01 February 2009

Roma 13:1-5: ALLAH DAN PEMERINTAHAN-1: Siapakah Pemerintah Itu?

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-9


Allah dan Pemerintahan-1: Siapakah Pemerintah Itu?

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:1-5.



Setelah merenungkan prinsip tentang kasih di dalam persekutuan tubuh Kristus di ayat 9 s/d 20, Paulus memaparkan beberapa konsep tentang bagaimana mewujudnyatakan prinsip kasih dan kebenaran di dalam sikap kita terhadap pemerintah di pasal 13 ayat 1-7. Pada bagian pertama, kita akan membahas konsep Allah dan Pemerintahan di dalam subtema siapakah pemerintah itu di ayat 1-5.

Di ayat 1, Paulus mengatakan, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.” Ayat ini merupakan ayat yang unik, mengapa? Karena di titik pertama, Paulus mengajar jemaat Roma untuk takluk kepada pemerintah. Biasanya, kita mendengar bahwa kalau kita tunduk kepada seseorang harus ada alasannya mengapa kita harus tunduk. Tetapi Paulus di kalimat pertama menyebutkan bahwa kita harus takluk kepada pemerintah. Kata “takluk” dalam terjemahan bahasa Yunani bisa diartikan “tunduk” dan kata kerja ini menggunakan bentuk verb third person present passive imperative (=kata kerja orang ketiga bentuk sekarang/present pasif yang bersifat perintah). Dengan kata lain, ketika Paulus mengatakan bahwa tiap-tiap orang harus tunduk/takluk kepada pemerintah, artinya ia memerintahkan agar mereka menundukkan diri secara pasif kepada pemerintah. New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Everyone must submit himself to the governing authorities,” Kata submit himself berarti menundukkan dirinya (ada unsur pasif). Kita menundukkan diri kepada siapa? Paulus menjawab kepada pemerintah yang di atasnya (terjemahan NIV: otoritas pemerintahan). Berarti, pemerintahan memiliki otoritas di atas kita sebagai warga negara. Apakah dengan tunduk pasif kepada otoritas pemerintahan berarti kita menyetujui semua tindakan pemerintah meskipun itu melawan Allah? Tidak. Mari kita membandingkan pengajaran yang sama di dalam 1Ptr. 2:13, “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi,” Pernyataan “karena Allah” di dalam ayat ini menyatakan bahwa kita tunduk secara pasif kepada pemerintah karena Allah. Dengan kata lain, Allah menjadi sumber utama kita tunduk kepada pemerintah.

Lalu, mengapa kita harus tunduk kepada pemerintah? Paulus menjawab karena tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Kata “pemerintah” dalam ayat ini dalam terjemahan Indonesia tidak ditemukan dalam banyak terjemahan Inggris (kecuali terjemahan God’s Word) dan Yunani. King James Version (KJV), American Standard Version (ASV), 1965 Bible in Basic English (BBE), Bishops’ Bible 1568, Geneva Bible 1587, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible menerjemahkannya power (=kuasa); NIV, Darby Bible, English Majority Text Version (EMTV), English Standard Version (ESV), Good News Bible (GNB), International Standard Version (ISV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), James Murdock New Testament, dan 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya authority (=otoritas). Terjemahan Yunani untuk kata ini adalah exousia yang bisa berarti hak istimewa: kuasa, kemampuan, kapasitas, dll. Dengan kata lain, terjemahan yang lebih tepat untuk ayat ini adalah tidak ada KUASA pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Yang ditekankan seharusnya adalah KUASA dari pemerintah, bukan oknum pemerintah itu. Dari pengertian ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa alasan di titik pertama tadi Paulus mengatakan bahwa kita harus tunduk pasif kepada pemerintah, yaitu tidak ada KUASA pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Tuhan Yesus pernah mengingatkan konsep ini ketika berhadapan dengan Pilatus di dalam Yoh. 19:11, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.” Kata “kuasa” di ayat ini menggunakan bahasa Yunani yang sama yaitu exousia. Di ayat ini, Tuhan Yesus jelas sekali menunjuk kuasa Pilatus adalah berasal dari Allah, sehingga Ia mengingatkannya agar ia tidak sombong dengan kuasa yang dimilikinya itu. Untuk menjelaskan bahwa kuasa pemerintah dari Allah, Allah mengajar melalui nabi Daniel di dalam Daniel 2:21, “Dia mengubah saat dan waktu, Dia memecat raja dan mengangkat raja, Dia memberi hikmat kepada orang bijaksana dan pengetahuan kepada orang yang berpengertian;” Kesemuanya ini menjelaskan bahwa kuasa pemerintahan bersumber dari Allah. Mengapa demikian? Karena Allah sendirilah Sumber Otoritas sejati itu. Allah adalah Sumber Otoritas sejati, maka Ia memberi kuasa kepada pemerintah untuk memerintah rakyat. Alasan kedua yaitu karena sumber struktur pemerintahan masyarakat (NIV Spirit of the Reformation Study Bible, hlm. 1833).

Bukan hanya berasal dari Allah, kuasa pemerintah itu pun ditetapkan oleh Allah. Kapankah pemerintah itu ditetapkan Allah? Sebelum atau sesudah manusia jatuh ke dalam dosa? Firman Tuhan menjawab bahwa pemerintah ditetapkan Allah sesudah manusia berdosa. Sebelum manusia berdosa, Allah lah yang menjadi Pemerintah atas Adam dan Hawa, tetapi dosa mengakibatkan manusia menolak otoritas Allah sampai pada zaman Nuh. Dari Nuh, generasi-generasi Allah mulai muncul sampai zaman bangsa Israel. Tetapi Israel di zaman Samuel, mereka berani meminta raja. Konteks waktu itu, anak-anak Samuel menjadi hakim atas Israel dan anak-anaknya itu hidup tidak beres (1Sam. 8:1-3). Nah, hal inilah yang mendorong para tua Israel mendesak Samuel agar memberi mereka raja seperti bangsa lain (ay. 6). Lalu, Samuel berdoa kepada Allah dan Allah menjawab bahwa sebenarnya Allah sebagai Rajalah yang orang Israel tolak, bukan kepemimpinan Samuel (ay. 7), lalu Ia berfirman kepada Samuel untuk memberi tahukan hak raja (ay. 9, 11-18), tetapi apa respon Israel? Mereka tetap menginginkan seorang raja (ay. 19-20). Dua kesalahan yang Israel lakukan, yaitu menolak Allah sebagai Raja dan menginginkan raja karena iri dengan bangsa lain. Kebebalan Israel akhirnya sengaja diizinkan Tuhan, sehingga mereka memiliki raja, tetapi sejarah Israel mencatat bahwa raja-raja mereka ternyata ada yang setia kepada Allah dan ada yang tidak (baca seluruh 1 dan 2 Raja-raja). Itu semua akibat manusia memberontak kepada Allah, tetapi Allah tetap mengizinkan agar manusia mengerti konsekuensi dosa yang mereka lakukan. Sampai di Perjanjian Baru, Allah menegaskan kembali bahwa pemerintah ditetapkan oleh Allah. Mengapa pemerintah ditetapkan Allah? Karena pemerintah adalah wakil Allah untuk mengatur manusia agar manusia hidup lebih baik (bdk. ay. 4). Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen bersikap terhadap pemerintah? Di ayat pertama ini, Paulus telah mengajar kita bahwa kita harus tunduk pasif kepada otoritas pemerintah karena otoritas pemerintah bersumber dari Allah dan ditetapkan-Nya. Berarti, kita tunduk kepada pemerintah yang tunduk kepada Allah, karena Allah adalah Sumber Otoritas tertinggi. Sudahkah kita melakukannya?


Karena otoritas pemerintah bersumber dari Allah dan ditetapkan-Nya, maka Paulus mengatakan di ayat 2, “Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” Di ayat kedua, Paulus lebih dalam lagi mengajar bahwa barangsiapa yang melawan/memberontak terhadap otoritas pemerintah, maka ia melawan/memberontak apa yang Allah tetapkan/dirikan (NIV menerjemahkannya: yang Allah telah dirikan). Berarti, Paulus mengidentikkan otoritas pemerintah dengan ketetapan Allah. Konsep ini harus dimengerti berkaitan dengan ayat 1 dan ayat sesudahnya, sehingga kita tidak salah mengerti, lalu menganggap pemerintah = Allah. Pemerintah tetap adalah manusia, tetapi otoritasnya diberikan dari Allah, sehingga setiap pemerintah yang menjalankan otoritas yang benar yang sesuai dengan ketetapan-Nya, maka pengidentikkan Paulus tadi berlaku, tetapi jika tidak, maka pengidentikkan Paulus ini tidak berlaku. Sejauh pemerintah itu sendiri menjalankan otoritas yang takluk kepada Allah, maka kita tunduk kepada pemerintah. Tetapi bagaimana jika pemerintah itu tidak takluk kepada Allah? Kita tetap tunduk, tetapi bukan tunduk mutlak lalu menyamakan pemerintah dengan Allah. Sikap tunduk kita kepada pemerintah yang melawan Allah adalah sikap tunduk yang disertai kebenaran. Artinya, kita lebih tunduk kepada Kebenaran Allah ketimbang tunduk kepada pemerintah yang melawan Allah. Dengan kata lain, kita siap mati untuk Allah jika misalnya kita diperlakukan tidak adil oleh pemerintah yang melawan Allah. Misalnya, jika pemerintah negara tertentu melarang warganya menjadi Kristen, bagaimana sikap kita? Takluk? TIDAK! Kita tetap harus tunduk mutlak kepada Allah, tetapi tetap menghormati (tidak melawan) pemerintah, sambil siap mati jika misalnya pemerintah memutuskan kita yang Kristen dihukum mati. Di sini, kita meletakkan otoritas sejati di tempat yang semestinya (primer) dan meletakkan otoritas pemberian di tempat sekunder. Jangan pernah membalikkan ordo/urutannya, karena membalikkan ordo ini, itulah dosa. Dosa adalah pembalikkan ordo dari ordo yang seharusnya.


Dengan konsep bahwa kita takluk kepada Allah lebih daripada kepada pemerintah (meskipun pemerintah itu melawan Allah), maka di ayat 3, Paulus mengatakan, “Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.” KJV menerjemahkannya bahwa pemerintah tidak akan menakuti-nakuti kita yang berbuat baik, tetapi yang berbuat jahat. Di ayat ini, Paulus mendorong jemaat Roma untuk berbuat baik dan ketika kita berbuat baik, kita tidak usah takut. Di sini, karena kita lebih takluk kepada Allah yang memberi kuasa kepada pemerintah, maka kita seharusnya bisa menunjukkan perbuatan baik kita yang sejati. Ketika menunjukkan perbuatan baik itu, kita sedang mewujudnyatakan kasih-Nya kepada orang luar dan kepada pemerintah bahkan meskipun pemerintah itu melawan Allah. Jadi, mari tunjukkan kebaikan yang telah kita terima sebagai respon kita menomersatukan Allah lebih dari siapa pun.

Bukan hanya mendorong jemaat Roma untuk berbuat baik, Paulus mengajar mereka juga untuk hidup tidak takut kepada pemerintah. Mengapa kita bisa hidup tidak takut kepada pemerintah? Karena pernyataan sebelumnya, yaitu kita berbuat baik yang mencerminkan kita menomersatukan Allah. Ketika kita berbuat baik, maka tentu kita tidak perlu hidup takut kepada pemerintah, kecuali kita berbuat jahat, maka kita perlu takut kepada pemerintah. Ambil contoh, perampok yang berbuat jahat pasti takut ketika dikejar aparat pemerintahan (polisi), sedangkan kita yang setiap hari berbuat baik menolong orang, apa kita perlu takut kalau kita dikejar polisi? Tentu tidak. Jadi, di sini, kita dituntut pertanggungjawaban sebagai orang Kristen (warga negara sorgawi) dan warga negara duniawi.

Ketika kita berbuat baik, Paulus mengatakan bahwa kita akan memperoleh pujian daripadanya (atau bisa diterjemahkan: pemerintah itu akan memujimu). Di sini, kita lebih jelas lagi melihat signifikansi apa yang kita perbuat terhadap pemerintah, meskipun pemerintah itu melawan Allah sekalipun. Ketika kita berbuat baik, kita mendapat pujian, dan ingatlah, kembalikan pujian itu kepada Allah yang memang seharusnya mendapat pujian untuk selama-lamanya. Jangan pernah mengambil pujian dari pemerintah untuk kita sendiri.


Mengapa kita melakukan hal-hal di atas? Paulus menjabarkannya di ayat 4, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.” Dari ayat 4, Paulus menjabarkan alasan kita melakukan hal-hal di atas, yaitu karena pemerintah adalah hamba Allah. Kata “hamba” di sini dalam bahasa Yunani TIDAK diterjemahkan doulos, tetapi diakonos (=pelayan; Ing.: minister). Kata Yunani inilah yang melahirkan jabatan diaken di dalam gereja. Pemerintah adalah pelayannya Allah. Pelayan Allah untuk apa? Paulus menjabarkan tugas pemerintah menjadi dua, yaitu:
Pertama, pemerintah untuk mendatangkan kebaikan bagi rakyat. Jika di Indonesia, kita mendengar pengajaran bahwa pemerintah adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka di ayat ini, kita mendapat pengajaran yang agak berbeda, yaitu: dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (dan rakyat). Tadi, kita telah belajar bahwa pemerintah dari Allah (bersumber dari Allah), lalu pemerintah itu ditetapkan oleh Allah, dan hasil akhirnya tetap harus untuk memuliakan Allah yang diimplementasikan bagi kepentingan rakyat. Apa artinya? Hasil akhir penetapan Allah memang untuk memuliakan-Nya, tetapi itu diimplementasikan kepada rakyat agar rakyat menikmati tugas pemerintah yang mengayomi masyarakat, sehingga masyarakat merasakan adanya perlindungan dari pemerintah seperti dari Allah. Itulah tugas pemerintah. Pemerintah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi itu bukan pemerintah, tetapi penipu dan koruptor. Pemerintah sejati adalah mementingkan kebaikan rakyat (tidak egois).

Kedua, pemerintah untuk menindak tegas orang jahat. Sebagai kontranya, Paulus mengajar bahwa pemerintah adalah pelayan Allah untuk membalaskan murka Alalh kepada mereka yang berbuat jahat. Untuk itulah, pemerintah menyandang pedang. Dengan kata lain, pemerintah berhak mutlak menghukum mati orang-orang yang telah berbuat jahat, mengapa? Karena ia diberi otoritas oleh Allah untuk menyandang pedang untuk membalaskan murka Allah kepada mereka yang berbuat jahat. Hukuman mati dilegalkan oleh Alkitab! Pemerintah yang mengolor-olor waktu menjatuhkan hukuman mati (dengan alasan “agama”) kepada orang-orang yang jelas kelihatan bersalah itu jelas bukan pemerintah sejati. Pemerintah sejati adalah pemerintah yang berani menindak tegas siapa pun yang bersalah tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, dll. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Sudahkah kita berdoa bagi pemerintah kita yang terlalu lunak terhadap sekelompok penjahat kelas kakap yang berjubah “agama?”


Karena pemerintah menyandang pedang, maka di ayat 5, Paulus mengatakan, “Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.” Pedang pemerintah dimaksudkan untuk membalaskan murka Allah. Tetapi apakah karena pedang itu, akhirnya kita takluk? Tidak. Paulus mengatakan bahwa kita perlu menaklukkan diri bukan HANYA karena pedang murka Allah, tetapi juga karena suara hati (NIV: conscience; Ind.: hati nurani). Di sini, Paulus mengajar bahwa sikap kita yang tunduk kepada pemerintah bukan tunduk kepada murka Allah melalui pedang pemerintah SAJA, tetapi lebih kepada hati nurani kita. Roh Kudus menerangi hati nurani kita agar kita tunduk kepada pemerintah yang tunduk kepada Allah. Ketika kita berani tunduk kepada pemerintah dengan hati nurani, di situ, kita membuktikan ketulusan sikap kita yang tunduk. Tetapi jika kita tunduk kepada pemerintah karena pedang, maka kita melakukannya dengan terpaksa. Tuhan lebih menuntut kita untuk tunduk kepada pemerintah dari hati kita, bukan karena murka Allah. Hal ini sama seperti pertobatan kita. Kita bertobat dan percaya kepada Kristus bukan takut murka dan hukuman Allah, tetapi sebagai reaksi dari hati kita yang telah disentuh kasih Allah yang menyelamatkan kita yang dikerjakan oleh Kristus melalui Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Sudahkah hati nurani kita dicerahkan Roh Kudus sehingga dari hati kita keluar suatu sikap yang tunduk kepada pemerintah? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: