04 January 2009

Matius 12:9-15a: IMAN DAN HUKUM-4 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 12 November 2006
Iman & Hukum (4)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:9-15a


Kristus adalah Tuhan atas hukum; Dia tidak berada di bawah hukum yang dibuat oleh manusia maka manusia harus taat pada-Nya. Perhatikan, hukum yang tidak didasari oleh motivasi cinta kasih akan mencelakakan hidup sebab orang dicengkeram oleh aturan yang bersifat materi. Hal inilah yang dialami oleh orang Yahudi, hidupnya menjadi sangat tertekan, mereka menjadi seorang legalis murni dimana mereka hanya tunduk pada hukum Sabat tanpa mengerti apa yang menjadi motivasi dibalik hukum maka tidaklah heran kalau hidup tak ubahnya sebuah robot. Di tengah dunia ini kita akan menjumpai dua sikap yang sangat ekstrim, yakni legalis, taat hukum atau antinomianis, penentang hukum. Orang yang tadinya legalis murni berubah menjadi antinomianis ketika ia merasa tertekan dan dirugikan hukum.

Firman Tuhan membukakan pada kita untuk kembali pada Kristus sebagai hukum yang hidup dimana hukum yang dibuat oleh-Nya adalah didasari atas motivasi kasih; hukum dibuat demi kebaikan manusia sendiri. Sayangnya, peraturan hukum yang diberlakukan di tengah dunia ini tidak dimotivasi oleh kasih tetapi sebaliknya hukum dibuat demi keuntungan diri. Ironisnya, orang Yahudi malah menolak Tuhan Yesus, Kebenaran sejati. Mereka sengit melawan Kristus tetapi ia tidak berhasil namun toh orang Farisi tidak menyerah, kembali mereka menghadapkan Yesus pada situasi dimana hukum dijadikan alat untuk menghancurkan orang lain.

Karena Allah sangat mengasihi manusia maka Ia memberikan hukum-Nya. Allah memberikan hukum untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Namun manusia berdosa menyelewengkan hukum Allah sedemikian rupa, yakni melawan hukum Sabat berarti melawan Allah dan hukumannya adalah mati. Perhatikan, apa yang dituduhkan orang Farisi ke murid-murid Tuhan Yesus – bukan masalah mencuri gandumnya tetapi lebih tepatnya, karena hal itu dilakukan pada hari Sabat. Beberapa penafsir menyatakan adalah biasa dilakukan oleh orang Yahudi memetik gandum orang lain hanya hal itu tidak dilakukan pada hari Sabat. Dalam berurusan dengan hukum manusia, orang Yahudi sangat kendor sekali; mereka tidak merasa bersalah atau berdosa kalau mereka telah merugikan orang lain berbeda halnya kalau berkaitan dengan hukum Sabat, begitu ketatnya sampai setiap hal yang bukan esensi dijadikan sebagai hukum Sabat. Mereka menganggap dengan melakukan hukum Sabat secara ketat berarti mereka sudah dekat dengan Tuhan.

Kejadian sebelumnya (Mat. 12:1-8) tidak menjadikan mereka sadar tetapi mereka malah berusaha kembali memakai hukum Sabat untuk menjebak Tuhan Yesus. Hari itu Sabat, Tuhan Yesus masuk ke Bait Allah dan disitu ada seorang yang mati sebelah tangannya; orang ini pastilah bukan pertama kali itu ada di depan Bait Allah dan ia juga tidak pernah berharap akan disembuhkan karena ia tahu hukum Sabat melarang hal itu. Ironis, pada saat yang sama mereka beribadah sekaligus tidak ada rasa belas kasihan. Hukum Sabat telah membekukan hati mereka. Dan lebih sukar dimengerti lagi adalah orang yang lumpuh sebelah tangannya ini dijadikan alat untuk menjebak Yesus. Tuhan Yesus dihadapkan pada dua pilihan, yakni berbuat baik atau melanggar hukum Sabat. Alkitab dengan jelas mencatat bahwa motivasi pertanyaan supaya dapat mempersalahkan Dia.

Betapa indah hidup ini kalau setiap hukum yang dibuat dan diperlakukan didasari oleh motivasi cinta kasih. Tuhan Yesus membukakan dengan memberikan contoh Daud dan para pengikutnya ketika lapar, mereka masuk ke dalam Bait Allah dan memakan makan roti sajian dan Tuhan Allah tidak marah, karena Tuhan tahu hukum bukan untuk membuat mereka kesulitan. Hukum bukan untuk menyusahkan orang tapi membuat hidup lebih baik namun sayang, mereka telah buta. Mereka tahu kalau Kristus selalu berbuat baik dan berbelas kasihan dan situasi ini dipakai oleh orang Yahudi untuk menjebak Kristus. Inilah sifat manusia berdosa – memakai hukum untuk berbuat kejahatan. Sepertinya tindakan yang dilakukan baik dan adil karena setiap tindakan didasari oleh hukum tapi motivasinya sangat jahat. Perhatikan, Alkitab tidak menanyakan atau menuliskan tentang pasal-pasal hukum tapi Alkitab membukakan tentang esensi, yakni motivasi hukum.

Tuhan Yesus membukakan kebenaran tapi orang tidak menjadikan orang bertobat malahan mereka berbuat lebih jahat lagi dengan bersekongkol hendak membunuh Tuhan Yesus (ay. 14). Dengan dalih legalitas hukum mereka menghadapkan Tuhan Yesus ke Pilatus dan membunuh Tuhan Yesus. Kebencianlah yang ada dibalik hukum. Hukum sejati didasari oleh kasih yang sejati dan hukum juga haruslah dikaitkan dengan nilai kehidupan, value of life dengan demikian kita dapat mengimplikasikan hukum dengan benar. Konsep nilai seharusnya membuat kita mengerti bagaimana mengimplementasikan hukum dengan tepat dengan demikian kita dapat melihat indahnya hukum.

Dari perilaku dasar orang Yahudi ini kita dapat mengevaluasi beberapa aspek, yakni:
Pertama, ketika kita melakukan atau memikirkan apapun juga yang menyangkut kehidupan, pernahkah kita mengkaitkannya dengan harkat kehidupan? Orang yang mempunyai harkat hidup rendah tidak akan melihat hidup sebagai sesuatu yang harus dibela atau diperjuangkan. Sebaliknya orang yang menghargai hidup akan terlihat dalam eksistensi hidupnya sehari-hari. Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang dicipta dengan kapasitas hikmat dan bijaksana. Tuhan tanamkan konsep epistemologi sehingga orang dapat mengerti dan kembali pada kebenaran dan juga konsep axiologi sehingga orang kembali pada nilai sejati. Betapa nyamannya hidup kita kalau orang dapat melihat kebenaran dan nilai hidup secara tepat. Kalau kita mau jujur, sesungguhnya seluruh motivasi hidup kita didasarkan atas: benar dan bernilai. Orang akan bersemangat dan berjuang keras bahkan kalau diperlukan orang akan berkorban nyawa untuk segala sesuatu yang dianggap benar dan bernilai di matanya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang dapat mengetahui bahwa apa yang ia anggap benar dan bernilai itu adalah benar-benar benar?

Betapa celaka hidup kita kalau ternyata yang selama ini kita anggap benar dan bernilai itu ternyata sampah. Kunci untuk memahami hal ini adalah iman, kemana dan kepada siapa kita serahkan hidup kita? Sudahkah kita berserah pada Tuhan Allah – the ultimate truth and the ultimate value? Orang Yahudi mempunyai konsep nilai yang salah, bagi mereka materi adalah segala-galanya sampai-sampai aspek rohani diturunkan ke dalam dunia materi. Tuhan Yesus menegaskan: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan bukan persembahan. Tuhan Yesus menegaskan hal ini karena Dia melihat manusia berdosa selalu mempertimbangkan materi atau untung rugi dalam melakukan sesuatu. Perhatikan, ketika sesuatu yang hidup diturunkan ke dalam dunia materi yang bersifat mati maka hidup itu telah menjadi mati sebelum dirinya sendiri mati. Hari ini, orang tidak mengerti esensi hidup – bagaimana seharusnya hidup berelasi dengan hidup, bagaimana hidup mempertumbuhkan hidup. Orang bisa mempunyai hukum yang sangat ketat tetapi sesungguhnya kerusakanlah yang ada dibalik hukum tersebut. Biarlah kita dipakai Tuhan untuk menjadi saksi di tengah dunia yang gelap, ketika kita dipercaya untuk menata hukum maka hukum tersebut haruslah dirancang untuk kebaikan dan kebaikan bersama.

Kedua, Orang Yahudi memakai hukum sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan materi bagi diri. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang Yahudi tidak mengenal hakekat “perbuatan baik“? Jawabnya: semua perbuatan baik yang dipikirkan oleh orang Yahudi bersifat egois. Hal ini nampak dari sikap mereka yang berbelas kasih pada orang yang lumpuh sebelah tangannya yang ada di Bait Allah. Kalaupun mereka peduli itupun hanya sekedar memberikan uang sedekah dan uang itupun tidak boleh melanggar hukum Sabat. Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi motivasi mereka maka Tuhan menanyakan balik pada mereka: “Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya?“ Orang Yahudi yang materialis pasti akan mengeluarkan domba itu akan tetapi dalam hal ini, Tuhan Yesus tidak menguji soal materi tetapi Tuhan Yesus menegur keegoisan mereka.

Situasi akan berbeda kalau yang jatuh domba orang lain, ia tidak akan menolongnya karena ia beranggapan kemalangan orang lain bukanlah urusan mereka. Hukum tidak lagi berbicara soal hukum tetapi hukum telah diselewengkan, hukum menjadi implementasi dari egoisme manusia. Berapa nilai sebuah domba dibandingkan dengan nyawa sebuah manusia? Kalau demi seekor domba, orang melanggar hukum Sabat tapi kenapa melihat orang yang menderita, orang tidak peduli? Hati nurani telah menjadi beku. Manusia egois menghitung segala sesuatu dari untung rugi saja. Inilah jiwa manusia berdosa. Biarlah kita sebagai anak Tuhan yang telah menerima anugerah keselamatan senantiasa dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil Tuhan karena kita tahu, jiwa manusia lebih berharga dari apapun juga yang di dunia ini. Kristus telah membayar lunas semua hutang manusia berdosa dan harganya sangat mahal. Ingat, hukum bukan bertujuan yang hidup menjadi mati tetapi sebaliknya, hukum harus membuat manusia yang mati menjadi hidup kembali. Tuhan Yesus ingin supaya setiap anak-anak-Nya mempunyai jiwa altruistik dan tidak mementingkan diri. Adalah sifat manusia berdosa yang tidak suka jika ditegur akan dosa. Hal ini menyadarkan kita bahwa hanya anugerah kalau kita dapat disadarkan akan dosa dan bertobat. Namun sangatlah disayangkan, hari ini Injil mulai diselewengkan menjadi materialis. Perhatikan, Injil yang sifatnya materialis adalah injil palsu. Biarlah hal tersebut mendorong kita untuk mengabarkan Injil Kristus dan memakai hidup untuk mengejar sesuatu yang bernilai kekal.

Ketiga, Hukum membawa kita pada hidup yang sejati akan mempengaruhi seluruh eksistensi hidup kita. Orang Yahudi mengkaitkan hukum dengan iman namun amatlah disayangkan iman disini adalah iman yang salah; mereka mencoba memilah antara sifat Ilahi Allah dengan hukum Allah. Feuerbach menyatakan Tuhan itu tidak lebih hanyalah ciptaan manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa manusia. Allah tidak lebih hanya sebuah cermin yang berada di metafisika, di sorga dan manusia yang mempunyai konsep pemikiran tersendiri memantulkannya ke dalam cermin tersebut lalu kita tangkap lagi maka hasil pantulan itulah yang kita sebut Allah. Salah! Allah hasil pantulan ideologi manusia bukanlah Allah yang sejati.
Iman sejati seharusnya menjadi iman yang muncul dari Tuhan kembali kepada manusia. Wahyu seharusnya nyata dalam diri manusia akan tetapi di dalam dunia, wahyu mengalami pergeseran; apa yang dari atas tidak lebih hanya sebuah idealisme belaka dan apa yang menjadi ideologi kita itulah yang menjadi realita. Hati-hati janganlah kita terjatuh dalam dualisme, yakni masuk dalam realita dan melepaskan idealisme atau masuk dalam idealisme Allah dan melepaskan realita. Ketika orang mau menjadikan Allah realistis, ia tidak akan pernah menemukan Allah yang sejati maka tidaklah heran kalau kita mendengar ada orang yang berpendapat bahwa Allah itu jahat ketika dilihatnya Allah dalam Perjanjian Lama yang langsung menghukum dan membunuh orang yang berbuat dosa. Pertanyaannya adalah siapakah manusia sehingga manusia berani mengatur Allah? Ingat, manusia yang harus tunduk dan taat pada Allah bukan sebaliknya. Bayangkan, apa jadinya dunia ini kalau orang yang berbuat jahat tidak dihukum? Inilah natur manusia berdosa, orang tidak kembali pada kebenaran sejati tetapi orang justru mau mengatur Allah seturut kemauannya; Allah dicipta adalah allah yang realistis, allah yang cocok dengan keingannya. Perhatikan, ini bukanlah allah sejati.
Manusia menyadari akan kesalahannya maka manusia mulai masuk dalam ekstrim yang lain, yaitu membuang semua realita dan masuk dalam idealisme seperti yang tertulis dalam Alkitab maka orang menemukan Allah yang sempurna, Allah yang ideal akibatnya hidup manusia menjadi tertekan. Puji Tuhan, Tuhan Yesus membukakan pada kita tentang hukum yang sifatnya paradoxical. Tuhan Yesus memberikan hukum kepada manusia sebagai suatu sarana supaya manusia tidak hidup dalam dosa; hukum merupakan sarana untuk membangun hidup manusia dari harkat yang rendah menuju kepada harkat yang tinggi. Kalau kita mengerti motivasi hukum maka orang akan memahami bahwa apa yang menjadi idealisme Allah itu justru menjadi cita-cita yang selalu berproses dalam kehidupan manusia. Hukum itu membuat manusia berproses dari kondisi riil menuju pada ideal.
Adalah benar Kekristenan menuntut kesempurnaan seperti yang Tuhan inginkan dan kita tidak lari ke dunia realita tetapi ketika standar Allah ditetapkan maka manusia harus berproses bukan berarti implikasinya semua manusia sudah ideal. Tidak! Inilah hukum yang bersifat paradoks. Standar ideal tidak diturunkan tetapi hukum sejati membawa manusia bertumbuh dari proses menuju ideal seperti yang ditetapkan Allah. Namun sangatlah disayangkan, hari ini banyak gereja yang menurunkan standar dan orang sudah berpuas diri karena merasa sudah mencapai standar ideal padahal standar ideal yang sesungguhnya masih jauh dari sempurna. Ingat, hukum bukan sekedar legalitas yang dipaksakan sehingga membuat hidup manusia menjadi tertekan. Ketika Tuhan Yesus mengajak manusia melihat hukum dijalankan maka saat itu, orang Farisi harusnya memahami dan melihat hukum yang sejati, hukum yang agung. Akan tetapi mereka justru menghukum Kristus. Perhatikan, ketika Tuhan Yesus ditentang oleh orang Yahudi maka hal itu tidak menjadikan Kristus mundur sebaliknya Kristus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan atas hukum. Tuhan Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya dan bukan hanya satu orang itu yang disembuhkan, tidak tapi Ia menyembuhkan banyak orang (Mat. 12:15b). Kebenaran sejati tidak boleh dikunci oleh kematian ataupun hukum, kebenaran sejati harus berada di atas semua itu.
Demikian pula halnya dengan orang Kristen, kita bukanlah orang yang legalis atau antinomian, kita tidak dikunci oleh budaya manusia yang berdosa tapi kita harus menerobos budaya dari semua keterkuncian budaya. Biarlah kita dipakai Tuhan untuk menjadi saksi-Nya sehingga dimanapun kita berada dan menetapkan suatu hukum maka hukum itu makin membawa orang berproses menuju pada kesempurnaan, mencapai nilai hidup yang mulia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: