16 December 2007

Iman Kristen dan Musik-5

Iman Kristen dan Musik (5)
oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Hari ini saya ingin sharing sedikit tentang perkembangan musik yang terjadi di jaman Middle Ages. Sayang warisan seni dalam bidang musik tidak banyak dirayakan dibandingkan dengan seni-seni yang lain (kemungkinan besar kita akan lebih kagum memandangi Kathedral di Köln, Ulm, Sainte-Chapelle di Paris atau Duomo di Milano daripada mendengarkan sebuah Gregorian Chant). Beberapa orang bahkan mengatakan jenis musik seperti ini sebenarnya masih belum berkembang alias primitif sehingga sulit untuk diapresiasi. Dalam ibadah, apalagi dalam kalangan gereja-gereja Injili, sedikit sekali (kalau tidak mau dikatakan hampir tidak ada) jenis-jenis lagu Gregorian yang masih dinyanyikan dalam ibadah. Mungkin hampir satu-satunya yang paling populer adalah O come, O come, Emmanuel.

Lagu-lagu Gregorian ditulis monophonic, satu suara tanpa iringan, tanpa melodi tandingan, meskipun tentunya bisa dinyanyikan bersama-sama. Ada keindahan tersendiri dalam karya-karya ini, dengan suatu penggarapan konsep estetika yang berbeda sebagaimana dimengerti oleh jaman-jaman selanjutnya. Salah satu aspek estetika yang ditonjolkan dalam karya-karya ini adalah kesederhanaan iman (simplicity of faith) yang dituangkan dalam gaya musik satu suara, sulit untuk ditandingi dengan musik-musik polyphonic atau homophonic (meskipun tentunya karya-karya polyphonic dan homophonic memiliki keunikannya tersendiri yang juga sulit untuk diterapkan dalam karya seperti Gregorian chant).

Penggunaan tangga nada modus dan bukan mayor-minor seperti yang ada pada jaman-jaman selanjutnya juga memiliki keunikan tersendiri. Tangga nada modus to certain extent menyajikan perbedaan yang lebih kaya dibandingkan tangga nada mayor-minor (yang hanya dua macam). Modus-modus yang beraneka ragam ini bagaikan warna dalam sebuah lukisan. Bahkan komponis-komponis Renaissance awal masih berpikir dalam tatanan tangga nada modus, meskipun mereka sudah menulis musik polyphonic yang progresif.

Selain kesederhanaan iman yang dituangkan dalam gaya musik monophonic dan kekayaan nuansa dalam tangga nada modus, keindahan estetika dalam musik ini adalah terkandungnya potensi yang besar untuk berkembang/dikembangkan. Kita bisa membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran yang besar biasanya ditandai dengan tidak berhentinya pikiran-pikiran tersebut, melainkan dengan memberikan inspirasi kepada yang membacanya untuk bukan hanya mengolah melainkan juga mengembangkannya lebih lanjut. Khotbah-khotbah yang baik juga demikian, tidak hanya memberikan solusi how-to terhadap pergumulan hidup seseorang, melainkan merangsang pendengarnya untuk terus menggumulkan, memikirkan dan merenungkannya lebih lanjut. Potensi sedemikian hanya mungkin terjadi dari bahan dasar yang memiliki kualitas yang cukup untuk dikembangkan. Kita tahu bahwa Gregorian Chant ini menjadi inspirasi karya-karya polyphonic di kemudian hari dalam penggarapan teknik komposisi cantus firmus (melodi utama) seperti ternyata dalam karya Leoninus, Perotinus dan Guillaume de Machaut pada jaman Abad Pertengahan.

Selain kesederhanaan iman, kekayaan nuansa dalam tangga nada modus dan kemungkinan potensi untuk terus berkembang, musik-musik Gregorian Chant juga menonjolkan aspek transendensi Allah, kekudusan, kemuliaan dan kebesaran Allah yang dimengerti secara antitetis dengan keadaan manusia sebagai ciptaan yang kecil, hina dan berdosa (Yes 6:1-5). Konsep transendensi Allah ini sejalan dengan perkembangan Theologia Mistik dalam abad pertengahan (sebagian sangat baik sebagian lagi tidak), khususnya dalam gerakan monastik, dan juga sejalan dengan komposisi arsitektural yang ternyata dalam katedral-katedral Gotik yang menjulang tinggi ke atas. Konsep transendensi Allah seperti diajarkan oleh Alkitab penting untuk terus diberitakan, karena hanya dengan menekankan imanensi-Nya (kedekatan) saja, kita cenderung kurang menghargai Allah. Konsep transendensi dalam Gregorian Chant ini erat hubungannya dengan eschatological character, other-worldly nuance yang terdapat dalam karya-karya ini. Tidak heran jika banyak musikus-musikus kontemporer yang mencoba untuk menimba dari Gregorian Chant untuk meminjam suasana mistik yang ada di dalamnya. Beberapa groups pop and rock, techno dan bahkan black metal menimba inspirasi dari Gregorian Chant. Yang ironis adalah, orang-orang Kristen sendiri tidak tahu bagaimana harus menghargai tradisi musik yang sangat berharga ini dan menggunakannya untuk tujuan yang mulia.

Transendensi Allah, kesadaran eskatologis (bahwa kita hanya sementara berada dalam dunia yang fana ini) dan other-worldly character dari Gregorian Chant memiliki keindahan estetika yang unik yang memperkaya pengertian iman Kristen. Penghayatan iman seperti ini berkait erat dengan suatu hidup yang berserah sepenuhnya (absolute surrender/totale Gelassenheit), another rare jewel in our post-industrial era yang dengan pandangan reduktifnya memperlakukan manusia sebagai mesin produksi. Sekaligus jenis musik seperti ini juga dapat menjadi alternativ tandingan terhadap new age culture (baik itu praktek-praktek meditasi transendental, musik-musik new age, pengembangan diri ala new age, pengolahannya dalam film, literatur etc). New age aesthetics mengajarkan bad and wrong aesthetics, karena presuposisi dasarnya memang melawan Alkitab. Estetika yang keliru dan berdosa akan menghasilkan musik yang keliru dan berdosa. Kehausan spiritualitas di dalam jaman kita (saya percaya bukan hanya di Barat tapi di Timur juga) tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Jikalau keKristenan tidak tahu menghargai tradisi yang baik sebagaimana pernah Tuhan karuniakan dalam sejarah Gereja, saya khawatir kita akan mencoba pendekatan trial and error terhadap semua jenis culture yang ada, tanpa melakukan suatu pengujian yang bertanggung jawab sebagai seorang percaya yang mengaku dan berkomitmen untuk taat kepada Firman Tuhan. Kiranya Tuhan menguatkan dan menolong kita yang sangat lemah. Sola Gratia, Soli Deo Gloria.

No comments: