22 April 2008

Roma 7:21-26: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-4

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-11


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-4 :
Jalan Keluar dari Dosa dan Fungsi Hukum Taurat

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:21-26.

Setelah mempelajari tentang efek dosa di dalam diri manusia terhadap Taurat, Paulus akan memberikan jalan keluar dari masalah dosa tersebut dan fungsi Hukum (Taurat) itu sesungguhnya.

Di ayat 13-20, Paulus sudah mengajarkan bahwa meskipun hukum Taurat itu kudus, benar dan baik, tetapi ia tak mampu melakukannya 100% karena adanya dosa. Ia melanjutkannya pada ayat 21 s/d 23 dan diakhiri dengan kesimpulan di ayat 24 serta jalan keluar dari dosa di ayat 25-26. Di ayat 21, Paulus mengatakan, “Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Terjemahan lain (King James Version) mengatakan bahwa aku (Paulus) menemukan kemudian bahwa ketika ia menghendaki berbuat yang baik, yang jahat (=hal yang tidak bernilai/berharga) lah yang mendekatiku. Di dalam ayat ini, Paulus hendak mengatakan bahwa di dalam diri manusia ada benih agama (seperti yang dinyatakan Calvin : sensus divinitatis) yaitu pengenalan akan Allah yang mengakibatkan dirinya memiliki kehendak baik untuk berbuat baik. Dalam hal ini, Paulus pun tak terkecuali, ia juga menyamakan dirinya dengan semua manusia. Tetapi sayangnya, akibat dosa, maka ia tak lagi bisa melakukan apa yang dikehendakinya, sehingga ia berkata bahwa ketika ia hendak berbuat baik, maka yang jahat justru mendekatinya. Kata “ada” dalam pernyataan “ada padaku” dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan berada dekat (to lie near). Ini berarti dosa mengakibatkan sesuatu yang tidak bernilai/worthless (terjemahan dari bahasa Yunani kakos pada kata evil/kejahatan) bisa mendekati seseorang ketika seseorang ingin berbuat baik. Memang unik. Banyak manusia berpikir bahwa ketika ia ingin berbuat baik, maka perbuatan baiklah yang keluar, tetapi Alkitab membukakan kepada kita sesuatu yang sangat berbeda, yaitu justru ketika kita berbuat baik di luar Allah, maka sesuatu yang tak bernilai adalah hasilnya. Mengapa demikian ? Apakah kita tidak boleh berbuat baik ? TIDAK. Kita boleh berbuat baik, tetapi di luar Kristus, perbuatan baik itu sia-sia, karena perbuatan baik itu dilakukan bukan dengan motivasi dan tujuan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuliakan diri. Di Indonesia, kita melihat begitu banyak fakta yang menunjukkan hal ini yaitu perbuatan “baik” palsu. Menjelang bulan-bulan “suci” agama tertentu, para pemeluk agama berpuasa, beramal, dan melakukan kegiatan-kegiatan religius tertentu dengan tujuan agar amal ibadahnya diterima di sisi “Tuhan”. Benarkah mereka berbuat baik ? Niat hati boleh berbuat baik, tetapi kebrengsekan yang sering dijumpai. Bagaimana tidak brengsek, mereka berpuasa, tetapi mereka memaksa orang lain yang tak berpuasa untuk menghormati dirinya yang sedang berpuasa. Bahkan mereka memaksa mal dan restoran/rumah makan/depot/sejenisnya untuk tutup selama mereka melangsungkan “ibadah” puasa. Kalau mau berpuasa, mengapa mereka harus teriak sini-sana dan menyuruh orang memerhatikan dirinya. Itukah berbuat “baik” ? Bandingkan dengan perkataan Tuhan Yesus yang sangat mulia ini, “"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."” (Matius 6:16-18) Tuhan Yesus mengajarkan berpuasa adalah hal yang baik, tetapi bukan untuk dilihat orang. Tetapi agama mayoritas di Indonesia mengajarkan hal yang sangat bertentangan yaitu berpuasa untuk dilihat orang bahkan memaksa orang untuk menghormati dirinya. Ibadah sejati bukan menyanjung manusia, tetapi memuliakan Allah. Silahkan pikirkan sendiri, apakah perbuatan “baik” yang dilakukan oleh penganut agama mayoritas di Indonesia ini dapat dikategorikan “baik” atau munafik ? Kalau kita mengerti hal ini, maka itulah yang dimaksud Paulus ketika ia mengajar bahwa ketika manusia berkehendak baik, maka hasilnya justru sesuatu yang tak bernilai, karena perbuatan “baik” itu dilakukan tanpa Kristus/di luar Allah.

Mengapa bisa demikian ? Paulus menjelaskan alasannya pada ayat 22 dan 23, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” Sekali lagi, ia membuat perbedaan antara jasmani dengan rohani. Dalam bagian ini, ia tidak mengajarkan filsafat dualisme ala Yunani yang memisahkan hal-hal natural dengan supranatural, tetapi ia sedang menitikberatkan pengajaran tentang dosa dan jalan keluarnya. Ayat 22 mengajarkan bahwa Paulus secara batiniah (inward man/manusia batiniah) suka akan hukum Allah (atau diterjemahkan : menyukai/bersukacita/rejoice hukum Allah). Geneva Bible Translation Notes menyamakan arti inward man dengan new man (=manusia baru) yang dibedakan dan dikontraskan dengan manusia lama (old man). Tetapi Paulus sendiri menegaskan bahwa meskipun secara batin ia menyukai hukum Allah, tetapi ia secara jasmani tidak menaati hukum Allah tersebut. Ini lah yang disebut ketegangan di dalam iman Kristen yaitu bergumul melawan dosa. Apa sajakah yang dijelaskan Paulus tentang tubuh jasmani yang berlawanan dengan batin tersebut ?
Pertama, di dalam tubuh jasmaniah, Paulus melihat hukum yang berbeda dari hukum Allah. Kata “hukum lain” bisa diterjemahkan hukum yang berbeda. Dosa mengakibatkan munculnya suatu “hukum” ciptaan yang menandingi hukum Allah yaitu suatu hukum yang menyanjung kehebatan diri, kesanggupan, kepintaran dan kemampuan pribadi serta ketidakperluan manusia akan Allah. Itu sebabnya mengapa saya mendefinisikan (sesuai arti dalam bahasa Yunani) hukum yang lain itu sebagai hukum yang berbeda, karena kedua hukum tersebut memiliki dua esensi dan pengaruh yang sangat berbeda/bertolak belakang. Ketika kita kembali kepada kasus Adam dan Hawa, kita akan mendapati hal ini lebih jelas. Adam sudah mendapatkan pengajaran yang sangat jelas dari Tuhan bahwa ia tidak boleh makan buah pengetahuan baik dan jahat. Dalam batiniahnya, ia mengerti dan berkehendak untuk menaatinya, tetapi sayangnya di dalam jasmani, ia lebih menaati “hukum” yang berbeda yang menentangnya, yaitu “hukum” diri (saya menyebutnya self-law) yang dipengaruhi setan yang mengakibatkan dia lebih menaati iblis ketimbang Allah. “Hukum” diri inilah yang mengakibatkan ia jatuh ke dalam dosa. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga mengetahui Taurat secara batin dan pikiran, tetapi tidak secara jasmani, sehingga mereka menonjolkan diri ketika beribadah (mirip seperti penganut agama mayoritas di Indonesia), dan mereka menyangka bahwa dengan cara demikian, “Tuhan” menjawab doa mereka. Itulah “hukum” diri yang menggantikan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Di zaman postmodern yang anti otoritas, manusia semakin tidak mau tunduk kepada hukum apapun bahkan Alkitab dengan beribu cara, tetapi secara tidak sengaja, mereka sebenarnya tunduk kepada “hukum” diri bahwa tidak ada hukum yang perlu ditaati kecuali dirinya yang anti-hukum. Itulah “hukum” diri, padahal diri manusia adalah diri yang mudah rapuh, terbatas, berdosa dan lemah.
Kedua, bukan hanya adanya hukum yang berbeda, Paulus juga melihat bahwa hukum tersebut melawan (atau menyerang) hukum akal budi. Di sini, Paulus hendak mengajarkan bahwa hukum jasmani atau yang saya sebut sebagai “hukum” diri ini bukan saja bertentangan dengan hukum Allah, tetapi “hukum” ini juga menyerang dan bahkan menghancurkan hukum Allah. Kembali, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat di zaman Kristus sudah membuktikan dengan jelas mengenai hal ini ketika mereka datang kepada Kristus dan berkata, “"Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."” (Matius 15:2) Mereka lebih meninggikan adat istiadat atau saya sebut sebagai “hukum” diri/eksklusif ketimbang hukum Allah. Mereka menganggap adat istiadat atau tradisi sebagai hukum yang mutlak. Bagaimana respon Tuhan Yesus ? Kristus menjawab, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (Matius 15:3) Mengutip pemaparan Pdt. Sutjipto Subeno yang menafsirkan bagian ini, Tuhan Yesus bukan sedang beradu argumentasi dengan para ahli Taurat, tetapi Ia sedang menunjukkan satu hal yang lebih tinggi yaitu hukum Allah yang seharusnya dihormati dan ditaati malahan direndahkan dan dikorbankan demi adat istiadat (satu tingkat level yang lebih tinggi dari perkataan para ahli Taurat). Perintah-perintah karangan para ahli Taurat telah menggantikan esensi dari Hukum Taurat sejati, sehingga dengan “hukum” ciptaan tersebut, mereka mengira bahwa mereka berbuat “baik”. Tuhan Yesus lalu mengutip perkataan nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:8-9) Kristus membukakan kedok kemunafikan para ahli Taurat yaitu mereka sebenarnya sedang mengajarkan perintah manusia kepada orang-orang Yahudi dan parahnya, perintah itu telah melawan perintah Allah, sehingga orang-orang Yahudi sampai sekarang dibodohi dan masih menunggu kedatangan Mesias. Dalam hal ini, iblis sangat berperan aktif memelintir hukum Allah agar menghasilkan hukum yang mengenakkan dirinya dan kroni-kroninya bahkan menghancurkan hukum Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita seringkali menciptakan “hukum” yang berbeda dari hukum Allah misalnya dengan pengagungan tradisi, dll, bahkan tradisi yang kita bangun bisa menghancurkan hukum Allah, misalnya rela untuk tidak pergi ke gereja, ketika ada upacara sembahyang di depan kuburan atau “tradisi” lain. Atau kita bahkan tidak sengaja lebih suka berbagi angpao ketimbang harus berbagi Injil kepada saudara/kerabat/rekan kita. Itu semua menunjukkan bahwa hukum yang berbeda itu bahkan bisa menghancurkan hukum Allah. Sadarkah kita akan hal ini ?
Ketiga, hukum yang berbeda ini akhirnya mengakibatkan kita menjadi hamba dosa. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya a prisoner of sin (=seorang narapidana/tawanan dosa). Gambaran narapidana lebih tepat mengartikan hal ini. Hukum yang berbeda dari hukum Allah yang bahkan bisa menghancurkan hukum Allah ternyata mengakibatkan kita diperbudak oleh hukum tersebut sehingga kita akhirnya menjadi tawanannya yang tidak bisa melarikan diri/keluar darinya seperti orang yang di dalam penjara (narapidana). “Hukum” tersebut terus merongrong dan mempengaruhi kita bahwa hukum Allah itu “jelek”, “tidak enak”, “kaku”, dll, dan menyodorkan hukumnya sebagai hukum yang “enak”, “gaul”, “baik”, dll, sehingga kita seolah-olah dijerat dan tidak bisa lari. Kalau kita kembali pada kisah di atas (Matius 15), maka orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga menjadikan aturan-aturan mereka sebagai pengganti hukum Allah yang akhirnya mengikat orang-orang Yahudi dan mengakibatkan mereka tidak bisa lepas dari ikatan tersebut, misalnya karena para ahli Taurat menetapkan bahwa di hari Sabat tidak boleh ada yang bekerja berat (bahkan tidak boleh mengangkat barang beberapa kilogram), maka orang-orang Yahudi akan menimbang beban yang akan dipikulnya di hari Sabat, padahal aturan-aturan tersebut tidak penting (karena ditetapkan bukan oleh Allah, tetapi oleh para ahli Taurat yang mengatasnamakan dari “Allah”).

Lalu, Paulus menyimpulkan kondisi keparahan dosa ini di dalam ayat 24, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Kata “celaka” dalam King James Version, International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) diterjemahkan wretched (=hina/sial), dalam bahasa Yunaninya talaipōros bisa berarti miserable (=menyedihkan/melarat/bermutu rendah/buruk). Inilah kondisi manusia berdosa yang menyadari kerusakan total dirinya. Paulus adalah orang yang sangat terbuka di hadapan Tuhan dan kita bahwa kita sebenarnya adalah sosok manusia yang hina, melarat, bermutu rendah, dan busuk di mata Allah. Bukan hanya sadar diri, Paulus juga bertanya tentang solusi untuk keluar dari kerusakan total ini, yaitu siapa yang akan melepaskan/membebaskan manusia dari tubuh kematian ini. Dari ayat-ayat sebelumnya, kita telah belajar banyak hal tentang perbuatan “baik” yang sesungguhnya tidak pernah baik jika di luar Allah mengakibatkan orang yang semakin berbuat “baik” malahan menghasilkan sesuatu yang jahat/tidak bernilai dan otomatis perbuatan “baik” se”baik” apapun tak mungkin dapat melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, karena dosa BUKAN diselesaikan dengan banyaknya perbuatan “baik” ! Adalah anggapan konyol untuk berpikir bahwa dengan berbuat “baik”, manusia bisa diselamatkan ! Paulus telah membukakan hal ini di ayat-ayat sebelumnya. Lalu, kalau perbuatan “baik” tidak mampu melepaskan manusia dari jerat dan kutuk dosa, lalu bagaimana solusinya/siapa yang dapat melepaskan ?

Puji Tuhan, Paulus mengatakan di ayat 25, “Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Tidak ada jalan lain, kecuali hanya satu yaitu Bapa mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Paulus bersyukur untuk hal ini dan bahkan ia sendiri mengajarkan bahwa barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, ia tidak akan dihukum (Roma 8:1→hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya). Mengapa ? Karena Kristus telah mengganti dosa-dosa manusia pilihan-Nya (substitusi), mendamaikan umat-Nya yang berdosa dengan Allah (rekonsiliasi) dan meredakan murka Allah kepada umat-Nya (propisiasi), sehingga kebenaran dan ketaatan Kristus kepada Bapa dilimpahkan kepada kita yang tidak layak ini. Akibatnya, kita yang dahulu tidak benar dan tidak taat dapat dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus sehingga kita dimampukan melalui Roh Kudus untuk taat secara terus-menerus kepada Bapa melalui Firman-Nya, Alkitab. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 26 yang di dalam terjemahan KJV digabungkan dengan ayat 25, “Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” Dengan adanya dua pembedaan ini, tidak berarti Paulus kembali menekankan bahwa tubuh ini jahat dan roh itu baik (dualisme), tetapi ia menekankan pentingnya penebusan Kristus yang terus-menerus menguduskan dirinya melalui Roh Kudus. Geneva Bible Translation Notes menafsirkan, “This is the true perfection of those that are born again, to confess that they are imperfect.” (=Inilah kesempurnaan sejati dari orang yang dilahirkan kembali, yaitu mengaku bahwa mereka tidak sempurna.) Inilah paradoks di dalam iman Kristen, kesempurnaan sejati didapat di dalam kekekalan, sedangkan di dalam dunia ini, kita sudah dan belum disempurnakan. Artinya, kita sudah disempurnakan oleh darah penebusan Kristus, tetapi kita menanti untuk terus-menerus disempurnakan sampai akhirnya kita bertemu muka dengan muka dengan Kristus dan Bapa di Surga. Dengan kata lain, iman dan pengertian ini akan Firman Allah seharusnya mendorong dan melatih tubuh jasmani kita untuk taat kepada Firman Allah, sehingga iman kita bukan iman yang kosong dan kaku, tetapi iman yang berkuasa dan hidup karena iman kita didasarkan pada Firman Allah yang hidup dan berkuasa.

Kita memang masih bisa berbuat dosa, tetapi Alkitab menyatakan bahwa orang yang lahir dari Allah tidak akan terus-menerus berbuat dosa, karena orang yang lahir dari Allah ditanamkan benih Ilahi di dalam dirinya. Sudahkah kita mengalami hal ini dan terus berjuang melawan dosa dan menghambakan diri hanya kepada Kristus ? Kiranya Tuhan memberkati. Soli Deo Gloria.

No comments: