29 March 2009

KREDO REFORMED-3: Katekismus Heidelberg (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

KREDO REFORMED-3:
Katekismus Heidelberg


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pengantar
Kata “katekismus” berasal dari bahasa Yunani kathcew yang berarti “mengajar” (Luk. 1:4; Kis. 18:25; 21:21, 24; Rm. 2:18; 1Kor. 14:19; Gal. 6:6). Pada awalnya kata “katekismus” bisa merujuk pada apa saja yang diajarkan. Mulai abad ke-16 arti kata ini menjadi semakin sempit dan merujuk pada pedoman pengajaran iman Kristen yang bersifat populer (tidak teknis/akademis) dan biasanya dalam bentuk tanya-jawab (D. F. Wright, “Catechism”, Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elwell, 195). Proses mengajarkan katekismus disebut “katekisasi”, orang yang mengajarkan katekismus disebut “katekist” (catechist), sedangkan yang diajar disebut “katekumen” (catechumen).

Praktik pengajaran iman Kristen kepada para petobat baru sebenarnya sudah dimulai sejak awal kekristenan. Pada abad ke-2 sudah ada satu buku yang bernama didach. Bapa gereja Agustinus dan Gregory Nissa pun membuat buku untuk para petobat baru. Di gereja-gereja lain katekisasi bahkan mencakup pengajaran dari tradisi lisan. Walaupun praktik katekisasi sudah dimulai sejak dahulu, namun belum ada bahan tertulis resmi yang diakui bersama oleh gereja-gereja. Selama abad pertengahan, pengajaran iman Kristen mengalami dekadensi. Pada masa reformasi katekisasi dipopulerkan kembali. Pada periode selanjutnya masing-masing aliran dalam gereja memiliki katekismus sendiri-sendiri yang resmi. Golongan Lutheran memakai Katekismus Besar dan Kecil karangan Martin Luther. Gereja Anglikan merumuskan Katekismus Anglikan. Gereja Roma Katolik pun memiliki Katekismus [Gereja] Roma (Catechismus Romanus). Waktu yang diperlukan untuk katekisasi dari dahulu sangat beragam, mulai satu tahun sampai tiga tahun. Di akhir pengajaran, katekumen diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, menunjukkan perubahan hidup yang signifikan dan kadangkala menghafalkan Doa Bapa Kami, Sepuluh Perintah Allah maupun Pengakuan Iman Rasuli.

Istilah “Heidelberg” didasarkan pada tempat dirumuskan dan ditetapkannya Katekismus Heidelberg. Katekismus ini memang ditulis di kota Heidelberg, Jerman. Setelah ditulis, katekismus ini juga disahkan penggunaannya secara resmi di kota yang sama. Karena itu, katekismus ini dikenal dengan sebutan Katekismus Heidelberg. Istilah lain yang kadangkala dipakai adalah Katekismus Palatinate (Palatinate Catechism), sebuah daerah otonom yang di dalamnya mencakup kota Heidelberg (daerah selatan dan barat Mainz).


Latar Belakang Perumusan
Perumusan Katekismus Heidelberg tidak dapat dipisahkan dari peranan penting Ferderick III, seorang pemimpin di Palatinate, sebuah daerah otonom di bagian barat Jerman. Pertobatan Frederick dari Katolik ke Protestan didorong oleh dekadensi moral yang dia lihat di dalam gereja Katolik Roma. Akhirnya ia dengan sukarela memeluk iman Protestan pada tahun 1537 ketika dia menikahi putri Maria Brandenburg-Kulmbach, seorang pengikut Lutheran tradisional yang sungguh-sungguh. Melalui Maria, Frederick semakin hari menjadi semakin saleh dan memahami iman Protestan.

Perubahan iman Frederick ke Reformed dimulai dari peselisihan intern di Palatinate antara Tilemann Hesshus dan Wilhelm Klebitz. Hesshus adalah pendeta di Gereja Roh Kudus dan rektor di College Hikmat, sedangkan Klebitz adalah asisten pendeta. Hesshus berpegang pada theologi Lutheran, sedangkan Klebitz adalah pengikut Zwinglian yang sangat bersemangat. Perselisihan semakin parah ketiga College Hikmat menganugerahi gelar theologi kepada Klebitz di saat Husshes tidak ada di tempat. Situasi ini membuat Husshes sangat marah dan ia menuntut gelar itu dicabut serta Klebitz diusir dari Palatinate. Tuntutannya ternyata tidak digubris, sehingga Husshes bertambah marah. Suatu ketika Klebitz sedang melayani perjamuan kudus. Ketika dia sedang mengangkat cawan anggur, Husshes datang dan merebut cawan itu dari tangan Klebitz. Jemaat sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Frederick yang baru saja datang ke Palatinate langsung menyadari bahwa hal ini merupakan masalah yang sangat serius, karena menyangkut doktrin perjamuan kudus yang memang sejak lama selalu menjadi fokus perselisihan.

Frederick sempat menanyakan solusi dari masalah ini kepada Melanchthon, sahabat dan penerus Luther. Oleh Melanchthon dia dinasehati untuk mengikuti doktrin yang sudah ditetapkan (maksudnya doktrin Lutheran yang terangkum dalam Pengakuan Iman Augsburg artikel XI), namun jawaban ini tidak memuaskan Frederick karena semakin lama dia mempelajari perbedaan antara Lutheran dan Zwinglian, dia semakin berpihak pada Zwinglian. Atas usul istrinya yang disampaikan oleh menantu mereka, Frederick akhirnya mengadakan debat antara dua orang pemikir Lutheran dan Zwinglian pada tahun 1560. Pihak non-Lutheran diwakili oleh Peter Boquin (Calvinis) dan Thomas Erastus (Zwinglian). Setelah perdebatan publik ini, Frederick memutuskan untuk memeluk ajaran Reformed.

Pada Januari 1561 Christopher Wurrttemberg mengadakan konferensi di Naumburg dan mengundang semua gubernur dan anak-anak mereka untuk menerima Pengakuan Iman Augsburg sebagai deklarasi iman yang resmi. Para pemimpin tersebut diberi dua pilihan: Pengakuan Iman Augsburg versi asli (ditulis Melanchthon; doktrin perjamuan kudus dalam versi ini sudah diterima secara resmi pada tahun 1530) atau versi kedua (berisi beberapa perubahan oleh Melanchthon, terutama artkel ke-10 tentang perjamuan kudus yang juga telah disetujui Calvin). Semua pemimpin waktu itu berhasil dibujuk oleh Frederick untuk memilih versi ke-2, kecuali menantunya sendiri.

Frederick terus bergumul tentang alternatif Lutheran-Reformed. Pergumulan ini bukan hanya penting bagi pertumbuhan spiritual dia secara pribadi, tetapi juga bagi stabilitas keamanan di daerah kekuasaannya. Di tengah pergumulan ini dia sangat terbantu oleh kehadiran dua pemikir besar: Caspar Olevianus (1536-1587) dan Zacharias Ursinus (1534-1583). Olevianus adalah orang yang pernah mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan anak Frederick yang hanyut di sungai sewaktu mereka masih tinggal di kota Trier. Walaupun anak itu tetap tidak terselamatkan, namun Frederick tetap menghormati usaha Olevianus. Pasca peristiwa itu Olevianus memikirkan ulang cita-cita dan dia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang pendeta, bukan ahli hukum. Dia belajar di bawah bimbingan Calvin, Beza dan Peter Martyr (Vermigli) yang merupakan 3 tokoh Reformed terkemuka waktu itu. Setelah pulang kembali ke Trier (1559), Olevianus mengobarkan reformasi Reformed dan dengan cepat mendapat sambutan pubik yang sangat besar. Kekuatiran dewan kota Trier bahwa perubahan ini akan diketahui pihak uskup Yohanes ternyata terbukti. Olevianus diperintahkan untuk berhenti berkotbah tetapi dia menolak. Sebagai respons terhadap penolakan ini, uskup Yohanes mengirimkan tentara ke Trier dan membawa bencana besar bagi mereka: ladang dibakar, pasokan air ke kota dihentikan, penduduk yang ke luar kota dirampok dan puncaknya kota itu diporak-porandakan. Olevianus dan 12 orang pemimpin lainnya ditangkap dan dipenjara. Setelah ditahan selama 10 minggu, uskup Yohanes menerima suat dari Frederick yang disertai dengan sejumlah besar uang dan janji bahwa Olevianus tidak akan kembali lagi ke Trier setelah dia dilepaskan. Olevianus sendiri menyetujui undangan Frederick untuk berkotbah di Gereja Roh Kudus dan ia langsung bertolak ke Heidelberg.

Di tempat lain Tuhan juga sedang menyiapkan Ursinus. Kehebatan Ursinus dengan cepat diketahui oleh Melanchthon dan dengan bantuan Melanchthon dia berhasil menjadi pemimpin Sekolah Elizabeth di Breslau pada waktu usianya baru awal 20-an. Beberapa pandangan Melanchthon – yang sering dianggap “crypto-Calvinis” – juga turut membentuk pemikiran Ursinus. Pasca kematian Melanchton pada tahun 1560, Ursinus kembali ke Zurich di mana dia belajar di bawah bimbingan Peter Martyr. Ketika Frederick meminta Peter Martyr untuk memimpin College Wisdom, Peter merekomendasikan Ursinus untuk posisi itu, karena ia merasa terlalu tua (60 tahun) untuk menghadapi tantangan baru dan menurut dia Ursinus sudah memiliki pengetahuan theologi dan kesalehan yang luar biasa sekalipun Ursinus masih berumur 20-an tahun. Akhirnya Frederick menyetujui usulan ini dan Ursinus pergi ke Heidelberg untuk memimpin sekolah tersebut.

Kehadiran dua pemikir hebat di atas semakin meyakinkan Frederick bahwa tiba saatnya untuk merumuskan sebuah pengakuan iman yang resmi dan definitif. Katekismus ini dimaksudkan sebagai bahan pengajaran bagi orang-orang muda dan pedoman bagi para pendeta maupun pengajar. Dia menugasi Olevianus dan Ursinus untuk merealisasikan hal itu. Olevianus yang waktu itu baru berusia 26 tahun dan Ursinus yang berusia 28 tahun akhirnya berhasil menyelesaikan sebuah karya tulis yang sampai sekarang diakui sebagai “katekismus dengan kekuatan dan keindahan yang luar biasa”. Ursinus kemungkinan besar lebih berperan penting dalam hal isi, sedangkan Olevianus lebih pada peredaksian, karena dalam perkembangan selanjutnya Ursinus merupakan pembela dan penafsir utama dari katekimus ini.

Setelah dirumuskan oleh Olevianus dan Ursinus, Frederick mengumpulkan semua rohaniwan dan pemikir untuk meninjau katekismus ini pada Januari 1563. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Frederick, dosen-dosen fakultas theologi Heidelberg dan para pejabat gereja di Palatina juga turut andil dalam hasil akhir Katekismus Heidelberg. Mereka akhirnya menyetujui isi dari katekismus tersebut, termasuk bagian tentang perjamuan kudus yang menyatakan secara eksplisit bahwa “roti kudus tidak berubah menjadi tubuh Kristus”. Frederick sendiri yang menulis kata pengantar dalam katekismus ini. Katekismus yang akhirnya dikenal dengan sebutan Katekismus Heidelberg ini diterbitkan tahun 1562 dan mulai ditetapkan secara resmi di Palatine pada tahun 1563.

Sikap Frederick di atas menimbulkan masalah yang serius, karena pengantar yang dia tulis dan beberapa bagian Katekismus Heidelberg bertentangan dengan Pengakuan Iman Augsburg dan ajaran Katolik Roma. Pihak Katolik menghembuskan rumor bahwa Olevianus dirasuk iblis dan Frederick tidak bisa tidur malam hari karena diganggu iblis. Christopher dari Wurrttemberg menantang Frederick berdebat secara publik pada April 1564. Debat ini tidak menghasilkan konsensus apa pun, sehingga Christopher akhirnya melaporkan Frederick ke Kaisar Maximillian II dengan tuduhan bahwa Frederick telah melanggar Pengakuan Iman Augsburg. Walaupun Maximillian adalah pengiktu Katolik moderat, tetapi dia tetap harus memperhatian protes para gubernur Protestan karena stabilitas kekaisarannya dipengaruhi oleh para pemimpin regional tersebut. Akhirnya pada tahun 1566 ia dipanggil oleh Kaisar Maximilian II di hadapan 6 gubernur lain dan para penasehat mereka untuk menghadiri pertemuan di Augsburg. Kalau dia tidak mau mengubah pendiriannya, ia bisa saja diusir dari Jerman atau mungkin dihukum mati. Banyak orang memprediksi bahwa Frederick pasti akan kalah dalam pertemuan itu, karena para pengikut Lutheran sudah melobi kaisar secara intensif, kaisar sendiri adalah orang Katolik dan beberapa pendukung Reformed tidak berani menyatakan hal itu secara publik. Pada tanggal 14 Mei 1566 tuduhan terhadap Frederick sebagai pengikut ajaran sesat dibacakan. Dia didesak untuk meninggalkan iman Reformed atau dikucilkan. Paksaan ini tidak menciutkan nyali Frederick. Sambil mengingat bagian awal Katekismus Heidelberg – pertanyaan “apakah penghiburan manusia yang terutama?” dan jawaban “bahwa aku, baik tubuh atau jiwa, dalam hidup maupun kematian, bukanlah milikku tetapi juru selamatku yang setia, Yesus Kristus” – dia dengan penuh percaya diri, tenang dan lemah-lembut menjelaskan isi dan tujuan Katekismus Heidelberg.

Keputusan akhir dalam pertemuan ini ternyata mengagetkan banyak orang. Keberanian dan kelemahlembutan Frederick berhasil menimbulkan kesan yang mendalam, bahkan pada diri musuh-musuhnya dan Maximillian II. Beberapa pangeran yang menjadi pengikut Lutheran yang moderat membujuk kaisar untuk tidak menyensor maupun menghukum Frederick. Akhirnya Maximilian II membebaskan Frederick dari semua tuduhan dan ancaman hukuman. Ia bahkan menyebut Frederick sebagai “Orang Yang Saleh”.

Dengan cepat Katekismus Heidelberg dikenal dan diakui oleh gereja-gereja Reformed di bagian utara Jerman dan Swiss. Tidak lama berselang katekismus ini juga diakui oleh gereja-gereja di wilayah lain. Berturut-turut katekismus ini disahkan dalam konsili di Wesel (1568), Emden (1571), Dort (1578), the Hague (1586). Keputusan penting diambil pada konsili internasional di Dort (1618-1619). Pada perkembangan berikutnya Katekismus Heidelberg diterjemahkan dalam berbagai bahasa di Asia dan Afrika. Terjemahan dalam bahasa Melayu pun sudah dibuat oleh Pendeta Seb. Danckaerts pada tahun 1623. Pada abad ke-19 dan ke-20 para utusan injil dari Belanda dan para pendeta Protestan di Indonesia tetap menggunakan katekismus ini sebagai salah satu pedoman doktrin. Begitu terkenalnya katekismus ini di seluruh dunia sampai-sampai katekismus ini masuk sebagai salah satu buku yang paling banyak disirkulasikan di seluruh dunia setelah Alkitab, The Imitation of Christ (Thomas A. Kempis) dan Pilgrim’s Progress (John Bunyan).


Beragam Edisi
Setelah ditetapkan secara resmi pada tahun 1563, pada tahun itu juga diterbitkan tiga edisi Jerman yang lain (termasuk edisi yang singkat) dan terjemahan Latin. Perubahan ini sangat terkait dengan situasi pada waktu itu. Ada beberapa perubahan penting yang perlu kita ketahui. Pertama, penambahan referensi ayat Alkitab. Pada edisi Jerman yang ke-1, Alkitab dalam bahasa Jerman belum dibagi ke dalam ayat-ayat, sehingga kutipan teks Alkitab hanya diberi nama kitab dan nomer pasal. Pada edisi selanjutnya (edisi Latin) hal ini diperbaiki dengan cara memberikan ayat-ayat sesuai dengan pengaturan Alkitab bahasa Jerman yang baru.

Kedua, pertanyaan dan jawaban nomer 80. Bagian ini (dalam edisi kita sekarang) tidak ditemukan dalam edisi ke-1. Pada edisi ke-2 sebagian dari pertanyaan dan jawaban itu sudah ditambahkan, tetapi belum secara lengkap. Baru pada edisi ke-3 bagian tersebut diredaksi ulang menjadi seperti sekarang. Para theolog menduga perubahan ini dipicu oleh keputusan Konsili Trente pada 17 September 1562 yang salah satu keputusannya meneguhkan kembali doktrin misa Katolik Roma dan mengutuk praktik sakramen oleh golongan Protestan. Keputusan ini tidak sempat direspon secara khusus dalam edisi-edisi sebelumnya, karena keterbatasan waktu. Baru pada awal tahun sesudahnya para pemimpin gereja Reformed sempat membahas hal ini secara eksplisit.

Ketiga, pemberian nomer untuk pertanyaan dan jawaban. Pada beberapa edisi awal pertanyaan dan jawaban tidak diberi nomer seperti sekarang. Baru pada tahun 1573 Katekismus Heidelberg diberi nomer (129 nomer) dan dibagi menjadi 52 bagian sehingga satu bagian dapat dikotbahkan setiap minggu selama satu tahun. Edisi terakhir inilah yang diakui pada konsili Dort (1619) dan dijadikan dasar bagi terjemahan Inggris yang beredar..


Karakteristik
Katekismus Heidelberg memiliki beberapa keunikan yang membuat katekismus ini sebagai salah satu katekismus paling favorit selain Katekismus Westminster.
· Referensi ayat yang sangat melimpah. Dalam bagian pengantar yang asli, Frederick III menyatakan bahwa teks-teks itu telah diselidiki begitu rupa (“...selected with great pains...”) untuk dijadikan dasar bagi doktrin yang diajarkan.
· Konsep yang sangat Reformed. Hal ini dapat dipahami karena tujuan perumusan katekismus ini bukan sekadar membedakan orang Reformed dari Roma Katolik, tetapi juga dari golongan Lutheran.
· Pengaturan topik. Para perumus Katekismus Heidelberg memang mengenal katekismus yang ditulis Calvin sebelumnya (1536/1545) dan secara doktrinal pasti dipengaruhi oleh katekismus itu, tetapi mereka tetap memilih pengaturan topik yang berbeda. Tidak seperti Pengakuan Iman Prancis maupun Belgia yang menyusun topik-topik sesuai logika pengaturan doktrin (dari Allah, manusia, keselamatan, Kristus, gereja akhir zaman), Katekismus Heidelberg dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan pengaturan Surat Roma: nomer 1-11 membahas kondisi manusia yang mengenaskan di dalam dosa (Roma 1-3); nomer 12-85 tentang penebusan di dalam Kristus dan iman orang percaya (Roma 4-11); nomer 86-129 tentang ucapan syukur orang percaya atas kasih Allah berupa ketaatan (Roma 12-16). Untuk memudahkan pemahaman, tiga bagian ini sering kali disebut 3G (Guilt – Grace – Gratitude = kesalahan/pelanggaran – anugerah – ucapan syukur) atau 3S (Sin – Salvation – Servitude = dosa – keselamatan, pelayanan).
· Nuansa yang moderat. Walaupun muncul dari konteks kontroversi doktrinal, namun katekismus ini tetap mempertahankan peredaksian yang moderat atau tidak ofensif (kecuali mungkin melawan kepausan di nomer 80). Karakteristik ini membuat Katekismus Heidelberg menjadi lebih mudah diterima oleh orang-orang lain di luar Palatinate yang tidak memiliki sangkut-paut dengan latar belakang kontroversi yang ada.
· Sifat yang devosional. Katekismus ini bukanlah pemaparan doktrinal yang kering dan di abstrak. Katakismus ini sangat bersentuhan dengan kehidupan praktis orang percaya. Pemakaian kata ganti “aku” yang menyiratkan keyakinan pribadi menunjukkan sisi subjektif dari katekismus ini. Bagian awal katekismus ini bahkan berbicara tentang penghiburan bagi orang percaya. Tidak heran katekismus ini sering kali disebut sebagai “kitab penghiburan bagi semua orang Kristen”.


Beberapa Topik Penting
Sebagai sebuah katekismus yang dirumuskan dan diterima oleh orang-orang Reformed, Katekismus Heideberg mengajarkan beberapa hal yang memang menjadi ciri khas aliran Reformed. Pertama, konsep tentang perjamuan kudus (nomer 75-85). Roti dan anggur selamanya tidak akan pernah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (nomer 79), baik secara langsung (kontra transubstansiasi) maupun melalui iman (kontra konsubstansiasi). Sakramen perjamuan kudus hanyala simbol yang melaluinya kita diingatkan kepada karya penebusan Kristus yang oleh pekerjaan Roh Kudus ita mengambil bagian dalam karya tersebut.

Kedua, konsep tentang pemeliharaan Allah yang mutlak. Sama seperti Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg juga mengajarkan kedaulatan Allah yang penuh atas segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini – baik yang kita anggap positif atau negatif – yang tidak datang dari tangan Bapa (nomer 27).

Ketiga, konsep perbuatan baik sebagai respons terhadap keselamatan. Mulai nomer 86 sampai selesai Katekismus Heidelberg mengajarkan tentang apa yang harus kita lakukan sebagai orang yang sudah diselamatkan oleh Kristus. Respons ini berupa perbuatan baik (nomer 86) yang terdiri dari dua bagian: kematian manusia lama (nomer 89) dan kebangkitan manusia baru (nomer 90). Suatu tindakan bisa disebut baik jika memenuhi beberapa kriteria: timbul dari iman yang sungguh-sungguh, seturut hukum Allah, memuliakan Allah, bukan didasarkan pada kemauan maupun aturan manusia. Selanjutnya perbuatan baik ini dijabarkan dalam bentuk penjelasan detil tentang Sepuluh Perintah Allah (nomer 92-115) dan Doa Bapa Kami (nomer 116-129).

Keempat, konsep tentang disiplin gereja. Katekismus Heidelberg sangat menentang orang-orang tertentu yang mengaku Kristen tetai tidak mau hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Orang-orang ini tidak diperbolehkan mengikuti perjamuan kudus (nomer 81-82) dan tidak akan diselamatkan (nomer 87). Mereka ini harus didisiplin oleh gereja dalam bentuk pengucilan (nomer 83-85).


Sumber:
Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 17 Februari 2009
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?HIS-Kredo_Reformed-03)





Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

No comments: