19 April 2009

Roma 14:10-12: KONSEP MENGHAKIMI-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-17


Konsep Menghakimi-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:10-12.



Setelah kita hidup untuk Tuhan, lalu apa yang harus kita lakukan? Di ayat 10-12, Paulus membawa kita kepada pengertian lebih jelas lagi, yaitu untuk bertanggungjawab.


Di ayat 10, Paulus mengungkapkan, “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.” Menyambung ayat sebelumnya, maka Paulus mengingatkan jemaat Roma bahwa jika jemaat Roma harus hidup untuk Tuhan karena Kristus yang telah mati dan hidup serta menjadi Tuhan atas mereka, maka hendaklah mereka tidak menghakimi saudara mereka dan bahkan tidak menghina mereka, karena kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Dari ayat ini, kita bisa belajar 2 hal penting:
Pertama, bentuk negatif, jangan menghakimi dan menghina saudaramu. Kata “menghakimi” dalam ayat ini bahasa aslinya sama dengan ayat 4 yaitu bisa diterjemahkan menghukum (punish). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah mengkritik (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 870). Lalu, kata “menghina” dalam New International Version (NIV) diterjemahkan look down (=menganggap rendah). English Standard Version (ESV) dan Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya despise (=merendahkan/membenci). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “menganggap dia rendah”. Kedua kata kerja yang dipakai oleh Paulus ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan present (sekarang). Berarti setelah kita mengerti bahwa kita hidup untuk Tuhan, berarti secara aktif, kita tidak lagi menghakimi bahkan menghina/menganggap rendah saudara kita yang lain. Di sini, kita belajar akan arti menghormati. Menghormati TIDAK berarti kompromi. Menghormati saudara seiman berarti kita saling mengasihi sesama saudara seiman di atas dasar Kebenaran. Sebaliknya, dengan kita menghakimi (mengkritik) dan menghina saudara seiman yang lain, kita sebenarnya tidak mengasihi mereka dan bahkan kita memiliki kesombongan tersendiri. Berhati-hatilah ketika kita mengkritik orang lain. Sebuah kritikan yang baik bukan menjatuhkan, tetapi membangun. Kita boleh mengkritik ajaran yang salah, tetapi ketika kita mengkritik, berikan jawaban yang benar yang membangun. Selain itu, kritikan yang beres juga didasari oleh semangat cinta kasih yang mengajar, bukan oleh ambisi emosional. Jika kita mengkritik ajaran atau orang yang tidak beres sudah dengan cinta kasih yang mengajar dan membangun, tetapi orang yang kita kritik tetap mengeraskan hati dan tidak mau menerima kritikan kita, kita sebaiknya menghentikan kritikan kita. Tidak ada gunanya terus mendesak orang yang kita kritik dengan kritikan kita, karena itu tidak membuat dia bertobat, malahan dia akan marah dan menghina kita. Saya bukan hanya berteori, saya sudah mempraktikkannya. Ketika saya mengkritik teman saya, saya mengkritiknya bukan untuk menjatuhkan, tetapi benar-benar ingin memperbaiki terutama ajaran yang dia percayai, tetapi ketika teman saya tidak mau menerima, ya, saya diamkan dan saya tidak akan mengungkit lagi. Hal kedua tentang kritikan yaitu self-critic (mengkritik diri). Kadang kala kita terlalu mudah mengkritik orang lain yang salah, tetapi jika kita yang salah, kita menutupi seindah mungkin supaya tidak ketahuan. Kita mudah melihat karakter orang lain lalu membandingkannya dengan kita. Atau mungkin juga ketika kita ingin berteman dengan seseorang, kita melihat karakter orang lain, jika karakter orang tersebut baik, kita baru berteman. Sepintas ada benarnya, tetapi banyak yang salah. Mengapa? Ada dua alasan: Pertama, karena orang ini terus mengukur diri lebih baik dan hanya mau berteman dengan orang yang cocok dengannya. Kedua, orang ini terus mengukur orang lain dibandingkan dirinya, tetapi herannya tidak mau mengukur karakternya sendiri. Perhatikan. Biasanya karakter orang yang seperti ini justru lebih parah dari orang lain yang ia ukur/hakimi, karena orang seperti ini malu mengakui kelemahan karakternya, sehingga ia mencari pelampiasan dengan melihat dan membandingkan karakter orang lain. Berhati-hatilah jika Anda atau kita termasuk orang seperti ini. Bertobatlah.
Bukan hanya menghakimi/mengkritik, Paulus juga menyinggung masalah “menghina” atau menganggap rendah orang lain. Biasanya, orang yang sudah “pintar” mengkritik orang lain, tahap berikutnya, ia akan menghina atau menganggap rendah orang yang tidak sesuai dengan dirinya (dalam hal-hal sekunder). Misalnya, dalam cara berpakaian. Si X adalah orang kota yang katanya mengerti mode pakaian lalu melihat pakaian si Y yang baginya “kacau” (Jawa: “amburadul”), lalu menghina Y bahwa Y seperti orang desa saja. Padahal jika ditelusuri, biasanya, orang yang ia kritik sebenarnya memiliki karakter (atau sesuatu) lebih baik dari dirinya (si pengkritik). Jika kita praktikkan di dalam contoh tadi, mungkin saja secara konsep nilai, pakaian si X yang katanya modern sebenarnya lebih hancur daripada pakaian si Y. Mengapa? Karena pakaian si Y yang menurut si X “kacau” sebenarnya memiliki nilai yang lebih daripada si X, masalahnya adalah si X memakai ukuran zaman sekarang untuk menilai pakaian si Y. Dengan kata lain, ketika kita menghina orang lain, kita memakai standar ukuran kita atau lingkungan kita sendiri, tanpa memperdulikan konsep nilai yang disertai Kebenaran. Padahal standar ukuran kita atau lingkungan/zaman kita sendiri itu belum tentu benar, karena zaman dan kita sendiri itu fana (tidak kekal), sehingga bisa berubah. Oleh karena itu, untuk hal-hal sekunder, jangan menghakimi apalagi menghina saudara seiman kita.

Kedua, bentuk positif, menghadap takhta pengadilan Allah. Mengapa kita tidak boleh menghakimi dan menghina saudara seiman kita? Paulus menjelaskan alasannya yaitu kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ISV, NIV, dan terjemahan dari bahasa Yunani menerjemahkannya sebagai berdiri di hadapan/depan takhta pengadilan Allah. Ketika seseorang berdiri di depan takhta pengadilan Allah, tidak ada yang bisa disembunyikan, karena Allah adalah Allah yang Mahatahu. Di saat itulah, kita mengerti bahwa ukuran apa pun yang kita pakai untuk menilai/mengkritik dan menghina orang lain akan terbuka dengan jelas di depan takhta pengadilan Allah. Berhati-hatilah, semua motivasi kita yang dulu kita tutupi akan terbuka dengan jelas kelak ketika kita berdiri di depan takhta pengadilan Allah. Tuhan tidak melihat apa pun yang nampak pada diri kita. Tuhan tidak pernah menilai kita “baik” hanya karena kita rajin ke gereja, membaca Alkitab, dll. Tuhan melihat kedalaman hati kita. Ia melihat hati dan motivasi kita yang terdalam (1Sam. 16:7b). Hati dan motivasi manusia tidak bisa dibohongi dan itulah yang diselidiki dan diuji oleh Tuhan. Hari ini, ketika firman Tuhan mengingatkan kita akan keharusan kita menghadap takhta pengadilan-Nya, marilah kita uji motivasi dan hati kita, sudahkah kita memiliki hati yang sungguh-sungguh murni di hadapan-Nya? Sudahkah kita mengasihi Allah lebih dari apa dan siapa pun di dunia ini?


Di ayat 11, Paulus mengutip Perjanjian Lama di Yesaya 45:23 untuk menyatakan ulang bahwa semua orang harus menghadap takhta pengadilan Allah. Kutipan ini agak sedikit berbeda dengan Yesaya 45:23 di kalimat pertama. Sedikit perbedaan ini TIDAK menandakan adanya pertentangan/kontradiksi, tetapi menunjukkan adanya penekanan Paulus. Kutipan Paulus itu berbunyi, “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.” Yesaya 45:23 berbunyi, “Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa,” Perhatikan sedikit perbedaan kalimat yang saya garis bawahi antara kutipan Paulus dengan teks Yesaya 45:23. Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire mengamati sedikit perbedaan ini dan menyatakan bahwa “Demi Aku hidup” yang dinyatakan Paulus sebenarnya berarti bahwa Allah bersumpah demi hidup-Nya sendiri. Ini berarti ada jaminan dari Allah sendiri tentang keMahakuasaan-Nya yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. KeMahakuasaan-Nya ditunjukkan dengan keluarnya kebenaran dari mulut-Nya yang mengakibatkan semua bangsa akan bertekuk lutut di hadapan-Nya. Di sini, Paulus mengingatkan jemaat Roma akan perkataan nabi Yesaya bahwa pengadilan Allah adalah pengadilan yang adil dan bersih, karena Ia adalah Allah yang Mahakuasa dan Benar (Truth). Pengadilan dunia bisa disuap dengan uang, kuasa, dll, tetapi pengadilan Allah tidak bisa disuap, karena Allah adalah Allah yang Berdaulat, Mahaadil, Mahakuasa, Mahakudus, dan Benar adanya. Jika kita sudah mengerti konsep pengadilan Allah ini, biarlah kita didasarkan akan keberdosaan kita, lalu kita kembali bertobat setiap hari kepada Tuhan. Hidup Kristen adalah hidup pertobatan terus-menerus, karena kita percaya itulah proses kita menuju kepada penyempurnaan akhir kelak, di mana kita menjadi serupa dengan gambaran Kakak Sulung kita, yaitu Tuhan Yesus.


Setelah memberikan penjelasan tentang pengadilan Allah, Paulus menutup penjelasannya dari ayat-ayat sebelumnya dengan kesimpulan di ayat 12, “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” Pengadilan Allah menyiratkan kepada kita akan pentingnya pertanggungjawaban. Tuhan Yesus sendiri juga mengajar hal serupa di dalam Matius 12:36, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” Perkataan Tuhan Yesus ini lebih tajam, yaitu langsung mengaitkan konsep pertanggungjawaban dengan hari penghakiman. Kita bertanggungjawab kepada Tuhan kelak di hari penghakiman, di mana Ia, “…telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” (1Ptr. 4:5) Jangan mempermainkan hari penghakiman Tuhan.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dan apa yang perlu kita pertanggungjawabkan? Paulus menjelaskan bahwa yang harus bertanggungjawab di hadapan Allah nantinya adalah setiap orang di antara kita (NIV menerjemahkannya: setiap kita). Berarti, tidak ada pengecualian, semua orang tanpa pandang bulu harus bertanggungjawab di hadapan Allah. Meskipun orang berdosa bisa lolos dari pengadilan dunia (karena sogokan uang yang banyak), maka percayalah, di hadapan pengadilan Allah, ia TIDAK akan pernah bisa lolos. Waspadalah! Lalu, yang perlu kita pertanggungjawabkan adalah segala sesuatu tentang DIRI KITA SENDIRI kepada Allah. Di sini, kita perlu memperhatikan. Allah tidak menuntut kita menghakimi dosa orang lain di hadapan-Nya. Ia menuntut KITA PRIBADI yang bertanggungjawab atas apa pun yang telah kita pikir dan kerjakan. Alasan inilah yang dipakai Paulus untuk menyadarkan jemaat Roma untuk tidak menghakimi dan menghina orang lain. Orang yang terus menghakimi dosa orang lain pasti lupa melihat kelemahan diri yang sebenarnya sama saja atau bahkan lebih parah dari orang lain. Mulai sekarang, terus introspeksi diri kita masing-masing, karena kelak, kita harus mempertanggungjawabkan DIRI KITA SENDIRI di hadapan-Nya. Setelah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing, akuilah dosa itu di hadapan-Nya sekarang dan minta ampun kepada-Nya, serta berkomitmenlah untuk TIDAK akan pernah mengulanginya lagi, karena itu mendukakan hati-Nya. Seorang yang mencintai Allah lebih dari apa dan siapa pun, ia akan tidak tega melihat Allah sedih. Adakah kita memiliki kerinduan itu?


Biarlah melalui perenungan 3 ayat ini menyadarkan kita akan pentingnya pertanggungjawaban atas apa yang telah kita perbuat kelak di hadapan-Nya. Siapkah kita kelak bertanggungjawab atas apa yang telah kita pikir dan lakukan? Biarlah hati dan motivasi kita terus-menerus dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: