29 September 2010

KESEMBUHAN ILAHI: MASIH ADAKAH? (Denny Teguh Sutandio)

KESEMBUHAN ILAHI: MASIH ADAKAH?
(Sebuah Tinjauan Iman Kristen Terhadap Fenomena Kesembuhan Ilahi)


oleh: Denny Teguh Sutandio



Hidup manusia makin lama makin susah. Penderitaan silih berganti, penyakit datang silih berganti, kemiskinan, dll mencekam kehidupan kita. Banyak dari kita yang mengalami penderitaan menginginkan penderitaan tersebut segera berakhir. Tidak heran, demi mendapatkan jalan keluar terhadap penderitaan tersebut, banyak orang yang menghalalkan segala cara, misalnya mencari pengobatan alternatif, dukun, dll. Bagaimana dengan Kekristenan? Di dunia Kekristenan, kita menjumpai fenomena menarik yang disuguhkan sebagai solusi terhadap berbagai penyakit, yaitu adanya kesembuhan ilahi yang ditawarkan dalam bentuk ibadah atau Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dengan variasi nama. Misalnya, di Indonesia muncul KKR Kesembuhan Ilahi dan Perjamuan Kudus yang dipromotori oleh Bp. Yesaya Pariadji, selain itu di Surabaya, muncul Festival Kuasa Allah (FKA) yang dipromotori oleh Bp. Philip Mantofa, B.RE. yang pada tahun ini (2010) memasuki seri ke-13. Ada juga yang menjadi sebuah gerakan: Healing Movement dan berbentuk crusade: Mujizat Crusade. Banyak orang Kristen begitu tergiur oleh janji-janji yang disuguhkan di dalam kebaktian kesembuhan ilahi. Sedangkan beberapa orang Kristen tidak percaya akan adanya kesembuhan Ilahi karena mereka berpendapat bahwa semua karunia Roh Kudus telah berhenti ketika Alkitab telah selesai ditulis (pandangan ini disebut: cessationist). Bagaimana pandangan orang Kristen yang tepat sesuai dengan Alkitab? Masih adakah kesembuhan Ilahi? Jika masih ada, bagaimana wujudnya? Bagaimana tinjauan Alkitab terhadap fenomena kesembuhan Ilahi yang terjadi di sekitar kita: apakah dari Allah, sugesti diri, ataukah dari setan?


A. PRESUPOSISI KESEMBUHAN ILAHI
Sebelum kita membahas mengenai kesembuhan Ilahi, kita harus mengerti beberapa poin di bawah ini:
Pertama, Alkitab adalah satu-satunya kebenaran mutlak (2Tim. 3:16-17). Di titik pertama, sebagai orang Kristen yang normal, kita harus percaya 100% bahwa Alkitab yang adalah firman Allah adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang menjadi dasar/sumber dari iman dan praktik hidup Kristen. Jika ada ajaran yang bertentangan dengan Alkitab, kita harus berani menolaknya dengan tegas, meskipun orang banyak berbondong-bondong mengikutinya. Prinsipnya: jangan pernah ikut arus zaman jika ajaran di balik arus tersebut melawan Alkitab.

Kedua, Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu (Yes. 44:6-8). Karena kita percaya bahwa Alkitab itu adalah firman Allah yang tak mungkin bersalah dalam naskah aslinya, maka kita tentu percaya akan inti Alkitab bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu. Kedaulatan-Nya ditunjukkan dengan Allah menciptakan alam semesta ini dan memeliharanya. Allah yang memelihara adalah Allah yang mengatur alam semesta ini berjalan dengan tepat sesuai dengan kehendak-Nya. Karena Ia adalah Allah yang memelihara dengan mengatur alam semesta, Allah yang sama juga bisa membuat segala sesuatu terjadi di luar kondisi normal. Artinya, pengaturan alam semesta dari Allah ini memungkinkan juga munculnya mukjizat atau hal-hal supernatural. Dengan kata lain, semua hal supernatural SEJATI harus bersumber dari Allah yang berdaulat. Karena Ia adalah Allah yang berdaulat, maka Ia sanggup/mampu melakukan apa pun sesuai dengan natur dan kehendak-Nya dan di saat yang sama, Ia pun sanggup untuk tidak melakukan apa pun sesuai dengan kehendak dan natur-Nya. Dengan kata lain, Ia bebas untuk bertindak sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya dan TIDAK ada seorang pun yang layak untuk menjadi penasehat-Nya akan apa yang perlu Ia kerjakan. Jika ada orang yang berani mengklaim (janji) Allah identik dengan merasa diri layak untuk menasehati-Nya dan di saat yang sama, orang tersebut merasa diri lebih pandai dan bijak dari Allah. Jika kasusnya demikian, lain kali, suruhlah orang tersebut untuk bertindak “seperti Allah” yang mengatur alam semesta ini tanpa terjadi kekacauan sambil membuktikan apakah dia layak menjadi “Allah”.


B. KESEMBUHAN ILAHI: MASIH MUNGKINKAH TERJADI?
Jika kita percaya bahwa dasar iman Kristen kita yang teguh adalah Alkitab dan Allah adalah Allah yang berdaulat, maka pertanyaan selanjutnya adalah masih mungkinkah kesembuhan Ilahi terjadi? Jawabannya yang pasti adalah: MUNGKIN. Mengapa kesembuhan ilahi masih mungkin terjadi sekarang ini? Karena: Allah yang berdaulat yang yang mencipta dan memelihara dengan mengatur alam semesta ini di dalam suatu tatanan yang ada di dalam tangan-Nya adalah Allah yang sama yang juga bisa mengintervensi kuasa-Nya di luar tatanan yang telah diciptakan-Nya melalui mukjizat dan hal-hal supernatural lainnya. Jika Allah tidak bisa berkuasa mengintervensi kuasa-Nya di luar tatanan yang telah diciptakan-Nya tersebut berarti Ia telah dibatas oleh tatanan tersebut dan secara otomatis, Ia bukan Allah yang berdaulat. Inilah kegagalan pola pikir orang Kristen yang percaya bahwa kesembuhan ilahi tidak mungkin terjadi di zaman sekarang.

Jika mukjizat dan hal-hal supernatural (termasuk kesembuhan Ilahi) masih bisa terjadi, pertanyaan selanjutnya, apakah semua yang mengklaim sebagai kesembuhan ilahi itu pasti berasal dari Allah? Mengapa kita perlu mempertanyakan ini? Karena Alkitab sendiri mengajar kita tiga poin penting, yaitu: “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.” (2Kor. 11:13-14), “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1Tes. 5:21), dan “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.” (1Yoh. 4:1) Alkitab sendiri memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, karena iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang dan secara otomatis para pesuruh iblis dapat menyamar sebagai para pesuruh “Allah”. Oleh karena itu, tidaklah salah untuk menguji fenomena kesembuhan ilahi dari perspektif Alkitab, sehingga kita tidak mudah ditipu oleh setan dan kroni-kroninya.


C. TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP FENOMENA KESEMBUHAN ILAHI
Kesembuhan ilahi memang masih bisa terjadi di zaman sekarang, namun fakta membuktikan bahwa TIDAK semua yang mengklaim sebagai kesembuhan ilahi itu pasti berasal dari Allah. Bagaimana kita mengetahui fakta ini? Ada beberapa tolok ukur dari Alkitab sendiri untuk menguji kesembuhan ilahi apakah berasal dari Allah, sugesti diri, atau bahkan dari setan:
Pertama, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi menurut kehendak-Nya yang berdaulat. Karena fenomena supernatural SEJATI terjadi karena adanya campur tangan Allah yang berdaulat, maka secara otomatis, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti terjadi menurut kehendak-Nya yang berdaulat. Dengan kata lain, kesembuhan Ilahi dapat terjadi pada diri seseorang dan juga bisa TIDAK terjadi pada diri seseorang. Tidak ada seorang pun yang patut mengkomplain akan hal ini. Dari pemikiran ini, maka tidaklah bijak jika ada yang memutlakkan bahwa orang Kristen harus sembuh dan bahkan ada yang mengajarkan bahwa orang yang tidak sembuh itu karena kurang beriman. Jika semua orang Kristen harus sembuh, pertanyaan saya adalah bagaimana dengan Paulus yang mengalami (penyakit) duri di dalam daging yang TIDAK disembuhkan Tuhan? (2Kor. 12:7-10) Apakah kasus Paulus ini menandakan bahwa Paulus kurang beriman?

Kedua, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi untuk memuliakan Allah. Karena bersumber dari Allah, maka secara otomatis kesembuhan Ilahi sejati terjadi supaya Allah dipermuliakan. Tuhan Yesus mengadakan berbagai tanda mukjizat di dalam kitab Injil bermaksud agar semua orang pada zaman-Nya mengerti tanda bahwa Ia adalah Mesias yang datang dari Allah. Ketika Petrus atas kuasa Kristus menyembuhkan seorang yang lumpuh yang duduk di dekat pintu gerbang Bait Allah, maka Alkitab mencatat, “Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah.” (Kis. 3:8)

Ketiga, kesembuhan Ilahi SEJATI berkaitan dengan pemberitaan Injil Kristus yang MURNI. Karena bertujuan untuk memuliakan Allah, maka secara otomatis peristiwa kesembuhan Ilahi SEJATI pasti berkaitan dengan pemberitaan Injil Kristus yang MURNI yang membawa orang yang telah disembuhkan kepada Kristus dengan pengertian yang bertanggung jawab. Mari kita kembali kepada nats Kisah Para Rasul 3:8. Setelah orang lumpuh disembuhkan dan orang banyak menjadi tercengang karenanya, maka Petrus langsung berkhotbah di Serambi Salomo tentang Injil Kristus yang murni (ay. 11-26). Di ayat 11-12, ia langsung berkata bahwa kesembuhan ini terjadi bukan karena kuasa atau kesalehannya dan para murid-Nya yang lain, tetapi karena Kristus (ay. 13-26). Bandingkan hal ini dengan fenomena kesembuhan ilahi hari-hari ini yang disisipi oleh berita “theologi” kemakmuran bahwa semua orang yang percaya kepada Yesus pasti kaya, sehat, disembuhkan, berkelimpahan, dll, bahkan seorang pencetus Word of Faith, Kenneth E. Hagin berani berkata, “Orang percaya harus mengabaikan gejala-gejala penyakit dan percaya bahwa mereka telah disembuhkan” Jerry Savelle juga berkata, “Penyakit adalah usaha iblis merampok hak-hak ilahi orang percaya dalam memiliki kesehatan yang sempurna.” (seperti dikutip dalam artikel Teologi Kemakmuran oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.: http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2009%20Teologi%20Kemakmuran.pdf)

Keempat, kesembuhan Ilahi SEJATI TIDAK untuk disebarluaskan. Karena tujuannya untuk memuliakan-Nya, maka secara otomatis kesembuhan Ilahi tidak untuk disebarluaskan dengan diceritakan kepada banyak orang. Di dalam Injil, beberapa kali Alkitab mencatat bahwa Tuhan Yesus melarang untuk menyebarluaskan mukjizat yang telah Ia lakukan (Mat. 8:4; 9:30; 12:16). Rasul-rasul Kristus pun ketika menyembuhkan seorang yang sakit atas kuasa Kristus TIDAK pernah satu kalipun menyebarluaskan atau bahkan menggelar kebaktian kesembuhan ilahi atau memfestivalkan kuasa Allah seperti yang gemar dilakukan oleh seorang pemimpin gereja di Surabaya. Jika fenomena kesembuhan ilahi dewasa ini mengklaim berasal dari Allah, permisi tanya, mengapa kesembuhan ilahi di zaman Tuhan Yesus dan para rasul-Nya TIDAK pernah bersifat spektakuler? Lalu, dari manakah ide kesembuhan ilahi dewasa ini?

Kelima, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi secara LANGSUNG. Fakta kesembuhan harus dibedakan menjadi dua: kesembuhan Ilahi dan kesembuhan natural. Kesembuhan natural adalah kesembuhan biasa yang terjadi secara PROSES melalui obat-obatan, dokter, dll dan ini pun terjadi karena kedaulatan Allah yang menyembuhkan. Sedangkan kesembuhan Ilahi adalah suatu kesembuhan dari Allah yang bersifat LANGSUNG yang tidak memakai proses lama. Alkitab TIDAK pernah mencatat bahwa kesembuhan Ilahi terjadi secara bertahap. Namun ada seorang pendeta bercerita bahwa ada seorang yang mengaku dipenuhi “roh kudus” lalu berkata memakai otoritas “Allah” bahwa “Ia” akan menyembuhkan orang tertentu secara pelan-pelan.

Keenam, kesembuhan Ilahi SEJATI berlangsung lama. Secara fenomenal, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti berlangsung lama, mengapa? Karena Allah yang menyembuhkan adalah Allah yang menjaga kesembuhan yang dikerjakan-Nya itu secara konstan dan TIDAK ada tipuan di dalam kesembuhan yang Ia kerjakan. Alkitab TIDAK pernah mencatat satu kalipun bahwa orang yang telah disembuhkan Allah kemudian kembali lagi kepada-Nya dalam beberapa hari dan mengeluh bahwa penyakit tersebut kambuh lagi. Namun perhatikan fenomena kesembuhan ilahi hari-hari ini. Meskipun tentu ada orang yang benar-benar disembuhkan Allah, namun fakta justru berkata bahwa mayoritas TIDAK disembuhkan. Kalaupun ada orang yang disembuhkan pada waktu kebaktian kesembuhan ilahi, ia sembuh pada saat kebaktian tersebut, namun begitu pulang ke rumahnya, orang tersebut kembali menderita penyakit yang katanya telah disembuhkan. Ketika menyalami jemaat seusai berkhotbah di Gereja Bethel Tabernakel (GBT) di Semarang, seorang jemaat yang menghadiri KKR Kesembuhan Ilahi dari Peter Youngren berkata kepada Ir. Herlianto, M.Th., “Minggu yang lalu dalam KKR Peter Jongren saya sudah bisa berjalan tidak menggunakan tongkat, tapi sesampai di rumah saya harus pakai tongkat lagi.” (Artikel 9_ 2006, http://www.yabina.org/layout2.htm) Bahkan ada pendeta lain bercerita bahwa ada seorang jemaat yang kurang mampu yang berkacamata kemudian datang ke kebaktian kesembuhan ilahi, lalu ia mengaku dapat melihat dan kacamatanya diinjak-injak dan dibuang, namun sesampainya di rumah, ia tidak bisa melihat lagi dan kemudian terpaksa membeli kacamata lagi.

Ketujuh, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak berlaku selama-lamanya. Meskipun berlangsung lama, kesembuhan Ilahi SEJATI TIDAK pernah menjamin bahwa orang yang telah disembuhkan Allah itu akan terus-menerus sembuh dan tidak pernah sakit lagi atau bahkan meninggal. Dengan kata lain, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak pernah berlaku selama-lamanya. Mengapa? Karena kesembuhan Ilahi yang dimaksud adalah berkaitan dengan tubuh jasmani manusia yang bersifat fana yang suatu saat pasti sakit dan mengalami kematian. Namun Kenneth E. Hagin, salah satu tokoh kesembuhan ilahi dengan percaya diri menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami sakit kepala selama 45 tahun (In the Name of Jesus, hlm. 44; seperti dikutip oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam artikel Teologi Kemakmuran: http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2009%20Teologi%20Kemakmuran.pdf). Jika Hagin mengklaim telah menerima kesembuhan ilahi sehingga tidak pernah sakit kepala selama 45 tahun, apakah itu berarti ia tidak akan pernah selama-lamanya sakit kepala atau menderita sakit yang lainnya?

Kedelapan, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak (terus-menerus) menggunakan media apa pun. Jika kita menyelidiki Alkitab, maka hampir semua mukjizat kesembuhan yang dilakukan oleh Kristus dan para rasul TIDAK menggunakan media apa pun. Injil hanya mencatat satu kali Tuhan Yesus menggunakan ludah-Nya untuk menyembuhkan orang (Yoh. 9:6). Media ludah ini sebenarnya hanya cara-Nya menyembuhkan orang dan media ini BUKAN media yang terus-menerus dipakai-Nya ketika menyembuhkan orang. Bandingkan hal ini dengan fenomena kesembuhan Ilahi dewasa ini yang kebanyakan menggunakan media yang terus-menerus dipakai. Misalnya, Bp. Pariadji memakai sarana Perjamuan Kudus dan minyak urapan untuk menyembuhkan orang. Di Jakarta, saya pernah membaca di sebuah majalah rohani, pemimpin gereja menggunakan tali rafia sebagai media kesembuhan ilahi. Di Surabaya, di dalam Festival Kuasa Allah (FKA) di mana saya menonton sendiri DVDnya (saya lupa FKA tahun berapa), Bp. Philip Mantofa, B.RE. mengajak semua jemaatnya bergandengan tangan untuk mendapatkan aliran “kuasa allah”—tenaga dalam ala Gerakan Zaman Baru (untungnya menurut pengakuan dari teman saya, fenomena bergandengan tangan ala tenaga dalam ini TIDAK dilakukan pada FKA tahun-tahun sesudahnya). Meskipun beberapa pengikut mereka mengaku bahwa media-media tersebut hanya sarana saja, pertanyaan saya adalah mengapa di setiap kebaktian kesembuhan ilahi, media-media itu terus-menerus dipakai? Kalau hanya sekadar sarana, bukankah TIDAK perlu terus-menerus dipakai?!

Kesembilan, kesembuhan Ilahi SEJATI mendapatkan pengakuan dari orang banyak. Karena berlangsung lama, maka secara otomatis, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti disaksikan dan bisa diuji oleh banyak orang. Di dalam Injil saja, kita menjumpai fakta demikian. Setelah menyembuhkan orang yang sakit kusta, Kristus menyuruh orang tersebut untuk memperlihatkan dirinya kepada imam dan mempersembahkan persembahan (Mat. 8:4). Mengapa harus memperlihatkan diri kepada imam? Karena konteks waktu itu adalah orang kusta dianggap najis dan dikutuk Allah, sehingga orang kusta dijauhi oleh masyarakat sekitar waktu itu. Dengan memperlihatkan diri kepada imam bahwa ia tidak menderita kusta lagi berarti ia tidak lagi dijauhi oleh masyarakat sekitar. Di dalam Matius 15:31, Alkitab mencatat bahwa banyak orang menjadi takjub dan memuliakan Allah tatkala melihat kesembuhan Ilahi terjadi. Bahkan setelah Petrus menyembuhkan seorang lumpuh yang duduk di dekat pintu gerbang Bait Allah dan si lumpuh itu sembuh, Alkitab mencatat, “Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah, lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, sehingga mereka takjub dan tercengang tentang apa yang telah terjadi padanya.” (Kis. 3:9-10) Namun fakta yang terjadi saat ini begitu bertolak belakang. Banyak kebaktian kesembuhan ilahi justru banyak menghasilkan penipuan sesaat. Sebagai contoh, Ir. Herlianto, M.Th. di dalam artikel Kesembuhan Ilahi memaparkan bahwa Evander Holifield dikatakan menderita sakit jantung dan dipercaya disembuhkan secara mukjizat oleh Benny Hinn, namun dari diagnosis dokter tinju, Holifield memang TIDAK menderita sakit jantung. Lalu, Holifield disembuhkan dari apa? ((Artikel 9_ 2006, http://www.yabina.org/layout2.htm))


D. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah menyimak 9 ciri kesembuhan Ilahi SEJATI yang dibandingkan dengan fenomena kesembuhan ilahi dewasa ini, diharapkan orang Kristen makin lama makin kritis dan bijaksana dalam menyikapi fenomena Kekristenan hari-hari ini serta menempatkan Alkitab sebagai bahan penguji yang tegas terhadap fenomena-fenomena zaman di sekitar kita. Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:3-6 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:3-6

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:3-6



Setelah Paulus menegaskan statusnya sebagai orang bebas dan rasul (9:1-2) ia lalu memaparkan hak-hak yang ia miliki sebagai rasul (9:4-6). Menariknya, ia mengungkapkan ini sebagai “pembelaan” bagi mereka yang mengritik dia (9:3). Tuduhan apa yang ditujukan kepada Paulus? Siapa yang memberikan kritikan ini? Mengapa Paulus merasa perlu untuk menggarisbawahi hak-haknya sebagai rasul di tengah kritikan yang dilontarkan kepada dirinya? Pembahasan kali ini akan mencoba memberikan jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut.

1 Korintus 9:3-6 memiliki struktur teks yang cukup mudah untuk diikuti. Ayat 3 merupakan pengantar bagi pembelaan yang akan diberikan di ayat 4-6. Melalui ayat 3 ini kita tahu bahwa pemaparan berbagai hak di ayat 4-6 bukan hanya berfungsi sebagai pendahuluan bagi sikap Paulus yang mau melepaskan hak (9:15-18), tetapi sekaligus sebagai pembelaan. Sesudah memberikan pengantar pembelaan Paulus menyatakan bahwa ia berhak diperlakukan seperti rasul-rasul lain dengan semua hak yang menyertainya (ay. 4-6). Secara khusus ia menyinggung tentang hak untuk makan dan minum (ay. 4), hak untuk membawa istri dalam perjalanan (ay. 5), dan hak untuk dibebaskan dari pekerjaan tangan (ay. 6).


Pengantar Pembelaan (ay. 3)
Posisi ayat ini dipahami secara berbeda oleh para penerjemah. RSV, NIV, dan ESV menganggap ayat 3 sebagai penutup dari paragraf sebelumnya (ay. 1-2). KJV dan NASB di sisi lain memperlakukan ayat 3 sebagai pendahuluan bagi paragraf sesudahnya (ay. 4-6). Pilihan manakah yang lebih tepat? Berdasarkan pertimbangan posisi kata “ini” (haute) di akhir kalimat, ayat 3 sebaiknya diterjemahkan “pembelaanku kepada mereka yang mengritik aku adalah ini”. Dalam hal ini terjemahan NASB “My defense to those who examine me is this:” tampaknya paling jelas mengekspresikan maksud Paulus.

Paulus menyebut apa yang akan dia sampaikan sebagai “pembelaan” (apologia). Kata ini menjadi asal dari kata Inggris “apology” maupun “apologetic”. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa makna kata apologia sangat kontras dengan kata apology dalam arti “permintaan maaf”. Kata apologia dalam Alkitab sama sekali tidak menyiratkan kesalahan yang dilakukan oleh pembela. Dalam Alkitab apologia dipakai secara beragam. Apologia bisa dipakai untuk pembelaan secara hukum (Kis. 25:16), pembelaan Injil (Flp. 1:7, 16) atau pembelaan doktrin (1Ptr. 3:15). Sesuai konteks 1 Korintus 9, pembelaan Paulus sebaiknya dipahami dalam konteks pembelaan pribadi yang sangat berkaitan dengan Injil. Tuduhan yang dilancarkan kepadanya sekilas memang terlihat pribadi, namun sebenarnya tuduhan ini menyerang pribadi Paulus sebagai pemberita Injil (rasul) dan dengan demikian juga menyerang Injil yang ia beritakan.

Pembelaan perlu dilakukan oleh Paulus karena ada yang mengritik (anakrino) dia. Kata anakrino memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar kritikan biasa. Kata ini biasa dipakai dalam konteks hukum dengan arti “menginterogasi” (Luk. 23:14; Kis. 4:9; 12:19; 28:18). Tidak heran NIV memperjelas arti ini dengan “sit in judgment”, walaupun versi lain cenderung pada makna yang lebih luas, yaitu “examine” (KJV/RSV/NASB/ESV). Mengingat konteks 1 Korintus 9 bukanlah sebuah pengadilan resmi, maka kita harus memahami penggunaan kata anakrino di sini sebagai upaya Paulus untuk menggambarkan apa yang dilakukan jemaat Korintus kepada mereka. Mereka telah memposisikan diri sebagai hakim atau penguasa yang sedang mendudukkan Paulus di kursi terdakwa (4:3-4), walaupun mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang berpikiran duniawi dan tidak layak untuk memberikan penilaian (2:14-15). Mereka menyoroti setiap sisi kehidupan Paulus untuk menemukan kesalahan yang akan dipakai sebagai senjata untuk menyerang Paulus.

Kapankah Paulus diperlakukan demikian? Apakah ini terjadi dahulu waktu Paulus ada di Korintus (Kis. 18), pada saat Paulus menulis surat 1 Korintus atau ini hanya antisipasi Paulus belaka? Beberapa versi memilih alternatif yang terakhir (RSV/NRSV/ESV “would examine”), sedangkan yang lain mengambil alternatif kedua (KJV “do examine”/NASB “examine”). Jika ditilik dari penggunaan tense present pada partisipel anakrinousin, kita sebaiknya memilih alternatif kedua. Hal ini juga sesuai dengan nuansa penghakiman di bagian lain (2:14-15; 4:3-4).

Mengapa Paulus perlu memberikan pembelaan? Apakah kaitan tuduhan yang dilontarkan dengan hak-hak sebagai rasul di ayat 4-6? Dengan bantuan studi sosiologis kuno yang semakin berkembang para penafsir mampu melihat inti permasalahan secara lebih kentara. Semua ini berkaitan dengan keputusan Paulus yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus. Hal ini tampaknya terus menjadi problem di antara mereka (9:15; 2Kor. 11:7-12; 12:13). Keputusan untuk tidak mau menerima tunjangan dipahami secara keliru oleh jemaat Korintus. Mereka melihat tindakan ini sebagai peneguhan bahwa Paulus tidak layak disejajarkan dengan para orator ulung pada waktu itu, baik di kalangan filsuf maupun rasul, karena para pengkhotbah hebat hanya hidup dari tunjangan yang mereka terima. Pandangan negatif ini juga sangat berkaitan dengan kritikan jemaat terhadap Injil yang diberitakan Paulus (1:18, 23) maupun cara penyampaian Paulus (2:1-5) yang dianggap tidak sesuai dengan keunggulan ilmu retorika pada waktu itu. Semua faktor ini – Injil yang dianggap kebodohan, cara retorika yang tidak persuasif maupun penolakan untuk menerima tunjangan – semakin menguatkan persepsi jemaat bahwa Paulus memang tidak layak disebut rasul.

Situasi inilah yang mendorong Paulus untuk memberikan pembelaan bahwa ia adalah rasul (9:1-2) dan berhak diperlakukan seperti rasul-rasu lain (9:4-6). Sikap Paulus yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus harus dipahami secara sempit dan luas. Maksudnya, dalam konteks Korintus Paulus memang memiliki alasan khusus seperti yang diterangkan di atas. Bagaimanapun, sikap ini ternyata sudah dipraktekkan Paulus sebelum Paulus melayani di Korintus. Di Tesalonika Paulus mengambil sikap yang sama (1Tes. 2:9; bdk. Kis. 17). Dengan demikian pasti ada alasan lain yang lebih umum di balik tindakan ini. Jika kita mengamati beberapa teks lain yang menyinggung tentang hal ini, kita akan tahu bahwa pertimbangan di balik penolakan ini bukanlah masalah finansial. Paulus mau menerima tunjangan dari jemaat Makedonia yang sangat miskin (2Kor. 8:2; 11:9; Flp. 4:14-20), tetapi ia menolak dukungan dari jemaat Korintus yang kaya raya (2Kor. 8:13-14). Pertimbangan Paulus sebenarnya ada dua: efektivitas Injil dan teladan Kristiani. Paulus tidak ingin penerimaan tunjangan sebagai pemberita Injil justru akan berkontra produktif dengan efektivitas Injil yang diberitakan, misalnya dengan menerima dukungan Paulus malah disamakan dengan pemberita filsafat sehingga Injil kehilangan kekuatannya (9:15) atau dengan menerima tunjangan Paulus dituduh mengambil keuntungan materi dari pelayanannya (1Tes. 2:5). Paulus juga bermaksud untuk memberikan teladan bagaimana setiap orang Kristen harus rajin bekerja dan membantu orang lain secara materi (2Tes. 3:7-9).


Paulus berhak diperlakukan seperti rasul-rasul lain (ay. 4-6)
Di bagian ini Paulus berupaya menunjukkan bahwa pelayanannya yang tanpa didukung secara materi oleh orang lain tidak berarti bahwa ia tidak layak menerima dukungan. Sama seperti para filsuf keliling dan rasul yang lain, Paulus berhak mendapatkan hak yang sama. Jadi, pokok permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada kelayakan Paulus dalam menerima semua hak itu, tetapi pada ketidakmauannya daam menggunakan hak-hak itu.

Hak untuk makan dan minum (ay. 4)
Penekanan dalam ayat ini terlihat dari pemakaian kata “tidak” sebanyak dua kali (me ouk). Melalui pemakaian ini Paulus ingin menegaskan bahwa ia sungguh-sungguh punya hak untuk makan dan minum. Kata “hak” (exousia) merupakan salah satu akar masalah dalam jemaat. Hal ini terlihat dari frekwensi pemunculan kata ini di beberapa bagian (8:9; 9:4, 5, 6, 12, 18, kata kerja exousiazō muncul di 6:12, sedangkan exestin di 6:12 dan 10:23). Pemunculan kata yang bisa berarti “kebebasan” (8:9) maupun “hak” (9:4, 5, 6, 12, 18) secara berulang-ulang ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus memiliki problem dengan arti kebebasan Kristiani. Bagi mereka kebebasan berarti mutlak tanpa perlu memperhatikan kepentingan orang lain. Bagi Paulus kebebasan berarti bebas untuk tidak menggunakan kebebasan tersebut. Sebagian penafsir memahami hak untuk makan dan minum di 1 Korintus 9:4 dalam kaitan dengan makanan berhala (8:1, 4). Menurut mereka, Paulus sedang membicarakan haknya sebagai orang Kristen yang mendapat kebebasan dalam Kristus sehingga tidak terikat pada hal-hal yang materi. Pemahaman seperti ini tidak dapat dipertahankan. Ungkapan “makan dan minum” jelas bermakna luas. Selain itu, tidak ada isu tentang minum yangd iangkat di pasal 8.

Kelemahan lain berkaitan dengan konteks spesifik dari pasal 8. Di pasal ini Paulus hanya menyinggung tentang makan makanan berhala di kuil (8:7, 10). Sikap Paulus dalam hal ini sangat tegas, yaitu melarang. Di pasal 10 Paulus bahkan lebih eksplisit lagi menegur praktek makan di kuil sebagai penyembahan berhala (10:14-22). Di tengah larangan yang keras seperti itu tidak masuk akal jika Paulus di 9:4 justru menegaskan haknya untuk makan dan minum di kuil berhala (sesuai konteks pasal 8).

Kelemahan lain dari pandangan ini adalah inkonsistensi dengan sikap Paulus tentang makanan. Berangkat dari konsep bahwa makanan tidak penting (bdk. Rm. 14), Paulus bersikap sangat fleksibel dalam masalah ini (9:19-23; 10:29b-30, 31). Ia kadangkala makan (tetapi bukan yang di kuil), tetapi tidak jarang ia juga menghindari makanan tersebut demi orang lain. Hak untuk makan dan minum sebaiknya dipahami sebagai ungkapan lain untuk kebutuhan hidup yang pokok. Yesus sendiri mengajarkan bahwa seorang pemberita Injil berhak mendapatkan upah berupa makan dan minum (Luk. 10:7; juga Mat. 10:10). Menariknya, ucapan Yesus ini juga dikutip oleh Paulus di 1 Korintus 9:14.

Hak untuk membawa istri Kristen (ay. 5)
Sama seperti ayat sebelumnya, ayat 5 juga menggunakan penekanan dalam bentuk mē ouk. Kali ini Paulus menyinggung tentang membawa seorang istri Kristen (adelphē gunē, lit. “istri yang saudari seiman”, bdk. versi Inggris “believing wife”). Prinsip bahwa orang Kristen hanya boleh memiliki pasangan seiman merupakan ajaran Paulus yang tegas (7:39; 2Kor. 6:14). Beberapa penafsir menolak menerjemahkan adelphe gune sebagai istri Kristen, karena hal itu dipandang tidak relevan, mengingat Paulus tidak memiliki istri (7:7). Mereka berusaha menafsirkan adelphe gune sebagai wanita Kristen yang ikut dalam perjalanan Paulus dan memberi bantuan secara materi (bdk. pelayanan Yesus di Luk. 8:1-3). Walaupun hal ini tampak menarik, tetapi tidak bisa dibenarkan. Cara pelayanan seperti ini akan membawa Paulus dekat dengan berbagai gosip yang tidak sedap, karena situasi pelayanannya berbeda dengan Yesus. Yesus selalu dikerumuni banyak orang (paling tidak ada 12 murid yang selalu menyertai Dia), sedangkan Paulus seringkali sendirian atau dalam kelompok yang sangat kecil. Keberadaan wanita tertentu (yang bukan istri) dalam kelompok tersebut jelas akan menimbulkan gosip negatif.

Pertimbangan tata bahasa juga tidak berpihak pada tafsiran di atas. Pandangan ini akan menjadikan frase adelphē gunē sebagai pengulangan yang tidak diperlukan. Kata adelphē sendiri sudah berarti “saudari seiman/wanita Kristen”. Jika gune diterjemahkan “wanita”, maka akan terjadi pengulangan. Jauh lebih masuk akal jika gune dipahami sebagai “istri”, sehingga frase adelphē gunē mengandung arti “istri yang merupakan saudari seiman”. Jika adelphē gunē berarti “istri Kristen”, sedangkan Paulus hidup selibat, apakah relevansi pembelaan Paulus di ayat 5? Para penafsir umumnya mengaitkan hal ini dengan tuduhan jemaat terhadap gaya hidup selibat yang dijalani Paulus. Mereka menganggap gaya hidup ini sebagai hal yang aneh bagi seorang rasul, karena rasul-rasul lain memiliki istri. Istri mereka bahkan seringkali menyertai dalam pelayanan dan mendapat dukungan materi dari jemaat setempat. Melalui ayat 5 Paulus ngin menjelaskan bahwa ia pun sebenarnya berhak atas dukungan itu, tetapi ia memang memilih untuk tidak memiliki istri dan tidak mau menggunakan hak itu. Jadi, ayat ini mengajarkan bahwa jemaat tidak hanya wajib mendukung kebutuhan pokok pemberita Injil, namun juga kebutuhan lain yang terkait dengan pelayanan.

Di ayat ini Paulus secara gamblang menyejajarkan dirinya dengan tiga kelompok: para rasul, saudara-saudara Tuhan Yesus, dan Kefas (sebagai perwakilan 12 murid?). Istilah “rasul” dalam tulisan Paulus tidak terbatas pada 12 murid Yesus. Pemakaian di 1 Korintus 15:5-7 malah menyiratkan bahwa “rasul” dibedakan dari “12 murid”. Beberapa nama lain yang termasuk golongan rasul tetapi bukan dari 12 murid antara lain Paulus, Yakobus, Andronikus dan Yunias (1Kor. 15:7; Gal. 1:19; Rm. 16:7). Kita tidak bisa memastikan apakah Paulus di 1 Korintus 9:5 memikirkan makna yang sempit (12 murid) atau luas mencakup nama-nama lain di luar 12 murid); yang terakhir tampaknya lebih tepat.

Penyebutan “saudara-saudara Tuhan Yesus” (Mrk. 6:3; Mat. 13:55) dalam perjalanan misi sesuai dengan keterangan Alkitab yang lain bahwa mereka telah mengalami perubahan hidup. Ketika Yesus hidup di dunia mereka tidak percaya kepada-Nya (Mrk. 3:31; Yoh. 7:3). Setelah kebangkitan mereka termasuk dalam golongan orang percaya (Kis. 1:14). Perubahan ini sangat mungkin terjadi setelah Yesus menampakkan diri kepada mereka (1Kor. 15:6-7). Pemunculan nama Kefas di 1 Korintus 9:5 telah menimbulkan banyak penafsiran. Sebagian menduga Kefas perlu disebut karena pengaruhnya yang besar di jemaat Korintus (1:12; 3:22).

Kesulitan dari pandangan ini adalah absennya nama Apolos, walaupun ia lebih berpengaruh daripada Petrus (1:12; 3:4, 5, 6, 22; 4:6; 16:12). Sebagian lagi berpendapat bahwa Kefas sengaja disebut karena ia adalah satu-satunya rasul yang disebutkan dalam Alkitab sebagai orang yang sudah menikah (Mat. 8:14). Kelemahan dari dugaan ini adalah bahwa surat 1 Korintus ditulis lebih dahulu daripada Injil Matius. Beberapa penafsir memandang pemunculan nama Kefas berkaitan dengan fakta historis bahwa Kefas memang pernah berkeliling sampai ke Korintus dan dikenal secara langsung oleh jemaat. Problem dalam dugaan ini adalah tidak ada bukti historis yang mendukung. Apakah Kefas pernah ke Korintus? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan. Selain itu, Barnabas (9:6) dan Yakobus (15:7) juga disebut dalam surat ini walaupun mereka kemungkinan tidak pernah ke Korintus. Sebaliknya, Apolos yang sudah jelas-jelas pernah ke sana (19:1) justru tidak disebut namanya. Kemungkinan lain adalah melihat Kefas di sini sebagai perwakilan dari 12 murid Tuhan Yesus (bdk. 15:5), walaupun dugaan lain tidak bisa diabaikan begitu saja.

Hak untuk tidak bekerja (ay. 6)
Di bagian ini Paulus memberikan pembelaan yang lebih eksplisit. Ia langsung membahas tentang pekerjaannya yang selama ini dipakai Tuhan untuk menopang kehidupannya. Ia ingin menekankan bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukanlah keharusan atau karena ia tidak berhak didukung secara materi. Penyebutan nama Barnabas sedikit mengejutkan, karena ia hanya muncul sekali di surat ini. Lagipula pada waktu Paulus ke Korintus (Kis. 18) ia sudah berpisah dengan Barnabas (Kis. 15:36-39). Mengapa ia perlu menyebut nama Barnabas? Kemungkina besar Paulus dan Barnabas sudah sedemikian terkenal sebagai rasul yang mandiri (tidak menerima tunjangan dari jemaat). Barnabas adalah orang kaya (Kis. 4:36-37) dan baik hati (Kis. 11:24). Sama seperti Paulus, ia suka bekerja sendiri supaya bisa berbagi berkat dengan orang lain. Tidak heran namanya disebutkan Paulus di sini.

Jika kita menyelidiki lebih teliti, yang dipersoalkan jemaat Korintus bukan sekadar keputusan Paulus untuk bekerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang ia lakukan. Ia adalah pembuat tenda (Kis. 18:3). Pekerjaan ini memang cukup diperlukan karena kebutuhan prajurit dalam peperangan dan para pelancong ketika mengikuti pertandingan Istmian di dekat Kota Korintus. Bagaimanapun, pekerjaan ini tampaknya dipandang sebagai pekerjaan kasar dan hina. Paulus menyebutkan pekerjaan ini dalam deretan kehinaan yang harus ia derita selama pelayanan (4:10-12). Jenis pekerjaan ini jelas sangat kontras dengan para filsuf keliling yang hanya berkhotbah, dikagumi banyak orang, dianggap terpelajar, dan menikmati tunjangan materi yang melimpah dari banyak orang. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 27 Desember 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2009%20ayat%2003-06.pdf

27 September 2010

Resensi Buku-102: RESPECTABLE SINS (Dr. Jerry Bridges)

...Dapatkan segera...
Buku
RESPECTABLE SINS
(Dosa-dosa yang Dianggap Pantas):
Membereskan Dosa-dosa yang Kita Toleransi


oleh: DR. JERRY BRIDGES

Penerbit: Pionir Jaya, 2008

Penerjemah: Grace F. Christian





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Sebagai umat-Nya yang telah ditebus oleh Kristus dari dosa, secara status kita memang sudah tidak berdosa lagi, karena kuasa dosa telah dipatahkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus, namun secara kondisi, selama kita hidup di dalam dunia ini, kita masih berpotensi berbuat dosa lagi (meskipun tidak hidup di bawah kuasa dosa). Perbuatan dosa ini bisa bersifat jelas dan “besar” (seperti: membunuh, mencuri, dll) dan juga bersifat “kecil”. Sering kali kita terlalu berfokus pada dosa-dosa yang bersifat “besar”, namun menyepelekan dosa-dosa yang seolah-olah “kecil”, seperti: kefasikan, kegelisahan, frustasi, ketidakpuasan, tidak bersyukur, kesombongan, keegoisan, kurangnya pengendalian diri, tidak sabar, mudah marah, menghakimi, iri hati, cemburu, dosa-dosa lidah lainnya, dan keduniawian. Kita menyepelekannya karena kita anggap semua dosa “kecil” itu bukanlah dosa, melainkan hanya masalah karakter atau temperamen atau sejenisnya. Benarkah demikian? Dengan bahasa yang sederhana, jelas, mendalam, dan praktis, seorang penulis buku laris, Dr. Jerry Bridges mengungkapkan semua dosa “kecil” tersebut ditinjau dari akarnya, akibatnya, dan solusi yang harus diambil. Sebelum membahas dosa-dosa “kecil” tersebut, beliau menguraikan dasar-dasar iman Kristen tentang definisi kekudusan, dosa, dan solusi terhadap dosa di dalam 6 bab awal. Dengan kata lain, 6 bab awal merupakan dasar presuposisi sebelum Dr. Bridges menguraikan dosa-dosa “kecil”. Ke-6 bab awal ditulis dengan maksud agar kita mengerti terlebih dahulu definisi kekudusan, makna dosa yang sudah diselewengkan artinya atau dikecilkan artinya, keganasan dosa seperti penyakit kanker yang menjalar ke seluruh tubuh manusia, dan mengobati dosa. Kemudian, setelah membahas dosa-dosa “kecil” tersebut, Dr. Bridges menutup penguraiannya dengan tantangan bagi para pembaca untuk mengakui dosa-dosa “kecil” tersebut, menyadarinya, dan segera bertobat dengan penuh rendah hati. Ketika saya mencoba mencari judul buku ini di www.google.co.id, saya mengklik pemaparan dari situs Amazon dan saya terkejut mendapati bahwa dari seri buku Dr. Bridges, buku inilah paling diminati oleh konsumen Amazon di mana 93% konsumen Amazon langsung memesan dan membeli buku ini setelah membaca deskripsi buku ini di Amazon.




Rekomendasi:
“Di zaman ini tidak ada yang dapat menulis dengan begitu berpengaruh tentang pentingnya kekudusan selain Jerry Bridges, yang membawa tradisi dari Tozer dan orang-orang kudus agung lainnya sepanjang masa. Di dalam buku ini, ia memfokuskan kita kepada kejatuhan kita sendiri. Engkau tidak dapat membaca buku ini tanpa membersihkan balok di matamu sendiri sebelum membersihkan selumbar di mata tetanggamu. Buku ini akan menjadi berkat yang luar biasa bagi kehidupan bergereja umat Kristen. Saya sangat merekomendasikannya.”
Charles W. (Chuck) Colson
(Pendiri Prison Fellowship)

“Jika kita tidak merendahkan diri kepada pertobatan atas hal-hal yang salah di dalam diri kita seperti yang didiagnosis oleh Bridges, maka pastilah ada sesuatu yang salah di dalam diri kita, dan pastilah sangat parah. Bacalah buku ini – dan bersiaplah untuk menghadapi pisau operasi yang tajam.”
Prof. James Innell (J. I.) Packer, D.Phil.
(the Board of Governors' Professor of Theology di
Regent College, Vancouver, British Columbia, Canada; B.A., M.A., dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari Corpus Christi College, Oxford University, U.K.)

“Bagi orang-orang percaya yang dengan serius menjunjung keTuhanan Kristus di dalam kehidupan-Nya, Respectable Sins adalah bacaan yang harus dibaca!”
Dr. Joni Eareckson Tada
(Pendiri dan CEO, Pusat Orang-orang Cacat Internasional Joni and Friends—
http://www.joniandfriendsnews.com; dianugerahi gelar: Bachelor of Letters dari Western Maryland College; Doctor of Humanities—D.Hum. dari Gordon College; Doctor of Humane Letters—L.H.D. dari Columbia International University; Doctor of Divinity—D.D. dari Westminster Theological Seminary; D.D. dari Lancaster Bible College; Doctor of Humanitarian Services dari California Baptist University; dan L.H.D. dari Indiana Wesleyan University)

Respectable Sins adalah sesuatu yang kita perlukan: sebuah pemaparan akan dosa-dosa kecil yang sangat mengecewakan Allah dan menghalangi pertumbuhan kerohanian kitan.”
Rev. Philip Graham Ryken, D.Phil.
(Pendeta senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A. dan anggota dari
Alliance of Confessing Evangelicals; Bachelor of Arts—B.A. dari Wheaton College, Illinois, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. dari Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dalam bidang Theologi Historika dari University of Oxford, UK)

“Hanya sedikit penulis modern yang dapat membuat kebenaran Alkitabiah menjadi lebih muda dimengerti seperti Jerry Bridges. Dan beberapa kebenaran Alkitabiah menjadi lebih penting untuk dimengerti bagi kehidupan Kristiani daripada kebenaran yang tercakup di dalam buku yang terkenal ini. Saya tidak pernah tahu ada pengenalan yang lebih baik dari buku ini mengenai topik kedaulatan dan penderitaan.”
Rev. Charles Joseph (C. J.) Mahaney
(Pendiri Sovereign Grace Ministries dan melayani di:
Alliance of Confessing Evangelicals dan di The Council on Biblical Manhood and Womanhood)





Profil Dr. Jerry Bridges:
Dr. Jerry Bridges adalah anggota staf dari The Navigators. Beliau adalah penulis banyak buku laris, di antaranya: the Pursuit of Holiness (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya), the Gospel for Real Life, Trusting God, Transforming Grace, The Joy of Fearing God, dan the Discipline of Grace (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya). Pada tahun 2005, beliau menerima gelar doktor kehormatan dari Westminster Theological Seminary, U.S.A. Beliau dan istrinya, Jane tinggal di Colorado Springs, Colorado, U.S.A. dan mereka dikaruniai 2 orang anak yang sudah dewasa dan 5 orang cucu.

26 September 2010

JADUL IS THE BEST??? (Denny Teguh Sutandio)

JADUL IS THE BEST???

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)




Surat Paulus kepada jemaat di Roma ini merupakan surat Paulus yang dapat dikatakan magnum opus dari Paulus tentang pokok-pokok iman Kristen yang paling komprehensif yang mengajarkan: dosa dan keselamatan melalui anugerah Allah di dalam Kristus. Hal ini ditandai dengan 11 pasal dari Roma 1 s/d 11 dipakai untuk menguraikan pokok-pokok penting iman Kristen tersebut. Namun Paulus bukan seorang yang hanya pandai berteori, ia juga berusaha mengaplikasikan apa yang diajarkannya dan prinsip-prinsip aplikasi tersebut diuraikannya di pasal 12 s/d 16. Setelah ditutup dengan segala kemuliaan hanya bagi Allah Trinitas di pasal 11 ayat 36, maka di pasal 12, ia memulai prinsip aplikasinya dengan konsep ibadah sejati, yaitu dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang total kepada Allah. Cukupkah sampai di situ? TIDAK! Di ayat 2, Paulus melanjutkannya dengan mengajar bahwa agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi diubah oleh pembaharuan akal budi kita. Jika kita membaca ayat 2 dalam terjemahan Indonesia, maka kita menafsirkannya bahwa kita lah yang aktif untuk tidak serupa dengan dunia dan mengubah akal budi kita, namun jika kita selidiki teks Yunaninya, maka hal itu bertolak belakang, di mana teks Yunaninya menggunakan bentuk pasif. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” di dalam teks Yunaninya seharusnya: “Janganlah kamu dijadikan serupa dengan dunia ini”, lalu “berubahlah oleh pembaharuan budimu” seharusnya: “kamu diubah oleh pembaharuan pemikiran” (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 862). Bentuk aktif pada kalimat pertama menandakan bahwa dunialah yang mencoba meracuni kita, sehingga kita jangan mau dibodohi oleh arus filsafat dan gaya hidup dunia. Lalu disusul dengan pernyataan bahwa kita harus diubah oleh pembaharuan akal budi. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mengubah pembaharuan akal budi kita? Tentu saja Allah! Dengan bahasa yang singkat namun jelas, The Bible Exposition Commentary: New Testament menafsirkannya, “The world wants to control your mind, but God wants to transform your mind (see Eph. 4:17-24; Col. 3:1-11).” Penafsiran ini sangat tajam, karena membedakan: dunia ingin MENGONTROL pikiran kita (secara tidak sadar), sedangkan Allah ingin MENGUBAH/MENTRANSFORMASI pikiran kita (secara sadar).


Melalui apakah dunia kita ingin mengontrol pikiran kita? Dengan beragam filsafat, ajaran, dan tradisi manusia yang melawan kedaulatan Allah dan firman-Nya. Pada kesempatan ini, saya hanya akan menspesifikkan satu cara dunia kita mengontrol pikiran orang Kristen, yaitu TRADISI. Tradisi secara definisi berarti adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, hlm. 959). Kalau kita memperhatikan definisi ini, sepintas tradisi itu benar, namun di dalam perspektif iman Kristen, tradisi itu TIDAK 100% salah dan juga TIDAK 100% benar. Ketika kita membuang tradisi, itu sikap yang salah, karena itu tidak menghargai sumbangsih sejarah ke dalam kehidupan kita sekarang, namun di sisi lain, memberhalakan tradisi dan menganggapnya sebagai “Tuhan” itu juga salah, karena itu termasuk dosa! Dosa mengakibatkan segala sesuatu menjadi kabur dan apa yang tidak dimutlakkan menjadi sesuatu yang dimutlakkan. Hal ini sangat nampak pada pemberhalaan tradisi oleh mayoritas orang dari dunia Timur. Penekanan tradisi ini jika ditelusuri berasal dari Konfusianisme yang mengajarkan pentingnya tradisi untuk mendidik moral kepada orang-orang di zamannya (bdk. Hillary Rodrigues, “Chinese Religions” dalam World Religions: A Guide to the Essentials, ed. Thomas A. Robinson dan Hillary Rodrigues, hlm. 255, 259). Hal ini tentu tidak salah, mengingat tujuan Kong Hu Cu mengajar pentingnya tradisi yaitu untuk mengajar moral. Namun perkembangan selanjutnya mengajar kita bahwa kebudayaan dan agama Tiongkok menyerap ide Kong Hu Cu dan mengekstremkannya (mungkin juga dipengaruhi oleh mistisisme sebagai salah satu kepercayaan orang Tionghoa), sehingga tidak heran kita melihat beberapa atau mungkin banyak orang Tionghoa yang begitu memberhalakan tradisi, bahkan tidak sedikit orang Kristen ikut-ikutan. Contoh yang jelas-jelas kelihatan adalah mereka menyembah (jasad) orang yang sudah meninggal di depan kubur. Mereka berkata bahwa itu hanya wujud menghormati, namun pertanyaannya adalah mengapa menghormati ditandai dengan sikap membungkukkan badan? Sikap membungkukkan badan itu adalah sikap menyembah. Contoh lain yang tidak terlalu kentara yaitu orangtua (bahkan beberapa di antaranya mengaku diri “Kristen” bahkan pergi ke gereja Reformed pula) mengindoktrinasi anaknya bahwa HANYA orangtua yang paling mengerti anak dan setiap keinginan orangtua HARUS ditaati.


Dari konsep inilah, terbentuklah suatu konsep nyeleneh: jadul is the best! Sebenarnya istilah ini saya pinjam dari seorang teman gereja saya, Sdr. Indra Oei waktu dia mengomentari salah satu status saya di Facebook. Namun lama-kelamaan, saya memikir ulang dan mencoba menajamkan istilah ini. Apa ciri-ciri para penganut konsep “jadul is the best”? (para penganut konsep ini adalah orang-orang jadul {=jaman dahulu} yang berusia 40 tahun ke atas atau atau orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun namun dengan konsep seperti orang yang berusia di atas 40 tahun)
Pertama, mereka selalu menekankan bahwa hal-hal terdahulu itu adalah hal yang paling benar. Standar kebenarannya adalah waktu (usia). Kita bisa melihat contoh praktisnya ketika kita mencoba memberitakan Injil kepada orang-orang tua. Mengutip Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M., beberapa orang tua itu selalu berkata bahwa Kekristenan itu muncul lebih muda dari agamanya (Budha atau Kong Hu Cu atau sejenisnya), jadi yang paling benar adalah agama mereka. Lalu, Ev. Yakub Tri Handoko bertanya, apakah sebelum agamanya ada, apakah ada agama lain yang lebih dulu ada? Orang tua itu yang mengerti sejarah akan menjawab, ADA. Kemudian, Ev. Yakub bertanya lagi, mengapa orang tua ini menganut agamanya sekarang dan TIDAK menganut agama yang lebih dulu dari agamanya tersebut? Si orang tua ini menjawab, “Ya, karena agama yang saya anut sekarang ini lebih benar.” Dari contoh ini, kita telah melihat ketidakkonsistenan standar kebenaran dari si orang tua ini: di satu sisi, standar kebenaran di awal pembicaraan tersebut adalah waktu, namun setelah dipertajam lagi oleh Ev. Yakub Tri Handoko, ia menyangkal teori pertamanya lalu memunculkan teorinya yang kedua, yaitu kebenaran TIDAK diukur berdasarkan waktu. Cape dech… Benar-benar aneh ya. Makin tua bukan makin cerdas dan bijaksana, tetapi makin aneh! HahahaJ Itulah wujud dunia kita (dan orang tua) yang tidak mengenal dan tidak beriman di dalam Kristus.

Kedua, mereka selalu membandingkan zaman sekarang dengan zaman dahulu. Karena standar kebenaran penganut konsep ini adalah waktu, maka tidak heran, biasanya mereka gemar membandingkan zaman sekarang dengan zaman dahulu, lalu mengambil kesimpulan zaman dahulu lebih beres daripada zaman sekarang. Di dalam Kekristenan, ada golongan Kekristenan yang terlalu ekstrem mengagungkan lagu-lagu dan musik-musik zaman dahulu, lalu mengatakan bahwa lagu-lagu dan musik-musik zaman dahulu lebih bermutu. Di satu sisi, kita melihat konsep ini ada benarnya (separuh kebenaran). Kalau kita memperhatikan fakta di zaman sekarang vs di zaman dahulu, kita memang mengakui bahwa manusia makin modern bukan hidup makin beres, tetapi makin kacau. Contoh, free-sex lebih banyak terjadi di zaman sekarang ketimbang di zaman dahulu. Contoh lain, banyak lagu-lagu rohani Kristen di zaman dahulu memang lebih bermutu secara isinya ketimbang beberapa (atau mungkin banyak?) lagu rohani kontemporer yang populer zaman sekarang yang kebanyakan bertujuan market-oriented. Namun hal ini TIDAK berarti zaman dahulu itu segala-galanya. Kalau kita belajar dari sejarah, maka kita belajar bahwa justru zaman dahulu itu embahnya hal-hal (ajaran dan praktik) yang tidak beres yang terjadi di zaman sekarang. Mengapa ada orang di zaman sekarang yang masih takut buang air kecil di bawah pohon besar? Tentu ini dipengaruhi oleh tradisi di zaman dahulu yang menganut mistisisme atau panentheisme yang mengajarkan bahwa “Allah” itu hadir di dalam setiap bagian dari alam (atau dinamisme). Berkenaan dengan lagu rohani, Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri mengakui bahwa TIDAK semua lagu klasik/himne itu benar semua dan TIDAK semua lagu rohani kontemporer itu salah semua.

Ketiga, mereka selalu menjelekkan zaman sekarang (anti zaman sekarang). Ciri terakhir yang paling ekstrem dari penganut konsep ini adalah mereka dengan bangganya membanggakan zaman dahulu dan secara membabibuta menjelekkan zaman sekarang. Namun sambil mengatakan hal tersebut, tiba-tiba HPnya berbunyi tanda panggilan masuk, lalu orang ini mengambil hand-free-nya untuk dikenakan di telinganya. Aneh bukan? Sambil anti terhadap zaman sekarang sambil menggunakan produk zaman sekarang (misalnya: HP, hand-free, mobil terkini, laptop, rekreasi ke tempat modern {seperti: Hawaii, dll}, bahkan BlackBerry). Kalau para penganut konsep ini mau konsisten dengan konsepnya sendiri, maka seharusnya mereka TIDAK usah menggunakan HP apalagi menggunakan hand-free, lalu belilah mobil-mobil yang tidak menggunakan AC, tidak perlu berekreasi ke Hawaii, dll. Biarlah mereka menyadari keanehan dan ketidakmasukakalan konsep mereka.


Bagaimana sikap orang Kristen terhadap konsep jadul is the best?
Pertama, Allah adalah Pencipta waktu, berada di dalam waktu, sekaligus melampaui waktu. Di dalam Kejadian 1:5, Allah berfirman, “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Di sini, kita belajar bahwa Allahlah yang pertama kali menciptakan waktu dengan pertama-tama membedakan siang dengan malam. Waktu tersebut diciptakan Allah bukan untuk Allah namun untuk dunia. Hal ini Allah maksudkan untuk mengajar kita bahwa dunia kita ini terbatas oleh waktu (dan ruang). Selain menciptakan waktu, Ia juga bisa berada di dalam waktu. Inkarnasi Kristus (Allah menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) menunjukkan God is in history (Allah ada dalam sejarah). Allah ada di dalam sejarah/waktu membuktikan adanya pemeliharaan (providensia) dan campur tangan Allah secara langsung di dalam sejarah/waktu di dunia ini. Namun di bagian lain, Allah yang sama adalah Allah yang melampaui waktu (omnipresent/Mahahadir). Allah yang Mahahadir adalah Allah yang bisa hadir kapan saja dan di mana saja sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Ketiga pemikiran relasi Allah dengan waktu ini HANYA bisa terjadi pada Allah sebagai Pribadi yang bereksistensi (berada). “Tuhan” yang tak berpribadi atau bahkan yang hanya sebatas hukum alam mampu menciptakan, berada di dalam, dan melampaui waktu, karena “Tuhan” tersebut adalah sesuatu yang MATI! Sungguh mengasihankan orang yang percaya pada hukum alam atau “Tuhan” yang tak berpribadi, karena secara otomatis, hidup orang ini tidak bermakna.

Kedua, standar kebenaran: Allah. Dari konsep relasi Allah dengan waktu, maka kita belajar satu prinsip penting bahwa standar kebenaran sejati adalah Allah. Mengapa? Karena hanya Allah dan kebenaran-Nya yang bersifat kekal yang melampaui ruang dan waktu. Kebenaran-Nya itu termaktub di dalam Alkitab. Dengan kata lain, benarkah Alkitab itu sesuatu yang jadul? TIDAK! Mengutip perkataan Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D. di dalam catatan di Seminar: The Battle of The Bible: Current Controversy on the Bible and Its Authority kemarin (25 September 2010), berkenaan dengan inspirasi dari Allah, Alkitab itu bersifat organis, yaitu: mengandung pribadi (personhood of the Word) dan bersifat relasional dan personal. Karena bersifat relasional dan personal, maka tentu saja Alkitab TIDAK pernah dikatakan jadul, namun melintasi waktu. Artinya, Alkitab itu bukan hanya berlaku di zaman dahulu saja, namun juga berlaku sampai sekarang. Dengan kata lain, Alkitab itu selalu up-to-date, karena isinya adalah wahyu Allah. Semakin banyak orang zaman sekarang yang mengkritik Alkitab dan membuktikannya salah melalui bukti-bukti yang diklaimnya akademis dan ilmiah, mereka sebenarnya hendak membuang Alkitab, lalu menggantikannya dengan standar diri sendiri sebagai “kebenaran” yang sendirinya tidak bisa dipercaya. Aneh bukan? Mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., konsep ini berarti: diri sendiri beriman kepada diri sendiri yang sendirinya tidak bisa dipercaya sebagai kebenaran. Inilah logika yang tidak logis (Pdt. Sutjipto menyebutnya: illogical logic).

Bandingkan kebenaran dari Allah dengan kebenaran yang diukur dari pikiran, perasaan, pengalaman, atau bahkan yang konyol (meskipun kelihatan “logis”): WAKTU. Mereka tidak menyadari bahwa standar kebenaran yang mereka adalah suatu standar relatif yang bisa salah dan berubah-ubah. Jika saya “beriman” kepada konsep X di zaman A, maka konsep X tersebut pasti diubah/berubah ketika zaman beralih dari A ke B. Lalu, jika kita terus mengikuti kebenaran sesuai dengan waktu, sampai kapan kita baru menetapkan standar kebenaran kita? Apakah sampai menunggu kita meninggal, baru kita menetapkan standar kebenaran? Aneh bukan? Inilah keanehan orang yang terus ikut arus zaman, seperti ikan MATI!

Ketiga, ujilah segala sesuatu sesuai dengan kebenaran Allah. Karena kita percaya bahwa standar kebenaran adalah Allah dan firman-Nya, maka sudah seharusnya kita sebagai umat pilihan Tuhan menaati firman-Nya. Dengan menaati dan bersumber pada firman-Nya yang tak mungkin bersalah, kita menguji segala sesuatu di dunia kita dengan bijaksana dan kritis. Hal-hal di zaman dahulu maupun di zaman sekarang harus diuji di bawah terang Alkitab. Pengujian ini menunjukkan bahwa kebenaran sejati TIDAK mungkin bisa dikalahkan oleh “kebenaran” picisan sekaligus kebenaran di luar Allah dan kebenaran-Nya yang sejati di dalam Alkitab tidak layak dijadikan standar baku. Pengujian kritis ini dilakukan dengan dua hal:
Pertama, menerima yang benar. Ketika kita mendapati hal-hal di zaman dahulu yang beres dan sesuai dengan Alkitab, terimalah itu sebagai kebenaran, karena kita percaya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth). Bahkan ketika kita menerima dan mempelajari hal-hal di zaman dahulu, kita makin bijaksana, karena mayoritas hal di zaman dahulu lebih mengajar kita tentang pentingnya etika, dll. Misalnya, beberapa filsafat dari filsuf Yunani kuno (Socrates, Plato, dan Aristoteles) dan filsafat dari Timur (seperti: Konfusianisme dan Taoisme) ada yang benar. Demikian halnya dengan hal-hal di zaman sekarang yang menekankan perubahan (dengan tindakan ekstremnya: perubahan yang tambah kacau). Jika kita tidak berubah, itu menunjukkan kita bukan manusia, karena manusia semakin lama pasti memiliki sifat perubahan entah itu kerohanian, fisik, karakter, dll.
Kedua, menolak yang tidak benar. Penolakan tersebut didasarkan pada ketidaksesuaian dengan Alkitab dan kekontradiksian konsep-konsep di luar Alkitab. Di antara filsafat-filsafat di atas yang mengandung beberapa unsur kebenaran, tentu juga mengandung unsur-unsur yang tidak benar. Hal-hal yang tidak benar yang melawan Alkitab itulah yang harus ditolak, misalnya: penyembahan nenek moyang (meskipun diklaim oleh beberapa orang bahwa itu hanya “menghormati”), percaya pada banyak ilah, dll. Demikian juga berlaku bagi hal-hal di zaman sekarang yang menekankan perubahan tanpa batas dan tanpa aturan. Konsep ini jelas salah, karena kita berubah pun harus sesuai dengan kebenaran Allah (misalnya, diubah oleh pembaharuan akal budi di Roma 12:2). Selain itu, kita juga melihat adanya kekontradiksian konsep-konsep di luar Alkitab. Misalnya, jika ada orang tua yang meneriakkan anti zaman sekarang, coba ceklah gaya hidupnya, biasanya mereka sambil meneriakkan anti zaman sekarang, tetapi anehnya juga menggunakan HP, dll yang adalah produk zaman sekarang. Contoh lain, jika ada anak muda yang meneriakkan anti-otoritas, di saat yang sama, ia sedang meneriakkan otoritas diri yang harus didengarkan perkataannya oleh orang lain. Coba Anda tidak mendengarkan teriakannya itu, dia pasti marah. Jadi, istilahnya: anti-otoritas yang tidak pernah anti terhadap otoritas!


Melalui 3 sikap iman Kristen terhadap konsep jadul is the best, maka diharapkan orang Kristen makin lama makin bijaksana menghadapi tradisi dan waktu, kemudian meletakkan di bawah terang firman Tuhan untuk menguji kebenarannya. Amin. Soli Deo Gloria.

KOINONIA-3: Koinonia dan Ibadah-2 (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.-Cand.)

KOINONIA-3:
Koinonia dan Ibadah-2


oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Yohanes 4




“Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (4:23-24)

Ibadah merupakan pusat kehidupan manusia seperti poros sebuah roda. Berkenaan dengan penyembahan yang benar kepada Allah, Tuhan Yesus menegaskan soal waktu bukan tempat. Saatnya akan tiba dan sudah tiba sekarang. Dalam Injil Yohanes, “saat” menunjuk pada saat kematian dan kebangkitan Yesus (12:27; 17:1). Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadikan Gerizim dan Yerusalem tidak lagi sebagai poros bagi kehidupan umat Allah.

Dalam perjanjian yang lama (bdk. Ul. 12), tempat di mana beribadah merupakan hal yang penting. Namun ketika saatnya tiba, tempat tidak lagi menjadi suatu yang utama. Kematian dan kebangkitan Yesus merupakan saat penggenapan bagi ibadah yang sejati, yaitu menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran.

Roh menunjuk pada Roh Kudus. Yohanes menyaksikan Roh turun atas Yesus (1:29-34). Kepada Nikodemus, Yesus menegaskan perlunya lahir dari Roh (3:5-8). Menyembah dalam Roh berarti menyembah dalam Roh yang melahirkan kembali, Roh yang menghibur, Roh yang memimpin dalam kebenaran (14:7; 15:26).

Menyembah Allah dalam kebenaran sejalan dengan penegasan Injil Yohanes tentang kebenaran. Bagi Yohanes, kebenaran menyatakan realitas yang digenapi oleh Yesus. Hukum disampaikan melalui Musa, tetapi anugerah dan kebenaran dinyatakan oleh Yesus Kristus (1:17). Ayat ini tidak bermaksud bahwa Musa salah, melainkan kebenaran adalah penggenapan dan kepenuhan penyataan Allah melalui Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Ia adalah kebenaran itu sendiri. Kebenaran menunjuk pula kepada firman-Nya. Beribadah dalam kebenaran sejalan dengan realitas baru yang digenapi oleh Yesus Kristus.

Ibadah dalam Roh dan kebenaran berakar pada hakekat Allah itu sendiri. Allah adalah Roh (4:24). Ketika Alkitab menyatakan Allah adalah Roh bukan sekadar menunjuk pada ketiadaan tubuh melainkan menunjuk pada kuasa dan hakekat Allah.

“Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (4:26)

Perempuan Samaria kini menyadari bahwa Yesus bukan sekadar seorang nabi. Cukup banyak nabi yang ia kenal. Tidak asing baginya bertemu dengan seorang nabi. Namun kali ini, ia menyadari bahwa Yesus adalah Mesias (Kristus). Selama ini, ia dan bangsanya bukan hanya mempunyai nabi bahkan lima allah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Berhadapan dengan Yesus, Mesias, perempuan Samaria diperhadapkan dengan “suami” yang sebenarnya.

Sebagaimana orang Yahudi, perempuan Samaria mewakili bangsanya menyatakan kerinduannya akan kedatangan Mesias. Namun tidak disangkanya, kini ia berhadapan dengan Mesias. Mesias yang bukan sekadar nabi, tapi sekaligus korban yang sempurna bagi penebusan dosa. Mesias yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya memberikan jalan penggenapan bagi ibadah yang sejati.

“Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (4:34)

Ibadah yang sejati bukan saja memberikan identitas yang baru di dalam Mesias, tetapi juga memberikan arah yang baru. Bagi perempuan Samaria, pertemuannya dengan Yesus menantangnya untuk mengenali dirinya bukan berdasarkan tempat tetapi berdasarkan karunia Allah. Para murid sekembalinya mereka dari mencari makanan ditantang untuk memikirkan kembali arti makanan bagi mereka.

Jikalau tempat memberikan identitas dan rasa aman bagi perempuan Samaria, bagi para murid, makanan diperlukan untuk bisa tetap hidup dan melanjutkan perjalanan sehingga tidak berada di tempat yang tidak menyenangkan seperti Samaria. Namun perkataan Tuhan Yesus mengingatkan mereka arti makanan dalam kaitan dengan ibadah yang sejati.

Makanan tanpa kesadaran akan ibadah yang benar akan menghasilkan kekacauan seperti yang tampak dalam jemaat Korintus. Makanan tanpa menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran hanya akan menjadi sumber pemenuhan diri sendiri. Makanan bagi setiap orang yang menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus menjadi kekuatan sebagaimana dilaksanakan dalam Perjamuan Kudus.

Makanan tidak lagi sebagai pemisah antara sesama manusia seperti awal peristiwa ini. Minuman telah menjadi persoalan yang berasal dari keterpisahan Yahudi dan Samaria. Kita dipanggil untuk menggemakan perkataan Tuhan Yesus bahwa “Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”

“Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (4:35)

Tempat bukan lagi pengikat. Tempat adalah ladang yang siap untuk dituai. Perempuan Samaria yang awalnya begitu sukar memberikan minum kepada Yesus, seorang Yahudi, kini dengan sukacita mengabarkan Mesias yang ditemuinya kepada kaum sebangsanya.

Ibadah dalam Roh dan kebenaran berdasarkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus memulihkan hidup kita. Ibadah tidak berakhir pada diri kita, tetapi meneruskannya menjadi misi kerajaan Allah. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan turut dalam retreat “Practicing Resurrection” yang diadakan oleh CINO and Russet Farm. Mereka tidak sekadar menyampaikan ceramah dan membahas tema dengan perkataan namun juga dengan mempraktekkan dalam semua rangkaian acara retreat.

Kini kita beribadah dalam penggenapan waktu setelah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Kita dimungkinkan beribadah dalam Roh dan kebenaran. Ibadah yang sejati menghasilkan air hidup yang mengalir sampai pada hidup yang kekal.



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=41:yohanes-4-koinonia-dan-ibadah-bagian-kedua&catid=28:koinonia&Itemid=42



Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

22 September 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:8-13 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:8-13

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 8:8-13



Bagian ini masih berkaitan erat dengan “pengetahuan” yang dibanggakan oleh jemaat Korintus (8:1-2). Apa yang mereka sebut “pengetahuan” ternyata bukan hanya “ketidakadaan berhala” (8:4-7), tetapi juga “ketidakadaan hubungan antara makanan dan kerohanian” (8:8). Berangkat dari pemahaman bahwa makanan tidak membuat seseorang lebih jauh maupun lebih dekat kepada Allah, jemaat Korintus menganggap makan di kuil sebagai tindakan yang tidak akan berpengaruh pada kerohanian mereka.

Alur berpikir Paulus dalam bagian ini dapat diterangkan sebagai berikut. Ia memulai bagian ini dengan mengutip pandangan jemaat Korintus yang mereka pakai untuk membenarkan tindakan makan di kuil berhala (8:8). Ia selanjutnya memberikan respons terhadap hal ini. Ia tidak membenarkan maupun menyalahkan pandangan jemaat Korintus. Sebaliknya, ia memilih untuk menyoroti kesalahan dalam penerapan pandangan tersebut. Kebebasan Kristiani tidak berarti “bebas melakukan apa pun yang dianggap benar”. Kebebasan Kristiani harus mempedulikan orang lain supaya jangan menjadi batu sandungan (8:9). Bukti konkrit dari menjadi batu sandungan adalah mendorong orang-orang yang hati nurani lemah untuk makan di kuil sebagai tindakan penyembahan berhala (8:10). Pengaruh negatif ini membawa konsekuensi yang sangat serius: orang yang terpengaruh akan binasa dan mereka yang menjadi batu sandungan telah berdosa terhadap gereja dan Kristus (8:11-12). Sebagai konklusi, Paulus mengajarkan prinsip hidupnya sendiri berkaitan dengan makanan, yaitu tidak mau makan sesuatu jika hal itu menyebabkan orang lain tersandung (8:13).


Pandangan Jemaat Korintus (ay. 8)
Penerjemah LAI:TB memberikan tanda petik dua untuk keseluruhan ayat 8 sebagai petunjuk bahwa ayat ini merupakan sebuah kutipan. Penerjemah maupun penafsir yang lain belum mencapai kesepakatan tentang hal ini. Mereka mengusulkan tanda petik hanya untuk frase “makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah” (NRSV).

Alasan berikut ini tampaknya lebih mendukung pandangan pertama: (1) kata sambung “tetapi” di awal ayat 9 menegaskan kontras antara keseluruhan ayat 8 dengan apa yang ingin disampaikan Paulus mulai ayat 9; (2) Paulus menyebut sikap di ayat 8 sebagai “kebebasanmu”; dengan demikian ia tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang diutarakan di ayat 8; (3) keseluruhan ayat 8 sesuai dengan sikap jemaat Korintus yang memang cenderung mementingkan kebebasan (bdk. 6:12; 10:23). Dari ayat 8 terlihat bahwa jemaat Korintus menggunakan sebuah pandangan umum tentang makanan, lalu mengaplikasikan hal itu dalam konteks makan di kuil berhala. Hal ini tersirat dari penggunaan kata “makanan” (brōma) yang lebih umum. Kata ini berbeda dengan eidōlothutōn (8:1) maupun brōseōs tōn eidōlothutōn (8:4).

Mereka berpendapat bahwa makanan tidak membawa (parastesei) seseorang kepada Allah. Kata parastēsei bisa bermakna positif (“membawa lebih dekat”) maupun negatif (“menyeret ke pengadilan ilahi”). Hampir semua terjemahan berpihak pada pilihan ke-1, walaupun kata parastēsei dalam beberapa kasus dipakai sebagai istilah teknis di bidang hukum. Terlepas dari pilihan mana pun yang kita ambil, makna ayat ini tetap jelas: makanan tidak mempengaruhi relasi kita dengan Allah. Makna ini bahkan dipertegas di bagian terakhir ayat 8. Makan atau tidak makan ternyata tidak membawa pengaruh apa pun bagi relasi kita dengan Allah.

Bagaimana jemaat Korintus bisa memiliki konsep seperti ini? Para penafsir meyakini bahwa konsep ini dibangun dari ajaran Paulus seputar makanan. Orang Kristen tidak terikat dengan berbagai macam aturan tentang makanan, karena semua makanan adalah baik (1Tim. 4:4). Peraturan tentang makanan hanyalah peraturan manusia yang tidak bernilai kekal (Kol. 2:20-22). Makanan tidak akan mempengaruhi posisi seseorang di hadapan Allah (Rm. 14:2-3, 6). Beberapa penafsir juga menduga jemaat Korintus mendapatkan konsep seperti di atas berdasarkan analogi dari sunat. Dalam ajaran Paulus sunat dapat dianggap sebagai hal yang netral maupun negatif. Di satu sisi Paulus meminta Timotius untuk menyunatkan dirinya supaya ia bisa diterima orang-orang Yahudi dengan lebih baik (Kis. 16:3). Di sisi lain ia melarang sunat jika hal itu dianggap sebagai alat pembenaran di hadapan Allah (Gal. 5:2).

Pendeknya, bagi Paulus sunat sama sekali tidak memiliki nilai tambah bagi relasi seseorang dengan Allah (1Kor. 7:19; Gal. 5:6; 6:15). Prinsip seperti inilah yang mungkin diterapkan jemaat Korintus dalam hal makanan.


Respons Paulus (ay. 9-13)
Apa yang dipegang oleh jemaat Korintus sebenarnya tidak salah, karena itu Paulus pun tidak memberikan kritikan tentang hal ini. Yang salah adalah aplikasi dari pandangan itu. Ada perbedaan esensial antara makan makanan biasa dan makan makanan persembahan berhala di kuil. Poin ini nanti akan disinggung secara implisit di pasal 8. Di pasal 10 Paulus secara terus-terang akan menjelaskan bahwa makan di kuil berhala sama saja dengan menyembah berhala (10:19-21). Di 8:9-13 Paulus lebih memilih untuk menyoroti kesalahan aplikasi ini dari sisi akibat yang ditimbulkan bagi orang lain maupun orang yang melakukan.

Kebebasan Kristiani tidak boleh menjadi batu sandungan bagi orang lain (ay. 9)
Ayat ini dimulai dengan nasehat untuk berjaga (blepete, LAI:TB “jagalah”). Bentuk present tense yang dipakai menunjukkan tindakan ini perlu terus-menerus dilakukan. Kata dasar blepō sendiri secara hurufiah berarti “melihat”, tetapi sering kali dipakai dalam arti “berhatihati” (NIV) atau “memperhatikan” (KJV/NASB/RSV/ESV). Paulus secara hati-hati menyebut sikap jemaat sebagai “kebebasanmu itu”. Ia tidak mau menyebut ini sebagai kebebasan Kristiani yang sejati. Ini adalah kebebasan versi mereka, yaitu kebebasan yang didasarkan pada pengetahuan semata-mata (bdk. 8:1).

Kata Yunani di balik kata “kebebasan” adalah exousia. Kata ini mengandung makna “otoritas”, “wewenang” atau “hak”. Kata ini merupakan salah satu kata favorit jemaat Korintus (6:12; 10:23; LAI:TB menerjemahkan exousia di dua teks ini dengan “diperbolehkan”). Dari penggunaan kata ini terlihat bahwa isu yang dibahas bukan hanya bebas melakukan sesuatu, tetapi berhak melakukan. Justru hak atau otoritas inilah yang dijadikan dasar bagi kebebasan. Bagi mereka selama suatu tindakan mendapat pembenaran secara intelektual, maka itulah hak yang boleh dipegang atau dituntut.

Paulus menyebut tindakan mereka sebagai batu sandungan (proskomma). Di 8:13 ia memakai kata skandalizō dengan arti yang sama. Melalui kata ini tersirat bahwa apa yang dilakukan bukan hanya menimbulkan syak atau ketidaknyamanan secara emosi. Tindakan ini menyebabkan orang lain jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala.

Contoh konkrit menjadi batu sandungan (ay. 10)
Istilah “duduk makan di dalam kuil berhala” (en eidōleiō katakeimenon) yang dipakai di ayat ini merupakan istilah teknis yang merujuk pada bagian dari ibadah di kuil. Berbeda dengan pemahaman modern tentang ibadah dan makan bersama, pada jaman dahulu makan bersama dianggap sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari ibadah. Mereka yang makan di kuil berarti turut dalam penyembahan tersebut (poin ini akan dibahas secara detil di 10:19-21).

Yang menarik perhatian dalam ayat ini adalah bagaimana orang-orang yang lemah hati nurani dapat melihat orang-orang yang berpengetahuan sedang makan di dalam kuil. Mereka bukan hanya menemukan atau mendengar, namun melihat. Situasi ini hanya dimungkinkan apabila orang-orang yang lemah diajak oleh orang-orang yang berpengetahuan untuk pergi ke kuil. Orang yang berpengetahuan bahkan bukan sekadar mengajak namun mendorong orang-orang yang lemah untuk melakukan hal yang sama. Mereka sangat mungkin ingin memaksakan “pengetahuan” yang mereka miliki kepada mereka yang lemah. Dalam hal ini mereka bermaksud “membangun” orang lain. Ironisnya, orang-orang yang lemah justru dikuatkan (oikodomeō) untuk jatuh dalam penyembahan berhala, padahal mereka seharusnya membangun (oikodomeō) orang lain dalam kasih (8:1).

Akibat serius yang ditimbulkan (ay. 11-12)
Keputusan Paulus untuk memilih kata “batu sandungan” merupakan pilihan yang tepat. Akibat yang ditimbulkan memang bukan hanya perasaan orang lain terusik atau orang lain merasa syak. Akibat yang muncul jauh lebih serius daripada sekadar masalah emosi.

Pertama, akibat untuk orang lain (ay. 11). Peletakan kata “binasa” (apollutai) di awal kalimat menyiratkan penekanan bahwa orang itu sungguh-sungguh binasa. Sebagian orang merasa terganggu dengan peringatan seperti ini, karena dianggap berkontradiksi dengan doktrin jaminan keselamatan di dalam Kristus yang tidak bisa hilang. Sebagai solusi mereka mengusulkan agar kata apollumi di sini tidak dipahami sebagai kebinasaan kekal secara rohani. Jika kita konsisten dengan penggunaan kata ini dalam tulisan Paulus secara umum maupun surat 1 Korintus secara khusus (1:18; 10:9-10; 15:18), maka kita sebaiknya tetap mengambil kata apollumi dalam arti “binasa secara kekal”.

Pandangan ini sebenarnya tidak bertentangan dengan jaminan keselamatan. Apa yang dilakukan oleh jemaat Korintus yang makan di kuil adalah penyembahan kepada roh-roh jahat (10:19-21). Jika ini terus berlangsung, maka keselamatan seseorang jelas berada dalam bahaya yang sangat besar. Di tengah bahaya besar yang mengancam seperti ini kita tidak bisa mengharapkan Paulus mengajarkan kepastian keselamatan. Hal itu akan berpotensi menguatkan jemaat tetap dalam dosa. Kita juga perlu menyadari bahwa doktrin jaminan keselamatan tidak berarti kebebasan untuk berbuat dosa terus-menerus. Allah menjamin keseamatan seseorang dengan cara memampukan orang itu untuk menaati Dia. Jadi, peringatan Paulus di sini sama sekali tidak bertentangan dengan kepastian keselamatan. Paulus hanya meletakkan suatu kebenaran ada porsi yang sesuai. Seandainya orang yang lemah benar-benar binasa, maka yang menjadi penyebab adalah “pengetahuan” dari orang-orang yang merasa diri pandai (ay. 11“karena pengetahuanmu itu”). Melalui ungkapan ini Paulus ingin menegaskan betapa seriusnya akibat yang ditimbulkan oleh gaya hidup Kristiani yang hanya didasarkan pada pengetahuan belaka.

Memiliki pengetahuan memang tidak salah, namun pengetahuan itu harus benar-benar teruji kebenarannya dan diaplikasikan secara tepat. Dalam ayat ini Paulus sengaja menyebut orang-orang yang lemah hati nuraninya sebagai saudara dan objek penebusan Kristus (“saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati”). Keterangan ini dimaksudkan untuk mengontraskan pengetahuan dan kasih (bdk. 8:1-3). Tindakan jemaat yang didasarkan pada pengetahuan merupakan tindakan yang tidak mencerminkan kasih kepada orang lain yang sebenarnya adalah saudara di dalam Kristus. Lebih jauh, tindakan ini sangat kontras dengan sikap Kristus yang mau mati bagi orang berdosa. Kristus rela mengorbankan kemuliaan-Nya demi kepentingan orang lain, sedangkan jemaat yang “berpengetahuan” tidak mau mengorbankan kebebasan yang mereka yakini.

Kedua, akibat untuk diri sendiri (ay. 12). Paulus tidak mau memandang enteng kesalahan yang dilakukan jemaat. Ia tidak hanya menyebut tindakan ini “kurang etis”, “tidak bijaksana” atau “tidak peka terhadap orang lain”. Ia dengan tegas memandang hal ini sebagai dosa. Dosa ini ditujukan pada dua pihak: saudara-saudaramu dan Kristus. Penggunaan bentuk jamak “saudara-saudara” di ayat ini berbeda dengan bentuk tunggal di ayat 11 maupun 13. Para penafsir biasanya memahami bentuk jamak ini sebagai rujukan pada gereja secara keseluruhan. Tindakan makan di kuil yang dilakukan oleh orang-orang yang berpengetahuan memberikan citra buruk tentang orang Kristen. Orang-orang di luar akan memandang orang-orang Kristen sebagai penganut sinkretisme. Keunikan kekristenan, terutama monoteisme Kristiani (8:4-6), akan menjadi kabur.

Lebih parah lagi, tindakan di atas juga berdosa kepada Kristus. Ada dua alasan bagi pernyataan ini: (1) Apa pun yang kita lakukan terhadap saudara seiman sama dengan kita lakukan kepada Kristus, baik yang positif maupun negatif (Mat. 25:45). Hal ini sangat dipahami Paulus, karena waktu ia menganiaya orang-orang Kristen Yesus Kristus menganggap ia menganiaya Kristus sendiri (Kis. 9:4-5); (2) orang yang berbalik dari Kristus sama dengan menghina Dia di depan umum (Ibr 6:6). Dua hal ini jelas layak disebut sebagai dosa terhadap Kristus sendiri.


Prinsip Hidup Paulus (ay. 13)
Di ayat ini Paulus kembali pada prinsip umum tentang makanan. Ia tidak membahas makanan berhala secara khusus. Hal ini tampak dari penggunaan kata brōma (LAI:TB “makanan”) dan krea (LAI:TB “daging”) yang merujuk pada makanan secara umum atau daging ikan. Penggunaan kata ganti orang ke-1 tunggal (“aku”) di ayat ini menunjukkan bahwa Paulus sedang menerapkan prinsip yang dia ajarkan pada dirinya sendiri. Dia tidak hanya bisa mengajar apa yang harus dilakukan, tetapi ia hanya mengajarkan apa yang telah ia lakukan.

Selain itu, penggunaan kata ganti orang “aku” berfungsi sebagai transisi ke pasal 9 yang memberi contoh lebih jelas dan konkrit tentang bagaimana Paulus rela kehilangan hak bagi orang lain. Prinsip hidup ini dinyatakan secara tegas dalam bentuk penekanan ou mē. Penggunaan kata “tidak” sebanyak dua kali ini dalam bahasa Yunani memang memberikan makna negasi yang sangat kuat. Terjemahan yang paling pas mungkin “sekali-kali tidak” atau “tidak...sama sekali”. Paulus bahkan menambahkan “untuk selama-lamanya” (ton aiōna) untuk mempertegas hal ini. Prinsip ini bukan hanya bersifat situasional, tetapi gaya hidup yang konsisten. Paulus tidak mau menggunakan kebebasan apa pun yang dia miliki jika kebebasan itu akan menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara seiman.

Pernyataan Paulus di ayat 13 sangat berbeda dengan sikap jemaat Korintus, walaupun dua pihak sama-sama setuju bahwa makanan (bukan makanan berhala di kuil) tidak terlalu penting. Karena tidak terlalu penting, jemaat Korintus memilih untuk tetap makan, tanpa mempedulikan keberatan orang lain. Sebaliknya, Paulus memilih untuk tidak makan demi orang lain. Jika memang makanan tidak penting, mengapa kita sering kali tidak mau melepaskan hak itu? Mengapa kita sering kali memaksa orang lain untuk mengikuti kita dalam hal-hal yang sebenarnya kita tahu tidak seberapa penting? Mengapa kita tidak lebih suka mengalah demi orang lain? #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 November 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2008%20ayat%2008-13.pdf

21 September 2010

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-3: Sola Scriptura atau Alkitab + Tradisi Rasuli?

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-3:
Sola Scriptura atau Alkitab + Tradisi Rasuli?


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)


Pada bagian kedua, kita telah membahas mengenai perbedaan Sola Scriptura dengan Solo Scriptura. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana otoritas Alkitab yang kita pegang berkenaan dengan tradisi gereja? Apakah tradisi gereja setara dengan Alkitab ataukah tradisi gereja di bawah Alkitab ataukah tradisi gereja di atas Alkitab? Pada bagian ini, kita akan melihat kontras antara Protestan dan Katolik Roma.

Kristen Katolik Roma adalah sebuah agama Kristen yang mengakui Paus Benediktus XVI yang berpusat di Vatikan, Roma sebagai kepala gereja Katolik Roma. Katolik Roma seperti ajaran Protestan juga mengakui banyak doktrin/ajaran utama, seperti: Allah menciptakan dunia dan manusia, manusia telah berdosa, dua natur Kristus, penebusan Kristus bagi manusia yang berdosa, kedatangan Kristus kedua kalinya, dan percaya akan Allah Tritunggal. Namun perbedaannya ada pada pengakuan akan otoritas Alkitab. Katolik Roma tetap mengakui bahwa Alkitab itu berotoritas. Bahkan pengakuannya akan finalitas Alkitab dipaparkan dengan jelas oleh Pastor Dr. H. Pidyarto, O.Carm. berikut ini, “Gereja Katolik mengajarkan bahwa wahyu Allah itu selesai dan lengkap dengan wafatnya rasul yang terakhir. Gereja sesudah zaman para rasul tidak menerima tambahan wahyu Allah.” (Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Katolik; http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=155&Itemid=131) Namun finalitas Alkitab sebagai wahyu Allah ini menurut Katolik Roma harus dibarengi dengan otoritas Tradisi rasuli (atau disebut juga Tradisi suci) yang pertama-tama secara lisan sebagai otoritas yang menafsirkan Alkitab. Pastor Dr. H. Pidyarto, O.Carm. membedakan dua macam tradisi: Tradisi rasuli (“T” ditulis dengan huruf besar) dan tradisi gerejawi (“t” ditulis dengan huruf kecil). Tradisi rasuli yang dimaksud di sini berkenaan dengan teladan, ibadat, dan ajaran pada zaman rasuli, sedangkan tradisi gerejawi adalah penerusan dari Tradisi rasuli. Oleh karena itu, menurut paham Katolik Roma, Alkitab itu wahyu Allah yang dipelihara dan diteruskan oleh Tradisi rasuli kepada orang-orang percaya, sehingga menurut Konsili Vatikan II, Alkitab dan Tradisi rasuli “harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.”

Berbeda dengan Katolik Roma, Dr. Martin Luther meneriakkan slogan Sola Scriptura yang berarti kembali kepada Alkitab. Melalui semboyan ini, Kristen Protestan sering kali dituduh oleh beberapa pihak Katolik Roma bahwa Protestan itu anti tradisi gereja. Bagi saya, ini adalah sebuah tuduhan yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa ada tuduhan semacam ini? Karena di dalam kubu Protestantisme muncul golongan yang benar-benar ekstrem, dimulai dari gerakan Reformasi Radikal, kemudian disusul dengan gerakan Anabaptis, lalu Fundamentalisme, dan terakhir, Pentakosta/Karismatik yang meskipun gerakan-gerakan tersebut ada perbedaannya, namun intinya tetap satu: seolah-olah anti tradisi gereja. Benarkah Protestan sejati anti tradisi gereja? TIDAK! Kalau kita memperhatikan sosok dan konteks perjuangan Dr. Martin Luther, khususnya melalui buku Dr. John Calvin yang terkenal, Institutes of the Christian Religion, kita memperhatikan bahwa kedua tokoh ini bukan anti tradisi gereja, tetapi yang hendak ditekankannya adalah otoritas Alkitab jangan digeser oleh tradisi gereja. Dr. Calvin sendiri di dalam bukunya yang terkenal tersebut mengutip perkataan bapa gereja Augustinus dan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa Protestan mula-mula TIDAK anti terhadap (ajaran) dari tradisi gerejawi dari para bapa gereja. Bagaimana dengan Tradisi rasuli? Protestan jelas menerima Tradisi rasuli. Hal ini dibuktikan dengan tetap dilangsungkannya Perjamuan Kudus seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan diteruskan oleh para rasul (bdk. 1Kor. 11:23-32). Secara pengakuan iman, Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, Pengakuan Iman Chalcedon diakui oleh Protestan.

Seolah-olah dari penjelasan sekilas di atas, Katolik dan Protestan tidak ada bedanya, karena mereka sama-sama menghargai otoritas Alkitab dan juga Tradisi rasuli. Lalu, apa bedanya? Bagi Katolik, Tradisi rasuli selain Alkitab “harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.”, sehingga Tradisi rasuli dalam hal ini bersifat mengikat (mutlak), sedangkan bagi Protestan, meskipun tetap menjalankan Tradisi rasuli, tetapi Tradisi rasuli TIDAK bersifat mutlak dan mengikat. Mengapa bagi Protestan, Tradisi rasuli TIDAK bersifat mutlak dan mengikat? Karena Tradisi rasuli adalah Tradisi yang berlaku pada zaman para rasul yang TIDAK selalu harus diikuti oleh gereja sepanjang zaman. Mengapa TIDAK selalu harus diikuti? Karena para rasul Kristus sendiripun TIDAK pernah memerintahkan orang Kristen waktu itu dan kita di zaman sekarang untuk secara kaku meneruskan Tradisi rasuli. Tradisi rasuli yang mana yang TIDAK selalu harus diikuti? Jika kita menyimak perkataan Dr. Pidyarto di atas tentang definisi Tradisi rasuli, yaitu, “teladan, ibadat, dan ajaran pada zaman rasuli”, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Tradisi rasuli yang berkenaan dengan ajaran harus kita terima dengan mutlak (karena itu berkaitan langsung dengan Tuhan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya), namun berkenaan dengan ibadat, kita tidak perlu memutlakkannya. Bagaimana dengan teladan? Teladan hidup para rasul pun TIDAK perlu kita mutlakkan, karena para rasul pun juga tetap manusia yang kadang bisa berdosa. Contoh, Petrus pun sempat berlaku munafik, sehingga ditegur oleh Paulus (Gal. 2:11-14). Bahkan rasul top sekelas Paulus (yang dikenal sebagai seorang yang: keras, kuat, dan tegas) sempat berselisih tajam dengan Barnabas (Kis. 15:36-39). Mengapa berkenaan dengan ibadat dalam Tradisi rasuli, kita tidak perlu memutlakkannya? Karena ibadat pada zaman rasuli adalah ibadat yang unik yang hanya terjadi pada zaman rasuli yang tentunya berbeda bahkan SANGAT berbeda dengan zaman kita. Apakah gereja Katolik Roma yang mengklaim menghormati Tradisi rasuli juga adalah gereja yang menjalankan setiap teladan, ibadat, dan ajaran dari Tradisi rasuli tersebut?

Pertama, di Roma 16:16, Paulus menasihati antar jemaat Roma untuk bersalam-salaman dengan cium kudus (cium persaudaraan). Pertanyaan saya, apakah bentuk ibadat seperti ini harus kita aplikasikan di zaman sekarang? Kedua, apakah gereja Katolik Roma yang mengakui Tradisi rasuli memiliki kehormatan yang sama dengan Alkitab juga menjalankan cium kudus pada saat atau sebelum atau sesudah misa? Secara fakta, saya tidak pernah menjumpai cium kudus dijalankan di dalam gereja Katolik Roma.

Kedua, jika gereja Katolik Roma mempertahankan penghormatan juga terhadap Tradisi rasuli, maka tolong tanya, apakah di zaman rasuli, ada penghormatan terhadap patung Maria seperti yang dilakukan di dalam gereja Katolik sekarang? Saya mengerti bahwa orang Katolik TIDAK menyembah patung Maria, namun penghormatan berlebihan terhadap patung Maria sendiri TIDAK sesuai dengan Tradisi rasuli.

Ketiga, bagaimana juga dengan pengakuan dosa kepada pastor/uskup? Apakah Tradisi rasuli mengajarkan hal ini? Alkitab dan tentunya Tradisi rasuli mengajarkan bahwa Kristus adalah pengantara antara Allah yang Mahakudus dengan manusia berdosa, sehingga hanya kepada Kristus saja, kita dapat mengaku dosa dan meminta pengampunan-Nya. Meskipun orang Katolik mengakui bahwa Pastor tidak memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, namun pertanyaan saya, mengapa di gereja Katolik Roma terdapat liturgi mengaku dosa kepada pastor/uskup?

Keempat, Paus sebagai penerus Rasul Petrus. Orang Katolik Roma mempercayai bahwa Paus adalah penerus Rasul Petrus. Sebagai gereja yang juga menghormati Tradisi rasuli, mengapa Petrus yang diberitakan di Alkitab adalah seorang yang menikah (buktinya: Tuhan Yesus menyembuhkan ibu mertua Petrus—Mat. 8:14-17), sedangkan Paus ditetapkan tidak boleh menikah? Jadi, ini yang salah yang mana: Alkitab, Tradisi rasuli, atau yang mengaku meneruskan Tradisi rasuli?

Kelima, jika gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa Tradisi rasuli memiliki kehormatan yang sama dengan Alkitab, maka saya menyodorkan fakta bahwa banyak gereja Katolik Roma pada waktu hari raya agama mayoritas di Indonesia selalu memasang spanduk yang bertuliskan selamat menunaikan ibadah hari raya agama mayoritas tersebut, namun anehnya di saat Waisak atau Galungan/Kuningan, tidak ada spanduk serupa. Tolong tanya, apakah pada zaman rasuli, misalnya pada zaman Paulus, apakah Paulus memerintahkan jemaat Roma atau Galatia atau yang lainnya untuk mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang sekitarnya yang non-Kristen? Tidak ada catatan sejarah mengenai hal ini. Lalu, dapat ide dari mana banyak gereja Katolik Roma memasang spanduk demikian? Ada jemaat gereja Katolik Roma yang mengatakan bahwa itu adalah bentuk solidaritas atau menghormati. Saya bertanya kembali, kalau tujuannya adalah untuk menghormati atau solidaritas, mengapa hanya pada saat hari raya agama mayoritas di Indonesia dan BUKAN pada setiap hari raya agama-agama di Indonesia, seperti: Waisak, Galungan/Kuningan, dll dan bahkan juga BUKAN pada saat orang Protestan memperingati hari Reformasi Gereja tanggal 31 Oktober? Ini membuktikan ketidakkonsistenan mereka sendiri.

Akhir kata, dengan penyajian singkat ini, saya tidak hendak memusuhi saudara seiman saya, kaum Kristen Katolik, namun saya hendak menyadarkan fakta bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas tertinggi dalam iman dan praktik hidup Kristen. Tradisi rasuli meskipun tetap harus dihormati karena begitu signifikan, namun itu TIDAK bersifat mengikat. Sebuah kutipan ayat terakhir akan menyadarkan kita pentingnya Alkitab sebagai satu-satunya otoritas dalam iman dan praktik hidup Kristen, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim. 3:16; kata “tulisan” dalam teks Yunaninya: graphē yang menekankan superioritas Alkitab sebagai tulisan yang dihembuskan oleh Allah dalam iman dan kehidupan Kristen) Amin. Soli Deo Gloria.

20 September 2010

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-2: Sola Scriptura atau Solo Scriptura?

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-2:
Sola Scriptura atau Solo Scriptura?


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)



Pada bagian pertama, kita telah membahas mengenai pentingnya otoritas Alkitab di dalam iman dan praktik hidup Kristen bukan hanya dikatakan secara mulut, tetapi juga dijalankan, maka pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana Alkitab itu berotoritas? Apakah sebagai orang Kristen, kita hanya boleh membaca Alkitab saja dan dilarang membaca buku-buku sekuler dan theologi/rohani lainnya? Atau dengan kata lain, apakah orang Kristen memegang Sola Scriptura yang berarti hanya Alkitab ataukah Solo Scriptura yang berarti Alkitab saja dan tidak perlu membaca buku lain di luar Alkitab? Apa bedanya? Bagaimana orang Kristen dalam bersikap?

Sola Scriptura adalah semangat yang dicetuskan oleh reformator, Dr. Martin Luther yang bertujuan mengajak orang Kristen untuk kembali kepada Alkitab. Semangat kembali kepada Alkitab ini TIDAK berarti orang Kristen anti terhadap budaya sekitar, lalu jadi enggan membaca buku-buku sekuler dan rohani/theologi di luar Alkitab. Hal ini ditandai oleh Dr. Luther sendiri dan penerusnya yang juga berpengaruh, Dr. John Calvin yang juga mengutip tulisan-tulisan para bapa gereja, seperti Augustinus, dll di dalam bukunya yang terkenal, Institutes of the Christian Religion, bahkan Dr. Calvin sendiri di dalam bukunya tersebut mengutip tulisan para filsuf Yunani. Hal ini diikuti oleh para theolog dan hamba Tuhan Reformed di segala zaman dengan studi theologi, filsafat, dll secara mendalam di samping Alkitab. Pendiri Neo-Calvinisme yang juga seorang mantan Perdana Menteri Belanda dan gembala gereja, Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper di dalam bukunya Lectures on Calvinism mengetengahkan sumbangsih Calvinisme di dalam banyak aspek: theologi, politik, seni, sains, dll membuat Kekristenan sadar bahwa iman Kristen bukan hanya soal kehidupan rohani saja, tetapi juga mempengaruhi segala aspek kehidupan. Mengapa ini dilakukan oleh orang-orang Reformed? Karena mereka (dan tentunya semua orang Kristen yang takut akan Tuhan) sadar bahwa mereka mendapat mandat dari Tuhan untuk menebus dunia bagi kemuliaan Kristus atau dikenal dengan mandat budaya. Di dalam menjalankan mandat budaya, Kekristenan dituntut untuk mengerti semangat zaman dan hal-hal di dunia supaya nantinya kita bisa membawa kembali dunia yang berdosa ini dan menundukkannya di bawah kaki Kristus. Dengan kata lain, orang-orang Kristen dituntut untuk relevan dengan zamannya karena kita dituntut untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia/zaman kita, namun semangat untuk relevan dengan zaman TIDAK menghapuskan (atau sengaja mengaburkan) identitas kita sebagai pengikut Kristus. Artinya, relevan dengan zaman TIDAK membuat kita kompromi dengan zaman, karena kita dituntut untuk berbeda dari dunia ini sebagai wujud ibadah yang sejati kepada Allah (Rm. 12:1-2).

Kedua, orang Kristen yang memegang teguh Sola Scriptura juga dituntut untuk menjadikan Alkitab sebagai penghakim diri, orang lain, dan dunia. Artinya, Alkitab sebagai wahyu khusus Allah menguji segala sesuatu di dalam diri kita, orang lain, dan di dunia, entah itu pengajaran melalui buku, artikel, pidato, ceramah, khotbah, dll. Ketika kita belajar di sekolah, kampus atau berada di tempat kerja dan bertemu dengan banyak orang dengan beragam iman dan konsep yang dimilikinya, maka kita dituntut untuk kritis menyeleksi semuanya itu berdasarkan Alkitab. Sekali lagi, dengan menjadikan Alkitab sebagai penguji segala sesuatu, TIDAK berarti kita jadi alergi dengan hal-hal duniawi, tetapi ini membuktikan bahwa kita sebagai orang Kristen yang cinta Tuhan, kita kritis terhadap budaya sekitar, tanpa anti terhadapnya. Jangan anti terhadap tradisi, juga jangan memberhalakan tradisi, tetapi hargailah sekaligus kritislah terhadap tradisi. Jangan anti terhadap sains dan filsafat dan juga jangan memberhalakannya, tetapi hargailah dan bersikaplah kritis terhadap sains dan filsafat. Itulah sikap orang Kristen yang bijaksana yang menempatkan Alkitab di tempat yang seharusnya (di posisi tertinggi) dan hal-hal duniawi di bawahnya. Jangan berani mengaku diri Kristen, tetapi masih meletakkan Alkitab di bawah tradisi, filsafat, sains, dll.


Sedangkan Solo Scriptura adalah suatu semangat yang mirip dengan Sola Scriptura, namun bedanya, Solo Scriptura hanya memegang teguh Alkitab dan membuang semua buku dan tradisi rasuli, seperti Pengakuan Iman Rasuli, dll. Para penganut paham ini memang dapat dikategorikan setia kepada Alkitab, namun kesetiaannya kepada Alkitab menjadi kesetiaan yang semaunya sendiri, karena mereka tidak menghargai karya Tuhan melalui para bapa gereja dan theolog abad lalu dan abad ini. Mereka berpikir bahwa hanya mereka sajalah yang paling pandai mengerti Alkitab. Semangat Solo Scriptura sebenarnya merupakan semangat arogansi berlebihan yang tidak mencerminkan citra anak Tuhan dan pengikut Kristus yang seharusnya rendah hati dan terus-menerus mau bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah yang sejati. Gejala ini dapat dijumpai pada beberapa hamba Tuhan dan orang Kristen dari gereja kontemporer yang popular yang buta dengan tradisi gerejawi, seperti Pengakuan Iman Rasuli, dll yang hanya mengerti Alkitab. Tidak heran, ketika buku The Da Vinci Code muncul, kebanyakan mereka kalang kabut dan bingung, karena banyak dari mereka buta sejarah gereja. Seorang yang tidak pernah belajar dari sejarah sebenarnya adalah seorang yang sombong dan merasa tahu segala sesuatu, padahal jika ditelusuri, apa yang diajarkannya di zaman ini sebenarnya merupakan pengulangan dari sejarah abad sebelumnya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan seorang filsuf yang mengatakan bahwa pelajaran terbesar dari sejarah adalah orang tidak mau belajar dari sejarah.

Gejala ini juga dijumpai pada beberapa orang Kristen yang anti terhadap hal-hal duniawi. Misalnya, gara-gara diajari oleh si pendeta bahwa psikologi berbahaya, maka beberapa orang Kristen jadi anti psikologi dan mengatakan kepada semua orang bahwa psikologi itu bahaya dan orang Kristen tidak boleh belajar psikologi. Sekali lagi, plisss, jangan lebay (berlebihan). Psikologi memang berbahaya, tetapi hal ini TIDAK berarti orang Kristen tidak boleh belajar psikologi. Orang Kristen silahkan belajar dan studi psikologi, namun yang perlu diperhatikan, imannya harus beres terlebih dahulu, karena para pendiri psikologi, seperti Sigmund Freud, dll adalah seorang atheis. Jika imannya sudah beres, maka silahkan belajar apa saja, tetapi juga perlu diperhatikan, hal ini harus diimbangi dengan belajar Alkitab.


Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sejauh manakah kita memegang teguh otoritas Alkitab? Apakah kita menjadi seorang yang memegang teguh Sola Scriptura namun tidak anti terhadap budaya sekitar atau kita menjadi seorang Solo Scriptura yang hampir tidak ada bedanya dengan seorang penganut Gnostik “Kristen”?? Hehehe… Biarlah kita menguji diri kita. Belajarlah menghargai sejarah dan mengujinya berdasarkan Alkitab.