16 December 2007

Iman Kristen dan Musik-4

IMAN KRISTEN DAN MUSIK-4

oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.


Pada bagian 1-3 kita sudah membahas bahwa kebudayaan tidak bebas dari nilai moral. Tidak ada kebudayaan yang netral. Jika kita percaya kebudayaan bersifat netral maka konsekuensi logisnya adalah kita sebagai orang Kristen tidak perlu menjalankan mandat budaya, karena yang disebut mandat budaya adalah pengaruh filsafat Firman Tuhan yang dipancarkan dalam kebudayaan yang bersifat transformatif. Jika tidak relevan membicarakan apakah suatu kebudayaan merupakan suatu kebudayaan yang baik, kudus dan berkenan kepada Allah atau sebaliknya buruk, banyak dipengaruhi sifat dosa, merusak dsb, maka seluruh pembicaraan tentang transformasi kebudayaan adalah sia-sia dan juga tidak relevan.

Sebagaimana kita tahu, musik termasuk atau menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Sama seperti di atas jika kita menerima pandangan musik netral sepenuhnya (hal mana sebenarnya sulit untuk dipertahankan dengan dasar alkitabiah) maka pembicaraan tranformasi kuasa Firman Tuhan di dalam musik juga tidak terlalu relevan. Yang paling banyak dipikirkan dalam pandangan seperti ini adalah: ya, beri saja teks firman Tuhan di dalamnya, maka musik otomatis akan mengalami transformasi. Pandangan seperti ini sebenarnya dangkal dan kurang bertanggung-jawab. Ini mirip dengan orang yang menggumulkan bagaimana mentransformasi dunia pekerjaan berdasarkan prinsip Kristen dengan mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum saya memulai pekerjaan.
[1] Pandangan seperti ini sayangnya banyak dianut oleh kaum Injili. Asal di dalamnya ada teks firman Tuhan, otomatis menjadi lagu Kristen yang baik dan memuliakan Allah.

Dalam tulisan yang lalu kita juga sudah membahas bahwa dengan menguji telos saja sebenarnya bersifat reduktif dan akhirnya salah. Setiap reduksi yang dipertahankan akan selalu membawa kerugian bagi kita dan orang-orang yang kita layani karena ini sama dengan menolak pertumbuhan yang sedang dikerjakan oleh Tuhan.
[2] Saya pikir sebagai orang Kristen, adalah lebih baik bagi kita untuk lebih mengikuti Alkitab daripada ajaran-ajaran dunia seperti utilitarianism dan pragmatism. Banyak ajaran-ajaran yang seolah-olah berasal dari Alkitab namun tanpa kita sadar sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat dunia. Kita dapat memberikan satu argumentasi lagi dari Alkitab sendiri bahwa bagi Allah bukanlah hal yang basa-basi ketika Ia menuntut agar yang dipersembahkan kepadaNya adalah korban domba yang tidak bercela, yang tidak bercacat (Imamat 22:21). Di sini kita melihat bahwa bukan hanya tujuannya yang perlu diuji dan diperhatikan, demikian juga motivasi saja tidak cukup, melainkan juga termasuk apa yang dipersembahkan itu sendiri harus diuji. Tidak semua layak dipersembahkan kepada Tuhan.

Beberapa ini contoh dari firman Tuhan bahwa orang-orang saleh mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan:
· Abraham mempersembahkan roti bundar dari tiga sukat tepung yang terbaik (Kej 18:6)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam susu induknya (Kel 23:19)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah engkau masak anak kambing dalam susu induknya (Kel 34:26)
· Apabila seseorang hendak mempersembahkan persembahan berupa korban sajian kepada TUHAN, hendaklah persembahannya itu tepung yang terbaik dan ia harus menuangkan minyak serta membubuhkan kemenyan ke atasnya (Imamat 2:1)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengatakan bahwa apa yang kita persembahkan kepada Tuhan juga harus kita uji. Tidak cukup hanya dengan menguji asal tujuan dan motivasinya saja benar.

Sekarang pertanyaannya: bagaimana kita bisa menguji musik itu sendiri sebagai apa yang kita persembahkan kepada Tuhan? Karena sebagaimana sering dikatakan: Alkitab tidak membicarakan nada-nada. Memang tidak, dan juga tidak perlu, tapi Alkitab membicarakan tentang apa itu keindahan, filsafat keindahan menurut sudut pandang Alkitab dan bahwa seni tidak mungkin terlepas dari filsafat keindahan (atau filsafat ketidak-indahan :) yang ada di dalamnya. Bagian inilah yang bisa dibenturkan (baca: diuji berdasarkan firman Tuhan).

Dalam study saya pribadi saya mempelajari bahwa memang tidak ada satu-satunya jaman yang menghasilkan estetika musik yang alkitabiah. Kalau kita menerima ajaran Alkitab kita akan sangat berhati-hati uniformitas seperti diajarkan dalam modernism (hanya ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah). Pandangan demikian bukan ajaran Alkitab karena Alkitab memberitakan tentang diversitas atau keaneka-ragaman. Allah Tritunggal adalah Allah di dalam tiga Pribadi, bukan satu-satunya Pribadi. Namun di sisi yang lain, kita juga tidak menerima pandangan pluralisme radikal yang mengatakan bahwa semua jenis musik dapat dipergunakan. Pandangan ini berasal dari filsafat kontemporer yang merupakan pendulum sebaliknya dari modernism. Kita tahu bahwa Alkitab memang membicarakan pluralitas tapi Alkitab memberitakan pluralitas yang terbatas. Menerima semua pluralitas, saya kuatir, sebenarnya hanya merupakan respon simetris dari kesalahan modernism. Dalam jaman seperti ini saya percaya salah satu karunia yang sangat penting adalah karunia membedakan bermacam-macam roh (I Kor 12:10). Tanpa karunia ini Gereja akan tersesat ke dalam pluralisme radikal, mengakomodasi semua pluralitas tanpa merefleksikan atau mengujinya apakah keaneka-ragaman itu dibenarkan oleh Firman Tuhan atau tidak.

Dalam musik berlaku prinsip yang sama. Tidak ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah (modern uniformitas), sebaliknya juga tidak benar mengatakan semua jenis musik adalah benar dan kudus (unreflected pluralism kontemporer). Saya coba sharing dari beberapa karya musik di mana kita dapat menguji bahwa ada estetika yang dipengaruhi oleh Alkitab atau wahyu umum, ada juga yang sebenarnya dipengaruhi bukan oleh filsafat sekuler yang tidak setia kepada Alkitab. Dua tokoh yang coba untuk dinilai di sini adalah J.S. Bach dan John Cage.
[3] Ada beberapa argumentasi yang salah untuk menilai bahwa Bach pasti lebih baik daripada Cage, misalnya:[4] Bach adalah komponis Jerman dan Cage komponis Amerika.
Tanggapan: argumentasi ini tidak dapat diterima karena yang alkitabiah tidak ditentukan oleh ras atau bangsa tertentu. Yang dari Barat bisa alkitabiah bisa tidak, yang dari Timur bisa alkitabiah bisa juga tidak.
Bach artinya sungai kecil, dengan demikian lebih menyatakan kehidupan Kristen yang seharusnya mengalirkan berkat, sementara Cage artinya adalah kurungan alias tidak bebas, maka seperti belum ditebus. Tanggapan: penyelidikan ‘etimologis’ seperti ini tampaknya tidak terlalu berguna dan mengada-ada.
Bach dimulai dengan huruf B seperti kata “better” sementara Cage dengan huruf C seperti “chaotic”. Tanggapan: argumentasi ini lebih mengada-ada dan konyol.
Bach, sebagai seseorang yang hidup di jaman Barock lebih banyak menggunakan wig (rambut palsu) daripada Cage yang hidup di jaman kita. Tanggapan: wig (rambut palsu) sama sekali tidak berperan dalam komposisi yang alkitabiah atau tidak. Demikian kita dapat menambahkan beberapa argumentasi konyol yang lain, namun mungkin ada 1 argumentasi lagi yang mirip dengan yang di atas dan sebenarnya juga konyol, namun banyak diterima yaitu:

Bach adalah komponis jaman Barock, dengan demikian ia adalah tradisional sementara Cage adalah komponis kontemporer. Argumentasi ini konyol karena yang alkitabiah bisa terjadi di masa lampau maupun di masa sekarang, sementara yang rusak dan yang melawan Alkitab juga bisa terjadi di masa lampau dan juga masa sekarang. Perdebatan musik yang berkecimpung antara musik tradisional dan kontemporer sebenarnya membuang-buang tenaga yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih baik bagi Tuhan. Persoalannya bukan mengenai musik masa lampau dan musik kontemporer, melainkan pengujian estetis menurut terang firman Tuhan.

Seperti kita tahu, Bach yang rada old-fashioned itu masih menggunakan teknik komposisi polyphonic music dengan cantus firmus sebagaimana digunakan dalam jaman sebelumnya (Renaissance dan middle ages). Bach bukanlah satu-satunya komponis yang menggunakan teknik ini, malahan dia sendiri belajar hal ini dari komponis-komponis sebelum dia. D. Bonhoeffer (seorang teolog dan juga seorang pianis yang berbakat) pernah menjelaskan tentang kasih dengan mengatakan bahwa kasih kita kepada Kristus seperti cantus firmus sedangkan kasih kepada sesama adalah seperti polyphonic counterpoint yang dirajut berdasarkan cantus firmus itu. Apa yang dikatakan Bonhoeffer sebenarnya bukan dari pemikiran dia sendiri, melainkan yang terjadi lebih dahulu adalah estetika kristologis (Kristus sebagai fokus yang mempersatukan keaneka-ragaman) mewarnai penggarapan musik mulai dari abad pertengahan dan diteruskan sampai kepada Bach. Musik seperti itu indah (menurut pengertian Alkitab) karena dipengaruhi oleh estetika yang alkitabiah.

Yang dilakukan Bonhoeffer sebenarnya hanya menggunakan insight musical untuk menjelaskan teologinya, sementara insight musical itu sendiri dipengaruhi oleh pemikiran dari Alkitab. Selain Bonhoeffer, teolog yang kadang-kadang membicarakan integrasi antara teologi dan musik adalah Karl Barth, Hans Urs von Balthasar dan terutama belakangan ini Jeremy Begbie (Cambridge). Begbie berusaha untuk menelaah lebih banyak musical language untuk memberikan insights bagi teologi. Bagi saya pribadi, penarikan seperti ini sangat mungkin karena banyak karya musik dari tradisi Barat yang sangat dipengaruhi oleh estetika alkitabiah. Ini tidak menyatakan bahwa Barat lebih superior dari Timur, melainkan karena tradisi kebudayaan mereka banyak dipengaruhi oleh Alkitab sehingga kebudayaan yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang tinggi.
[5] Di samping itu kita juga melihat bahwa di Barat juga banyak kebudayaan yang dihasilkan dari spirit yang melawan Tuhan (mis. violence, anti-otorian, egalitarian, materialism, konsumerism, hedonism etc), yang juga tercermin dalam karya seni mereka. Kebudayaan yang dipengaruhi oleh filsafat Firman Tuhan pasti lebih tinggi (lebih baik, lebih kudus, lebih indah, lebih membangun) daripada yang dipengaruhi oleh filsafat yang melawan Tuhan.

Sekarang kita coba melihat karya John Cage, juga dari Barat, misalnya karya ‘monumental’nya yaitu 4’33’’.
[6] Atau karya lain yang diberi judul HPSCHD di mana 7 pemain harpsichord sekaligus memainkan cuplikan dari karya Cage secara ‘kebetulan’ (chance-determined) ditambah dengan suara-suara elektronik yang lain, atau Imaginary Landscape No. 4 yang ditulis untuk 12 radio. Pada karya yang terakhir ini sekalipun Cage memberikan instruksi bagi para ‘pemain’ radio itu, ‘musik’ yang dihasilkan darinya tidak pernah mungkin bisa dikontrol (kita tidak tahu gelombang hari itu mengeluarkan bunyi apa). Ide “musical happenings” ini merupakan produk estetika postmodern non-intentionality (yang rusak dan melawan Alkitab). Karya seperti HPSCHD menggambarkan kompleksitas kehidupan (yang fragmented dan tidak perlu ada integrasi), suatu bentuk negasi atau perlawanan terhadap one single opinion, karena itu berarti dictatorship. Cage sendiri banyak dipengaruhi oleh estetika Taoisme dan Zen Buddhism. Seorang filsuf bahkan menelusuri kemiripan estetika Cage dengan filsafat dari Martin Heidegger.

Pengujian estetis yang sama kita bisa lakukan terhadap lukisan (abstract) expressionism dari Polluck misalnya atau expressionisme dalam musik Schoenberg, musik bi-tonality, demikian juga dengan jenis musik yang lain. Tidak ada yang bebas dari konsep estetika. Inilah yang membuat musik tidak mungkin netral.
[7]
Melakukan pengujian seperti ini selalu tidak mudah dan terutama di jaman yang serba instant, mau langsung jadi, tidak perlu banyak bergumul, over-simplifikasi etc, pengujian seperti ini sangat melelahkan dan dalam natur kita yang lemah kita lebih suka (saya juga!) mencari jalan yang mudah, jalan yang lebar, yang tidak perlu banyak bergumul, tidak perlu banyak belajar, tidak perlu banyak .... pikul salib. Sekarang banyak orang berpikir “atas nama pluralitas” kita melakukan ‘pemutihan’, penetralan segala sesuatu, namun Alkitab memerintahkan kita untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” (I Tes 5:21).
[1] Tentunya tidak salah mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum bekerja, itu dapat menjadi hal yang menjadi berkat. Yang saya maksud adalah kalau kita mau memikirkan theology of work secara komprehensif, tidak cukup hanya dengan mengadakan persekutuan kantor saja (memasukkan life sphere ibadah dalam dunia pekerjaan). Pekerjaan itu sendiri harus menjadi suatu ibadah di hadapan Tuhan.
[2] Mengenai pandangan telos seperti yang banyak dianut saat ini sebenarnya merupakan pengaruh dari filsafat utilitarianism dan pragmatisme. Entah kita mau membicarakannya dalam konteks etika Kristen atau tidak, yang jelas ALKITAB membicarakan lebih daripada sekedar tinjauan teleologis. Yesus Kristus tidak hanya memiliki telos yang benar, Dia juga selalu mengerjakan serta mempersembahkan hal yang benar (ini bukan aspek telos tapi merupakan aspek yang lain), dan dia juga selalu memiliki motivasi yang benar. Tiga hal ini dicatat oleh Alkitab sendiri, terlepas dari etika membicarakan ini atau tidak.
[3] Untuk membereskan kesalah-pahaman pandangan karikatural bahwa semua musik ‘klassik’ pasti baik dan bermutu, perbandingan ini akan menyatakan bahwa tidak semua musik dari tradisi ‘klassik’ selalu baik dan membangun.
[4] bagi mereka yang sibuk dan terlalu serius, silakan bagian ini di-skip dan langsung saja pada argumentasi terakhir di akhir paragraf :)
[5] Menanggapi pernyataan Sdr. Jimmy tentang cultural elitist, saya pikir kita perlu membacanya dengan double perspective: di satu sisi para elitists bersalah karena kecenderungan menghina/merendahkan mereka yang memiliki kebudayaan yang lebih rendah karena ini sebenarnya merupakan penyangkalan dari teologia anugerah: “Apakah yang engkau miliki yang tidak engkau terima (dari Tuhan)?” Persoalan para elitists adalah kekurangan spirit inkarnasi; namun di sisi yang lain pandangan yang mengatakan bahwa kebudayaan tertentu memang higher dan lebih berkualitas/bermutu daripada kebudayaan yang lain adalah pendapat yang tidak salah. Mengatakan semua kebudayaan (musik termasuk di dalamnya) tidak memiliki perbedaan kualitas merupakan either ignorance atau penipuan diri.
[6] Tidak sulit untuk membayangkan karya ini: seorang performer berdiri di atas panggung selama empat menit tigapuluhtiga detik tanpa memainkan suatu nada. Yang terdengar di situ adalah mungkin suara audience yang sedang gelisah dan iri terhadap seorang musician yang makan gaji buta.
[7] Analogi bahasa seperti diusulkan oleh Sdr. Jimmy kurang memadai untuk menggambarkan ketidak-netralan musik/seni/culture. Tapi seandainya analogi ini (bahasa) tetap dipertahankan, kita tahu bahwa dalam bahasa apa pun di dunia ini ada kata-kata makian, kata-kata yang mengekspresikan kebencian yang berdosa, kata-kata yang menghujat dsb. Kata-kata atau kalimat-kalimat tersebut tidak mungkin tidak, harus dikuduskan dan tidak layak dipergunakan untuk memuji Tuhan. Bahasa pun (meskipun sekali lagi sebagai analogi untuk musik sangat lemah dan tidak memadai) ternyata tidak senetral yang kita pikirkan. Bahasa, sebagai salah satu modus dalam hidup manusia, tidak luput dari pencemaran dosa. Bahasa juga perlu dikuduskan oleh Firman Tuhan.

No comments: