24 May 2008

Bagian 3: Problematika Multi-Level Marketing

3. PROBLEMATIKA MULTI-LEVEL MARKETING


Nats: 2Tim. 3:1-2; 1Tim. 6:9-10; Luk. 16:1-9



Latar Belakang Permasalahan
Dengan berbagai krisis yang ada, manusia dituntut untuk semakin kreatif di dalam mencari peluang, khususnya di dalam usaha untuk mencari keuntungan dan pola-pola bisnis yang “menjanjikan.” Sekitar tahun 1950-an, Jay Van Dalen dan Rich De Vos, memulai suatu bisnis yang menggunakan tenaga lepas untuk pemasaran mereka. Idenya adalah menyerahkan tugas pemasaran kepada pribadi-pribadi dengan kebebasan yang lebih besar. Hal itu merupakan penglaaman mereka sendiri sebagai distributor lepas vitamin “Nutrilite.” Berdirilah Amway International. Di sini­lah dimulainya pola bisnis marak yang sekarang dikenal dengan Multi-Level Marketing.
[1]


Ide Multi-Level Marketing
1. Kapitalisme (atau: Perekonomian Bebas)
Sistem MLM berdiri di atas pemahaman dasar Kapitalisme. Dan format yang dipakai justru adalah format ekonomi bebas. Bahkan pen­diri Amway, yaitu Rich De Vos mengidentikkan kapitalisme de­ngan perekonomian bebas, dan sekaligus menekankan bahwa itulah kredo dari bisnisnya, yaitu pola MLM ini.
[2] Dengan format ini, De Vos menganjurkan agar kita bisa menikmati keuntungan yang sebesar-besarnya. Sukses hidup ditentukan dengan pemupukan materi sebesar-besarnya. Dan dari kepuasan secara finansial ini, akan dicapai pula kepuasan secara spiritual dan psikologis. Format ini merupakan format Materialisme yang dipertuhankan.

2. Prinsip Bisnis Materialisme Liberal
Bagi De Vos, baiknya pekerjaan ditentukan dengan variable, apakah pekerjaan itu bisa membawa manusia ke arah kebebasan, imbalan, pengakuan dan harapan. Dan kita harus meninggalkan semua peker­jaan yang tidak bisa menjanjikan hal itu. Melalui konsep inilah Com­pas­sionate Capitalism dibangun. Itu berarti konsep kapitalisme de­ngan kepedulian sosial, pada hakekatnya adalah penunggangan ma­nu­sia menjadi obyek dari kepuasan materialisme, yang diyakini bisa mem­berikan kepuasan spiritual dan psikologis. Dengan cara me­nung­gangi kepedulian sosial, yang dikejar sebenarnya adalah kenik­matan diri. Itu berarti pola ini merupakan pola yang sangat bersifat manipulatif. Kebajikan yang dilakukan sebenarnya hanyalah demi un­tuk mencapai keuntungan diri sendiri. Kalau kebajikan itu pada akhir­nya merugikan diri, maka konsekwensinya kita harus me­ning­galkan kebajikan tersebut. Di sini kebajikan bukan lagi seba­gai kebajikan, tetapi justru menjadi alat untuk egoisme. Bagaikan sese­orang yang merasa puas dan hilang rasa bersalah dirinya se­te­lah memberikan sedekah kepada orang miskin.


Pertimbangan-pertimbangan MLM:
1. Polanya
1.1. Menjual barang/produk dengan sistem MLM
Kita melihat MLM sebagai salah satu cara marketing, di ma­na kita berusaha menjual barang bukan dengan cara dis­tri­bu­si konvensional, tetapi menggunakan cara man-to-man yang lebih intensif. Di dalam pola ini, kita melihat bahwa cara penjualan dengan sistem bertingkat dikerjakan secara lebih intensif. Namun, di dalamnya ada beberapa sifat yang harus diperhatikan, karena akan memberikan kemungkinan sulit dikontrolnya pola ini.
1.2. Menjual sistem MLM itu sendiri
Yang kedua adalah menjual sistem itu sendiri, baik dengan produk semu, ataupun tanpa produk sama sekali. Dalam ka­sus ini, MLM sudah disalahgunakan, dan murni menjadi alat materialisme, di mana akan mengorbankan pihak-pihak ter­tentu, walaupun kemungkinan pihak tersebut tidak me­nya­dari­nya. Di sini sudah terjadi sifat penipuan ter­selubung demi untuk mencari keuntungan secara tidak benar. Hal ini mirip dengan pola konvensional yang mele­wati batasan etis bisnis yang benar. Cara-cara ini mirip dengan pola lintah darat atau berbagai pola bisnis modern seperti monopoli dll. di mana ide materialisme digarap secara maksimal. Jelas dalam hal seperti ini, setiap anggota akan diarahkan untuk murni materialis dan egois dan bertentangan dengan iman Kristen.

2. Motivasinya
1.1. Menjalankan pekerjaan yang berkenan kepada Allah
Motivasi bekerja yang benar adalah menjalankan pekerjaan yang berkenan kepada Allah, sehingga kita bisa mem­per­oleh nafkah yang secukupnya bagi kehidupan kita.
1.2. Menjalankan pekerjaan yang mengeruk keuntungan sebe­sar­nya dengan segala cara.
Motivasi dasar MLM adalah kapitalisme. Ini yang harus diperangi oleh orang Kristen. Sama seperti orang Kristen harus memerangi lintah darat, para pelaku monopoli, kolusi untuk mendapatkan keuntungan dan fasilitas khusus, maka orang Kristen juga harus memerangi semua bentuk bisnis yang demi keuntungan uang semua cara dihalalkan. Seluruh motivasinya hanyalah mencari uang, tidak peduli dengan cara apapun, atau lebih tepat, kalau bisa dengan cara yang seringan mungkin dan secepat mungkin. Oleh karena itu, iming-iming MLM adalah selalu “Posisi Puncak” atau “Go Diamond.” Padahal jelas hal itu tidak mudah dicapai dan hanya bisa dicapai oleh segelintir orang, sama seperti tidak semua orang bisa naik sampai ketingkat manager atau direktur.

3. Caranya
1.1. Memperkembangkan pelayanan dan etika kerja Kristen yang benar.
Cara kerja Kristen yang benar adalah cara kerja yang menyatakan kesaksian anak Tuhan dan menjalankan prinsip etika yang sesuai dengan etika Alkitab. Jelas prinsip kapitalis-materialis tidak diperkenankan dalam masalah ini. Bahkan Alkitab secara tegas menyatakan bahwa cinta akan uang akan menjadi akar dari semua kejahatan.
1.2. Memanipulasi sistem dan orang untuk mencapai keuntungan sendiri..
Dorongan MLM adalah usaha untuk memanipulasi orang seaktif mungkin dengan berbagai motivasi materialisme dan positif-thinking untuk menjadi alat ekonomis bagi kita.
Bekerja bukan sekadar melakukan sesuatu dan mendapat­kan imbalan uang. Kalau memang demikian, maka pe­la­cur­pun harus dibenarkan. Sejauh ia bekerja dan menghasilkan uang. Tetapi etika Kristen mengharamkan hal itu, karena pekerjaan bukan dilihat dari segi keuangan, atau dapatnya keuntungan, tetapi dari caranya juga, yang sesuai dengan etika dan tidak melakukan manipulasi terhadap orang lain.


Tinjauan terhadap MLM:
1. Harus dikembalikan kepada prinsip Alkitab
Itu berarti semua jenis bisnis (termasuk MLM) harus dikembalikan kepada kebenaran dan etika Alkitab. Alkitab menegaskan bahwa tidak ada bisnis yang boleh dilakukan dengan jalan pintas. Seluruh bisnis bukanlah menjalankan prinsip ekonomi dunia, yaitu dengan mo­dal sekecil mungkin mencari keuntungan sebesar mungkin. Ga­gas­an seperti itu menjadikan seluruh semangat dan roh ekonomi ada­lah pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal eko­no­mi bukanlah demikian (seperti telah dibahas dalam sessi sebe­lumnya).

2. Motivasinya harus dimurnikan
Motivasi yang salah ialah yang bersifat: New Age (manipulative-mys­tical), Positive-thinking, Money-oriented, Indoktrinasi secara sepi­hak (menunjukkan hanya kesuksesan saja dan tidak yang negatif). Banyak orang yang menjalankan MLM dengan motivasi mencari kenikmatan kerja, yaitu dengan kerja yang sebebas-bebasnya dan seringan mungkin, tetapi mendapatkan penghasilan yang sebanyak mungkin.

3. Etikanya harus dibereskan
Salah satu kelemahan MLM adalah ide kapitalisme yang sudah sedemikian mendarah-daging di dalamnya. Jika motivasinya adalah uang, maka seluruh etika menjadi sulit dibereskan. Kecuali kembali­nya bisnis kepada prinsip kebenaran firman, barulah etika bisa di­mur­nikan kembali. Banyak MLM yang melakukan berbagai peni­puan, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang terselubung, sehingga sifat-sifat aslinya tertutupi. Banyak pula sistem bisnis berantai yang merugikan elemen atau level yang paling bawah (dan mereka selalu menyanggah bahwa tidak adanya level yang dibawah tersebut).

4. Peraturan yang ditegakkan
Bisnis MLM menjadi rumit karena tidak adanya hukum dan aturan yang bisa diseragamkan dan diuji. Setiap orang bergerak dengan lebih bebas. Dan memang bisnis ini merupakan produk dari semangat post-modern yang anti hukum, anti aturan. Semangatnya adalah liberalisme. Keinginan bebas dari segala aturan, yang membuat kita bisa lebih “semaunya.” Padahal hal itulah yang secara global membuat pengaturan dunia usaha semakin sulit untuk dikontrol dan dibatasi.




Diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.




Profil Pdt. Sutjipto Subeno :
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.)-nya di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia di Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master of Divinity (M.Div.)-nya di sekolah yang sama.
Setelah pelayanan di Malang dan Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga Reformed Injili Indonesia di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku theologi. Selain itu beliau juga mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993) dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).
Beliau ditahbiskan sebagai pendeta pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya. Selain sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur operasional dari penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah theologi korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di Sekolah Theologi Reformed Injili (STRI) Jakarta dan Institut Reformed di Jakarta. Beliau juga adalah co-founder dari Yayasan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education) dan pengkhotbah KKR yang dinamis: KKR Pemuda 2007, KKR Banjarmasin, KKR Jember, dll.
Beliau juga banyak melayani khotbah dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus, dan persekutuan kantor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Yogyakarta, Palembang, Batam, Singapura, Australia, dan Eropa (Jerman dan Belanda).
Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).


[1] Source dari http://www.amway.com/ sebagai official sites dari Amway.
[2] Kredo 6 dalam Rich De Vos, Compassionate Capitalism, Jakarta: Gramedia, 1995. Buku ini diberi pujian oleh Pdt. Robert Schuler, seorang Positive Thinkers yang mema­sar­kan pola Materialisme yang sangat berbahaya bagi Kekristenan, dengan bukunya Possibility Thinking (Berpikir Kemungkinan).

No comments: