15 March 2009

Matius 13:47-50: THE QUALITY OF MEMBERS (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 06 Mei 2007


The Quality of Members

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 13:47-50


Melalui perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 20:44-46) yang dipaparkan oleh Tuhan Yesus, kita dibukakan akan kualitas dari Kerajaan Sorga itself. Kualitas Kerajaan Sorga ini bukanlah sekedar teori tetapi semua itu tergantung dari konsep aksiologi atau konsep nilai yang terbentuk dalam pemikiran kita. Ketika orang menganggap emas itu mahal dan bernilai maka orang pasti memperlakukan emas itu berbeda dengan benda lain seperti uleg-uleg batu meski keduanya mempunyai berat sama. Orang harusnya menunjukkan suatu respon positif – orang akan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mendapatkannya dan mempertahankannya dan setelah mendapatkannya ia akan menyimpannya baik-baik. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita hanya berespon ketika mengejar Kerajaan Allah saja ataukah respon itu secara internally masuk ke kedalaman diri kita? Banyak orang yang meresponi suatu kualitas tetapi tidak mengkaitkan dengan diri sendiri, orang hanya fokus pada suatu bagian yang ia ingin capai saja. Pernahkah kita mengevaluasi diri, siapakah diri yang bernilai ekstrinsik ini mengejar nilai instrinsik atau kualitas itu? Bagaimana kita mengkaitkannya dengan nilai instrinsik yang ada dalam diri sendiri?
Orang yang tahu akan sesuatu yang bernilai maka dengan segala cara ia mendapatkannya; keinginan yang timbul itu merupakan nilai ekstrinsik sedang obyeknya atau benda yang bernilai tersebut mempunyai nilai instrinsik, yakni nilai yang ada didalam obyek nilai. Pada saat kita yang ekstrinsik ini mengejar nilai instrinsik, pernahkah kita mengevaluasi diri sendiri, layakkah kita mendapatkannya? Hal ini jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan sebab orang selalu berpikir kalau dirinya cukup baik untuk mendapatkan nilai tinggi. Kita hanyalah bernilai ekstrinsi seharusnya mengevaluasi diri apakah secara intrinsik, kita layak mendapatkan sesuatu yang secara instrinsik sangat bernilai? Hal inilah yang ingin dibukakan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan tentang pukat atau lebih tepat dikatakan sebagai perumpamaan tentang ikan baik dan ikan buruk (Mat. 13:47-50) – untuk mencapai the highest value of intrinsic value, we should be equal to that instrinsic value. Hal ini sangat penting untuk kita pahami sebab kita tidak mungkin mendapatkan dari dunia.
Untuk memudahkan perhatikan ilustrasi berikut: ada seorang gadis sangat sempurna, ia cantik, pandai, kaya, dan masih banyak faktor lain yang mendukung kesempurnaannya dan tentu saja, kesempurnaannya membuat banyak kaum lelaki yang menginginkannya maka pertanyaannya sudahkah para kaum lelaki itu mengevaluasi diri apakah ia layak mendapatkannya sebelum ia mengusahakannya? Apakah seorang lelaki yang malas, tidak mau bekerja, hidupnya berantakan layak mendapatkan si gadis? Seringkali, hal inilah yang dilakukan manusia, kita selalu melihat ke luar, kita menginginkan sesuatu yang bernilai tapi kita tidak pernah mempersiapkan diri kita sendiri. Demikian halnya dengan Kerajaan Sorga, banyak orang yang ingin mendapatkannya tetapi orang tidak pernah mengevaluasi diri, apakah kita cukup layak untuk masuk dalam-Nya? Siapakah kita sehingga kita boleh masuk dan menjadi warga Kerajaan Sorga? Jadi, kualitas menyangkut dua unsur intrinsik yang harus direlasikan secara equal.
Orang tahu betapa bernilainya Kerajaan Sorga itu dan orang pun ingin masuk dan berbagian di dalam-Nya namun yang menjadi letak permasalahan adalah termasuk ke dalam golongan manakah kita, ikan baik ataukah ikan busuk? Ketika kita hendak mengejar Kerajaan Sorga maka kita harusnya mengevaluasi diri, siapakah kita? Namun umumnya, orang tidak pernah berpikir demikian sebab paradigma berpikir kita telah terbentuk oleh dunia dan berakar kuat, dalam banyak aspek cara berpikir kita tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Firman. Dosa dan permainan filsafat dunia telah meracuni sedemikian rupa membuat orang tidak dapat memahami kebenaran sejati ketika berimplementasi di dunia.
Hal Kerajaan Sorga itu seperti seorang nelayan yang memukat ikan, setelah penuh, ia akan memilah antara ikan baik dan ikan busuk. Melalui perumpamaan ini Tuhan Yesus membukakan bahwa tidak setiap orang yang ingin masuk dalam Kerajaan Sorga akan sangat mudahnya diterima. Tidak! Namun, hari ini kita melihat dunia Kekristenan tidak melakukan tahap penyeleksian akibatnya orang tidak memahami kualitas Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga itu sangatlah berharga dan mulia maka jangan pikir kalau kita sudah ada dalam pukat berarti sudah berbagian dalam-Nya. Tidak! Kita masih harus melewati beberapa seleksi lagi. Perhatikan, lalang yang tumbuh bersama gandum tidak akan masuk dalam lumbung. Demikian pula halnya dengan kita, hari ini kalau kita berada dalam gereja bukan berarti kita adalah warga kerajaan-Nya. Tidak! Kita masih harus melewati satu tahap penyeleksian, apakah kita masuk dalam golongan ikan yang bagus ataukah ikan busuk? Apakah kita gandum atau ilalang?
David F. Wells dengan tajam melihat pasca pertengahan abad ke-20, setelah Perang Dunia I dan II, Kekristenan sudah melupakan esensi asli. Dalam bukunya, No Place for Truth dituliskan memasuki era posmodern ini dunia hanya bergerak menuju ke satu arah, yaitu manajemen marketing dan cara pencapaiannya menggunakan pendekatan psikologis, orang memakai cara-cara humanistik untuk memenuhi egonya. Celakanya, manajemen marketing ini telah menyebar dan masuk dalam segala aspek kehidupan. Orang teknik tidak lagi menitikberatkan pada teknologi mesin itu sendiri tetapi orang mulai mengarah pada penjualannya sebab apa gunanya mesin hebat tapi kalau tidak dapat dijual di pasaran dan merugi. Kemajuan manusia adalah kemajuan marketing dan neraca perdagangan. Demikian pula halnya dengan bidang kedokteran, pendidikan, politik dan segala bidang lain, semua diukur dari untung rugi. Prinsip ini telah mengakar dalam kehidupan manusia. Manusia tidak lagi berpikir untuk mencapai kualitas, manusia hanya ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya maka segala sesuatu diukur secara kuantitas, semua diukur secara angka. Ketika manusia menggeser semua hal ke aspek material akibatnya orang terjebak ke aspek kuantitatif. Perhatikan, ketika semua hal dihitung dari untung rugi akibatnya orang tidak pernah memahami kualitas, quality is not matter of number. Adakah orang yang dapat mengukur dengan angka berapa besarnya kualitas kerohanian secara obyektif? Berapakah nilai angka untuk kebaikan, kesucian atau kerendahhatian? Perhatikan, karakter seseorang hanya dapat diukur secara subyektif dan hanya Tuhan saja yang layak menilai kualitas manusia.
Celakanya, gerejapun memakai cara dunia yang humanis materialis yang selalu berpikir untung dan rugi dan selalu mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Gereja tidak menyadari bahwa kualitaslah yang terpenting sebab apalah artinya jumlah banyak kalau tidak dibangun di atas dasar kebenaran sejati – gereja akan mudah sekali dihancurkan. Melalui perumpamaan ini, Tuhan Yesus membukakan pada kita pentingnya kualitas namun ingat, bukan berarti kemudian kita anti dengan kuantitas. Tidak! Fakta membuktikan kualitas itu dengan sendirinya menentukan kuantitas. Perhatikan, ketika kita bermain dengan kuantitas dalam bisnis atau dagang maka kita akan tergilas oleh pihak lain yang mempunyai modal lebih besar. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita selalu berjuang untuk mencapai kualitas tertinggi dan orang yang sudah mencapai tingkatan kualitas itu pastilah ia tidak mau kembali pada kualitas rendah. Sebagai contoh, setelah kita merasakan enaknya makanan di warung A maka kita tidak akan kembali lagi kesana setelah kita merasakan ada tempat lain yang lebih enak. Tuhan Yesus membukakan pada kita akan pentingnya kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang menjadi standar ukuran kualitas? Kristus Yesuslah yang harusnya menjadi teladan dan ukuran dari kualitas; hanya Tuhan yang berhak memberi penilaian pada setiap manusia. Biarlah kita diubahkan dan dibentuk oleh Tuhan dengan demikian kita menjadi peka dan tidak dipermainkan oleh dunia. Hendaklah Firman Tuhan itu terimplikasi dalam hidup kita dan hati-hati dengan akal licik iblis yang sengaja mempengaruhi pemikiran kita dengan mengatakan: “Tidak mungkin dan mustahil.“ Perhatikan, kalau semua yang kita lakukan adalah kehendak Tuhan maka Tuhan pasti akan memimpin, tidak ada kekuatan yang lain yang dapat menggagalkan.
Firman Tuhan menegaskan jalan menuju ke sorga itu sempit berarti orang yang dapat masuk sangat sedikit. Hal ini menyadarkan kita akan konsep kualitatif dan menjadikan kita lebih waspada. Memang yang masuk sorga itu sedikit namun hal itu bukan berarti Tuhan tidak suka kalau banyak orang yang bertobat. Tidak! Fakta membuktikan sesuatu yang berkualitas itu, jumlahnya sangat sedikit sebab bukanlah hal yang mudah untuk bisa mencapai kualitas tinggi. Karena itu, jangan kejar kuantitas tetapi kejarlah kualitas dan kuantitas akan mengikut di belakangnya; quality first and the quantity welcomes up. Lalu bagaimana kita memahami kualitas?
Pertama, Kualitas itu bukan berarti ketika kita berkata “bagus“ maka itulah bagus. Tidak! Bagus itu haruslah sesuai dengan standar Tuhan, apa yang menurut Tuhan bagus maka itulah bagus. The source of quality will selected it. Hari ini, banyak orang telah dipengaruhi oleh konsep posmodern maka tidaklah heran kalau orang tidak memahami akan keindahan yang sejati, orang tidak memahami definisi keindahan. Filsafat posmodern mengajarkan hal yang salah, yakni apa yang menurut kita indah maka itulah indah; jadi, indah itu suka-suka dan terserah kita. Salah! Kita harus kembali pada Firman untuk dapat memahami kualitas sejati. Quality based on the source of quality. Tuhan adalah Raja di atas segala raja, Dialah pemilik Kerajaan Sorga maka Dia berhak melakukan penyeleksian siapa saja yang boleh masuk ke dalam-Nya. Kedaulatan penuh berada di tangan-Nya. Kualitas sejati harus kembali pada kualitas absolut yang menjadi standar mutlak. Sebagai anak Tuhan sejati haruslah mengutamakan kehendak Tuhan dalam segala aspek hidup kita dan bagaimana kebenaran Tuhan ditegakkan. Inilah the sovereignty of God. Firman Tuhan sungguh agung, di dalamnya memberikan prinsip kebenaran sejati seperti tentang keindahan, seni, sosial, hukum, alam semesta dan masih banyak lagi. Orang yang mengaku Kristen tapi ia tidak mau belajar Firman maka dapatlah dipastikan kita adalah termasuk dalam golongan ikan yang busuk. Tuhan memberikan pada setiap kita potensi untuk kita dapat kembali pada kebenaran firman. Maukah kita kembali dan diubahkan oleh kebenaran Firman yang menjadi standar atau ukuran mutlak?
Kedua, Cara Tuhan Yesus menilai apakah ikan itu bagus atau busuk bukan dilihat secara tampilan luar tetapi secara internal. Tuhan melihat karakter asli yang ada pada kita, apakah kita termasuk ikan bagus? Berbeda dengan manusia pada umumnya dimana orang hanya melihat secara fenomena, orang melihat aksesori yang menempel. Bagus atau jeleknya ikan itu harus dilihat secara internal bukan secara tampilan luar. Mata manusia seringkali terkecoh oleh tampilan luar, terkecoh oleh aksesori yang ditampilkan namun Tuhan melihat karakter, Dia tahu apa yang ada dalam hati setiap manusia yang terdalam yang orang lain tidak tahu. Sebagai anak Tuhan, kita harus submissive, taat penuh pada pimpinan Tuhan. Tuhan ingin hidup kita dimurnikan, kita menjadi garam dan terang di tengah dunia ini. Tuhan ingin kita mempunyai karakter asli yang indah secara internal dan untuk mencapainya tidaklah mudah, kita harus melewati beberapa proses pembentukan oleh Tuhan. Melalui perumpamaan ini, hendaklah kita mengevaluasi diri sudahkah kita hidup seturut dengan kehendak Tuhan? Maukah kita diubahkan dan dibentuk oleh-Nya menjadi semakin serupa dengan Dia? Hizkia menjelang ajal dalam doanya ia berkata betapa selama ia hidup ia telah setia dan tulus hati di hadapan Tuhan; bagaimana sepanjang hidup ia telah melakukan segala hal yang berkenan di hadapan Tuhan (2Raj. 20). Inilah karakter asli. Perhatikan, doa seperti ini tidak mungkin keluar dari mulut Hizkia kalau tidak ditunjang oleh seluruh hidupnya. Kalau Hizkia berani berkata seperti itu berarti ia telah membuktikan sepanjang hidupnya, setia, tulus hati, hidup bersih di mata Tuhan. Beranikah kita berkata kepada Tuhan seperti Hizkia? Apakah kita telah memperkenankan hati Tuhan di sepanjang hidup kita? Sesungguhnya, kalau Hizkia mau berbuat dosa sangatlah mudah, ia adalah seorang raja, ia mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan masih banyak lagi namun Tuhan memakai raja Hizkia dan mencatatnya dalam Alkitab seharusnya menyadarkan kita, yakni jika dibandingkan dengan Hizkia yang mempunyai segala potensi untuk berbuat dosa dengan kekayaan dan kuasa yang ada tetapi ia toh tidak melakukan itu maka kita seharusnya jauh lebih mudah untuk hidup seturut dengan rencana Tuhan. Tuhan ingin membentuk setiap kita namun sayang, tidak setiap orang mau dibentuk oleh-Nya. Ingat, Tuhan tidak melihat tampilan luar kita, Dia melihat karakter, hati yang terdalam – setiakah kita pada-Nya, taatkah kita pada-Nya, sudahkah kita melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan?
Ketiga, Perumpamaan ini bukan sekedar memberikan himbauan atau nasihat. Tidak! Melalui perumpamaan ini Tuhan mau membukakan akan adanya penghakiman Tuhan. Tuhan ingin kita hidup setia dan taat pada-Nya sebab barangsiapa mengasihi Anak maka ia melakukan perintah-Ku dan melakukan-Nya dan Tuhan berkenan atasnya. Yang menjadi pertanyaan apakah kita termasuk dalam kategori ikan bagus ataukah ikan busuk yang tidak ada jalan lain selain harus dibuang dan dibakar? Tempat dimana ada ratap dan gertak gigi merupakan gambaran neraka, gambaran situasi orang yang dibuang dari hadapan Tuhan. Ingat, kalau Tuhan sudah membukakan pada kita seharusnya menjadikan kita lebih waspada, hidup baik-baik di hadapan Tuhan. Ingat, Tuhan tidak dapat dipermainkan. Kalau Tuhan tidak menyayangkan carang yang asli untuk dibuang apalagi kalau kita hanya carang hasil cangkokkan. Tuhan ingin kita waspada, hal ini bukan sekedar sebuah pilihan atau himbauan tetapi positioning; pertanyaannya dimanakah posisi kita? Apa yang kita perjuangkan dalam hidup ini? Perumpamaan ini menyadarkan kita bahwa penghakiman Allah itu bukanlah main-main tetapi riil; penghakiman Allah bukanlah ilusi. Keadilan Allah itu riil dan sempurna; murka Allah itu nyata bagi kita. Jonathan Edwards dalam bukunya Sinners in the Hand of an Angry God kiranya juga menegur dan mengingatkan kita akan murka Allah dan bagaimana nasib orang berdosa di tangan Allah yang murka. Tuhan yang penuh kasih itu adalah Tuhan yang adil, Tuhan mengampuni orang-orang berdosa yang mau kembali pada-Nya dan Ia adalah Tuhan yang menghukum orang berdosa yang melawan Tuhan. Karena itu bertobatlah, kembali pada Tuhan dan serahkan hidup dalam pimpinan Tuhan.
Kesadaran keseimbangan ini kiranya menjadikan hidup kita semakin serupa dengan Dia, pikiran kita diubahkan dengan demikian value system kita dikembalikan pada kebenaran sejati. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070506.htm

No comments: