19 February 2008

Matius 9:1-8; 16:23: THINKING AFTER GOD'S THINKING

Ringkasan Khotbah : 10 April 2005

Thinking After God's Thinking
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:1-8, 16:23



Sebagai warga Kerajaan Sorga maka seharusnya kita harus taat pada hukum Kerajaan Sorga yang kita kenal dengan Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Tuhan juga menuntut kita untuk hidup kudus. Kita telah memahami bahwa kudus tidak sama dengan suci; kudus berasal dari kata kadosh (bhs. Ibrani) yang artinya separated for God’s Mission, dipisahkan dari dosa untuk menjalankan misi Kerajaan sorga di tengah dunia. Pemisahan disini bukanlah pemisahan di permukaan tapi lebih dari itu, yaitu pemisahan paradigma atau pola pikir. Seperti ungkapan Francis Schaefer, I do what I think and I think what I believe; apa yang saya percaya mempengaruhi atau memberikan seluruh warna pada pemikiran saya lalu pemikiran saya itulah yang mempengaruhi seluruh tindakan yang saya lakukan tiap-tiap harinya. Itulah sebabnya kalau orang meminta penjelasan tentang keputusan yang mendasari tindakan kita maka kita dapat memberikan alasan pada mereka. Pemikiran ini tidak muncul mendadak; apa yang kita pikirkan kita merupakan produk dari kepercayaan kita. Begitu juga kalau kita bertanya pada orang Kristen tentang iman kepercayaannya maka ia akan mengaku bahwa ia percaya kalau Tuhan memimpin akan tetapi kalau kita mau jujur ternyata keputusan dan pemikiran kita tidak sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan tapi seringkali kita berjalan menurut kehendak diri sendiri. Orang hanya bertanya kalau melakukan tindakan ini boleh/tidak? Sebenarnya yang menjadi inti permasalah bukan boleh atau tidak tapi pertanyaannya adalah kenapa boleh dan kenapa tidak? Apa yang mendasari boleh/tidaknya kita melakukan suatu tindakan? Sebab sesuatu tindakan suatu saat boleh dilakukan tapi di suatu saat tidak boleh dilakukan maka orang akan memberikan argumentasi dimana argumentasi tersebut merupakan hasil dari pemikiran kita yang menjadi dasar iman kepercayaan kita.
Pada perikop ini LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memberikan judul “Orang Lumpuh Disembuhkan“ padahal bukan itu yang menjadi inti dari tulisan Matius sebab yang menjadi inti adalah kenapa sembuh. Di setiap perikop, LAI memberikan judul yang tidak sesuai dengan inti permasalahan yang hendak dipaparkan oleh Matius. Perikop “Matius Pemungut Cukai Mengikut Yesus“ inti dari kisah itu adalah kenapa seorang pemungut cukai bisa mengikut Yesus? Perikop lain, yakni “Hal berpuasa“ penekanan bukan puasanya tetapi alasan kenapa orang harus berpuasa, apakah orang yang puasa berarti ia saleh? Dalam bagian ini, Tuhan Yesus langsung membicarakan masalah yang biasanya mucul dalam kehidupan kita sebagai seorang yang beriman. Ahli Taurat bukanlah seorang yang tidak mengerti theologi. Tidak! Mereka banyak mempelajari Perjanjian Lama tapi mereka tidak memahami dengan pikiran yang tepat sehingga mendatangkan dampak yang negatif. Ketika mereka mempelajari Firman Tuhan seharusnya mereka melihat Kristus adalah Mesias sebab semua ayat dalam Perjanjian Lama menuliskan tentang Kristus yang berinkarnasi tapi kenapa mereka tidak tahu kalau Mesias itu ada di depan mereka? Bukankah mereka mempelajari Firman bahkan hafal seluruh hukum-hukum Israel yang dibangun oleh Firman Tuhan? Dimanakah kesenjangan yang terjadi?
Di dunia modern ini ketika segala sesuatunya orang selalu menguji pikiran namun ironis, orang Kristen justru tidak mau menggunakan pikiran sebab mereka menganggap iman saja sudah cukup. Pertanyaannya sekarang adalah kalau kita tidak menggunakan pikiran apakah kita dapat mencerna kalimat tersebut di atas? Pernyataan itupun merupakan hasil dari pemikiran orang yang berpikir yang mengajak orang untuk tidak berpikir. Hati-hati jangan terjebak dengan permainan pikiran di dalam dunia theologi. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen yang mulai berpikir untuk tidak mau lagi berpikir dan hanya percaya saja maka ia merasa sudah beriman dengan benar dan berani mengecam orang lain. Maka tidaklah heran kalau kemudian muncul pendapat bahwa doktrin atau theologi tidaklah penting, percaya dan beriman pada Kristus itulah yang paling penting. Kalimat ini muncul dari pikiran manusia yang merupakan suatu doktrin yang hendak meniadakan doktrin. Seorang ahli Taurat adalah seorang yang sangat mengerti theologi tetapi ia telah mengkonfirmasi theologinya tanpa berani mempertanggung jawabkannya. Ahli Taurat (dan kita semua!) umumnya hanya berpikir tentang hal kesembuhan saja. Kita berpikir kalau Tuhan Yesus cukup berkata, “Bangun dan berjalanlah“ dengan demikian tidak ada pertentangan theologis, tidak ada unsur paradigma, tidak ada tuntutan iman. Ingat, kesembuhan bukan tergantung iman. Alkitab mencatat seorang perwira Romawi yang beriman pada Kristus tetapi hambanya yang tidak mengenal Kristus justru yang mengalami kesembuhan. Jadi, tidak ada unsur iman, kesembuhan itu karena Tuhan Yesus yang beranugerah sebaliknya juga orang yang beriman sungguh pada Yesus pun belum tentu mengalami kesembuhan. Banyak orang sakit di kolam Bethesda tetapi Tuhan Yesus datang dan hanya menyembuhkan satu orang saja. Kenapa hanya satu orang? Tuhan Yesus adalah Raja maka Dia berhak memutuskan siapa yang harus disembuhkan. Kalau Matius hanya berhenti sampai pada kesembuhan orang lumpuh maka kisah ini tidak ada maknanya, tidak beda dengan cerita duniawi lain. Tuhan Yesus masuk pada inti yang paling sentral, yaitu menjadi murid Kristus haruslah mempunyai pemikiran yang kudus, thinking after God’s thinking. Untuk mencapai hal ini maka ada beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan:
1. Kejujuran dan Keterbukaan
Ahli Taurat tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Kristus akan tetapi dia tidak berani berterus terang, dia menggerutu di dalam hatinya. Di tengah dunia ini banyak orang yang menyembunyikan iman, orang seringkali menutupi iman dengan hal-hal yang fenomena saja. Dunia meletakkan “iman“ ke dalam wilayah yang sangat pribadi, tidak boleh dipertanyakan ataupun didiskusikan. Puji Tuhan, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih bersifat terbuka, dimana mukadimah UUD’45 berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia masih menempatkan iman di tempat teratas dan terbuka dalam pengertian yang bertanggung jawab. Banyak orang yang mau mencoba mengunci hukum ini sehingga tidak lagi menjadi hukum yang bisa dipertanggung jawabkan tetapi iman bersifat fanatisme yang tidak bisa dipertanyakan atau diuji tapi harus ditaati mutlak. Akan tetapi di ekstrim yang lain kita menjumpai ada sekelompok golongan tertentu yang hendak meniadakan iman dan agama. Orang menganggap iman dan agama sebagai hal yang bersifat pribadi maka negara tidak berhak mencampuri urusan pribadi. Akibatnya kalau ada orang yang bertanya atau mempertanyakan iman maka dijerat dengan hukum. Iman diproteksi sedemikian rupa menjadi iman yang divakumkan dari kejujuran.
Iman adalah sesuatu yang melandasi pemikiran dan tindakan kita. Tidak ada pertanggung jawaban tindakan tanpa ada alasan rasional yang mendasari tindakan tersebut. Sayangnya, hari ini banyak orang yang tidak dapat memberikan penjelasan ketika dipertanyakan tentang iman yang mendasari tindakannya, orang malah menjadi marah. Sebenarnya orang dapat memberikan alasan yang rasional ketika ditanya: Atas dasar pertimbangan apakah kamu melakukan tindakan itu? Akan tetapi hanya sebatas itu sebab kalau ditelusur lebih dalam lagi ternyata ada yang salah dengan imannya. Kalau kita mau jujur sesungguhnya di dalam seluruh tatanan hidup kita maka seringkali kita serupa dengan dunia. Sebagai orang Kristen tentulah kita tahu akan prinsip Alkitab yang benar dimana hal itu menegur kita akan tetapi kita berusaha menutupinya dengan harapan kesalahan tersebut tidak diketahui oleh orang lain maupun diri sendiri. Ingat, Tuhan Yesus tahu apa yang ada di dalam hati kita dan Dia ingin supaya kita jujur dan terbuka di hadapan-Nya.


2. Kerelaan Hati
Kita seringkali memakai paradigma kita sebagai batasan ukuran untuk mengukur orang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh ahli Taurat, ia memakai paradigma yang ada padanya yang ia anggap benar untuk menghakimi Yesus. Si ahli Taurat ini tidak menjalankan prinsip tersebut pada dirinya sendiri tetapi ia merelasikan prinsipnya pada orang lain. Dan ketika dua prinsip bertemu, itu berarti pertemuan antara dua iman yang bersifat mutlak. Ahli Taurat ini menuduh Yesus sebagai penghujat sebab menurut kepercayaannya tidak seorang pun manusia dapat mengampuni dosa. Sampai batas ini, Tuhan Yesus pasti setuju dengan pemikiran ahli Taurat tersebut. Ketika Tuhan Yesus memberitahukan pada ahli Taurat bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa maka reaksi mereka langsung berubah sebab ada pertentangan iman di sana. Iman yang ada dalam diri ahli Taurat sedang menghakimi Kristus Ketika iman saling bertemu maka di dalamnya seharusnya mengandung pertanggung jawaban dan ada resiko besar yang harus ditanggung. Kenapa orang sulit sekali untuk berpikir seperti Tuhan berpikir, thinking after God’s thinking? Sebab itu berarti kita harus siap membongkar pemikiran kita yang salah. Iman adalah suatu kemutlakan yang tidak dapat dikompromikan atau dikombinasikan, satu-satunya cara adalah membuang pikiran kita dan menggantinya dengan yang baru. Adalah mustahil orang dapat percaya sekaligus tidak percaya kalau Yesus adalah Tuhan Allah dan Juruselamat, bukan? Menggeser sebuah iman menuntut pertanggung jawaban dengan keberanian dan kerelaan yang sungguh. Apakah kita percaya kalau Tuhan menuntun hidupmu? Setiap orang Kristen pasti akan menjawab: percaya akan tetapi kalau kita mau jujur benarkah dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari itu, Yesus memimpin hidup kita? Cobalah uji dirimu seminggu di belakang saja, apakah di setiap keputusan ataupun tindakanmu telah sesuai dengan kehendak-Nya?
Ketika kita memberitakan Injil pada seseorang maka janganlah bersukacita dulu ketika orang sudah mengatakan: “Aku percaya pada Tuhan Yesus“, cobalah bertanya lebih dalam lagi kalau sudah percaya Kristus maukah meninggalkan segala kepercayaanmu yang lain dan taat mutlak pada-Nya? Dari jawabannya barulah kita mengetahui bagaimana kepercayaan dia yang sesungguhnya. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang bersifat new age bukan inclusive God tetapi exclusive God maka bunyi hukum pertama dari hukum Taurat adalah jangan ada ilah lain di hadapan-Ku. Kalau kita mempermainkan iman maka itu berarti kita belum mengerti apa artinya dikuduskan di dalam Kristus. Ahli taurat hanya ingin kesembuhan maka kalau iman hanya menyangkut kesembuhan maka itu bukan ajaran Kristen tapi penipuan dan menjual nama Yesus. Kalau kita percaya pada Kristus maka kita harus melepaskan semua kepercayaan kita dan mengikut pada Kristus. Inilah kadosh, kekudusan Allah yang menuntut pemisahan untuk mengutamakan Allah dalam hidup kita.


3. Tidak ada posisi netral
Pendekatan religiusitas modern menegaskan bahwa semua pendekatan agama jika dibasiskan pada paradigma agamanya maka agama itu bersifat netral. Akan tetapi di mata Tuhan tidak ada posisi netral, di mata Tuhan hanya ada baik dan jahat; Dia langsung menegur ahli Taurat dengan mengatakan bahwa Dia memikirkan hal yang jahat. Ahli Taurat mendapat suatu pengujian sekaligus penghakiman, Tuhan Yesus menyatakan kebenaran sekaligus kesalahan. Ada konflik tersendiri dalam diri si ahli Taurat. Di dalam theologi Yudaisme, adalah hal yang mustahil kalau seorang penghujat dapat menyembuhkan. Namun kedua hal yang berlawanan ini oleh Tuhan Yesus dikerjakan secara paralel. Ahli Taurat ini tidak dapat menerima realita ini namun ia tidak berani berterus terang sehingga ia hanya menggerutu di dalam hati, ia berpikir jahat. Hal inipun juga terjadi pada murid Tuhan Yesus, yakni setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Anak Allah maka Tuhan Yesus memberitahukan kebenaran bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Mendengar hal ini Petrus sangat kaget, ia menarik tangan Tuhan Yesus dan marah pada-Nya sebab Mesias yang ada dalam pikirannya adalah Raja dengan kuasa dan kekuatan besar dan mempunyai kerajaan yang besar bahkan menguasai seluruh kerajaan Daud dan kerajaan Salomo. Iman Petrus adalah iman duniawi yang dirohanikan. Tindakannya dipengaruhi oleh pola pikir dan pola pikirnya dipengaruhi oleh imannya. Namun Petrus tidak berani jujur, dia tidak berani mengkonfrontasikan imannya dan meninggalkan apa yang ia percaya. Petrus bukan berpikir apa yang dipikirkan Allah tetapi apa yang dipikirkan manusia karena itu Tuhan Yesus menegur Petrus dengan keras: ”Minggir setan“ (terjemahan asli).
Hal ini membuktikan bahwa di dalam dunia ini tidak ada yang netral, Tuhan hanya melihat yang baik dan jahat. Kalau kita berani menguji diri dan mengoreksi diri pastilah hari ini hidup kita menjadi lebih bersih sebab kita tahu hal yang jahat tetapi kita justru menganggapnya sebagai kebaikan. Dunia modern seringkali mengkompromikan hal-hal yang jahat bahkan cenderung mengabaikannya dengan menganggapnya netral. Memang bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk berpikir seperti Tuhan pikir tapi biarlah sebagai warga Kerajaan Sorga, kita mempunyai hati yang teachable, hati yang mau dibentuk oleh Tuhan karena kita tahu, Tuhan pasti akan memimpin kita menuju pada kebaikan. Janganlah hidup mengandalkan dunia tapi hendaklah kita mengandalkan Kristus Tuhan kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

No comments: