15 February 2009

Roma 13:8-9: UTANG KASIH-1: Maknanya

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-11


Utang Kasih-1: Maknanya

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:8-9.



Di ayat 7, Paulus mengatakan bahwa kita harus menghormati mereka yang patut dihormati. Seolah-olah di ayat 7, kita mendapatkan gambaran bahwa kita menghormati sebagai utang kita, tetapi bukan demikian maksud Paulus. Di ayat berikutnya, ia menjelaskan konsep ini, yaitu di ayat 8, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Di dalam menghormati, Paulus mengatakan bahwa itu bukan utang kita. Kita tidak berutang apa-apa kepada siapa pun juga. Kata “berutang” di ayat ini menggunakan bentuk jamak, sekarang (present), aktif, dan imperatif. Dengan kata lain, artinya kita tidak boleh secara aktif berutang kepada siapa pun. Orang Kristen yang masih berutang uang kepada orang lain, berhati-hatilah. Belajarlah untuk tidak berutang kepada siapa pun. Belajarlah untuk menghemat dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Kita memang tidak berutang apa pun kepada siapa pun, tetapi Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang satu hal, apa itu? Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang kasih. Di dalam terjemahan Indonesia dan beberapa terjemahan Inggris, ayat ini kurang jelas. Tetapi di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan New International Version (NIV), ayat ini begitu jelas. Mari kita perhatikan. BIS menerjemahkan, “Janganlah berutang apa pun kepada siapa juga, kecuali berutang kasih terhadap satu sama lain.” NIV menerjemahkan, “Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another, ...” (=..., kecuali utang yang terus-menerus untuk mengasihi satu sama lain) NIV lebih jelas lagi menerjemahkan yaitu utang kasih itu berlangsung terus-menerus (continuing debt to love). Di sini, Paulus menekankan bahwa utang yang paling penting yang harus kita genapkan adalah utang kasih dan utang ini berlaku terus-menerus. Dari kalimat pertama di ayat ini, kita bisa belajar beberapa prinsip mengenai utang kasih:
Pertama, kasih itu utang. Luar biasa pengajaran Paulus ini. Kita sering kali merasa orang lain berutang kalau orang lain tidak berbuat baik kepada kita. Untuk itu, kita biasanya suka mengingatkan jasa baik kita kepada orang lain yang tidak tahu berterima kasih kepada kita (atau bahkan acuh tak acuh). Atau kita merasa berutang budi jika kita tidak membalas kebaikan orang lain. Alhasil, anak kita yang dikorbankan (dijadikan “tumbal”) untuk dinikahkan dengan anak orang lain yang kepadanya kita berutang. Di sini, Paulus membalik semua konsep dunia dengan mengajar bahwa untuk hal tersebut, kita tidak perlu merasa berutang atau orang lain merasa berutang kepada kita. Yang dipentingkan adalah bagaimana kita berutang kasih. Utang kasih berarti kita memiliki suatu perasaan berutang jika kita tidak memberikan kasih kita kepada orang lain. Apakah balas budi termasuk cara memberikan kasih kepada orang lain? Tidak. Balas budi hanya tindakan/reaksi kasih, bukan kasih itu sendiri, karena balas budi tidak dimotivasi dan didorong oleh kasih yang murni. Tidak jarang, tindakan balas budi mengorbankan anak sendiri untuk dinikahkan dengan orang yang kepadanya kita berutang. Itu bukan kasih! Kasih TIDAK pernah mengorbankan orang lain, tetapi kasih justru mengorbankan diri sendiri bagi orang lain! Ini kegagalan paradigma dunia berdosa yang merasa diri “pintar.” Jika balas budi tidak termasuk kasih, bagaimana kita bisa memberikan kasih kepada orang lain? Alkitab mengajar bahwa kasih itu berasal dari Allah yang adalah Kasih. Salah satu bukti Allah adalah Kasih adalah Tuhan Yesus Kristus diutus untuk menebus dosa manusia. Sehingga orang Kristen sejati bisa memberikan kasih kepada orang lain setelah ia mengalami penebusan Kristus di dalam hati dan hidupnya. Orang yang tidak mengalami penebusan Kristus mustahil bisa mewujudnyatakan kasih sejati kepada orang lain. Di sini, berarti kita baru bisa memberikan kasih kepada orang lain ketika hal itu keluar dari hati kita yang terdalam. Memberikan kasih bukan sekadar tindakan luar (fenomena), tetapi lebih ke arah hati dan motivasi (esensi). Ketika kita mengasihi dengan kasih yang keluar dari hati kita yang takut akan Tuhan dan mengalami kuasa penebusan Kristus, maka kasih itu akan menjadi kasih yang mengubah orang lain. Kasih yang mengubahkan itulah kasih yang sulit dijumpai di dunia ini. Dunia menawarkan konsep kasih yang kompromi, bebas, dll, tetapi tanpa kebenaran yang mengubah. Hanya Kekristenan yang berdasarkan Alkitab mengajarkan kasih yang disertai kebenaran, keadilan, dan kesucian Allah yang mampu mentransformasi orang lain bahkan dunia. Itulah utang kasih sesungguhnya. Kita berutang mengasihi orang lain dengan mengubah orang lain ke arah yang benar. Paulus sudah mempraktikkan hal tersebut. Ia rela pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil sebagai penggenapan utang kasihnya kepada orang-orang yang terhilang. Para rasul Kristus lainnya juga melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan kita? Rindukah kita melihat orang lain yang dahulu hidup berdosa, lalu bertobat dan menerima Kristus. Rindukah kita melihat orang lain yang dulu beriman sembarangan, tetapi sekarang menjadi beriman sungguh-sungguh kepada dan di dalam Kristus. Rindukah kita melihat perubahan motivasi/hati, pola pikir, sikap, dll dari seseorang ke arah yang benar? Kerinduan kita itulah yang sebenarnya utang yang harus kita jalankan. Biarlah kita bukan hanya rindu, tetapi memiliki semangat untuk menggenapkan utang kita dan ingatlah, kasih itu utang.

Kedua, utang kasih itu bersifat melengkapi (saling mengasihi). Poin kedua yang kita pelajari adalah utang kasih itu bukan bersifat searah, tetapi dua arah. Artinya, utang kasih itu bersifat melengkapi. Kita berutang mengasihi orang lain dengan memberitakan Injil kepadanya. Begitu juga orang yang kita injili yang sudah bertobat pun memiliki utang kasih, misalnya menegur kita yang melakukan kesalahan/dosa (padahal kita dulunya menginjili dia). Di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih ini juga bisa diwujudnyatakan. Bagaimana seorang jemaat mengasihi jemaat lain dengan memerhatikan mereka. Begitu juga jemaat lain memerhatikan seorang jemaat ini. Sehingga di antara jemaat Tuhan terjadi persekutuan yang intim dan hangat. Apa ini berarti kita berutang budi kepada orang lain? Tidak. Bedanya, utang budi versi dunia sering kali bisa mengorbankan orang lain (anak sendiri) untuk melunasi kebaikan orang lain. Tetapi Kekristenan tidak pernah mengajar hal itu. Kekristenan mengajar bahwa kita bisa “membalas” kebaikan orang lain dengan memberikan kasih yang keluar dari kita. Ketika kita “membalas” kasih orang lain tetapi tidak dengan kasih yang tulus, hendaklah kita tidak melakukan hal tersebut. Sebelum kita “membalas” kasih orang lain, ujilah motivasi hati kita, benarkah kita mengasihi kembali orang itu dengan kasih yang tulus atau dengan motivasi dan tujuan hanya ingin balas budi? Tuhan tidak menginginkan kita balas budi, tetapi Tuhan menginginkan kita mengasihi dengan kasih yang tulus, seperti yang Kristus lakukan bagi umat-Nya ketika Ia menebus dosa umat-Nya tanpa minta balas jasa. Kalau pun kita bisa berbuat baik dan mengasihi Kristus saat ini, itu pun kita lakukan sebagai ucapan syukur kita yang telah diselamatkan, bukan balas budi. Perbuatan baik kita kepada Allah tidak cukup syarat bagi kita untuk ditebus (tidak bisa dipersamakan dengan penebusan Kristus yang termulia). Oleh karena itu, perbuatan baik kita bisa dikatakan “utang kasih” umat-Nya kepada Allah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita saling mengasihi antar umat Tuhan? Dengan motivasi apa kita mengasihi mereka? Utang budi kah? Atau sungguh-sungguh keluar dari hati kita yang terdalam yang mengasihi-Nya?

Ketiga, utang kasih itu terus-menerus. Poin terakhir yang bisa kita pelajari adalah utang kasih itu bersifat terus-menerus. Berarti ada proses di dalam utang kasih. Kita tidak mungkin bisa memiliki utang kasih hanya pada saat-saat tertentu dan setelah itu, kita tidak lagi berutang kasih. Tidak. Alkitab mengatakan bahwa kita terus-menerus berutang kasih. Ketika kita memiliki kerinduan kita mengabarkan Injil sebagai penggenapan utang kasih kita, biarlah itu bukan menjadi kerinduan yang dibakar oleh semangat subjektivitas pribadi, tetapi murni karena desakan dan dorongan Roh Kudus. Inilah yang membedakan (penggenapan) utang kasih sejati dengan utang kasih palsu. Mungkin ada orang Kristen yang juga memiliki utang kasih, tetapi jika utang kasih itu dilakukan pada saat tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa utang kasih itu palsu, karena utang kasih itu tidak terus-menerus atau hanya sesaat (mungkin sekali hanya subjektivitas yang emosional). Utang kasih sejati adalah utang kasih yang terus-menerus. Di dalam proses terus-menerus itu, Roh Kudus tetap membakar umat-Nya untuk memiliki utang kasih yang harus dijalankan. Jadi, di sini, saya mengaitkan karya Roh Kudus di dalam proses menggenapkan utang kasih. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita dibakar oleh api Roh Kudus untuk menggenapkan utang kasih kita?

Pada kalimat kedua di ayat ini, Paulus mengatakan bahwa ketika kita mengasihi, kita sudah memenuhi hukum (Taurat). Mengapa? Karena kasih adalah kegenapan atau inti hukum Taurat (bdk. Mat. 22:37-40; Gal. 5:14). Allah memberikan hukum Taurat kepada umat-Nya, Israel (dan tentu juga tetap berlaku bagi kita) bukan untuk memberatkan, tetapi justru sebagai wujud kasih-Nya agar umat-Nya tidak berbuat dosa. Allah menginginkan agar hukum-Nya ini menjadi pedoman bagi umat-Nya untuk mengasihi sesama manusia. Begitu juga dengan kita di saat ini. Allah mewahyukan Alkitab PL dan PB sebagai bahan penuntun iman dan perilaku kita di dalam dunia. Ia ingin agar kita yang telah dikasihi-Nya mewujudnyatakan kasih itu dengan mengasihi orang lain baik itu memberitakan Injil Kristus atau pun memberikan bantuan yang secukupnya kepada mereka yang berkekurangan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi orang lain?


Untuk menjelaskan lebih tajam lagi mengenai kasih sebagai kegenapan hukum Taurat, di ayat 9, Paulus mengatakan, “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Sebagai wujud kita mengasihi orang lain, Paulus mengutip hukum keenam s/d kesepuluh dari Taurat. Dan uniknya, di dalam urutan di ayat 9, Paulus membalik hukum keenam dan ketujuh. Di dalam hukum keenam tercatat, “Jangan membunuh.” (Kel. 20:13) dan di hukum ketujuh tercatat, “Jangan berzinah.” (Kel. 20:14) Di ayat ini, Paulus membalik urutannya menjadi: “Jangan berzinah” baru “jangan membunuh.” Keunikan kedua di ayat ini adalah tidak disebutkannya hukum kesembilan yaitu jangan bersaksi dusta (Kel. 20:16) dan hukum 5 tentang menghormati ayah dan ibu (Kel. 20:12). Tidak disebutkan kedua hukum ini di dalam loh batu kedua yang diterima Musa ini dirangkumkan oleh Paulus di dalam ayat ini dengan pernyataan, “dan firman lain manapun juga,” Jadi, keunikan kedua sudah terselesaikan. Bagaimana dengan keunikan pertama? Mengapa Paulus membalik urutannya? Pembalikan urutan ini memang tidak terlalu signifikan, tetapi kita akan mencoba mengkaji alasannya. Ingatlah, surat ini dituliskan kepada jemaat di Roma di mana di Roma dipenuhi oleh penduduk yang moralitasnya tidak karuan: berzinah, dll. Oleh karena itu, Paulus meletakkan perintah “Jangan berzinah” di poin pertama sebagai wujud kita mengasihi orang lain. Konsep Paulus ini mendobrak dan membalikkan semua konsep orang Roma pada waktu itu, di mana menurut orang Roma, tanda seseorang mengasihi orang lain (misalnya, cowok mengasihi cewek), yaitu cowok menyetubuhi cewek itu (entah si cowok sudah menikah atau belum). Paulus membalik ajaran itu dan mengatakan bahwa justru tanda kasih bukanlah tindakan jorok itu, tetapi tanda kasih adalah menghargai orang lain. Seorang yang katanya mengasihi orang lain (dalam arti lawan jenis) tentu akan menghargai lawan jenis itu. Di dalam pacaran, seorang cowok mengasihi cewek tentu akan menghargai si cewek dalam arti keseluruhan. Si cowok tidak akan melakukan hubungan seks di luar nikah dengan si cewek atau si cowok tidak akan memperkosa si cewek, dll. Semua tindakan cowok ini sebenarnya membuktikan bahwa si cowok menghargai pasangannya sampai mereka menikah suatu hari kelak. Di sini, kita melihat bahwa konsep Kekristenan jauh lebih agung dari semua konsep dunia berdosa. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern ini, kita melihat budaya free-sex begitu hebat di Indonesia. Sebagai orang Kristen, apa yang kita lakukan? Ikut-ikutan? TIDAK! Biarlah kita sebagai orang Kristen menjadi garam dan terang melalui kesucian hidup kita terutama dalam hal seks.
Konsep kedua tentang berzinah adalah berzinah rohani. Jemaat Roma adalah jemaat yang masih bisa dikatakan suka berzinah rohani (meskipun tidak separah jemaat Korintus). Mengapa? Karena jemaat Roma terdiri dari banyak orang Yahudi dan Yunani. Jemaat Roma yang mantan penganut Yudaisme (Yahudi) masih menganggap sunat itu diperlukan setelah menerima Kristus. Di sini, Paulus implisit mengajar bahwa itu perzinahan rohani. Mereka diajar Paulus bahwa sunat dan syariat-syariat di dalam Taurat tidak cukup syarat menggantikan penebusan Kristus (Rm. 2:17-29). Yang terlebih penting yang harus diimani oleh jemaat Roma (dan juga kita) adalah pengorbanan Kristus menggantikan dosa umat-Nya, bukan seberapa giat kita menjalankan Taurat. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita berzinah secara rohani? Mungkin secara fisik, kita setia dengan pasangan kita. Tetapi bagaimana dengan hal kerohanian? Berzinah rohani mungkin tidak bisa dilihat orang luar, tetapi ingatlah Tuhan melihat hal tersebut. Ketika hati kita mulai bercabang dan memilih ilah lain selain Tuhan Allah (entah itu uang, diri, pacar, teman, keluarga, orangtua, dll), di saat itu kita sedang berzinah rohani. Perzinahan rohani itu juga termasuk dosa! Biarlah kita berwaspada dan mengintrospeksi diri kita masing-masing.

Kedua, setelah perintah “Jangan berzinah,” Paulus mengajar “jangan membunuh.” Jangan membunuh merupakan wujud kita mengasihi orang lain. Artinya, kita mengasihi NYAWA orang lain. Ketika kita membunuh, kita bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain. Alkitab mengajar bahwa ketika kita membunuh orang lain, kita sedang membunuh peta teladan Allah dan akibatnya, kitalah yang dimintai pertanggung jawaban dari Allah, bisa dalam bentuk hukuman langsung atau tidak langsung (baca: Kej. 9:6). Di sini, kita melihat adanya dignitas/kemuliaan ciptaan Allah sebagai gambar dan rupa Allah. Itu membunuh dalam pengertian harfiah. Bagaimana dengan membunuh dalam pengertian non-harfiah? Membunuh juga bisa dimengerti secara rohani, artinya membunuh/mematikan bakat, karakter, bahkan iman. Karakter, iman, dll seseorang bisa dimatikan/dibunuh ketika apa yang ada pada dirinya ditekan, sehingga orang tersebut merasa depresi, tertekan, dll. Meskipun orang yang mematikan karakter, iman, dll orang lain tidak membunuh secara fisik, ia sedang membunuh secara rohani. Bagaimana caranya? Mungkin kita tidak pernah menyadarinya. Ketika seorang pemimpin gereja tidak pernah memupuk iman dan kerohanian jemaatnya, di saat itu pemimpin gereja itu “membunuh” kedewasaan iman jemaatnya, padahal di Alkitab, Allah menuntut umat-Nya untuk dewasa di dalam iman (Ibr. 5:11-14). Justru ketika pemimpin gereja tidak mengajar dan mendidik iman jemaatnya dengan bertanggung jawab, itu bukti ia tidak mengasihi jemaatnya. Begitu juga halnya dengan orangtua yang terlalu memanjakan anaknya bahkan sampai dewasa, orangtua tersebut sebenarnya tidak mengasihi anaknya, karena mereka menekan dan memaksakan konsep orangtua (yang belum tentu benar) kepada anaknya, sehingga anaknya tidak bisa mandiri. Orangtua boleh mengajar anak, tetapi tidak boleh memaksakan konsep mereka kepada anak mereka apalagi berkaitan dengan panggilan Tuhan di dalam hidup seorang anak. Tuhan memanggil umat-Nya baik secara penuh waktu atau pun paruh waktu, sehingga tidak ada satu orang pun yang bisa memaksakan kehendaknya kepada seseorang, karena mereka BUKAN Tuhan! Barangsiapa yang memaksakan kehendaknya kepada seseorang lalu melegitimasi menggunakan “pimpinan Tuhan,” orang itu sudah berdosa karena ia telah mengambil alih posisi Allah untuk menafsirkan panggilan orang lain yang bukan menjadi wilayahnya! Anak yang ditekan oleh orangtua akan mengakibatkan anak itu menjadi minder, frustasi, depresi, dan jangan salahkan jika suatu saat nanti anaknya mengalami kelainan di usia dewasa. Kasus Ryan yang heboh di Indonesia adalah wujud tindakan orangtua yang tidak bertanggung jawab kepada anak. Dengan alasan “mengasihi” anaknya dengan memukul Ryan, akibatnya Ryan dewasa menjadi pembunuh berdarah dingin. Tidak berarti tidak boleh memukul, tetapi ketika orangtua memukul, memukul dengan motivasi apa? Dendamkah? Atau kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Ketiga, “jangan mencuri.” Jangan mencuri adalah wujud ketiga kita menghargai HARTA MILIK orang lain. Ketika kita mencuri, kita bukan hanya tidak menghargai barang milik orang lain, kita pun sebenarnya sedang tidak menghargai si pemilik dan harta yang dipercayakan dari Tuhan kepadanya. Tindakan mencuri sebenarnya dilatarbelakangi oleh iri hati dan kesenangan sesaat. Akibatnya, orang yang iri hati itu mencuri harta orang lain untuk ia nikmati (kesenangan pribadi). Di situlah alasan mengapa Allah melarang kita mencuri. Bagaimana dengan mencuri secara non-harfiah? Mencuri bisa dimengerti juga secara rohani, yaitu mencuri uang dan waktu Tuhan. Ketika kita tidak memberikan persepuluhan kita kepada Tuhan, di saat itu kita sebenarnya sedang mencuri Tuhan, dan otomatis kita tidak mengasihi Tuhan. Adalah suatu omong kosong belaka jika kita katanya mengasihi Tuhan, tetapi tidak pernah memberikan persepuluhan bagi pekerjaan Tuhan. Persepuluhan adalah ujian bagi kita untuk lebih mengasihi Tuhan ketimbang harta/uang kita. Ingatlah, ketika kita memberikan persepuluhan harus dengan sukacita karena kita mengasihi Tuhan (2Kor. 12:7). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memberikan persepuluhan untuk pekerjaan Tuhan? Mencuri dalam pengertian rohani yang kedua adalah mencuri waktu Tuhan. Waktu yang seharusnya kita pergunakan untuk beribadah di gereja atau merenungkan Alkitab atau mengikuti Pendalaman/Pemahaman Alkitab malahan kita pergunakan untuk bersenang-senang. Tidak berarti menjadi orang Kristen tidak boleh pergi ke mal, dll. TIDAK! Tetapi yang harus diperhatikan adalah keseimbangan dan prioritas. Ketika kita memang harus pergi ke gereja untuk beribadah, pergilah ke gereja, menghadaplah ke hadirat Tuhan, memuji Tuhan, menyembah-Nya, mendengarkan firman-Nya, dll. Jangan waktu kita ke gereja, 1 hari sebelumnya, kita malahan pergi ke mal sampai malam lalu pulang rumah kecapekan dan besok Minggu tidak bisa pergi ke gereja. Pada saat kita seperti itu, secara tidak sadar, kita sedang mencuri waktu Tuhan. Orang Kristen boleh refreshing, jalan-jalan ke mal, dll, tetapi prioritaskan hal-hal rohani lebih daripada hal-hal duniawi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memprioritaskan waktu kita untuk Tuhan? Ataukah kita masih mempergunakan waktu kita untuk hal-hal yang tidak bermakna? Tindakan kita mencerminkan seberapa dalam kita mengasihi Allah.

Keempat, jangan mengingini. Konsep terakhir yang Paulus sebutkan yaitu agar kita jangan mengingini milik orang lain, baik istri, harta, dll. Kalau di poin ketiga, hukum Taurat melarang kita mencuri, maka di poin terakhir ini, keinginan untuk memiliki barang orang lain pun dilarang. Di sini, ada penajaman motivasi. Tuhan tidak mau kita terjebak dengan larangan fenomenal, tetapi Ia menginginkan kita menguji hati dan motivasi di balik fenomena. Di poin ketiga, saya sudah menyebutkan bahwa orang mencuri dilatarbelakangi oleh iri hati dan keinginan untuk bersenang-senang, maka di poin keempat ini, esensinya diserang, yaitu keinginan untuk hal-hal tersebut dilarang. Mencuri dilarang, motivasi mencuri pun dilarang! Apa yang salah dengan keinginan? Apakah manusia boleh mengingini? Boleh. Manusia boleh mengingini sesuatu, tetapi yang salah adalah isi dari keinginan itu. Apakah isi keinginan kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak? Apakah isi keinginan itu egosentris atau Theosentris? Ketika keinginan kita egosentris, maka Tuhan tidak senang. Keinginan itulah yang dilarang. Mengapa? Karena keinginan itu bukan tanda kita mengasihi Tuhan dan sesama. Orang yang mengingini milik orang lain berarti orang itu sendiri tidak puas dengan apa yang ia miliki dan lebih tajam lagi, orang itu sebenarnya sedang menyalahkan Tuhan yang memberi. Ini jelas bukan tanda seorang yang mengasihi Tuhan. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita iri dan mengingini apa yang orang lain miliki? Ketika teman kita lebih pandai, apakah kita iri dengan kepintarannya? Ketika tetangga kita kaya, apakah kita iri dan mengingini apa yang tetangga kita miliki? Marilah kita introspeksi diri masing-masing! Jangan mengingini bisa bermakna rohani. Kok bisa? Hal ini bisa terjadi ketika orang Kristen mengingini karunia Allah tertentu yang diberikan kepada orang lain. Misalnya, karunia bahasa lidah. Alkitab khususnya 1 Korintus 11-14 memberikan batasan yang jelas bahwa karunia bahasa lidah adalah KARUNIA Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki (1Kor. 12:11) dan karunia itu bukanlah hal mutlak. Jadi, barangsiapa yang iri dan mengingini karunia bahasa lidah yang dimiliki oleh orang Kristen lain, maka di saat itulah ia berdosa. Bukan hanya itu saja, kita bisa mengingini sesuatu yang tidak bermakna. Misalnya seperti contoh yang telah saya paparkan di poin ketiga tentang mencuri waktu Tuhan. Kita yang mencuri waktu Tuhan (ke gereja) sebenarnya dilatarbelakangi oleh presuposisi kita yang ingin sesuatu selain ke gereja, yaitu ingin bersenang-senang. Dari keinginan itu kita mengatur siasat dan cara untuk membolos dari keharusan pergi ke gereja. Dari sinilah, keinginan kita ini dilarang oleh Tuhan dan sekaligus bukti kita tidak mengasihi-Nya. Biarlah hal ini menegur kita yang mungkin sudah malas beribadah.

Keempat prinsip (keempat hukum dalam hukum Taurat) yang telah Paulus paparkan di atas bermuara ke satu prinsip yaitu mengasihi sesamamu manusia seperti diri sendiri (bdk. Mat. 22:39). Sebelum membahas tentang mengasihi sesama manusia, Tuhan Yesus membahas konsep mengenai mengasihi Allah (Mat. 22:37). Dengan kata lain, kita bisa mengasihi sesama manusia ketika kita SUDAH mengasihi Allah. Adalah suatu omong kosong jika ada orang yang mengatakan bahwa ia mengasihi sesama tetapi ia tidak mengasihi Allah terlebih dahulu. Untuk Tuhan, mereka selalu mengadakan perhitungan baik waktu maupun uang, tetapi untuk orang lain, mereka bisa seenaknya memberikan uang dan waktu. Itu suatu sikap yang tidak beres di dalam Kekristenan. Mengasihi Allah terlebih dahulu, baru kita bisa mengasihi sesama manusia. Dengan kata lain, kasih kita kepada sesama manusia adalah kasih yang didasarkan pada kasih kepada Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijak, dan Kebenaran itu sendiri, sehingga kasih yang kita tunjukkan kepada sesama manusia adalah kasih yang disertai dengan keadilan, kebenaran, dan kesucian Allah (bukan kasih yang bebas, kompromi, dan mencintai kejahatan). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi Allah TERLEBIH DAHULU baru mengasihi manusia? Tuhan menginginkan kita memiliki hati untuk Tuhan terlebih dahulu, baru bagi sesama. Ketika hati kita berpaut kepada Tuhan, tetapi malahan kepada sesama kita, itu tandanya kita tidak mencintai Tuhan (dan tentunya sesama manusia).


Setelah kita merenungkan dua ayat ini, apa yang menjadi respon kita? Saya menantang Anda hari ini untuk bertobat dan kembali kepada Kristus! Sudahkah kita memiliki utang kasih kepada sesama? Sudahkah kita menggenapkan utang kasih itu bagi kemuliaan Allah? Jika belum, maukah kita berkomitmen melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: