19 June 2007

Roma 2:1-2 : MURKA ALLAH TERHADAP KEBEBALAN MANUSIA-4

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-6


Murka Allah terhadap Kebebalan Manusia-4

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:1-2


Pada ayat sebelumnya (pasal 1 ayat 32), manusia yang berdosa yang sudah mengetahui hukuman Allah tetapi tetap tidak melakukannya bahkan menyetujui orang lain yang melakukan perbuatan dosa. Maka, orang lain, mungkin juga orang Kristen, termasuk di dalamnya bisa menghakimi mereka sebagai orang berdosa. Inilah kebebalan manusia model yang lain. Benarkah tindakan ini ? Berkenaan dengan hal menghakimi orang lain, Paulus langsung membagi dua macam orang yang saling berkaitan, yaitu orang yang menghakimi orang lain tidak segera sadar bahwa pada saat yang sama mereka juga menghakimi diri sendiri (ayat 1-2) dan orang yang menghakimi orang lain pun tidak sadar bahwa mereka sendiri melakukan perbuatan dosa yang sama (ayat 3). Pertama, Paulus langsung mengajarkan, “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” atau menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Oleh karena itu, Saudara-saudara, siapakah Saudara sehingga Saudara mau menyalahkan orang lain? Saudara tidak punya apa-apa untuk membela diri! Sebab kalau Saudara menyalahkan orang lain, padahal Saudara sendiri melakukan perbuatan yang sama seperti mereka, maka Saudara menjatuhkan hukuman atas diri sendiri juga.” King James Version mengartikannya, “Therefore thou art inexcusable, O man, whosoever thou art that judgest: for wherein thou judgest another, thou condemnest thyself; for thou that judgest doest the same things.” Dalam ayat 1 ini, Paulus menggunakan kata “hai manusia” yang diterjemahkan oleh BIS, “Saudara-saudara”, tetapi KJV, International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) sama-sama mengartikannya, “O man,”. Siapakah yang Paulus maksudkan dengan kata “manusia” ini ? Menurut latar belakang surat Roma yang ditujukan kepada jemaat Roma yang juga terdapat orang-orang Yahudi. Selain itu, kalau kita melihat pada pasal 2, kata-kata “Taurat” muncul yang menunjukkan bahwa Paulus mengingatkan orang-orang Yahudi yang munafik yang mengatakan hafal Taurat tetapi tidak mengerti esensi Taurat sejati. Sehingga, kata “manusia” atau “Saudara-saudara” (BIS) dapat ditafsirkan orang-orang Yahudi di Roma (dapat diimplikasikan kepada orang-orang Kristen) yang menganggap diri suci karena sudah mempelajari dan menghafal Taurat. Matthew Henry di dalam Matthew Henry’s Concise Commentary memaparkan,
The Jews thought themselves a holy people, entitled to their privileges by right, while they were unthankful, rebellious, and unrighteous. (=orang-orang Yahudi berpikir bahwa mereka itu orang suci, karena hak istimewa yang mereka peroleh, meskipun mereka itu sebenarnya tidak tahu berterima kasih, memberontak dan berdosa/jahat.)

Hal “menghakimi” sudah menjadi hal yang mendarahdaging di dalam tradisi Yudaisme, di mana banyak para ahli Taurat dan orang Farisi yang mengklaim diri mereka mempelajari, menghafal dan mengerti Taurat lalu menuding orang-orang kafir sebagai orang-orang yang berdosa yang tidak mungkin diselamatkan oleh Allah, tetapi sayangnya mereka tidak mengerti esensi Taurat, sehingga ketika Kristus datang untuk menerjemahkan Taurat dengan pengertian yang sejati, mereka marah dan menyalibkan-Nya di Golgota. Hak istimewa yang diperoleh oleh orang-orang Yahudi (yaitu pemberiaan Taurat) tidak membuat mereka bersyukur lalu menyaksikan cinta kasih Allah ini kepada orang-orang di luar Yahudi, tetapi malahan mereka menghakimi mereka yang tidak memiliki Taurat sebagai orang kafir dan layak dihukum Allah. Hal ini lah yang dikritik oleh Paulus bahwa mereka menghakimi orang lain, padahal mereka tidak sadar bahwa dengan menghakimi orang lain, mereka juga menghakimi dirinya sendiri. Hal ini bisa diimplikasikan di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Mungkin sekali kita menganggap diri orang Kristen, melayani Tuhan di dalam gereja, kampus, lembaga-lembaga sosial, dll, tetapi benarkah hati kita berpaut kepada Kristus sehingga kita mau melakukan apa yang Ia perintahkan dengan kesungguhan dan kerelaan hati kita ? Ataukah keKristenan kita hanya sekedar topeng yang menipu orang-orang dunia seperti orang-orang Yahudi yang menggunakan topeng Yudaisme dan Taurat untuk mengelabui orang-orang dunia tentang “kesalehan” mereka yang munafik ?!


Terhadap mereka yang gemar menghakimi (judge : mengkritik, mengadili, dll) orang lain, Paulus mengatakan bahwa
Pertama, mereka itu juga tidak bebas dari salah atau tidak dapat dimaafkan (inexcusable). Mereka pikir bahwa dengan menghakimi orang lain, menunjukkan diri mereka suci, tanpa dosa. Itulah orang-orang Yahudi yang munafik yang ditegur oleh Tuhan Yesus dengan sangat keras di dalam Matius 23. Benarkah dengan menghakimi orang lain kita bebas dari dosa ? TIDAK. Justru kita lah yang tidak dapat dimaafkan, karena menganggap diri tidak berdosa. Padahal, semua orang telah berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah (Roma 3:23). Tetapi jangan salah mengerti ayat ini lalu berkata bahwa Alkitab mengatakan kita tidak boleh sama sekali mengkritik atau menghakimi. Itu jelas salah. Di dalam Alkitab, memang Tuhan Yesus berkata kepada kita bahwa kita tidak boleh menghakimi (Matius 7:1, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”), tetapi benarkah pasal 7 berbicara secara keseluruhan mengenai perintah jangan menghakimi?! TIDAK. Menurut metode penafsiran Alkitab yang beres yang tidak boleh mengabaikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (memperhatikan keseluruhan konteks dan perikop), maka ayat 1 tidak boleh dipisahkan dari ayat 2 yang berkata, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Yang dipermasalahkan oleh Tuhan Yesus bukan tidak boleh menghakimi, tetapi ukuran (Yunani : metron ; Inggris : measure) apa yang dipakai untuk menghakimi (Yunani : krinō yang bisa berarti menggolongkan, membedakan, menghukum, dll). Kalau benar yang dimaksudkan Tuhan Yesus di dalam Matius 7 bahwa kita tidak boleh menghakimi, mengapa pada pasal yang sama di ayat 21-23, Ia sendiri seolah-olah “menghakimi” orang-orang munafik yang berseru, “Tuhan, Tuhan”, padahal mereka sebenarnya berbuat kejahatan ?! Apakah ini tidak konsisten ?! TIDAK. Yang benar adalah kita boleh menghakimi asalkan penghakiman kita itu adil. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” (Yohanes 7:24). Kata “adil” dalam bahasa Yunani dikaios yang juga bisa berarti benar. Kalau kita melihat sekilas konteksnya, maka ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa jangan menghakimi menurut sesuatu yang kelihatan (fenomenal), maka pada saat itu Ia sedang menegur orang-orang Yahudi yang sedang mempersalahkan Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang di hari Sabat. Mereka menggunakan standart Taurat untuk menghakimi Tuhan Yesus, padahal standart yang mereka pergunakan mereka tafsirkan menurut tafsiran mereka sendiri (bukan menurut arti Taurat itu sesungguhnya). Sehingga ketika Kristus mengatakan bahwa jangan menghakimi menurut hal-hal fenomenal, tetapi harus dengan adil/keadilan, maka secara implisit Ia hendak mengatakan kepada orang-orang Yahudi untuk tidak mempermainkan standart kebenaran untuk ditafsirkan menurut kehendak sendiri. Geneva Bible Translation Notes memberikan sedikit penjelasan mengenai ayat ini, “We must judge according to the truth of things, lest men turn us from the truth and carry us away.” (=Kita harus menghakimi menurut Kebenaran akan sesuatu, supaya manusia tidak memalingkan kita dari Kebenaran dan membawa kita jauh/ke arah yang lain.). Jadi, yang Tuhan Yesus tegur adalah kita tidak boleh menghakimi dengan menggunakan standart diri kita sebagai “kebenaran”, karena jika kita bertindak demikian, maka kita pasti dihakimi juga oleh Allah. Tetapi, yang Tuhan inginkan adalah kita menghakimi menurut standart penghakiman Allah yang mempertimbangkan kasih dan keadilan sesuai Firman-Nya, Alkitab.


Kedua, mereka sebenarnya menghakimi diri mereka sendiri yang melakukan apa yang mereka tuduhkan kepada orang lain. Dengan menghakimi orang lain, secara tidak sadar mereka juga sebenarnya menghakimi diri mereka sendiri yang tidak berbeda jauh dari tindakan yang mereka tuduhkan. Misalnya, kalau kita kembali melihat Yohanes 7, terhadap orang-orang Yahudi dengan menggunakan hukum Musa menghakimi Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, Kristus menegur mereka, “Jadi: Musa menetapkan supaya kamu bersunat--sebenarnya sunat itu tidak berasal dari Musa, tetapi dari nenek moyang kita--dan kamu menyunat orang pada hari Sabat! Jikalau seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa, mengapa kamu marah kepada-Ku, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang manusia pada hari Sabat.” (Yohanes 7:22-23). Mereka berpikir bahwa dengan menghakimi orang lain, termasuk Tuhan Yesus, mereka boleh dikategorikan sebagai orang hebat, karena telah mengerti Taurat, benarkah demikian ? Tuhan Yesus tidak mungkin dapat dipermainkan, Ia langsung menegur mereka yang munafik. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan apapun di hari Sabat, tetapi mereka sendiri menyunat orang di hari Sabat supaya tidak melanggar hukum Musa. Ini berarti mereka menetapkan standart mereka sendiri untuk menghakimi orang lain, lalu menggunakan Taurat sebagai topeng. Taurat hanya dilihat secara sebelah mata (sebagian/partial), dan tidak dilihat secara menyeluruh, sehingga mereka tergoda untuk menafsirkan Taurat yang mengajarkan bahwa tidak boleh melakukan apapun di hari Sabat, tanpa melihat bagian lain dari Taurat dan Perjanjian Lama yang mengajarkan esensi dari Sabat adalah tanda perjanjian antara Allah dengan Israel (Keluaran 31:15-16) dan di hari Sabat, yang Allah inginkan adalah kesungguhan hati bersekutu dengan-Nya (misalnya, dengan berpuasa, dll). Memang, di hari Sabat, Allah memerintahkan orang Israel untuk tidak melakukan pekerjaan, tetapi intinya bukan berarti mutlak tidak boleh bekerja apapun di hari Sabat, melainkan intinya adalah persekutuan antara Allah dengan manusia. Hal ini tidak disadari oleh orang Yahudi yang menafsirkan Taurat menurut kehendak mereka sendiri lalu dijadikan “standar kebenaran” untuk menghakimi orang lain. Kalau benar bahwa di hari Sabat, menurut pemikiran orang-orang Yahudi, manusia tidak boleh berbuat apapun juga, mengapa di hari Sabat, Musa tetap meminta mereka untuk makan makanan yang telah dipungut pada hari-hari sebelumnya ? Perhatikan peristiwa ini di dalam Keluaran 16:23-25, “Lalu berkatalah Musa kepada mereka: "Inilah yang dimaksudkan TUHAN: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi TUHAN; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi." Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. Selanjutnya kata Musa: "Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang.” Bukankah “makan” termasuk salah satu aktivitas bekerja ? Lalu, mengapa pula Tuhan menghina perayaan Sabat yang orang Israel lakukan dengan kemunafikan, “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.” (Yesaya 1:13) ? Karena mereka merayakan hari Sabat bukan dengan kesungguhan dan kerelaan hati yang taat kepada Tuhan dengan melakukan apa yang Ia perintahkan secara keseluruhan, tetapi mereka melakukan apa yang jahat di mata-Nya. Perhatikan peringatan Tuhan Allah di dalam Yesaya 1:15-20, “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! Marilah, baiklah kita berperkara! --firman TUHAN--Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba. Jika kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri itu. Tetapi jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang." Sungguh, TUHAN yang mengucapkannya.” Yang Tuhan inginkan bukan korban persembahan, tetapi hati yang mengasihi-Nya dengan melakukan perintah-perintah-Nya yaitu dengan mengusahakan keadilan dan kasih berdasarkan Firman Allah. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita suka menuduh orang lain dengan standart yang kita bangun sendiri sebagai “kebenaran”, padahal kita pun juga melakukan hal yang sama bahkan lebih parah daripada orang yang kita tuduh tersebut ? Kalau kita suka bertindak demikian, bertobatlah, dan berusahalah mengoreksi diri kita sendiri sebelum mengoreksi orang lain.


Kepada mereka yang suka menghakimi orang lain secara sembarangan, Paulus menasehatkan, “Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.” King James Version menerjemahkan, “But we are sure that the judgment of God is according to truth against them which commit such things.” Kata “kita tahu” di dalam Terjemahan Baru diterjemahkan KJV dengan lebih jelas yaitu “kita yakin” (we are sure) di mana ini merupakan suatu keyakinan yang pasti yang tidak bisa ditolerir lagi. Keyakinan apakah itu ? Keyakinan yang pasti bahwa penghakiman Allah yang berdasarkan Kebenaran akan tiba pada mereka yang menghakimi orang lain dengan standart yang tidak bertanggungjawab. Mereka yang menghakimi orang lain dengan standart yang tidak bertanggungjawab akan dihakimi oleh Allah dengan standart penghakiman Allah yang berdasarkan Kebenaran. Kata “kebenaran” atau truth ini dari bahasa Yunani aletheia yang identik dengan Kebenaran mutlak/absolut. Jadi, standart kita menghakimi seharusnya bukan dengan standart kerelatifan manusia, tetapi standart penghakiman Allah melalui keabsolutan Firman Allah, Alkitab yang dimengerti secara bertanggungjawab. Meskipun demikian, kita tetap harus menyerahkan segala penghakiman yang paling mutlak hanya kepada Allah sebagai Hakim yang Adil. Di sini, saya membagi tiga macam tindakan penghakiman, yaitu, pertama, kita terlebih dahulu harus mengoreksi (menghakimi) diri kita sebelum menghakimi orang lain ; kedua, kita boleh menghakimi orang lain hanya dengan standart keabsolutan Firman Allah, dan ketiga, penghakiman yang tadi kita lakukan bisa saja salah (karena ketidakmengertian kita secara 100% akan Alkitab), oleh karena itu, kita harus menyerahkan segala penghakiman yang paling final, absolut dan benar kepada Allah.


Hari ini, setelah kita mendengarkan dan merenungkan Firman Allah tentang hal penghakiman sejati, maukah kita mengubah tindakan kita yang gemar menghakimi orang lain secara membabi buta melalui pengubahan paradigma yang sesuai Alkitab bahwa kita dapat menghakimi orang lain setelah kita menghakimi diri kita sendiri, sesuai dengan Alkitab dan selebihnya, secara sempurna, kita menyerahkan penghakiman kepada Allah yang Mahaadil ? Kembalilah kepada standart penghakiman yang Allah telah tetapkan. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: