28 July 2008

DUALISME DALAM KEKRISTENAN DAN KEABSOLUTAN KEBENARAN ALKITAB SEBAGAI FIRMAN ALLAH (Anna Mariana Poedji C., M.A.)

Dualisme Dalam Kekristenan dan Keabsolutan Kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah

oleh: Anna Mariana Poedji Christanti, S.Si., M.Si., M.A.




Pendahuluan: Dualisme, Sebagai Permasalahan yang Sedang Dihadapi
Manusia sekarang ini tidak lagi percaya akan kebenaran. Bahkan lebih parah lagi, bahwa mereka tak mengakui konsep kebenaran. Hal ini adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, sebab dengan tidak dapatnya kebenaran diterima, maka segala sesuatu tak lagi memiliki arah dan patokan. Artinya terjadi hilangnya fokus pada kebenaran. Selain itu akan sangat mudah bagi setiap orang untuk kehilangan kemutlakan. Di sinilah terjadi mode relativitas, sebab kebenaran bersifat tidak normatif bagi semua orang. Inilah akibat hilangnya universalitas kebenaran. Dan ketika sifat universalitas kebenaran itu hilang, maka akan terjadi juga kehilangan kebenaran universal dari suatu wawasan dunia yang utuh. Segalanya akan menjadi kebenaran-kebenaran yang sifatnya fragmental tanpa koherensi di dalamnya (Holmes, 2000:18-19).Kebenaran-kebenaran yang bersifat fragmental itu dapat terlihat di antaranya:pada banyak kalangan yang menganggap sesuatu benar di bidang agama dan sekaligus tidak benar di bidang pengetahuan serta sejarah, dan sebaliknya. Kebenaran di sini terbagi dua dan kedua bagian itu tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan beberapa akibat negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Cupples (1996:17-19).

Pertama, ilmu terpisah dari agama. Masalah spiritual terpisah dari masalah intelektual. Ajaran Alkitab tentang penciptaan jelas disangkal oleh ilmu. Sebab menurut ajaran itu segala sesuatu berhubungan dengan Allah sebagai Penciptanya, dan inilah yang disebut sebagai masalah-masalah agama. Demikian juga saat ini maraknya gejala saintisme (mengutamakan ilmu dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran sains dan menolak peranan iman seiring dengan gejala fanatisme agama (mengutamakan agama dan mengabaikan yang lainnya) yang memutlakkan kebenaran pewahyuan Allah dan menolak ilmu pengetahuan.

Kedua, iman terpisah dengan akal budi. Berbagai hal yang akali tidak dimasukkan dalam wilayah tak nyata dan tak masuk akal seperti halnya iman. Masalah iman adalah masalah yang tak dapat diukur, diraba, dilihat, dan dibuktikan secara matematis atau fisis. Sementara itu fenomena alam ini menurut intelektual harus dapat dijelaskan secara masuk akal dan hal ini ada dalam wilayah ilmu. Kegemaran manusia untuk menekuni segala hal yang terlihat, yang kasat mata, yang dapat diukur dan dihitung, dapat diperkirakan, dapat dimanipulasi sesuai dengan kehendak mereka, menyebabkan mereka sangat memegang ilmu sekuler (ilmu dugaan) lebih daripada iman. Bagi mereka, iman adalah sesuatu yang bersifat metafisika, yang tak terlihat, tak kasat mata, tak realistis, tak terukur dan terhitung, tak dapat diperkirakan, serta tak dapat dimanipulasi sesuai kehendak mereka. Sementara itu yang berhubungan dengan iman adalah Alkitab sebagai Firman Allah. Hal ini pula yang mendorong fenomena pemisahan antara iman dan ilmu, antara iman dan akal budi, secara khusus antara Kekristenan dan ilmu. Ada orang - orang yang sangat memegang ilmu tetapi terlepas dari iman (inilah golongan ilmuwan atheis); ada pula yang memegang iman begitu kuat dan tetapi tak berilmu (inilah golongan orang Kristen yang bodoh); dan ada banyak pula yang memegang keduanya secara bersamaan namun mereka cenderung mengkotak-kotakannya (inilah golongan Kristen dualisme). Keduanya tak berhubungan sama sekali, demikian ungkapan mereka.

Ketiga, iman terpisah dengan sejarah. Segala peristiwa dalam Alkitab ditolak sebagai sesuatu peristiwa yang nyata dalam sejarah kehidupan. Akibatnya, ketika seseorang berhadapan dengan Alkitab, ia bagaikan menghadapi suatu negeri dongeng atau legenda.

Keempat, pemakaian bahasa menjadi terpisah. Pemaknaan istilah-istilah tertentu disesuaikan pengalaman pembicara dan tidak memiliki arti obyektif. Perkataan seseorang hanya akan dapat dibenarkan sebagai pengungkapan pengalaman pribadi secara subyektif apabila pengalaman rohani terpisah dari pengalaman yang lain. Di sini pemakaian bahasa secara umum berubah. Hal benar secara subyektif, merupakan tanda bagi pengalaman subyektif saja. Penilaian benar dan salah hanya berlaku bagi pembicara yang bersangkutan saja, dan tidak bagi umum. Akhirnya dalam pemberitaan karya Allah yang ajaib, tak ada peristiwa-peristiwa obyektif yang benar dan yang berarti bagi semua orang di semua tempat. Demikianlah nyata terdapat penyangkalan arti dan nilai bahasa secara umum, sekaligus pengakuan iman kita secara khusus.

Kehidupan rohani dan kehidupan akademis yang terpisah tentulah berakibat buruk. Di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:(1) gaya hidup sekuler yang memisahkan Allah dari kehidupan sehari-hari; (2) kemajuan ilmu pengetahuan bersamaan dengan kemerosotan moral manusia; (3) marginalisasi iman/agama dari kehidupan masyarakat modern; (4) peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok intelektual; (5) hancurnya makna hidup berkeluarga dalam perspektif Tuhan; (6) berkembangnya gaya hidup bebas meliputi semua aspek hidup manusia; (7) tidak dihargainya otoritas, hukum, dan agama; (8) semakin merosotnya penghargaan hak azasi manusia; (9) kehidupan manusia tidak dihormati sebagaimana seharusnya; dan (10) fokus hidup pada diri sendiri dan hidup tanpa visi, misi, dan makna. Setiap orang yang beriman pasti menghadapi tantangan intelektual.

Dualisme yang terjadi pada orang Kristen membuktikan mereka beriman tanpa akal. Selain itu, dualisme akan menjadikan orang Kristen tidak dapat melakukan Firman Tuhan yang terdapat dalam Matius 5:14-16 sebab hal ini akan membuat orang Kristen tidak dapat menjadi terang bagi orang lain, sebab iman percayanya pada Kekristenan hanya bersifat pribadi dan tidak berlaku bagi orang lain.

Selain itu pula, sikap dualisme menjadikan seorang Kristen tidak ada bedanya dengan dunia ini yang lebih mementingkan pengalaman (Roma 12:2). Manusia modern yang senantiasa dilingkupi tantangan dan kegerahan atas dunia yang kejam, harus mencari pelarian kepada dunia khayal yang penuh kehangatan dan kesenangan. Pada akhirnya, pengalaman indah dalam pengenalan akan Allah menjadi suatu hal yang tak ada bedanya dengan kehangatan dan kesenangan rekayasa seperti halnya pengalaman kebatinan atau pemakaian obat bius.

Keberadaan Alkitab sebagai Firman Allah yang bernilai benar karena Allah adalah kebenaran itu sendiri lebih mustahil lagi untuk diterima. Terlampau banyak alasan untuk menolak Alkitab, bisa jadi karena anggapan bahwa Alkitab berisi berbagai macam hal yang tak dapat diterima akal, sekedar isapan jempol, dan dongeng belaka. Selain itu karena tak realistis dan tak dapatnya dimanipulasi sekehendak hati. Itulah sebabnya paparan ini disusun untuk dapat memperlihatkan kebenaran yang bersifat absolut dari Alkitab sebagai Firman Allah.


Argumentasi Apologetis Terhadap Kesalahan Pengertian
Pada dasarnya dualisme yang terjadi dalam Kekristenan tersebut berpangkal pada dikotomi iman dan ilmu. Dari sinilah munculnya berbagai dualisme Kekristenan yang lainnya. Oleh karena itu pembahasan mengenai dualisme iman dan ilmu menjadi fokus utama dalam menyusun paparan ini. Selanjutnya diharapkan dengan paparan inilah akan diperoleh gambaran dengan sendirinya berbagai dualisme lainnya berikut realita, akibat, serta premis kebenaran-Nya maupun konklusinya sebagai argumentasi apologetis yang dapat diajukan.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran Cornelius Van Til, Frame (2002:145, 156-157) mengatakan bahwa rasio (kapasitas untuk berpikir dan berlaku yang disesuaikan aturan logika, yang mencakup juga kapasitas pembentuk keyakinan, menarik kesimpulan dan merumuskan argumentasi) berhak menilai konsistensi logis dari wahyu, namun rasio itu juga harus tunduk secara mutlak kepada Allah. Allah yang rasional, memiliki sistem kebenaran yang mutlak. Rasionalitas manusia yang diciptakan Allah, sesungguhnya mengekspresikan rasionalitas Allah. Di sinilah hukum kontradiksi ini berlaku, yaitu bahwa “natur Allah terekspresi secara koherensi dalam tingkat ciptaan” (Antara Pencipta dan yang dicipta selalu ada tenggang yang penting yang disebut sebagai Kualitas Pembeda. Perbedaan secara kualitas dan perbedaan secara esensi menunjukkan bahwa antara Pencipta dan yang dicipta pasti tidak sama. (Tong, 1996:27). Bagi orang-orang tidak percaya, walaupun nampaknya mereka menindas kebenaran namun pada kenyataannya mereka tetap mempertahankan sejumlah sisa dari pengetahuan akan Allah yaitu pengetahuan akan sumber sejati dan makna dari posibilitas dan probabilitas. Merujuk kepada ‘kesadaran umum’ dari manusia di dalam pengertian ini bukan hanya sah, tetapi secara mutlak diharuskan. Allah tidak mungkin melakukan, menyetujui, atau memerintahkan apa yang salah secara moral, atau yang ‘berkontradiksi dengan hukum keyakinan yang telah Ia tanamkan di dalam natur manusia. Allah tidak ilogis, jadi Ia sangat konsisten dengan hukum-hukum dari naturNya sendiri. Allah hanya mewahyukan hal yang konsisten dengan naturNya sebagai satu Keberadaan yang mengidentifikasikan diri-Nya sendiri.

Penerimaan kemampuan rasio dalam melakukan penalaran atas realita alam sebagai ciptaan Allah justru menggambarkan harkat dan martabat manusia, demikian dijelaskan dalam pengarahan Referensi Pembina PTPAMB 1996 UK. Petra Surabaya oleh Ibu Magdalena Pranata S., S.Th., M.Si. Selanjutnya dijelaskan bahwasanya:kemampuan manusia berikut rasionya bersifat sangat terbatas, dan ada dalam wilayah natural / alamiah. Fokus penalaran manusia adalah menemukan kebenaran dalam alam semesta yang dibatasi oleh ruang dan waktu, dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Melalui proses penalaran manusia mampu menghasilkan ilmu dan teknologi, namun sifatnya relatif, belum final, dan bisa salah.

Manusia juga menerima pengetahuan supra alami, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Allah. Pengetahuan kebenaran sifatnya melampaui alam, sehingga rasio manusia tidak akan mampu untuk memahaminya. Karena manusia tidak mampu memahami pengetahuan supra alami dengan rasionya yang terbatas, Allah yang membukakan kebenaran pengetahuan supra alami itu, dengan mengaruniakan pengertian atau hikmat oleh pertolongan kuasa Roh Allah. Ketika manusia dapat mempercayai pengetahuan supra alami itu sebagai suatu kebenaran, itulah iman.

Dalam Ibrani 11:1-3, 6, 8, 13 nyata bahwa iman adalah pengembalian rasio kepada kebenaran. Iman bukan sekedar mau percaya tanpa mengetahui apa yang ia percaya. Iman bukan sekedar pengertian di dalam otak tanpa kelanjutan apapun. Tetapi iman harus sampai pada menerima, mengakui apa yang ia mengerti (Tong, 1996:29).

Segala sesuatu berhubungan dan tak terpisahkan dalam hal logika dengan fakta, atau rasio dengan pengalaman, demikian juga dalam pengalaman manusia, subyek, obyek, dan norma. Apa yang kita tahu tentang satu hal, akan mempengaruhi pengetahuan kita akan hal yang lainnya. Oleh karenanya, adalah salah jika seseorang berupaya mencari kebenaran hanya melalui wilayah natural saja sebagai suatu bentuk ciptaan, secara terpisah dari wahyu Allah yang dinyatakan juga melalui wilayah supranatural.

