15 March 2009

Roma 14:1-3: KONSEP MENGHAKIMI-1: Pendahuluan

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-14


Konsep Menghakimi-1: Pendahuluan

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:1-3.



Setelah mengerti konsep tentang kasih yang berkait dengan kebenaran dan kesucian (ay. 8 s/d 14), Paulus mengingatkan agar kita yang sudah mengerti tidak boleh sombong dan merasa diri hebat lalu menghina orang lain. Apa yang Paulus ingatkan ini dipaparkannya pada pasal 14 ayat 1-12. Pada bagian ini, kita akan membahas tiga ayat pertama untuk mengerti pendahuluan tentang perintah jangan menghakimi. Lalu, sembilan ayat sisanya merupakan alasan perintah jangan menghakimi itu.

Di ayat 1, Paulus mengingatkan jemaat Roma, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.” Kata “lemah iman” diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya” Berarti, “lemah iman” identik dengan orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya. Kepada orang ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma untuk menerima mereka. Apa artinya menerima? Apakah berarti kita tidak peduli dengan kelemahan imannya? Ataukah kita berkompromi iman? Tidak. Kalau kita mengerti konteksnya, ayat ini dan keseluruhan surat Roma tidak ditulis bagi semua orang, tetapi hanya bagi umat Tuhan, sehingga kita mengerti lingkup pembahasan Paulus, yaitu hanya bagi umat pilihan-Nya. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, ada anak-anak Tuhan yang (sementara waktu) kurang yakin akan imannya atau lemah imannya, mungkin dikarenakan kurangnya pengertian yang mereka peroleh. Lemahnya iman di sini tentu BUKAN berarti tidak memiliki iman dasar/primer yang penting, tetapi lingkupnya hanyalah iman sekunder bahkan tersier yang kurang penting (baca ayat selanjutnya). Oleh karena itu, Paulus mengajar jemaat Roma untuk menerima orang yang lemah imannya, mengapa? Karena umat Tuhan yang lemah imannya pun tetap adalah umat Tuhan yang perlu dibimbing, bukan dimusuhi. Bukan hanya diterima, Paulus mengatakan bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat orang-orang yang lemah imannya itu. Apa artinya? Apakah berarti kita masa bodoh terhadap pandangan mereka? Di dalam NIV, pernyataan “mempercakapkan pendapatnya” bisa diterjemahkan memberikan penghakiman atas pendapatnya. Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah, “jangan ke dalam perselisihan-perselisihan pendapat-pendapat.” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 868) Dari kedua terjemahan ini, kita bisa mengerti bahwa maksud Paulus bukannya kita cuek dengan pendapat orang yang lemah imannya itu, tetapi kita tidak perlu mempermasalahkannya pendapat orang yang lemah imannya itu sampai ribut dan bertengkar/berselisih.

Mengapa Paulus berkata bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat tersebut sampai ribut? Karena alasannya jelas, yaitu, hal-hal yang dipermasalahkan adalah hal-hal sekunder yang tidak mutlak (ay. 2). Orang yang terlalu mempermasalahkan hal-hal sepele sampai ribut adalah orang yang kurang dewasa dalam iman. Mengapa? Karena orang itu tidak bisa membedakan mana hal yang primer dan mutlak dengan hal yang sekunder dan tidak mutlak. Bagaimana dengan kita, khususnya kita yang sudah belajar theologi? Banyak dari kita yang sudah mempelajari banyak theologi merasa sombong. Jika ada yang berbeda hal-hal sepele dengan apa yang kita imani, kita langsung marah dan tidak segan-segan, kita mencap mereka yang berbeda sebagai bidat (sesat). Di sini, saya mengatakan, “hal-hal sepele.” Artinya, hal-hal yang tidak mutlak. Misalnya, hal doa bersuara, berpuasa, dll. Ada satu pendeta dari gereja di Surabaya yang mengaku diri Calvinis menyerang ajaran doa bersuara (doa yang dinaikkan secara serentak oleh semua jemaat dalam bahasa yang dapat dimengerti) dengan segudang argumentasi “Alkitab.” Meskipun pendeta ini tidak mengatakan ajaran doa bersuara itu BIDAT, tetapi gaya tulisan di dalam artikelnya memojokkan ajaran doa bersuara (seolah-olah Alkitab melarang praktik doa bersama-sama), padahal doa bersuara BUKAN hal mutlak yang perlu diperdebatkan. Yang lebih lucu lagi, ada salah satu jemaat dari pendeta ini yang pernah berdiskusi dengan saya tentang doa bersuara mengajukan beberapa ayat Alkitab, khususnya dalam 1Kor. 14:33, 40 lalu menafsirkan bahwa doa bersuara = bahasa lidah yang kacau. Tafsiran Alkitab seperti ini tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena 1Kor. 14:33, 40 ditulis Paulus dalam konteks bahasa lidah, bukan doa bersuara. Bahasa lidah adalah bahasa yang TIDAK DAPAT dimengerti, sedangkan doa bersuara dipanjatkan dalam bahasa yang DAPAT dimengerti. Dua hal berbeda, tetapi sengaja dicocok-cocokkan. Marilah kita tidak meributkan hal-hal yang sepele, tetapi kita membangun satu sama lain di dalam pengertian iman yang kembali kepada Alkitab. Untuk hal-hal yang primer dan mutlak (7 poin, yaitu: Allah Trinitas, dwi natur Kristus, ketidakbersalahan Alkitab, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, semua manusia telah berdosa, manusia dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam iman, dan Kristus akan datang kembali kedua kalinya), kita boleh berperang melawan bidat, karena itu tugas kita, tetapi untuk hal-hal yang sepele, hendaklah kita tidak terlalu meributkan.


Lalu, orang yang lemah iman seperti apa yang Paulus maksudkan? Di ayat 2, ia menjelaskan, “Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja.” Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan orang yang lemah imannya di dalam ayat ini adalah orang Yahudi yang bertobat. Di dalam tradisinya, orang-orang Yahudi yang berpedoman pada hukum Musa tidak memakan daging binatang (baca: Imamat). Meskipun mereka telah menerima Kristus, banyak dari mereka yang masih tidak makan daging dan masih percaya bahwa sunat itu diperlukan. Untuk hal sunat, Paulus telah membahasnya secara panjang lebar di Surat Roma ini di pasal-pasal sebelumnya (bdk. Rm. 2:17-29). Ia tidak setuju bahwa orang Yahudi yang telah bertobat dan menerima Kristus harus disunat, karena yang terpenting sunat rohani. Jika ada yang memutlakkan sunat sebagai tanda bahwa orang itu menjadi umat Allah, orang itu telah menghina karya penebusan Kristus. Untuk hal sunat, Paulus TIDAK menganggapnya sepele karena hal itu sangat penting. Mengapa? Karena itu menyangkut karya penebusan Kristus. Tetapi untuk hal makan daging atau tidak makan daging, Paulus TIDAK terlalu mempermasalahkannya, karena itu hanya tradisi dan itu bukan hal mutlak. Orang Kristen Yahudi yang masih makan sayur dan tidak makan daging tidak membuktikan diri mereka saleh, begitu juga orang Kristen non-Yahudi yang makan segalanya tidak membuktikan diri mereka saleh. Jadi, makan sayur atau tidak bukan kriteria seseorang diselamatkan. Bagaimana dengan kita? Di dalam Kekristenan sendiri, ada beberapa golongan yang memutlakkan hal-hal yang relatif, seperti kasus makanan yang Paulus paparkan ini. Ada beberapa golongan Kristen kontemporer yang memutlakkan baptisan selam. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa orang Kristen yang tidak dibaptis selam tidak masuk sorga. Maka, berbondong-bondonglah orang Kristen yang sudah dibaptis percik lalu dibaptis selam, biar aman (afdhol). Padahal Alkitab TIDAK pernah mengajarkan ajaran tidak bertanggungjawab itu. Baptis hanya satu kali (Ef. 4:5), tidak perlu berulang kali apa pun alasannya! Baptisan selam, percik, atau apa pun adalah hanya sekadar cara upacaranya, yang penting intinya jelas yaitu bukti seseorang masuk ke dalam persekutuan tubuh Kristus. Baptisan selam ataupun percik TIDAK pernah menyelamatkan, yang menyelamatkan adalah Kristus saja!


Di dalam ayat 3, Paulus mengulang kembali peringatannya di ayat 1, “Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.” Paulus mengatakan bahwa bukan hanya kita menerima orang yang lemah imannya saja, tetapi kita harus menerimanya dan tidak perlu menghakiminya, mengapa? Karena Allah telah menerima orang itu! Di sini, Paulus mengemukakan alasan yang lebih tegas, bukan karena si X atau si Y yang harus menerima orang yang lemah imannya, tetapi ALLAH sendiri telah menerima orang yang lemah imannya. Berarti, karena Allah tidak memandang hal-hal sepele, maka sebagai anak-anak-Nya pun, kita tidak perlu memandang hal-hal sepele lalu melupakan hal-hal primer. Bagaimana dengan kita? Biarlah konsep ini bukan konsep yang dimengerti di dalam otak, tetapi konsep ini harus kita aplikasikan. Saya pribadi sebagai orang Kristen yang memegang teguh prinsip theologi Reformed Injili pun tetap tidak mempersoalkan hal-hal sepele. Saya memiliki seorang teman di Yogyakarta yang beraliran Baptis Dispensasionalisme. Dia memiliki iman yang cukup kuat di dalam hal-hal prinsipil, seperti Allah Trinitas, ketidakbersalahan Alkitab, dll (7 poin yang sudah saya paparkan di atas), tetapi dia tidak mempercayai theologi kovenan seperti yang saya percayai dan tentunya dia juga tidak mempercayai baptisan anak (infant baptism). Saya pernah menjelaskan dua konsep itu kepadanya, tetapi dia tetap tidak mau menerima. Meskipun demikian, saya tetap berteman dan tidak lagi mempermasalahkan kedua doktrin tersebut. Hal ini tidak berarti saya kompromi dengan semua jenis theologi. Kepada orang-orang yang berbeda doktrin dengan saya dalam hal-hal primer, saya tidak akan pernah kompromi. Saya akan terus menyerang mereka yang mengaku diri “Kristen” bahkan “pendeta” tetapi tidak percaya 7 prinsip dasar iman Kristen Injili. Tetapi kepada mereka yang berbeda doktrin secara non-prinsipil (sekunder), saya terbuka (tidak berarti saya kompromi) dan menghargai. Mengapa? Karena saya percaya Allah juga menerima dan memakai mereka yang berbeda doktrin secara sekunder itu untuk menggenapkan kehendak-Nya. Belajarlah menghargai mereka yang berbeda doktrin secara sekunder sambil tetap saling berinteraksi bertumbuh di dalam kebenaran Alkitab.


Bagaimana dengan kita? Masihkah kita merasa diri arogan dengan pengetahuan theologi yang kita miliki? Biarlah kita belajar rendah hati menerima orang lain khususnya yang berbeda doktrin secara sekunder. Sebagaimana Allah telah menerima mereka yang lemah imannya, siapkah kita menerima mereka yang lemah imannya itu demi kemuliaan-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: