20 August 2008

Bagian 5 (habis)

V. Kehendak dan Pimpinan Allah Vs Kehendak dan Pimpinan Manusia dan Sikap Orang Percaya yang Benar
A. Bentrokan Kehendak dan Pimpinan Allah Vs Kehendak dan Pimpinan Manusia
Kita tadi telah mempelajari bahwa mengerti kehendak dan pimpinan Allah harus bersumber dari dan diuji oleh kebenaran Firman Allah dan pergumulan di dalam doa. Tetapi fakta mengatakan bahwa sering kali kita mendapatkan dilema yaitu apa yang Allah pimpin dalam hidup kita bertentangan dengan apa yang manusia (misalnya, sahabat, orangtua, dll) katakan/ajarkan. Mengapa terjadi bentrokan ini? Karena ada dua presuposisi dasar yang melatarbelakangi dua bentrokan ini. Presuposisi Alkitabiah adalah presuposisi yang berpusat pada Allah, sedangkan presuposisi non-Alkitabiah (dunia sekuler) MAYORITAS adalah presuposisi yang berpusat pada manusia berdosa. Presuposisi yang berpusat pada Allah adalah presuposisi yang melihat esensi lebih penting daripada fenomena, sedangkan presuposisi yang berpusat pada manusia berdosa adalah presuposisi yang melihat hal-hal fenomena lebih penting ketimbang hal-hal esensi (bahkan tidak sedikit yang membuang hal-hal esensial demi memutlakkan hal-hal fenomenal—meskipun orang ini tidak pernah mau mengakuinya secara terus terang). Untuk mengetahui perbedaan yang tajam antara dua presuposisi ini, perhatikan apa yang Allah sendiri firmankan kepada Nabi Samuel ketika hendak memilih Daud sebagai raja menggantikan Saul, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7) Ada banyak contoh kasus tentang bentrokan ini dan saya akan memberikan contoh tersebut. Contoh ini saya bagi menjadi dua kasus, yaitu tentang pasangan hidup dan pekerjaan. Kedua, contoh ini saya letakkan antara bentrokan yang terjadi antara otoritas sejati (Allah) dengan otoritas pemberian (orangtua).

1. Tentang pasangan hidup
Misalnya, jika Alkitab mengajar bahwa orang percaya mencari pasangan hidup yang seiman, maka di sisi lain, orangtua yang mengaku diri “Kristen” mengajar anaknya bahwa pasangan tidak seiman pun tidak menjadi masalah, karena pasangan kita bisa diinjili (motivasi penginjilan yang keliru). Contoh kedua, Alkitab tidak pernah mengajar bahwa di dalam memilih pasangan hidup, kita harus memerhatikan bibit, bobot, dan bebet sebagai hal yang primer (karena bagi mereka, soal seiman atau tidak, cinta Tuhan atau tidak, itu hal yang sekunder), sedangkan ada banyak orangtua yang sudah diracuni oleh pikiran dunia lalu mengajar anaknya bahwa bibit, bobot, dan bebet itu penting. Contoh ketiga, Alkitab tidak pernah mengajar bahwa fisik, pendidikan, dll pasangan itu yang terpenting, tetapi ada orangtua yang terlalu memerhatikan hal-hal sekunder itu sebagai hal penting, misalnya, ada orangtua yang sampai-sampai memerhatikan flek pada pipi teman cewek yang dikenalkan anaknya yang cowok, lalu mengatakan bahwa hal itu berbahaya. Ada juga orangtua yang mengatakan bahwa teman cewek yang dikenalkan anaknya yang cowoknya itu bakat gendut (maksudnya, suatu hari cewek ini akan gendut), maka jangan memilih teman cewek itu sebagai pasangan hidup. Ada juga orangtua yang memerhatikan teman cewek (atau cowok) dari anaknya yang cowok (atau cewek) itu hidungnya harus mancung, cantik/tampan, dari keluarga yang kaya/berada, tidak boleh berkacamata, pendidikan harus setara (tidak boleh lebih rendah), dll.

2. Tentang pekerjaan
Tidak sedikit orangtua dunia (yang lebih menyedihkan lagi: orangtua “Kristen” termasuk di dalamnya) menyarankan (lebih tepatnya “memaksa”) anaknya untuk meneruskan pekerjaan orangtuanya. Ketika anaknya ini telah bergumul di hadapan Tuhan tentang pekerjaan yang BERBEDA dari pekerjaan orangtuanya, orangtuanya langsung “marah” dan terus menguliahi anaknya agar anaknya meneruskan usaha yang telah dirintis orangtuanya bahkan sejak kecil/remaja (misalnya, berbisnis, dll), karena dengan berbisnis ini, anaknya tidak usah lagi “ikut orang”, lalu “menakuti-nakuti” anaknya bahwa kalau kerja “ikut orang” itu tidak enak. Meskipun dengan dalih agar anaknya bergumul di hadapan Tuhan terlebih dahulu, orangtua ini tetap menguliahi anaknya bukan untuk bergumul mencari kehendak Tuhan, tetapi untuk meneruskan usaha orangtuanya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, ada orangtua memiliki anak yang menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan penuh waktu, lalu orangtua ini menguliahi anaknya agar jika anaknya sudah menjadi hamba Tuhan penuh waktu, biarkan istri anaknya nanti meneruskan usaha orangtuanya (yang tidak diteruskan oleh anaknya). Inilah motivasi jahat yang terselubung atas nama “Tuhan” dan “Kristen.”

Dari dua contoh kasus di atas, kita mengerti bahwa apa yang dunia ajarkan adalah hal-hal yang fenomenal, sedangkan apa yang Alkitab ajarkan pasti hal-hal yang esensial dan memuliakan Allah. Menanggapi bentrokan ini, ada dua reaksi yang terjadi ketika ada dilema ini, yaitu, di satu sisi, ada orang yang karena terlalu “cinta” dengan (atau “dipaksa” oleh?) orang-orang dekat (misalnya, pacar, istri, orangtua, saudara, rekan, dll), mereka mengorbankan kehendak dan pimpinan Allah, sedangkan di sisi lain, ada orang yang frustasi mengalami dilema ini, lalu akhirnya memutuskan untuk mengikuti kata hatinya sendiri. Dua reaksi ini jelas-jelas salah, karena hal tersebut tidak pernah memuliakan Allah! Lalu, bagaimana sikap orang Kristen sebenarnya?

B. Sikap Orang Kristen Sebenarnya dalam Menghadapi Dua Bentrokan Ini
Di dalam menghadapi bentrokan ini, orang Kristen yang sejati seharusnya lebih mementingkan dan mencintai Tuhan dan firman-Nya ketimbang orang lain. Tetapi hal ini tidak berarti kita membenci orang lain. Yang dimaksud di sini, kita mencintai Tuhan lebih daripada kita mencintai siapa pun di dunia ini bahkan orang yang paling kita kasihi/cintai. Tuhan Yesus mengajar, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat. 22:37) Ayat ini disambung oleh ayat 38 yang mengajar bahwa itulah hukum yang terutama dan pertama. Berarti, tidak ada kasih kepada diri sendiri dan sesama tanpa bersumber dari kasih kepada Allah. Jangan pernah membalik urutan ini! Dengan kata lain, dengan prinsip mengasihi Allah dan firman-Nya, maka kita bisa mengambil satu kesimpulan dasar bahwa di dalam mengatasi bentrokan antara pimpinan Allah vs pimpinan manusia, kita harus lebih menaati perintah Allah ketimbang perintah manusia. Rasul Petrus dan para rasul lain berani berkata hal serupa ketika diperhadapkan di depan Mahkamah Agama Yahudi, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis. 5:29) Beranikah kita berkata demikian meskipun harus dimusuhi oleh sahabat/rekan, saudara, pasangan (pacar/istri), bahkan orangtua kita? Jika kita berani, itu tandanya kita anak Tuhan sejati, jika tidak, itu tandanya kita belum mengerti kehendak Tuhan. Biarlah tantangan ini menjadi introspeksi diri kita masing-masing.

Setelah kita berkomitmen untuk lebih menaati Allah, lalu apa yang harus kita lakukan jika bentrokan ini terjadi pada kita? Saya membagi 2 sikap yang harus diambil oleh orang Kristen:
1. Jika bentrokan ini bukan merupakan hal yang primer, lihatlah cara kerja Allah di balik semua itu
Bentrokan ini harus dibedakan menjadi dua, yaitu bentrokan yang tidak bersifat primer dan bentrokan primer. Jika bentrokan ini tidak bersifat primer, kita bisa mempertimbangkan saran dari orang dekat kita dan melihat cara kerja Allah di baliknya. Yang saya maksud dengan bentrokan bukan secara primer ada dua: pertama, kita mendapat pimpinan Allah yang belum begitu jelas, sehingga kita bisa mempertimbangkan saran dari orang dekat kita (terutama orangtua), kedua, jika kita ditawari dua pilihan (baik itu dalam pekerjaan atau pasangan) yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan, kita mungkin bisa mempertimbangkan saran orang dekat kita (terutama orangtua).
Untuk pengertian pertama, saya memiliki kesaksian tersendiri. Sejak SMP, saya seolah-olah mendapatkan panggilan Tuhan menjadi hamba-Nya, tetapi hal tersebut belum jelas. Itu mungkin keinginan saya waktu itu. Sehingga saya sudah lulus SMU, keinginan saya ingin menjadi hamba Tuhan penuh waktu sedikit ditentang oleh orangtua dan ibu saya menyarankan saya untuk mengambil pendidikan sekuler terlebih dahulu. Waktu itu, sejujurnya, saya kurang suka, tetapi Allah memimpin saya di dalam dunia sekuler tersebut. Ketika saya sedang menjalani tes masuk menjadi salah satu mahasiswa universitas Kristen swasta di Surabaya, di situ, saya biasa-biasa saja, bahkan saya terkesan tidak ada harapan, karena waktu ujian logika, saya lemah di situ. Saya sempat berpikir, kalau tidak diterima di situ, ya, saya masuk universitas Katolik yang sebelumnya juga saya telah pilih sebagai tempat kuliah selain universitas Kristen tersebut. Tetapi puji Tuhan, akhirnya saya diterima menjadi mahasiswa Sastra Inggris di kampus Kristen tersebut. Di situ, Tuhan mulai memproses dan membentuk saya. Awal-awal perkuliahan terasa biasa saja. Kemudian, sejak tahun 2004 (semester awal), saya berpindah gereja ke Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya dan saya banyak mendapat pendidikan iman Kristen di gereja tersebut. Khususnya kira-kira tahun 2006, saya mendapatkan pengajaran iman Kristen di GRII Andhika tentang mandat budaya yang harus dilakukan oleh orang Kristen. Sejak saat itu, saya terus bergumul bagaimana menjalankan mandat budaya di lingkungan sekuler. Akhirnya, saya mencobanya mulai ketika menyampaikan presentasi di perkuliahan Speaking 6. Di dalam presentasi berpasangan/pair presentation (sebagai tugas Ujian Tengah Semester) tersebut, saya memberanikan diri memasukkan unsur iman Kristen ketika membahas tentang pendidikan. Di situ, dosen saya melarang saya untuk menyampaikan hal-hal berkaitan dengan iman Kristen dengan dalih, “iman dan sains itu tidak ada hubungannya.” Saya tidak memerhatikan omongan dosen itu, di dalam presentasi berikutnya sebagai tugas Ujian Akhir Semester, saya kembali memasukkan unsur iman Kristen meninjau masalah feminisme. Kembali, saya dikuliahi oleh sang dosen “Kristen” ini dan saya tidak memedulikannya.
Bukan hanya di perkuliahan Speaking 6, bahkan ketika saya akan membuat skripsi, saya pun terbersit bagaimana memberitakan Injil di dalam skripsi dan akhirnya ide saya ini pun terlaksana. Ketika saya memiliki dosen pembimbing Kristen, saya mengajukan dan terus berkonsultasi tentang skripsi saya yang isinya mengandung Kekristenan. Dosen pembimbing saya tidak mempermasalahkannya. Baru setelah saya selesai sidang skripsi dan proses pengurusan skripsi dan wisuda, teman saya berkata kepada saya bahwa dosen pembimbing saya ini mengajar di perkuliahan (di mana teman saya mengikuti kelasnya) dan menyuruh para mahasiswa untuk membuat paper yang bermuatan rohani. Ketika saya diberi tahu hal ini oleh teman saya, saya langsung kaget. Ternyata perjuangan saya menjalankan mandat budaya tidak sia-sia. Roh Kudus bekerja luar biasa dahsyat, sehingga nama Allah dipermuliakan. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa Tuhan memakai ibu saya yang menentang saya sementara untuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu di atas untuk mendidik saya bagaimana menjalankan mandat budaya dan memberitakan Injil di dalam perkuliahan dan bahkan skripsi serta mengalami penyertaan Roh Kudus yang luar biasa ketika saya menyampaikan presentasi (saya tidak bisa menceritakan terlalu panjang lebar di sini).
Bentrokan yang tidak bersifat primer dalam pengertian kedua dapat diartikan jika ada dua pilihan yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan, kita bisa meminta pertimbangan orang dekat (terutama orangtua). Misalnya, ketika kita ditawari dua macam profesi, yaitu, karyawan perusahaan impor dengan karyawan perusahaan mesin. Kedua profesi ini sama-sama baik dan memuliakan Tuhan (lain halnya jika kita menjadi karyawan perusahaan rokok atau minuman keras/bir). Untuk kedua profesi yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan ini, kita bisa meminta pertimbangan dari orangtua (atau sahabat/saudara) kita, mana yang baik, khususnya pertimbangan lokasi, waktu, dll (bukan melulu masalah gaji). Atau misalnya, sebagai pemuda, kita memiliki 2 teman cewek yang sama-sama baik dan cinta Tuhan, kita bisa meminta pertimbangan orangtua [atau sahabat kita] tentang teman cewek yang benar-benar baik, seperti pertimbangan usia yang lebih cocok. Di sini, pertimbangan orang dekat bisa kita pikirkan ulang, supaya kita tidak salah pilih pekerjaan atau pasangan hidup.

2. Jika bentrokan ini merupakan hal yang primer dan sangat signifikan menentukan makna dan tujuan hidup kita, pilihlah untuk lebih taat kepada Allah!
Tetapi, jika bentrokan ini merupakan hal yang primer dan sangat signifikan, kita tetap perlu mempertimbangkan saran dari orangtua (dan orang-orang dekat kita), tetapi pertimbangan itu harus diuji dan ditundukkan di bawah otoritas pimpinan Allah. Saya akan memberikan analisa terhadap dua contoh kasus di atas (Poin A) sebagai tanda/bukti kita lebih taat kepada pimpinan Allah.
Pertama, tentang pasangan hidup. Ada orangtua yang mengajarkan anaknya ketika memilih pasangan hidup, perhatikanlah, apakah pasangannya itu: berasal dari keluarga kaya/berada, tampan/cantik, memiliki bibit, bobot, dan bebet yang baik, hidungnya mancung, pendidikan setara, karakter baik, tidak memiliki rekor sakit parah, dll. Mengapa ada orangtua yang begitu protective-nya menetapkan standar-standar tertentu bagi anaknya dalam mencari pasangan hidup? Mungkin sekali orangtua tersebut terlalu sayang dengan anaknya dan menginginkan agar anaknya hidup bahagia dengan pasangannya kelak. Itu motivasi yang baik. Tetapi jika motivasi itu ditunggangi dengan pola pikir memaksakan agar selera anaknya harus 100% cocok dengan selera orangtuanya (bukan cocok dengan selera Tuhan), maka motivasi itu salah dan jahat! Ingatlah para orangtua (khususnya bagi banyak ibu yang agak cerewet), anak-anak Anda (cowok) kawin dengan pasangan cewek, bukan kawin dengan Anda, hai ibu, jadi jangan terlalu memaksakan anak Anda apalagi cowok untuk mencari pasangannya! Bagaimana sikap kita sebagai anak terhadap konsep orangtua tersebut? Taat mutlak? TIDAK! Ingat, prinsip memilih pasangan hidup yang telah saya bahas di atas adalah: lawan jenis, cinta Tuhan/seiman, dan sepadan. Ketiga prinsip utama ini menjadi dasar uji bagaimana memilih pasangan hidup yang baik.
Lalu, bagaimana dengan asumsi orangtua yang mendidik anaknya agar anaknya mencari pasangan yang memiliki bibit, bobot, dan bebet? Presuposisi di balik asumsi itu adalah jika orangtuanya bajingan, maka anaknya pasti bajingan, oleh karena itu, jangan memilih pasangan yang orangtuanya tidak beres. Tetapi, benarkah realita seperti itu? TIDAK juga! Itu generalisasi yang tidak menjamin keabsahannya. Fakta membuktikan bahwa ada anak yang bajingan justru lahir dari orangtua yang baik, sebaliknya ada juga anak yang baik lahir dari orangtua yang tidak karuan. Nah, bukankah telah dikatakan bahwa Alkitab memerintahkan kita mencari pasangan yang seiman/cinta Tuhan? Pasangan hidup kita yang sungguh-sungguh cinta Tuhan, meskipun lahir dari orangtua yang kurang baik, tentu tidak akan terpengaruh oleh orangtuanya yang kurang baik. Jika pasangan kita itu sungguh-sungguh cinta Tuhan, tetapi orangtuanya mencoba memengaruhi dia dengan pikiran jahat, pasangan kita itu pasti menolaknya dan mengikuti apa yang Tuhan mau. Bahkan mungkin sekali, pasangan kita ini nantinya memengaruhi orangtuanya sehingga mereka bertobat. Di sini, konsep bibit, bobot, dan bebet dipatahkan dengan konsep cinta Tuhan.

Selain itu, ada orangtua yang mengajar anaknya untuk mencari pasangan yang tidak memiliki rekor penyakit parah apa pun, misalnya tidak pernah geger otak, darah tinggi, dll, karena itu bisa merupakan penyakit turunan atau bisa kambuh lagi. Alasannya, orang yang sudah pernah geger otak, katanya bisa kambuh lagi, dan lama-lama bisa meninggal. Nasihat orangtua ini baik, tetapi bukan suatu hal yang mutlak! Mengapa?
Pertama, kita harus lebih mempertimbangkan aspek-aspek primer ketimbang sekunder. Jikalau andaikata seumpama (if clause) pasangan kita yang jelas-jelas dipimpin Tuhan benar-benar seorang yang cinta Tuhan, cinta orangtua, mencintai kita, sepadan dengan kita, tulus, baik, apa adanya, tetapi sayangnya dia pernah geger otak. Apakah kita rela meninggalkan dia yang geger otak hanya demi mencari pasangan yang tidak geger otak? Jika memang demikian, berarti kita telah memutlakkan kriteria pasangan yang tidak boleh geger otak (meskipun mulut kita mengaku itu bukan hal yang mutlak). Lalu, kita mencari pasangan yang tidak geger otak, tetapi hal tersebut tidak dipimpin Tuhan, karena dia tidak cinta Tuhan, meskipun kelihatannya dia aktif ke gereja. Jika orangtua kita menyarankan kita memilih pasangan kedua hanya gara-gara dia tidak geger otak saja dan kelihatan aktif ke gereja (meskipun belum tentu itu menandakan dia cinta Tuhan), sebagai anak, kita TIDAK perlu mendengarkan saran orangtua kita, jika itu tidak sesuai dengan pimpinan Tuhan! Kalau Tuhan memimpin dengan jelas, pilihlah pasangan yang pertama dengan resiko siap merawat pasangan kita jika memang suatu saat penyakitnya kambuh lagi. Di sini, kasih mengatasi segala kesulitan dan di dalam kasih ada pengorbanan. Ingatlah, seberapa besar kasih Allah kepada kita di dalam Kristus tanpa melihat kecakapan dan kebaikan dari kita. Jika kita terlalu memerhatikan aspek-aspek sekunder di dalam memilih pasangan hidup, tidakkah kita pernah merenungkan betapa besar kasih Allah kepada kita yang bukan hanya jelek, tetapi parah, kumal, najis, bahkan berdosa? Kasih Allah di dalam Kristus menebus umat-Nya tanpa memandang seberapa najis, jorok, jijik, dan berdosanya kita. Ia mengasihi kita. Apakah kita juga tidak mengasihi pasangan kita yang dipimpin Tuhan itu meskipun ada sedikit kekurangan? (tetapi hal ini tidak berarti kita mencintai pasangan kita karena kasihan dengan dia)
Kedua, kita TIDAK pernah menikah dengan seorang yang sempurna seperti malaikat atau Tuhan! Ingatlah, jika ada orangtua yang menetapkan syarat-syarat mutlak pasangan hidup bagi anaknya, orangtua tersebut sebenarnya memiliki ide yang terlalu sempurna yaitu ingin menikahkan anaknya dengan malaikat! Dan jika ada orangtua seperti itu, percayalah, anaknya tidak akan pernah menikah selamanya. Dalam hal ini, orangtua ini sudah berdosa karena menetapkan kriteria-kriteria mutlak sempurna yang tidak akan pernah ditemui di dalam pribadi siapa pun, lalu mengakibatkan anak ini tidak mau menikah (dan bahkan ada yang menjadi homo)! Ingatlah, tidak ada seorang pun yang sempurna. Jika ada orangtua yang memaksakan syarat-syarat MUTLAK tentang pasangan hidup bagi anaknya, tolong perhatikan di bagian lain, orangtua pasangan lain juga menuntut hal yang serupa, apakah anak kita itu cukup baik? Ada orangtua yang menginginkan pasangan hidup yang sempurna (seperti bidadari: tinggi, manis, cantik, baik, tulus, jujur, langsing, dll), tetapi orangtua ini tidak sadar bahwa anaknya parahnya bukan main. Jadi, sebelum menetapkan syarat-syarat tertentu, coba periksa kondisi anak Anda yang kepadanya orangtua (Anda) menetapkan syarat mutlak tentang pasangan hidupnya.
Ketiga, rekor penyakit tidak menjamin. Apakah pasangan kita yang sudah pernah geger otak (karena kecelakaan) pasti mengalami geger otak lagi (dan lupa)? Tidak. Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri sudah pernah mengalami geger otak sebanyak 3 kali, tetapi sampai sekarang (68 tahun–2008), beliau masih berkhotbah dengan suara yang keras dan dengan daya ingat yang kuat. Jika kita terus memerhatikan apakah pasangan hidup yang dikenalkan kepada kita memiliki penyakit turunan atau yang lain, kita tidak usah menikah dengan dia, kita cukup menjadi sejarawan saja! Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajar bahwa kalau kita menikah, kita menikah dengan masa depan pasangan kita, bukan masa lalu pasangan kita!
Keempat, cara kerja Tuhan jauh melampaui pikiran manusia berdosa yang terbatas. Kita sering berpikir bahwa kalau pasangan kita pernah mengalami penyakit parah, maka kita tidak usah menikah dengan orang ini, karena pasti penyakitnya akan kambuh lagi (jika geger otak). Benarkah demikian? Penyakit separah apa pun, jika Tuhan mau menyembuhkan, maka penyakit itu sembuh. Ia akan menggagalkan dan menghina semua pikiran kita yang duniawi dengan bekerja melampaui pikiran kita, Ia menyembuhkan penyakit pasangan kita (yang Tuhan telah pimpin), sehingga pasangan kita tidak sakit lagi. Jika kita masih mengunci pemikiran kita bahwa orang yang sudah pernah sakit pasti kambuh lagi, berarti kita tidak lagi percaya kepada Allah yang Mahadahsyat yang mampu menyembuhkan penyakit jika itu sesuai dengan kehendak-Nya.

Contoh berikutnya, ada orangtua yang menyarankan anaknya memilih pasangan hidup yang pendidikannya setara. Benarkah konsep ini? Apakah jika pasangan kita memiliki pendidikan D-3 di kampus biasa, sedangkan kita berpendidikan S-1 atau S-2 dari kampus terkenal menjamin bahwa kita lebih pintar dan bijak ketimbang pasangan kita? Belum tentu. Pendidikan bukanlah kriteria utama. Tidak sedikit dosen yang berpendidikan S-2 ternyata logika dan pernyataannya lebih bodoh ketimbang mahasiswanya yang belum meraih gelar sarjana. Utamakan cinta Tuhan lebih daripada gelar akademis (meskipun tentu akademis itu tetap penting)!

Contoh terakhir, ada orangtua yang memerhatikan fisik calon pasangan anaknya. Jika ada orangtua seperti itu, maka jangan pernah mendengarkan saran itu, karena saran itu sampah adanya. Orangtua yang lebih memerhatikan unsur fisik, misalnya hidungnya kurang mancung (alias pesek), bakat gendut, dll, lebih baik orangtua ini mengelola salon kecantikan saja! Orangtua ini tidak sadar bahwa yang menikah adalah anaknya bukan dia!

Kedua, tentang pekerjaan. Ada orangtua yang memiliki usaha sendiri lalu menyarankan anaknya (anak tunggalnya) untuk mewarisi usaha orangtuanya itu dengan dalih, jika bukan anaknya yang meneruskan, siapa lagi yang meneruskan? Bahkan ada orangtua yang menguliahi anaknya untuk meneruskan usaha orangtuanya ini, karena rekan-rekannya di tempat usaha lainnya menyindir orangtua ini mengapa anaknya tidak membantu/meneruskan. Di sini, sang anak harus memikirkan apa pimpinan Tuhan bagi hidupnya khususnya mengenai pekerjaan? Jika Tuhan memimpin dengan jelas tentang pekerjaan yang harus dia lakukan, maka ia tidak perlu takut jika itu melawan orangtua, karena pimpinan Tuhan yang lebih penting. Dan lagi orangtua Kristen yang taat dan setia kepada Tuhan tidak perlu kecewa jika usahanya tidak diteruskan oleh anaknya (anak tunggalnya), malahan orangtua ini harus bersukacita karena anaknya lebih taat kepada pimpinan Tuhan ketimbang pimpinan orangtua. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, justru ada orangtua “Kristen” yang tidak ditaati langsung “marah” dan mengomel bahwa anaknya membangkang, dll, padahal anaknya lebih menaati pimpinan Tuhan. Inilah logika orangtua “Kristen” yang berdosa. Di mata dunia sekuler, hal ini kelihatan logis, tetapi di mata Allah, hal ini sama sekali tidak logis dan mendukakan hati-Nya! Orangtua Kristen yang sudah tidak lagi mengarahkan anaknya untuk lebih menaati pimpinan Allah dan mengambil alih pimpinan Allah dengan menyamakannya MUTLAK dengan saran/pimpinan orangtua, berhati-hatilah, orangtua tersebut sedang menuju ke arah dosa, yaitu mengambil alih posisi Allah sebagai Pusat dan Sumber! Jangan pernah alihkan fokus rohani kita dari Allah kepada yang lain, karena jika kita melakukannya, Tuhan membenci hal tersebut!


Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki kerinduan lebih mengutamakan kehendak dan pimpinan Tuhan? Ataukah kita lebih mengutamakan kehendak diri dan orang-orang dekat kita demi memuaskan diri kita dan mereka? Sikap kita mencerminkan siapa kita sebenarnya, anak Tuhan sejati atau “anak Tuhan” palsu yang sedang indekos di dalam gereja. Hari ini, kepada siapakah kita meletakkan makna dan tujuan hidup kita? Kepada Allah SAJA kah? Atau juga kepada diri, orangtua, pacar, sahabat, saudara, dan istri kita? Jangan pernah mendua hati, karena Allah membenci orang yang mendua hati! Selagi Tuhan memberi kita kesempatan untuk bertobat, pergunakan waktunya sekarang: BERTOBATLAH! Carilah kehendak dan pimpinan Tuhan dalam hidup kita, maka percayalah, hidup kita pasti memiliki makna dan tujuan yang indah untuk memuliakan-Nya, sebagaimana yang pernah dikatakan Tuhan Yesus, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10) Sudahkah kita memiliki hidup yang berkelimpahan (bukan dalam arti jasmani) di dalam Kristus? Amin. Soli Deo Gloria.



Catatan kaki:
1. Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.
2. Cornelius Van Til, The Defense of the Faith (USA: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1955), hlm. 15.
3. Ilustrasi dan penjelasan ini didapat dari pengajaran Pdt. Sutjipto Subeno. Untuk lebih jelasnya, silahkan membeli dan membaca buku Indahnya Pernikahan Kristen (Surabaya: Penerbit Momentum, 2008) yang ditulis oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Bahan studi lebih lanjut tentang Mengerti Kehendak Allah:
1. Mengetahui Kehendak Allah (Pdt. Dr. Stephen Tong)–Harga: Rp 45.000, 00 (harga anggota: Rp 33.750, 00)
2. Pergumulan Mengerti Kehendak Allah: Tafsiran Kitab Habakuk (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.) – Harga: Rp 30.000, 00 (harga anggota: Rp 22.500, 00)


Dapatkan kedua buku ini di Toko Buku Momentum:
www.momentum.or.id

No comments: