sesuatu atau seorang pasangan hidup dengan sulit, lalu kita biasanya kurang bisa mempertahankannya, sehingga sesuatu atau pasangan hidup kita “digondol” oleh orang lain. Kembali, bagaimana kita bisa setia? Kita bisa setia terhadap pasangan hidup kita dengan berserah total kepada Allah yang telah mencipta dan menentukan pasangan hidup kita ini. Allah adalah Allah yang setia dan sangat mengerti setiap detail hidup kita bahkan pasangan hidup kita, maka kita harus menyerahkan kesetiaan kita (yang telah dipolusi oleh dosa) kepada Allah yang selalu setia.


BERGUMUL MENCARI PASANGAN HIDUP
Setelah memahami kata bergumul dan pasangan hidup, maka sekarang kita akan masuk ke dalam pembahasan bagaimana bergumul mencari pasangan hidup. Saya menulis poin ini BUKAN karena saya telah berhasil mencarinya, namun ini juga pergumulan pribadi saya yang sedang saya jalani. Ada beberapa langkah gimana kita bergumul mencari pasangan hidup:
Pertama, belajar dari Alkitab tentang prinsip mencari pasangan hidup. Orang Kristen adalah mereka yang mengikut Kristus atau istilahnya, “Kristus-kristus kecil”. Di dalam mengikut Kristus, orang Kristen tentunya harus menaati apa yang Ia firmankan dan ajarkan, tentunya semua firman dan pengajaran-Nya ada di dalam Alkitab. Orang Kristen baru layak/pantas disebut orang Kristen jika imannya berpusat kepada Kristus ditambah taat mutlak kepada Alkitab, khususnya berkenaan dengan mencari pasangan hidup. Apa yang Alkitab ajarkan tentang mencari pasangan hidup? Di dalam 2 Korintus 6:14, Tuhan melalui Rasul Paulus mengajar kita, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Memang secara konteks, kata “pasangan” di dalam ayat ini jelas menunjuk kepada pasangan/rekan dalam pelayanan (baca seluruh pasal 6 dari ayat 1-13). Kata “pasangan” di sini di dalam teks Yunaninya heterozugeo yang bisa diterjemahkan bersatu dengan yang tidak sama atau berbeda. Kalimat, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang” di dalam struktur bahasa Yunaninya menggunakan bentuk aktif. Dengan kata lain, Paulus hendak mengajar kita agar kita jangan berusaha bersatu dengan orang-orang yang tidak seimbang. Namun jika diaplikasikan, kata “pasangan” ini juga bisa menunjuk kepada pasangan hidup. Jelas-jelas, ayat ini mengajar kita bahwa hendaklah kita mencari pasangan (hidup) yang seiman, karena jika tidak seiman/seimbang, maka itu seperti kebenaran (Yunani: dikaiosunē; Inggris: righteousness) dan kedurhakaan (Yunani: anomia bisa diterjemahkan sebagai kondisi tanpa hukum atau penyimpangan hukum) bersatu atau terang dan gelap yang bersatu. Mungkinkah kebenaran-keadilan dan kedurhakaan bersatu? Mungkinkah terang dan gelap bersatu? Pertanyaan ini termasuk pertanyaan retoris yang tentu dijawab: TIDAK. Dengan kata lain, pasangan hidup kita harus sama-sama berada di dalam terang Allah dan juga melakukan kebenaran-keadilan (righteousness). Itulah sebenarnya makna seiman.

