27 May 2008

Roma 8:18-25: HIDUP OLEH ROH DAN PENGHARAPAN ANAK-ANAK ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Menjadi Manusia Baru-3


Hidup oleh Roh dan Pengharapan Anak-anak Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 8:18-25.

Setelah mempelajari tentang makna dan penyebab hidup oleh Roh, Paulus mulai menjelaskan tentang hubungan erat antara hidup oleh Roh dengan pengharapan sejati anak-anak Allah di ayat 18 s/d 25. Hidup oleh Roh bukan hanya hidup dipimpin oleh Roh Kudus, tetapi hidup itu memiliki arah pengharapan yang pasti karena Allah Pribadi Ketiga yang memimpin hidup kita sampai kepada akhir hidup kita. Inilah kepastian hidup Kristen yang tidak mungkin dimiliki oleh orang-orang non-Kristen lainnya.

Penderitaan yang dipaparkan oleh Paulus pada ayat 17 sebagai salah satu janji Allah yang kita terima tidak berhenti hanya di dalam penderitaan, tetapi berlanjut sampai kepada pemuliaan. Pemuliaan inilah tujuan pengharapan sejati di dalam Kristus. Sehingga dengan penuh iman, di pasal 8 ayat 18, Paulus mengajarkan, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Kata “yakin” di dalam ayat ini tidak berarti beriman, karena beberapa terjemahan menerjemahkan bukan believe, tetapi : reckon (berharap/menganggap) dalam King James Version ; consider (menganggap/memperhatikan/memikirkan) dalam English Standard Version, International Standard Version, New American Standard Bible dan New International Version. Lalu, apa yang kita harapkan di dalam penderitaan ? Di dalam penderitaan, kita bukan berfokus pada penderitaan sesaat, tetapi berfokus kepada Kristus dan hidup oleh Roh, sehingga hidup kita dipenuhi dengan sukacita Kristus ketika menghadapi penderitaan. Oleh karena itu, Paulus dengan berani menyatakan pengharapannya bahwa penderitaan (atau bisa diterjemahkan : kesukaran) zaman sekarang ini tidak bisa dibandingkan (atau bisa diterjemahkan : tidak layak dibandingkan) dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Pengharapan ini bukanlah pengharapan palsu seperti yang ditawarkan oleh dunia melalui beragam filsafat dan agama palsunya, tetapi pengharapan ini adalah pengharapan sejati yang menuntun hidup anak-anak Tuhan. Paulus, salah satu contohnya yang dikuatkan melalui pengharapan sejati ini ketika ia harus menderita di dalam tugas pelayanannya dalam mengabarkan Injil. Bahkan dengan penuh iman, ia berani mengatakan, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” (2 Timotius 4:7-8) Mata iman Paulus bukan mata yang memandang kepada kesementaraan, tetapi kepada kekekalan dan jaminan hidup kekal. Agama palsu duniawi tidak akan pernah mampu menjamin keselamatan umat manusia kelak di Surga, karena mereka tidak memiliki kunci ke sana, tetapi puji Tuhan, Kristus itu adalah kunci ke Surga telah tersedia bagi umat pilihan-Nya yang percaya, sehingga mereka tidak lagi terkatung-katung di dalam penderitaan semu dunia, tetapi memiliki pengharapan yang pasti bahwa kelak mereka pasti bersama-Nya di Surga. Bagaimana dengan kita ? Paulus yang mengajarkan adanya pengharapan sejati ini, bukanlah Paulus yang bersantai, tetapi seorang yang bekerja lebih giat lagi untuk memberitakan Injil dan melayani-Nya. Kita seringkali sudah diajarkan tentang pengharapan ini, tetapi ironisnya, kita malahan bersantai, tidak pernah membaca Alkitab, tidak pernah belajar Firman, berdoa, memberitakan Injil, dll. Betapa berbedanya kita dengan Paulus. Maukah hari ini kita berkomitmen untuk meneladani Paulus yang meskipun memiliki pengharapan pasti di dalam Kristus tetapi tetap bekerja keras untuk melayani Tuhan ? Pengharapan sejati memungkinkan dan mengakibatkan anak-anak Allah terus bekerja giat untuk melayani Tuhan, dan bukan malahan terbuai, lalu bersantai.

Lalu, mengapa Paulus bisa memiliki pengharapan pasti ini ? Ada apa di balik pengharapan Paulus ini ? Di ayat 19, Paulus menjelaskannya, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Pengharapan sejati ini ada karena adanya pemuliaan anak-anak Allah yang akan terjadi di dalam kekekalan. Kata “makhluk” di dalam ayat ini adalah ciptaan (creature). Dengan kata lain, ayat ini mengajarkan bahwa semua ciptaan dengan sangat rindu menantikan pemuliaan anak-anak Allah. Sungguh menarik, di dalam ayat ini, anak-anak Allah bukan memuliakan diri, tetapi dimuliakan. Inilah keKristenan. KeKristenan bukan seperti agama-agama palsu duniawi (salah satunya, agama mayoritas di Indonesia) yang minta dihormati, disanjung, dianakemaskan, dll dengan caranya membunyikan panggilan beribadah dengan keras-keras, dll, tetapi keKristenan adalah satu-satunya agama yang menyembunyikan diri. Integritas keKristenan bukan dilihat dari fenomena, tetapi dilihat dari esensi, itulah yang mungkin tidak secara langsung dimengerti oleh banyak orang non-Kristen. Melihat keKristenan harus melihat Kristus sebagai pusat, karena keKristenan tanpa Kristus adalah sia-sia/mati. KeKristenan adalah satu-satunya agama yang menyembunyikan diri, hal ini meneladani dari Tuhan Yesus Kristus yang bernatur 100% Allah dan 100% manusia, tetapi Dia tidak minta dihormati, disanjung, tetapi merendahkan diri-Nya bahkan sampai mati disalib demi menebus dosa-dosa manusia, lalu Ia bangkit dari kematian serta naik ke Surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Itulah kemuliaan Kristus yang telah setia dan telah mengalahkan penderitaan. Kemuliaan Kristus menjamin pemuliaan anak-anak Allah di hadapan semua ciptaan Allah. Dengan kata lain, ketika kita sebagai umat pilihan-Nya dinyatakan, itu bukan karena kehebatan kita, tetapi mutlak karena anugerah Allah yang berdaulat yang telah memilih kita, menyelamatkan kita di dalam penebusan Kristus melalui kelahiran baru dari Roh Kudus serta menyempurnakan kita terus-menerus oleh Roh Kudus. Keselamatan dan kemuliaan kita kelak mutlak tergantung pada karya anugerah Allah Trinitas yang berdaulat dan Mahaagung. Tanpa anugerah Allah, kita mustahil bisa diselamatkan, apalagi dimuliakan. Jaminan ini mengakibatkan kita hidup di dalam dunia tidak usah kuatir dan cemas. Meskipun kita seringkali dianaktirikan khususnya di Indonesia, ibadah di gereja dipersulit, banyak hamba Tuhan dibunuh, gereja dibakar (tanpa ada argumentasi yang jelas), dll, percayalah, sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak perlu membalas mereka, karena kemuliaan kita bukan ada di dalam dunia berdosa dan rusak ini, tetapi di dalam kekekalan, di mana kita telah mengalami dan mengalahkan penderitaan-penderitaan itu karena Kristus. Kemuliaan kita bukan diperoleh dari uang, harta, posisi sosial, kedudukan, dll, tetapi kemuliaan kita adalah kemuliaan yang bersifat kekal karena kemuliaan kita bukan diberikan oleh manusia yang jijik dan berdosa ini, tetapi diberikan oleh Allah Trinitas yang Mahaagung. Ini adalah suatu anugerah yang Mahaagung dan Mahadahsyat, di mana kita yang dahulu umat terkutuk oleh dosa, tetapi sekarang melalui ketaatan dan penebusan Kristus, kita dibenarkan oleh Allah dan dijadikan anak-anak Allah yang nantinya akan dimuliakan. Ingatlah terus, tanpa Kristus, kita hanya seonggok debu yang berdosa yang layak dibinasakan oleh Allah dan pasti mati.

Kemudian, Paulus menapak tilas kondisi awal manusia dan ciptaan lainnya dengan mengatakan di ayat 20, “Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya,” Kata “makhluk” di dalam ayat 19 (juga ayat 20) ditafsirkan sebagai dunia (world) oleh Geneva Bible Translation Notes. Karena manusia berdosa, seluruh ciptaan Allah juga rusak total. Inilah efek tragis dosa manusia. Dosa juga mengakibatkan seluruh dunia/ciptaan juga menjadi sia-sia. Kata “sia-sia” diterjemahkan KJV : vanity (=keadaan yang tidak berguna lagi) ; ESV dan NASB : futility (=kesia-siaan/kehampaan) ; dan dalam bahasa Yunani : mataiotēs (artinya : inutility {=tidak berguna}, secara figuratif berarti transientness {=kesementaraan}, secara moral berarti depravity {=kerusakan}). Kesia-siaan ini timbul dalam berbagai bentuk, misalnya sesama hewan saling memangsa, membunuh, hewan juga takut dengan manusia, begitu juga sebaliknya. Semua bentuk itu menunjukkan bahwa makhluk hidup di dunia hidup dengan kesia-siaan tanpa arti diakibatkan oleh dosa manusia (lihat Kejadian 3:17-19). Lalu, kesia-siaan atau kerusakan dunia ini diizinkan oleh kehendak Allah. Allah mengizinkan dosa terjadi di dalam dunia, tetapi ingat, bukan Allah sebagai penyebab dosa. Lalu, mengapa Allah mengizinkan dosa? Karena Allah ingin menunjukkan betapa rapuh dan rusaknya manusia tanpa-Nya. Hal ini seharusnya menyadarkan kita betapa kita tak berharga dan tak memiliki hidup yang bermakna jika tanpa-Nya.

Tetapi, di tengah-tengah ketiadapengharapan, di ayat 21, Tuhan melalui Paulus mengingatkan, “tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), kata “ciptaan” sejak dari ayat 19 diterjemahkan : “alam”. Kembali, karena manusia sudah berdosa dan rusak total, maka alam semesta juga rusak dan hancur, tetapi puji Tuhan, Allah menganugerahkan keselamatan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa di dalam Kristus, dan tentunya keselamatan ini bukan hanya keselamatan manusia, tetapi juga keselamatan dan pemulihan alam semesta. Ini yang disebut di dalam theologia Reformed dari Alkitab sebagai penebusan kosmis. Penebusan dan keselamatan alam semesta ini menjadi “tempat” persiapan kita hidup di dalam langit dan bumi yang baru kelak di mana tidak ada lagi penderitaan, ratap tangis, dll (Wahyu 21). Di dalam langit dan bumi yang baru ini, semua ciptaan dan umat pilihan-Nya akan disempurnakan dan dimuliakan bersama-sama, di mana khususnya umat pilihan-Nya (anak-anak Allah) diberi tubuh baru yang tak bisa lagi berdosa (Augustinus menyebutnya : non-posse peccare). Inilah pengharapan kedua yang diterima oleh anak-anak Allah, yaitu hidup bersama-sama di dalam langit dan bumi yang baru.