Sesungguhnya Allah (di dalam anugerah umumNya) mengekang tujuan-tujuan orang tidak percaya, sehingga “orang tersebut tidak dapat melaksanakan prinsipnya dengan sepenuhnya”. Sehingga, orang tidak percaya hanyalah memiliki sedikit ‘kebenaran’ yang masih dapat ditemukan. Namun anehnya, manusia telah menjadikan diri-Nya sebagai ’standar tertinggi atas apa yang benar dan salah, atas yang tepat dan keliru’. Inilah suatu bentuk penilaian yang palsu oleh manusia. Suatu bentuk kesombongan yang sama sekali tidak mendasar.

Usaha menyangkal Allah Alkitab dengan cara apapun berarti berpendapat bahwa alam semesta secara ultimat tidaklah bermakna – yaitu merupakan hasil dari peluang, atau ‘murni kebetulan’ demikianlah Frame (2002:244-245) dalam memaparkan pemikiran Cornelius Van Til. Selanjutnya dikatakan bahwa kalau toh Allah itu ada, maka bagiNya dunia ini misterius, seperti juga bagi kita. Jadi dalam hal ini, apakah gunanya kemutlakan atau berbagai penilaian yang coba dibangun manusia, bila semuanya adalah misterius (atau tanpa jawaban dan kepastian) ?

Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat kontrakdisifitas yang tak mampu dipecahkan ilmuwan sendiri. Ini terbukti bila para evolusionis yang mentahbiskan golongannya sebagai ilmuwan mempercayai adanya proses perubahan progresif dalam keseluruhan alam semesta, sementara itu dunia ilmu pengetahuan sendiri mengakui adanya hukum entropi yang merupakan ukuran kemerosotan segala yang ada di alam semesta ini sebagai suatu fakta. Secara ilmiah, entropi adalah kadar energi tak termanfaatkan di bumi ini, yang senantiasa bertambah. Ini menunjukkan adanya kontradiksifitas dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri. Secara nyata dapat menunjukkan bahwa dasar berpijak kebenaran ilmu pengetahuan masih dapat dipertanyakan dan lebih parah lagi adalah bahwa hal ini tak dapat dijadikan sebagai pedoman suatu keyakinan.

Dalam hal ini fakta alam yang diakui dunia ilmu pengetahuan, sesuai dengan catatan Alkitab mengenai kemerosotan segala sesuatu di alam ini, sebenarnya seiring kejatuhan manusia pertama kali ke dalam dosa. Yang pada akhirnya menunjukkan keterbatasan manusia, yang dapat dirangkum sebagi berikut:(1) manusia tidak mampu menciptakan atau membinasakan; (2) manusia serta lingkungannya sedang dan senantiasa merosot; dan (3) manusia tidak dapat memperbaiki alam atau wataknya sendiri tanpa pertolongan dari luar.

Iman melampaui akal budi (rasio), tetapi kalau iman Kristen itu benar, maka ajarannya harus juga masuk akal. Artinya antara iman dan akal budi seharusnya tidak bertentangan. Beriman tidak berarti mudah percaya tanpa alasan. Iman berarti keterlibatan diri secara penuh di dalam kehidupan yang berdasarkan penyataan Allah. Penyataan itu sesuai dengan kenyataan dan dengan demikian sungguh masuk akal. Akal budi dan iman berhubungan erat. Penyataan Allah dapat melalui akal budi maupun iman. Kalau iman dipisahkan dari akal budi, iman menjadi cara untuk mencapai suatu pengalaman rohani tanpa mempertimbangkan apakah ada alasannya yang logis, sehingga beriman seperti melangkah ke dalam kegelapan, bukan ke dalam terang.

Bukti bahwa iman melampaui akal budi adalah bahwa apa yang ditangkap oleh akal budi atau rasio yaitu ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tak mampu membuat penilaian mengenai apa pun yang diukurnya. Banyak orang yang berkecimpung di bidang ilmiah mengakui bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan penemuan-penemuan mereka. Dalam ilmu pengetahuan itu sendiri tidak ada sesuatu yang dapat menentukan apakah laser akan digunakan untuk persenjataan perang ataukah untuk terapi kesehatan. Penilaian semacam inilah yang samasekali tak dapat ditentukan dengan menggunakan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat menceritakan kepada kita bagaimana sesuatu bergerak, tetapi tidak dapat menerangkan mengapa pergerakan itu demikian. Apakah ada tujuan tertentu dalam alam semesta ini, tidak pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dapat memberitahukan ‘bagaimana’, tetapi tidak dapat memberitahukan ‘mengapa’, (Little, 1999:90-91).

Herlianto dalam Nisbah Antara Iman Kristen Dengan Ilmu Pengetahuan, yang dimuat dalam Surat Gembala edisi April 1991 memaparkan:
Iman sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan, karena ia memberi visi dan dimensi pelengkap untuk melihat realita materi yang lebih utuh, yaitu yang menyangkut nilai-nilai sebaliknya ilmu pengetahuan diperlukan oleh umat beriman untuk memperjelas pengertiannya dalam mengerti Firman Tuhan yang telah mewahyukannya dalam Alkitab ataupun alam. (1991:70)

Ini memberikan pengertian bahwa iman menjadi penuntun manusia untuk mengenali kehendak Allah, sedangkan ilmu dapat mengabdikan diri-Nya untuk kesejahteraan manusia dan kemuliaan nama Allah Sang Pencipta. Iman memberikan arah dan nilai sehingga ilmu dapat dikembangkan secara positif, bermoral, manusia dan bertanggung jawab. Kehidupan iman dan profesi keilmuan harus dikembangkan dalam relasi pribadi dengan Allah sebagai sumber kehidupan dan kebenaran. Dinyatakan dalam kehidupan yang bermoral, mengasihi, dan menjadi berkat bagi semua.

Jelaslah di sini bahwa iman merupakan cahaya dan kompas bagi ilmu pengetahuan, dan ilmu merupakan tongkat bagi iman. Ilmu menjadi bahasa iman yang melayani dan mengabdi masyarakat. Keduanya saling meneguhkan dan melengkapi demi mewujudkan kesejahteraan hidup bagi manusia dalam kebenaran. Demikianlah iman yang berdasarkan wahyu Allah menjadi perspektif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi landasan etis moral yang memberikan tempat tertinggi bagi hak dan kedaulatan Allah, sebagaimana dipaparkan dalam Amsal 3:5-7. Ilmu yang dihasilkan melalui proses penalaran yang ilmiah dalam integritas tidak akan konflik dan pasti harmonis dengan iman berdasarkan pewahyuan Allah yang direfleksikan secara benar dalam pimpinan Roh Kudus, begitulah ibu Magdalena Pranata S., S.Th., M.Si. menjelaskan kepada mahasiswa UK Petra Surabaya dalam kuliah Sains Penciptaan tahun 2001.

Beberapa peristiwa historis, khususnya kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret merupakan dasar ajaran Kristen. Di dalam Alkitab terdapat catatan tentang peristiwa-peristiwa tersebut serta penafsirannya. Dengan demikian, agama Kristen terbuka untuk diselidiki secara historis, tentu saja dengan resiko bahwa dasar-dasar iman dapat diserang atau disangsikan. Andaikata peristiwa-peristiwa sejarah itu dapat ditiadakan, iman Kristen turut ditiadakan. Bagaimanapun, tak akan dapat diingkari bahwasanya peristiwa historis Alkitab adalah suatu realita yang melibatkan aspek natural yang dapat ditangkap oleh akal budi atau rasio. Seorang Kristen yang mengingkari peristiwa histori Alkitab secara nyata sebagai aspek natural, maka itu berarti juga mengingkari akal budinya sendiri. Iman dan sejarah jelaslah tidak boleh dipisahkan.

Berita Kristen tak dapat dilepaskan dari fakta-fakta. Pengakuan iman tak dapat dilepaskan dari dasar historisnya. Di sinilah Kekristenan terlindung dari keraguan akibat penyelidikan historis. Iman kita berpusat pada Allah, Sang Raja sejarah, yang berkarya dalam sejarah untuk menyelamatkan umatNya dan yang akan mengakhiri sejarah pada waktunya.

Istilah pertentangan atau dualisme antara Alkitab (yang ditangkap oleh iman) dengan ilmu pengetahuan (ditangkap oleh akal budi atau rasio), seringkali merupakan pertentangan dalam menginterpretasikan fakta. Dugaan yang diterapkan seseorang pada suatu fakta tertentu, seringkali menentukan kesimpulan yang diambilnya lebih daripada fakta-fakta itu sendiri. Demikian pula argumentasi yang dapat disampaikan sehubungan dengan masalah pemisahan pemakaian bahasa.

Bagaimanapun, kepastian dan kemutlakan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting dalam kesatuan penggunaan makna bahasa yang tetap terkait dalam hal budaya dan etnis. Kehilangan fokus kebenaran yang diakibatkan adanya konsep relativisme adalah penyebab utama terjadinya bias dan pemisahan bahasa. Rasio manusia setelah jatuh dalam dosa bersifat cacat (Roma 3:23; 1:18-22) dan terjadi penyimpangan motivasi dan fokus, yang tidak pada kebenaran dan kemuliaan Allah melainkan pada diri manusia itu sendiri. Kecenderungan ini memicu ketidakjujuran dalam pemakaian dan penyampaian bahasa sehingga menjadi bebas nilai dan mengabaikan otoritas dan kedaulatan Allah. Pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Alkitab, antara ilmu dan iman, antara akal budi atau rasio dan iman, juga dalam pemakaian bahasa selama segala sesuatu berada pada koridor otoritas dan kedaulatan Allah yang menjadi muara atas segala sumber kebenaran yang sejati.


Keabsolutan Kebenaran Alkitab Sebagai Firman Allah
Allah sendiri berfirman bahwa Alkitab tersebut ditulis untuk tujuan:kita dapat mengenal Allah dan AnakNya Yesus Kristus dengan pengenalan sejati yang mendatangkan hidup yang kekal (Yohanes 17:3), inilah pernyataan Diri Allah secara pribadi. Pranata, 2002:31 memaparkan bahwa secara proposisional, Tuhan Allah menyatakan Diri-Nya secara verbal, melalui perkataan atau informasi yang dapat dipahami manusia. Ini merupakan perbuatan supranatural Allah yang menyatakan kebenaran-Nya dengan sifat kognitif, artinya dapat ditangkap oleh rasio manusia. Mengenai hal ini Arthur F. Holmes juga menerangkan dalam Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah bahwa:
Hubungan yang sama antara kebenaran proposisional dan kebenaran personal juga terlihat berkenaan dengan penyataan khusus. Kebenaran proposisional didasarkan pada kebenaran personal Allah. (2000:64).

Siapapun yang percaya akan kemahakuasaan Allah meyakini bahwa Allah adalah sumber segala kebenaran tentang segala sesuatu, dan bahwa pengetahuanNya adalah sempurna itu merupakan sumber pengetahuan kita. Sehingga apapun yang kita kejar demi memperoleh kebenaran adalah bersumber daripadaNya. Hal ini memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran itu bersifat absolut dan bahwa kebenaran itu hanya milik Allah saja.

Holmes (2000:59-60, 62, 128, 136) juga menyampaikan bahwa kebenaran bersifat absolut, yang artinya bahwa kebenaran itu tak dapat berubah, sekaligus bersifat universal, jadi selalu tetap dan tak berubah di manapun dan kapanpun. Kebenaran hanya milik Allah membuktikan bahwasanya kebenaran itu bersifat personal dan bukan bersifat otonom. Hal ini juga menjelaskan bahwa kebenaran Allah itu meliputi seluruh aspek rasional (nyata terlihat dalam alam semesta) maupun aspek kognitif manusia. Kebenaran yang dapat diperoleh manusia dari Allah itu bukan bersifat teoritis melainkan sangat personal, yaitu melibatkan hati dan pikiran manusia itu sendiri. Ini pun diungkapkan oleh David Cupples dalam bukunya Beriman Dan Berilmu bahwa:

Allah bukan suatu obyek penelitian, begitu juga Firman-Nya. Salahlah sikap kita kalau kita ingin mendekati Allah dan Firman-Nya tanpa iman (Ibrani 11:6). Dialah Allah yang hidup, yang harus kita muliakan, percayai, dan puja. Oleh sebab itu, Alkitab pun sebagai Firman Allah, tidak boleh diperlakukan sebagai buku biasa yang hanya diteliti secara obyektif dan akademis saja. Sikap netral terhadap Firman Allah sama dengan sikap netral terhadap Allah sendiri. Cara kita meneliti Firman Allah harus sesuai dengan cara kita bersekutu dengan Allah.

Dalam teknis pelaksanaannya, tidak boleh ada perbedaan mutlak antara cara kita mempelajari Alkitab dalam ibadah pribadi dan dalam ruang kuliah. Kapan saja kita membaca Alkitab, akal budi dan hati harus terlibat. Kita akan selalu berusaha untuk makin mengerti suatu nats Alkitab serta makin menghayati dan menghormati arti nats tersebut sebagai Firman yang berasal dari Allah. (1996:29)

Lebih lanjut, Frame (2002:128-131) menceritakan pemikiran Cornelius Van Til bahwa pesan Alkitab adalah suatu pesan mengenai anugerah Allah yang mutlak berdaulat dan berbicara dengan otoritas mutlak juga. Karena Alkitab adalah Firman Allah, dalam hal ini Alkitab menyampaikan otoritas ultimat Allah yang bersifat inerrancy (ketidakbersalahan Alkitab) sebagai bentuk komitmen teologis yang berdasarkan pada Pribadi Allah dan pengajaran Alkitab. Ini berarti bahwa Alkitab dalam naskah dan bahasa aslinya, menyajikan pernyataan-pernyataan yang benar sepenuhnya, meliputi berbagai bidang di antaranya bidang iman, etika, sejarah, dan alam semesta.

Pengilhaman Alkitab juga bersifat infallibility. Ini tercakup dalam kedaulatan ilahi. Allah berdaulat di dalam kekuasaan-Nya atas umat manusia yang rasional, yang berarti juga bahwa Ia berdaulat di dalam wahyu-Nya mengenai diri-Nya sendiri kepada umat manusia tersebut. Secara otomatis Allah yang berdaulat di dalam hal keberadaan, maka pastilah Ia juga berdaulat dalam bidang pengetahuan.

Allah perlu mengilhamkan Alkitab sebagai Firman-Nya yang tertulis kepada manusia. Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia tidak dapat dibiarkan sendiri, karena manusia berdosa ’sudah pasti akan salah menginterpretasikan’ tindakan-tindakan Allah yang menyelamatkan mereka itu. Oleh karena itu keberadaan Alkitab sangat penting, sehingga pesan Allah yang menyelamatkan tersebut dapat: 1) tetap ada sepanjang masa; 2) menjangkau semua umat manusia; 3) ditawarkan kepada manusia secara obyektif; dan 4) menyaksikan kebenaran-Nya di dalam diri-Nya sendiri.

Secara naturnya Alkitab berotoritas, yang menyampaikan klaim Allah akan otoritas mutlak yaitu Ketuhanan-Nya atas manusia. Dan hal itu menjadi penantang klaim manusia akan otonomi. Sehingga tidak ada yang bisa ditambahkan kepada Alkitab sebagai suatu otoritas yang setara dengan Alkitab. Di sinilah terbukti bahwa Alkitab memiliki kecukupan.

Alkitab yang sangat jelas penyataan-Nya, membuatnya tidak memerlukan ‘penengah’ antara Alkitab dengan penerimanya. Menyangkali kejelasan Alkitab berarti juga menyangkali otoritasnya. Seandainya pengajaran manusia diperlukan agar Alkitab bisa dipergunakan sebagaimana seharusnya, maka otoritas manusia tersebut menjadi otoritas ultimat di dalam gereja. Sekali lagi Alkitab tidak memiliki ketidakmampuan tersebut, sehingga sangat jelaslah bahwa Alkitab tidak memerlukan perantara agar dapat diterima targetnya.

Penyataan Alkitab sendiri terhadap diri-Nya sendiri itulah yang membuatnya pantas untuk dipercayai. Dalam 2 Timotius 3:16; 1 Korintus 2:13 dan 2 Petrus 1:20-21 nyata mengenai hal itu. Pengilhaman dalam penulisan Alkitab memberikan pengertian bahwa inisiatif penulisan itu datang dari Allah dan dikendalikan oleh Allah sendiri. Demikian juga bahwasanya nubuat-nubuat yang terdapat dalam Alkitab tidak berasal dari kehendak para penulis. Para penulis tersebut benar-benar hanyalah menyampaikan apa yang diperintahkan Allah (dengan gerakan dan kuasa dari Roh Kudus) kepada mereka sehingga mereka dikendalikan dan dihindarkan dari kemungkinan melakukan kesalahan pada saat menuliskannya, dengan tidak meninggalkan kepribadian dan gaya penulisan para penulis itu sendiri (Haan, 2000:7-8).

Sementara itu banyak sekali penemuan sains dewasa ini yang justru mendukung kebenaran Alkitab. Di antaranya kebenaran mengenai penciptaan yang dibuktikan adanya:umur bumi yang masih muda; adanya sisa bencana air bah sebagai peristiwa katastropik yang mengubah seluruh kondisi fisik bumi; runutan silsilah manusia atas bangsa-bangsa maupun kenyataan jumlah manusia yang sekarang memenuhi bumi; pengkopian sifat jenis mahluk hidup; penurunan kondisi bumi dan alam semesta yang membawa dampak global keseluruhan aspek manusia yang sejalan dengan hukum termodinamika II; catatan historis atas tokoh pelaku yang terdapat dalam Alkitab; ketepatan, keefektifan, maupun keakuratan segala sistem yang dijalankan tokoh-tokoh pelaku Alkitab sebagai bentuk pengilhaman oleh Allah. Semuanya yang menyangkut bidang ilmu pengetahuan alam, sosial, tatanegara, ekonomi, sejarah, dan lainnya ini telah membuktikan kebenaran Alkitab yang tak terbantahkan oleh siapapun dan apapun juga. Kebenaran Alkitab Sebagai Firman Allah adalah Absolut.


Perspektif Iman Kristen
Fokus utama ilmu dan iman adalah kebenaran yang bermuara pada Pribadi Allah sebagai sumber segala kebenaran. Kehidupan iman dan profesi keilmuan harus dikembangkan dalam relasi pribadi dengan Allah sebagai sumber kehidupan dan kebenaran. Dinyatakan dalam kehidupan yang bermoral, mengasihi, dan menjadi berkat bagi semua.

Selanjutnya dipaparkan bahwa dalam perspektif iman Kristen, orang Kristen mengimani Tuhan Yesus Kristus sebagai Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Artinya, demensi iman dan ilmu dalam kehidupan seorang Kristen, dibangun dalam relasi pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Sebab dari sinilah kunci seluruh jalan keluar bagi terjadinya pemisahan atau dikotomi bangunan iman Kristen. Baik iman dan maupun ilmu, keduanya dihayati sebagai karunia Allah yang harus dikembangkan sesuai dengan kehendakNya. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan kepandaian (Amsal 2:6).

Ilmu dalam kehidupan orang Kristen adalah sebagai ibadah dan tanggung jawab orang Kristen terhadap kehidupan dan alam semesta yang dikaruniakan Allah. Sedangkan iman Kristen yang berdasarkan Alkitab dan berpusat pada pribadi Yesus Kristus, menjiwai dan menjadi perspektif hidup orang Kristen terhadap realita hidup. Karena itu sesungguhnya iman Kristen bersifat dinamis, aktif, dan senantiasa relevan dengan realita kehidupan. Sebab orang Kristen yang sungguh-sungguh, seluruh aspek hidupnya terikat dalam relasi/persekutuan pribadi dengan Kristus, Penguasa alam semesta sepanjang jaman.


Daftar Pustaka
Cupples, David, terj. Beriman dan Berilmu. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia, 1996.
Frame, John M. Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Penerbit Momentum, 2002.
Haan II, Martin R. De. Apakah Alkitab Dapat Dipercaya (Seri Mutiara Iman). Terj. Okdriati Handoyo. Yogyakarta:Yayasan Gloria, 2000.
Herlianto. Nisbah Antara Iman Kristen Dengan Ilmu Pengetahuan, dalam Sahabat Gembala edisi April 1991
Holmes, Arthur F. Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah. Surabaya: Penerbit Momentum, 2000.
Little, Paul E. Akal dan Kekristenan. Terj. Inggriani Samuel. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999.
Pranata S., Magdalena. Tt Integrasi Iman dan Ilmu (Bahan Referensi Pembina PTPAMB 1996 dan kuliah Sains Penciptaan 2001 UK. Petra Surabaya)
Pranata S., Magdalena. Agama Kristen (Buku pegangan untuk kuliah agama Kristen UK Petra Surabaya) 2002.
Tong, Stephen. Iman, Rasio, dan Kebenaran. Jakarta: Institut Reformed dan Stephen Tong Evangelistic Ministries International, 1996.


Sumber: http://www.tiranus.net/?cat=5




Profil Penulis:
Anna Mariana Poedji Christanti, S.Si., M.Si., M.A. adalah dosen Sains Penciptaan di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menamatkan studi Master of Arts (M.A.) di Institut Alkitab Tiranus, Bandung.



Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

2 comments:

Anonymous said...

I inclination not approve on it. I think precise post. Specially the title attracted me to study the intact story.

Anonymous said...

Amiable dispatch and this enter helped me alot in my college assignement. Gratefulness you on your information.