Kedua, taat mutlak kepada Alkitab. Setelah belajar dari Alkitab bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang seiman (dan tentunya lawan jenis), maka kita harus mengambil langkah aktif yaitu taat mutlak kepada Alkitab! Sayang sekali, banyak anak muda “Kristen” yang tahu bahwa Alkitab memerintahkan orang Kristen untuk mencari pasangan hidup yang seiman, namun pengetahuan itu hanya sekadar pengetahuan kognitif yang tidak pernah mau diaplikasikan. Tidak heran, saya mengamati seorang pemudi Kristen dari gereja Protestan arus utama di Surabaya berpacaran dengan seorang Buddha. Seorang pemuda Kristen mendekati seorang cewek yang beragama Taoisme, meskipun si pemuda ini membawa cewek yang didekatinya ini ke gereja (sisi positifnya). Kembali, bagaimana caranya kita taat mutlak kepada Alkitab?
1. Tanyakan Iman Lawan Jenis Kita
Ketika kita berkenalan dengan lawan jenis atau kita dikenalkan teman kita kepada lawan jenis, pertama-tama tanyalah imannya. Jika lawan jenis kita BUKAN seorang Kristen, saran saya, segera tinggalkan dia, meskipun dia secantik bidadari kayangan, hehehe… Karena jika di titik pertama, kita sudah mengompromikan prinsip mutlak ini, saya berani menjamin, hubungan Anda sampai ke tingkat pacaran dan pernikahan akan kacau balau, karena tidak dibangun di atas dasar pijak yang sama, yaitu Alkitab. Lebih lagi, menurut Pdt. Sutjipto Subeno, pacaran kita pun nanti tidak akan menjadi pacaran yang indah, karena berada di dalam dasar pijak yang berbeda. Namun ada pemuda “Kristen” yang tidak mempermasalahkan pacar beda agama lalu berkelit, “Nanti kan bisa diinjili?” Sepintas, pernyataan ini “benar”, namun saya menangkap motivasi yang tidak beres. Orang yang mengatakan, “nanti kan bisa diinjili”, motivasinya: Pertama, ia mau mengompromikan imannya demi menjalin hubungan dengan lawan jenis yang berbeda iman. Dia pikir, orang yang berbeda iman bisa dengan mudahnya diinjili dan bisa bertobat sungguh-sungguh. Kenyataan berkata lain. Orang yang berbeda iman setelah menikah mungkin “bertobat”, namun sayang “pertobatan”nya biasanya tidak sungguh-sungguh alias hidupnya masih berpusat pada diri. Atau kemungkinan kedua, Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan bercerita bahwa mungkin sekali si cewek/lawan jenis ini akan mengiyakan bahwa dia akan menjadi Kristen nanti setelah menikah, namun si cewek ini kemudian memutuskan bahwa dia akan ikut si cowok ke gereja pada hari Minggu dan kemudian menuntut si cowok untuk ikut dia ke klenteng/vihara pada minggu depannya. Kalau kejadiannya sudah seperti gini, apa yang si cowok lakukan hayo???
Kedua, orang yang bilang seperti ini biasanya orang yang TIDAK menjalankan apa yang dikatakannya, dengan kata lain dia hanya mengatakan hal ini secara lip service (bahasa Jawa: mbasahi lambe). Coba cek, apakah orang yang berkata bahwa dia akan menginjili lawan jenisnya adalah orang yang benar-benar menginjili, atau dia akan beralasan bahwa dia tidak tahu bagaimana cara menginjili atau bahkan dia malas menginjili.
Selain, bertanya tentang apakah dia seorang Kristen atau tidak, bertanyalah, lawan jenis kita dari gereja mana? Apakah dia dari gereja yang mengajar bahwa ikut Kristus pasti kaya, sukses, berkelimpahan, sehat, dan bahkan tidak pernah digigit nyamuk? Jika dia dari gereja model demikian, saya menyarankan untuk meninggalkan lawan jenis kita ini, karena jika di gereja dia diajarkan (lebih tepatnya: diindoktrinasi) ajaran ngaco seperti ini, dijamin, dia tidak akan bisa diajar untuk menderita. Oh, kalau begitu, apakah berarti orang yang dari gereja Injili/Reformed yang beres menandakan orang itu akan mampu menderita? Belum tentu. Itu semua kembali kepada masing-masing individu. Kita harus menyelami jenis iman seperti apa yang dimiliki lawan jenis kita?

2. Berusaha Menggali Tingkat Kerohanian Lawan Jenis Kita
Setelah seiman, Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam salah satu khotbah mimbar pernah mengajar bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang rohani. Artinya, sampai di mana lawan jenis kita mementingkan hal-hal rohani lebih daripada segalanya. Misalnya, ketika memutuskan segala sesuatu, apakah yang diputuskannya itu dipergumulkannya di hadapan Tuhan atau dia langsung memutuskan sendiri seolah-olah tidak ada Tuhan? Bagaimana dengan kesehariannya, apakah lawan jenis kita seorang yang menikmati hadirat Tuhan setiap hari melalui doa dan saat teduh? Ataukah dia seorang yang hanya aktif pergi ke gereja dan membuka Alkitab di gereja saja, sedangkan Senin s/d Sabtu, dia membuka buku pengembangan diri yang melawan Alkitab?

3. Berkomunikasilah Sebanyak Mungkin Untuk Mengetahui Prinsip dan Gaya Hidup Lawan Jenis Kita
Terakhir, setelah seiman dan rohani, kita perlu mengetahui prinsip dan gaya hidup lawan jenis kita. Prinsip dan gaya hidup berkaitan dengan aplikasi praktis iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Apakah orang yang telah ditebus Kristus masih memiliki gaya hidup hedonis yang bersenang-senang demi kepuasaan sesaat? Apakah lawan jenis kita termasuk orang yang doyan belanja seminggu sekali di mall? Apakah dia seorang yang matre yang mengukur segala sesuatu dari uang, kekayaan, dll? Bagaimana dengan prinsip hidupnya? Apakah berpusat pada Tuhan atau berpusat pada orangtua atau mungkin pada diri? Semua itu bisa kita lakukan melalui banyak berkomunikasi dengan lawan jenis kita.

Ketiga, menetapkan standar tertentu yang dinamis/tidak kaku. Setelah seiman dan rohani, kita perlu menetapkan standar tertentu bagi lawan jenis kita, namun standar ini tidak boleh terlalu kaku. Artinya, standar kita harus dibedakan antara primer/mutlak dengan sekunder apalagi tersier. Standar mutlak haruslah tetap mutlak dan jangan direlatifkan (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong), sedangkan standar relatif haruslah tetap relatif, jangan dimutlakkan. Standar mutlak sudah saya paparkan di atas yaitu seiman dan rohani. Apa saja yang termasuk standar relatif? Saya akan mengurutkan dari hal yang paling penting sampai kepada hal yang paling tidak penting.
1. Karakter dan Sikap
Setelah iman dan prinsip hidup, hal penting yang harus dilihat dari lawan jenis kita adalah karakter. Apa definisi karakter? Baik Rev. Bill Hybels, D.D. maupun Rev. Joshua Eugene Harris (yang mengutip Rev. Dr. Randy Alcorn) sama-sama mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang ada di dalam diri kita tatkala tidak ada seorang pun yang melihat kita. Berarti, karakter berbicara tentang sifat kita yang termurni (tanpa topeng). Bagi Rev. Joshua E. Harris di dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye, karakter seseorang dinilai dari hubungan dia dengan Tuhan, memperlakukan orang lain, dan mendisiplin diri sendiri. Hubungan seseorang dengan Tuhan baik mengakibatkan dia dengan orang lain dan diri sendiri juga baik, karena orang tersebut mendasarkan dan memusatkan hidupnya bagi Tuhan, sehingga ia mampu menempatkan orang lain dan diri sendiri dengan tepat dan benar serta berada di bawah Allah.
Selain karakter, sikap juga perlu diperhatikan. Cowok dan cewek adalah dua pribadi manusia yang Tuhan ciptakan unik dan berbeda. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berujar bahwa cowok minta dihargai, sedangkan cewek minta diperhatikan dan disayangi. Sudah biasa jika cowok yang mencintai cewek, maka cowok itu akan memperhatikan dan menyayangi cewek, namun bagaimana dengan cewek? Saya menjumpai banyak cewek mau menangnya sendiri, minta diperhatikan, dimanja, dll, tetapi begitu si cowok tidak memenuhi keinginannya, si cowok ditendang dan dihina, padahal penghinaan itu sangat tidak disukai oleh si cowok! Kalau ada cewek yang tidak menghargai si cowok, di dalam masa PDKT (pendekatan), hendaklah si cowok harus memikirkan dua kali (atau kalau mungkin, langsung menjauhi/membatalkan rencana PDKT itu) untuk menjadikan si cewek itu pacar bahkan istrinya, karena saya menilai cewek yang tidak menghargai cowok (meskipun si cowok sudah banyak berkorban) adalah cewek yang hanya mau memanfaatkan si cowok. Sudah bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, jika banyak cewek postmodern ahli dalam memanfaatkan cowok demi kepentingannya sendiri. Cowok dijadikan sopir, ATM berjalan, bodyguard dadakan, dll, tetapi kalau si cowok sudah tidak kaya lagi, maka si cowok ditendang dan dibuang seperti sampah.

2. Pengaruh Pendidikan Keluarga
Selain karakter, kita tetap harus mempertimbangkan pengaruh pendidikan keluarga pada diri seorang lawan jenis. Mengapa? Karena mau tidak mau, sedikitnya lawan jenis kita pasti telah diindoktrinasi oleh pendidikan keluarga yang mungkin saja berbeda dari kita. Ada anak yang dari kecil sudah diindoktrinasi bahwa pilihan dan perkataan orangtua adalah yang paling benar (ketidakbersalahan orangtua/infallibility and inerrancy of the parent), sehingga setiap keputusan bahkan keputusan terkecil (misalnya ganti nomer HP) harus disetujui orangtua. Ini bukan teori, saya sudah menemukan faktanya. Untuk memilih pasangan hidup pun, ada anak yang sangat takut, sehingga jika orangtua “menyarankan” anaknya untuk tidak berhubungan dengan lawan jenis tertentu dengan alasan fenomenal yang konyol, yaitu kulitnya agak hitam, maka si anak akan manut tanpa kompromi, padahal semestinya si anak bisa berdiskusi logis. Yang paling parah, jika lawan jenis seperti ini yang kita dekati dan nanti kita pacaran dan menikah dengannya, bersiap-siaplah, Anda sebagai cowok tidak akan dihargai sebagai pacar atau suami kelak, karena segala sesuatu tergantung pada keputusan orangtuanya. Kalau Anda rela diperlakukan seperti itu (tidak dihargai), ya, silahkan saja, tetapi sebagai cowok normal sich, saya ogah deh, maleseeeee. Namun ada juga anak yang diindoktrinasi seperti demikian, namun setelah bertumbuh dewasa, dia akan menghargai cowoknya sebagai pacar dan kelak suaminya. Nah, kalau kasusnya seperti itu, ya, kita bisa mempertimbangkan apakah kita mau menjadikannya pacar dan kelak istri kita. Semua tergantung pada pribadi masing-masing, apakah lawan jenis kita termasuk lawan jenis yang childish yang semua hal tergantung pada keputusan orangtua (bahkan pergi jalan-jalan dengan siapa pun harus disetujui orangtua) ataukah lawan jenis kita cukup dewasa.

3. Suku Bangsa/Ras
Selain karakter, suku bangsa atau ras tetap perlu diperhatikan. Meskipun hal ini bukan hal mutlak, tetapi hal ini tetap perlu dipertimbangkan. Jika seorang keturunan Tionghoa berpacaran atau menikah dengan seorang keturunan Jawa atau Batak, bagaimana dua orang yang berasal dari ras yang berbeda bisa bersatu? Setiap tradisi kebudayaan memiliki keunikan masing-masing. Orang dari budaya Tionghoa terkenal rajin dan hemat (meskipun juga tidak sedikit yang pelit, hehehe), sedangkan orang dari budaya Jawa terkenal dengan ramah tamahnya (dan tentunya: kemalasan dan keborosannya, hehehe) dan orang dari budaya Batak terkenal dengan gaya bicaranya yang keras. Jika orang dari budaya Tionghoa yang rajin dan hemat menikah dengan orang dari budaya Jawa yang malesnya amit-amit (filosofi hidupnya: alon-alon asal kelakon/pelan-pelan asal terlaksana) dan boros pula, apa jadinya keluarga yang dibinanya? Mungkin saja, ada orang dari budaya Jawa yang rajin dan hemat, sehingga bisa bersatu dengan orang dari budaya Tionghoa, namun persentasenya sangat sedikit. Semua itu perlu dipertimbangkan. Jika memang Anda berpikir dan telah mempertimbangkan bahwa Anda bisa bersatu dengan orang Kristen namun berbeda budaya, ya, silahkan saja, itu kebebasan Anda yang harus dipertanggungjawabkan. Ini bukan hal yang mutlak, namun hanya saran saja.

4. Hal-hal Fenomenal (Wajah, Tinggi Badan, Berat Badan, dll)
Terakhir, hal-hal fenomenal lah yang harusnya menjadi hal terakhir bagi kriteria relatif dalam menentukan siapa lawan jenis kita yang pantas menjadi pasangan hidup kita. Hal-hal fenomenal menyangkut: wajah, tinggi badan, berat badan, dll. Memang seperti yang dikatakan Pdt. Dr. Stephen Tong, alangkah idealnya jika kita memilih lawan jenis/cewek yang rohani, baik, dan cantik pula. Namun beliau mengingatkan, karena dosa, hal ideal itu jarang terjadi. Beliau mengingatkan juga, jangan mencari cewek hanya cantik doang, itu bahaya, karena banyak cewek cantik, biasanya otaknya gak ada isinya, soalnya kebanyakan bersolek di depan kaca. Saya mengaminkan apa yang beliau katakan. Namun saya juga mengamati, banyak cewek yang rohani dan baik, wajah selalu amburadul, hehehe. Ya, menurut saran Pdt. Stephen Tong, carilah cewek yang secara kelihatan luar gak usah terlalu cantik seperti bidadari atau gak usah juga terlalu parah puol, yang sedang-sedang saja lah. Juga kalau kita sebagai cowok yang sedang-sedang saja (tidak gentong dan lumayan tinggi) jangan mencari cewek yang badannya gentong kayak kingkong, masalahnya kalau kita mencari kingkong untuk jadi istri kita kelak, pasti tidak sedap dipandang mata, hehehe…Standar saya pribadi selain rohani dan baik, saya juga tetap memperhatikan hal-hal fenomenal, misalnya: wajah lumayan (tidak mengecewakan), tinggi badan proporsional, dan tentunya bukan kingkong. Jangan menjadi orang Kristen yang terlalu idealis yang mengatakan, “Yang penting esensi, hal-hal fenomenal gak penting.” Itu munafik namanya! Jadilah orang Kristen realistis yang berkata bahwa memang hal-hal esensial terpenting, namun bukan berarti hal-hal fenomenal tidak perlu, karena kita masih hidup di dunia yang ada fenomenanya. Kalau kita disuruh memilih antara: cewek cantik tapi atheis vs cewek yang tidak seberapa cantik tapi cinta Tuhan, mana yang harus kita pilih? Bagi saya, saya lebih memilih cewek kedua, karena menurut ko Cun-cun (Ev. Bedjo Lie, M.Div.): cantik itu relatif, tapi jelek itu mutlak, wkwkwk… Gak nyambung, mode: ON, hehehe

Keempat, bertanyalah tentang lawan jenis kita kepada teman-teman dekat atau/dan saudara lawan jenis kita. Karena banyak manusia sangat ahli bermuka dua/bertopeng, adalah bijaksana jika kita bertanya tentang lawan jenis kita ini kepada teman-teman dekat atau/dan saudaranya, supaya kita bisa mendapat gambaran agak jelas tentang siapa lawan jenis kita, sehingga kita tidak ditipu oleh “indah”nya penampilan luar sang lawan jenis. Saya pribadi yang memberikan prinsip ini juga telah, sedang, dan akan terus menjalankan prinsip ini, supaya kita makin mengenal sisi positif dan negatif lawan jenis kita. Meskipun kita tetap harus berbijaksana untuk TIDAK terlalu percaya dengan perkataan teman dekat atau/saudara si lawan jenis, namun setidaknya mereka bisa memberikan sedikit input bagi kita.


KESIMPULAN
Akhir kata, mencari dan menemukan pasangan hidup TIDAKlah mudah, karena saya menyadari banyak orang postmodern sangat ahli bermuka dua, khususnya banyak cewek hari-hari ini (tidak terkecuali banyak “Kristen” di dalamnya). Adalah suatu hal yang bijaksana jika kita mencari dan menemukan pasangan hidup kita di hadapan Tuhan. Artinya, kita menggumulkan terlebih dahulu kehendak Tuhan bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam hal pasangan hidup. Dan lagi di dalam proses mencari dan menemukan pasangan hidup yang Tuhan mau, hendaklah kita bersabar. Dahulu saya seorang yang ngebet mencari pasangan hidup, namun sekarang, setelah membaca buku I Kissed Dating Goodbye dari Rev. Joshua E. Harris, saya agak bersabar. Mengapa? Karena menurut nasihat bijak Rev. Joshua E. Harris, pergunakanlah waktu jomblo Anda untuk makin giat melayani Tuhan, karena semakin kita giat melayani Tuhan, hidup kita makin memuliakan-Nya, dan Tuhan suatu hari kelak akan memberikan seorang lawan jenis yang memiliki kerinduan yang sama. Bagaimana dengan kita? Sudahkah cara kita dalam mencari dan menentukan pasangan hidup kita berkenan di hadapan-Nya atau kita menjadi orang “Kristen” yang hidup seolah-olah Tuhan itu tidak ada (“Kristen” Atheis—begitulah definisi Rev. Craig Groschel, M.Div. di dalam bukunya The Christian Atheist: Believing in God but Living as If He Doesn’t Exist)? Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Amin. Kiranya Tuhan memberkati. Soli DEO Gloria.