Lalu, apakah pengharapan sejati ini membutakan kita dan mengakibatkan kita tidak perlu menderita ? TIDAK. Paulus kembali menyatakan hal ini di dalam ayat 22 s/d 23, “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” Seluruh dunia/ciptaan/alam meskipun memiliki pengharapan kelak, mereka tetap harus mengeluh dan menderita seperti perempuan yang sakit bersalin. Bukan hanya alam, kita yang dikatakan telah menerima karunia sulung Roh pun harus menderita dan mengeluh di dalam dunia yang fana ini. Sungguh menarik, kita disebut telah menerima karunia sulung Roh. Pernyataan “karunia sulung” dalam KJV diterjemahkan firstfruits (=buah pertama) dan bahasa asli (Yunani)nya menerjemahkan aparchē yang berarti a beginning of sacrifice (=permulaan/awal penebusan/pengorbanan). Ini berarti anak-anak Allah adalah umat pilihan-Nya yang pertama kali menerima karunia sulung Roh Kudus yang menjadikan mereka anak-anak Allah di dalam Kristus. Mengapa disebutkan pertama kali ? Karena penebusan pertama berlaku pada manusia pilihan-Nya, dan kedua berlaku pada kosmos/dunia (penebusan kosmis) sebagai efek dari penebusan manusia. Ini menandakan bahwa manusia pilihan-Nya yang memiliki status yang lebih tinggi dari alam pun tetap harus mengeluh dan menderita di dalam dunia ini. Di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus juga memaparkan hal yang serupa, “Selama kita di dalam kemah ini, kita mengeluh, karena kita rindu mengenakan tempat kediaman sorgawi di atas tempat kediaman kita yang sekarang ini, sebab dengan demikian kita berpakaian dan tidak kedapatan telanjang. Sebab selama masih diam di dalam kemah ini, kita mengeluh oleh beratnya tekanan, karena kita mau mengenakan pakaian yang baru itu tanpa menanggalkan yang lama, supaya yang fana itu ditelan oleh hidup.” (2 Korintus 5:2-4) Meskipun kita memiliki pengharapan akan kemuliaan kita di dalam kekekalan, kita tetap harus rela menderita di dalam dunia yang semu ini. Sambil menderita, Paulus mengingatkan kita untuk terus merindukan tempat kediaman Surgawi jauh melebihi tempat kediaman kita di dunia ini. Dengan demikian, hidup dan keselamatan Kristen bersifat paradoks, yaitu sudah (already) dan belum (not yet). Kita sebagai umat pilihan-Nya hidup di dalam dua dunia, yaitu dunia kita sekarang yang fana dan dunia kekekalan. Kita juga menjadi warga negara di dalam dua dunia ini, sehingga kita dituntut untuk bertanggungjawab di dalam dunia yang fana ini dengan perspektif dunia Surgawi. Artinya, meskipun kita hidup di dunia yang fana ini, kita tidak boleh sama dengan dunia ini, tetapi mengubah paradigma kita agar sesuai dengan paradigma dan kehendak-Nya (Roma 12:1-2). Ingatlah, kita harus melakukan hal ini karena kita bukan dari dunia ini, tetapi dari Allah, seperti yang Tuhan Yesus katakan tentang para murid-Nya (termasuk umat pilihan-Nya), “Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran. Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yohanes 17:14-21) Dalam 8 ayat ini, ada pernyataan yang disebutkan Tuhan Yesus sebanyak 2 kali di dalam doa-Nya kepada Bapa, yaitu “mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.” Bukan hanya itu saja, setelah pernyataan ini, di ayat 17, Ia berdoa kepada Bapa agar Bapa menguduskan mereka di dalam kebenaran sebab firman-Nya adalah kebenaran. Inilah status kita sebagai anak-anak Allah, yang lahir dari Allah (1 Yohanes 3:9). Kita memang adalah anak-anak Allah karena Roh Kudus mengadopsi kita di dalam Kristus menjadi anak-anak Allah, tetapi status kita masih belum sempurna, karena status kita menjadi anak-anak Allah sempurna ketika kita semua berada di dalam kekekalan (1 Yohanes 3:2). Itulah sebabnya mengapa Paulus di ayat 23 ini mengatakan, “...sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” Kata “pembebasan” dalam pernyataan “pembebasan tubuh” seharusnya diterjemahkan penebusan tubuh (KJV : the redemption of our body ; ESV dan ISV : the redemption of our bodies), karena pernyataan “pembebasan tubuh” bisa salah ditafsirkan dan seolah-olah mirip dengan ajaran filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa keselamatan adalah pembebasan jiwa dari tubuh. Tentang paradoks ketegangan hidup dan keselamatan Kristen yang sudah dan belum, banyak sekali ajaran keKristenan yang tidak seimbang menekankan kedua hal ini. Golongan pertama terlalu menekankan aspek langit dan bumi yang baru nantinya (aspek not yet) dan membawanya ke dalam dunia, lalu lahirlah “theologia” kemakmuran. Mereka tidak mengerti bahwa dunia kita dunia berdosa, yang sudah dikutuk, tak mungkin kita menikmati kekayaan sejati, dll, tetapi para penganut ini terlalu “optimis” dan menggantikan keKristenan yang berfokus kepada Kristus menjadi agama pemberi “berkat” (berpusat kepada diri manusia/self-centered). Ada juga yang karena terlalu menekankan aspek not yet, beberapa orang “Kristen” (dipengaruhi oleh Monastisisme di Abad Pertengahan) mulai menyiksa diri, supaya nantinya diperkenan oleh Allah. Di sisi lain, ada golongan “Kristen” yang terlalu menekankan aspek sudah (already) dalam arti kita sudah diselamatkan, maka mereka hidup dengan sembrono, tanpa memikirkan masa depan. Mungkin, moto utamanya adalah, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk ‘surga’” Kedua ketidakseimbangan ini sangat berbahaya dan tidak diajarkan Alkitab. Oleh karena itu, kita harus mengerti bagaimana hidup di antara dua ketegangan paradoksikal ini, yaitu antara sudah dan belum. Ingatlah, status kita sudah diselamatkan melalui karya ketaatan dan penebusan Kristus di salib, tetapi kita juga sedang diselamatkan dan akan diselamatkan nantinya di dalam kekekalan. Ketegangan paradoksikal ini memungkinkan kita hidup tidak lagi terlena, tetapi hidup berjuang untuk melayani-Nya di dalam kehidupan sehari-hari dan memberitakan Injil Kristus.

Kemudian, di ayat 24 s/d 25, Paulus menjelaskan ayat 23 yaitu “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” Kalaupun harus menderita, Paulus tetap mengingatkan dan menghibur orang Kristen bahwa mereka diselamatkan dalam pengharapan. Dengan kata lain, kata “diselamatkan” bisa berarti diselamatkan dalam ketegangan paradoksikal, yaitu sudah dan belum (lihat penjelasan di atas). Saya sampai pada kesimpulan ini, karena kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa pengharapan ini bukanlah pengharapan yang dilihat, karena pengharapan yang dilihat bukanlah pengharapan, tetapi pengharapan ini adalah sesuatu yang tidak dilihat. Inilah pengharapan sejati ketiga yaitu kita berharap kepada sesuatu yang tidak dilihat. Pengharapan ini disertai dengan iman yang teguh. Pengharapan pasti kepada yang tidak dilihat ini mengakibatkan kita hidup terus-menerus ingin memuliakan Allah, karena kita berharap kepada Allah yang layak dipercaya (trustworthy) dan akan memuliakan kita bersama-Nya. Saya menggabungkan dua istilah : pengharapan yang pasti dan tidak terlihat. Orang-orang dunia yang tidak mendapat anugerah Allah tidak mampu mengerti kedua hal paradoks ini. Mereka sering berpikir bahwa pengharapan yang pasti itu adalah pengharapan yang dilihat. Tetapi Alkitab berkata hal yang bertolak belakang, justru ketika pengharapan bisa dilihat, pengharapan itu tidak layak disebut pengharapan. Justru, pengharapan sejati adalah pengharapan yang tidak dilihat. Di sini, untuk mengerti kedua paradoks ini, kita memerlukan iman yang jauh melampaui rasio (suprarasional). Terhadap pengharapan yang tidak dilihat inilah, kita menantikannya dengan tekun. Artinya, ketika hidup memiliki pengharapan yang pasti di dalam iman, kita tidak lagi terkatung-katung hidupnya, tetapi kita tekun berharap dan hidup lebih giat lagi bekerja untuk memuliakan Allah. Inilah ketekunan Kristen sejati. Ketekunan Kristen BUKANLAH ketekunan yang dipaksa untuk memperoleh keselamatan dan penebusan, karena jika tidak, keselamatan Kristen bisa “hilang”. Itu bukan ajaran Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa ketekunan Kristen adalah ketekunan sebagai respon terhadap anugerah Allah yang telah menyelamatkan kita hanya melalui iman di dalam ketaatan dan penebusan Kristus yang diimputasikan kepada kita.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita hari ini mau bertekun menantikan pengharapan sejati di dalam Kristus yang akan memimpin setiap langkah hidup kita melalui Roh Kudus ? Pengharapan itulah yang akan dinikmati oleh setiap anak-anak Allah yang hidup menurut Roh. Sudahkah kita hidup menurut Roh dan mengalami pengharapan yang pasti yang tidak
dilihat ini ? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: