20 August 2008

Bagian 3 dan 4

III. Aplikasi Dosa sebagai Hambatan-hambatan dalam Mengerti Makna dan Tujuan Hidup Manusia
Setelah kita mengerti bahwa dosa adalah hambatan utama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia, saat ini, kita akan mencoba mengaplikasikan konsep dosa tersebut di dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana aplikasi dosa tersebut merupakan hambatan-hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia. Apa yang mengakibatkan kita tidak lagi melihat Allah sebagai Sumber dan Pusat hidup kita? Saya mengkaji ada empat penyebab, dua penyebab pertama diambil dari 2Tim. 3:2.
A. Diri
Di dalam 2Tim. 3:2, Paulus menyebutkan bahwa di hari-hari terakhir, manusia mencintai dirinya sendiri (mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya, “menjadi pecinta diri”). Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya dengan menambahkan kata self-centered (berpusat kepada diri). Di sini, kita mendapatkan pengertian bahwa hambatan pertama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia adalah diri dan keterpusatan pada diri. Mengapa orang meletakkan diri sebagai pusat? Karena mereka menganggap bahwa diri bisa dibanggakan, cukup layak, dll. Benarkah mereka sungguh layak dan pintar? Realita menyatakan hal yang sebaliknya. Semakin manusia menganggap diri hebat, pintar, layak, dll, semakin manusia hidup tidak karuan. Abad rasionalisme di mana manusia memutlakkan rasio manusia akhirnya mengakibatkan meletuslah Perang Dunia 1 dan 2. Di zaman postmodern, ketika manusia menganggap kehebatan diri itulah yang terpenting, anehnya manusia tidak bisa mengatasi masalah global, seperti krisis global, dll. Di sini, letak ironisnya manusia yang terus merasa diri hebat. Padahal, Alkitab mengajar bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, dan polluted). Ketika manusia disebut sebagai makhluk yang: dicipta, terbatas, dan terpolusi dosa, maka manusia sebenarnya tidak layak menjadi patokan kebenaran yang menentukan hidupnya sendiri. Ada 3 arti di balik konsep ini, yaitu: Pertama, manusia itu dicipta, maka ia hanya bisa mengenal sesama ciptaan (atau lebih rendah dari itu, misalnya benda-benda mati). Tentunya, manusia tak mungkin bisa mengenal Sang Pencipta. Kedua, manusia itu terbatas, maka manusia hanya bisa mengerti dan mengenal sesuatu yang terbatas sifatnya (bahkan tidak bisa mengetahui yang terbatas itu pun dengan sempurna), dan tentu saja tak mungkin mengenal yang tidak terbatas (misalnya, Allah). Ketiga, manusia itu berdosa, maka ketika manusia mengenal sesuatu, ia tak mungkin bisa mengenal sesuatu itu secara komprehensif dan dengan pengertian yang tepat. Misalnya, ketika manusia mau mengenal Allah, dosa mengakibatkan manusia hanya mengerti dan mengenal Allah tidak secara tuntas, tetapi sebagian dan bahkan sebagian itu pun telah dicemari dosa. Sehingga, secara fenomena, manusia bisa kelihatan beribadah kepada “Allah,” tetapi hati mereka tidak tertuju dan berpusat pada Allah. Rev. Dr. John R. W. Stott (seperti dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong) pernah mengatakan bahwa di dalam agama, manusia tidak pernah mencari Allah, tetapi malahan melarikan diri dari Allah.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Secara theologi, kita mungkin sudah belajar agar diri jangan dijadikan sebagai patokan kebenaran, tetapi benarkah dalam hati, kita sungguh-sungguh mengamini dan menjalankan prinsip yang telah kita pelajari itu? Benarkah ketika kita mencari pasangan hidup, pekerjaan, studi, dll, kita lebih mementingkan kehendak Tuhan ketimbang kehendak diri? Benarkah kita berani dan rela mematikan keinginan daging kita untuk disesuaikan dengan kehendak dan rencana Tuhan dalam hidup kita? Biarlah theologi yang telah kita pelajari dapat kita jalankan untuk memuliakan Tuhan. Jangan biarkan theologi menjadi bahan pelajaran yang kita pelajari tanpa kita aplikasikan!

B. Uang
Penyebab kedua yang diambil dari 2Tim. 3:2 ini yaitu uang. Selain diri, Paulus mengatakan bahwa uang menjadi kegemaran orang di hari-hari terakhir. “Menjadi hamba uang” dalam ayat ini di dalam terjemahan Inggris diterjemahkan mencintai uang. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bersifat mata duitan.” Dengan kata lain, uang menjadi sumber dan pusat bagi hidup manusia berdosa. Uang yang akhirnya menjadi tuan dalam hidup manusia berdosa, sehingga secara sadar atau tidak sadar, ke mana-mana iblis memakai sarana ini untuk menipu kita, seolah-olah tanpa uang, kita tidak bisa hidup. Akhirnya, ketika orang yang sudah ditipu ini diinjili atau dibawa ke gereja, lama-lama ia akan berpikir, apakah ke gereja bisa menghasilkan uang lebih banyak? Jika ya, ia akan terus ke gereja. Jika tidak, ia akan keluar dari gereja. Tidak heran, demi memenuhi selera berdosa dari manusia yang tamak akan uang ini, tidak sedikit gereja (market-oriented) yang berani mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti sukses, kaya, berkelimpahan, dll. Gereja yang seharusnya menjadi suara hati nurani masyarakat dan pewarta Kebenaran Allah akhirnya berkompromi dengan filsafat manusia berdosa. Lalu, apa yang Alkitab ajarkan? Apakah Alkitab mengajar bahwa uang itu tidak perlu, sehingga kalau mau menjadi Kristen, harus miskin? TIDAK! Alkitab tidak pernah melarang kita untuk kaya dan sebaliknya, mengharuskan kita miskin baru bisa mengikut Tuhan. Yang Alkitab ajarkan adalah orang percaya jangan menjadi gila harta/uang, mengapa? Karena, “akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Tim. 6:10)
Alkitab mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta uang, tetapi dunia mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah kurang uang. Apa bedanya? Perbedaan ini bukan hanya perbedaan superficial, tetapi perbedaan esensial. Alkitab mengajar kita untuk tidak berfokus kepada (atau mengilahkan) uang, karena itu adalah akar kejahatan. Apa dasar presuposisinya? Pertama, karena uang itu bersifat fana, yang sebentar lagi akan hilang. Mungkin kita hari ini kaya, tetapi mungkin saja tahun depan kita melarat dan menjadi miskin. Uang tidak bisa menjamin hidup kita, sehingga kita tidak boleh menjadikan uang sebagai ilah dalam hidup kita. Kedua, fakta membuktikan bahwa hanya karena cinta uang, hubungan keluarga bisa porak poranda. Kita sering mendengar bahwa hanya karena tamak uang, istri rela membunuh suaminya, adik rela membunuh kakaknya, bahkan anak rela membunuh orangtuanya. Bahkan di kalangan Kristen sendiri (di keluarga “hamba Tuhan”), anak dan menantu bisa saling baku tembak memperebutkan uang dari sang ayah. Sehingga, tidaklah salah ketika Alkitab mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sedangkan ketika dunia mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah kurang uang, sebenarnya secara prinsip, mereka mengilahkan uang (meskipun ada yang tidak berani mengungkapkannya secara terus terang), seolah-olah tanpa uang lah, manusia justru berbuat jahat (sedangkan kalau memiliki banyak uang, manusia tidak akan berbuat jahat). Mungkin ada yang bertanya, bukankah memang ada orang yang kurang uang (atau miskin) lalu melakukan kejahatan, misalnya merampok? Apakah fakta ini membuktikan bahwa konsep ini benar? TIDAK! Orang yang kurang uang bisa berbuat jahat itu bukan karena dia kurang uang, tetapi karena iri dan malas. Iri hati dan kemalasan mengakibatkan manusia terus ingin mencari sesuatu yang bisa memuaskan dirinya sendiri, tetapi herannya mereka tak mau berusaha bekerja keras, malahan mereka mencari keuntungan dari orang lain, misalnya, merampok, dll. Jadi, pokok persoalannya bukan pada kekurangan uang, tetapi pada karakternya. Fakta membuktikan bahwa orang yang kurang uang pun ada yang tidak berbuat jahat, malahan sebaliknya, justru orang yang ingin memiliki banyak uang, mereka akan mempergunakan segala macam cara untuk memperoleh lebih banyak uang lagi.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Benarkah hidup kita diarahkan hanya kepada Kristus? Mungkin secara theologi, kita sudah banyak mendengar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang dan kita harus memilih: Allah atau Mamon. Tetapi apakah theologi dan firman Tuhan yang kita dengarkan benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Benarkah kita sungguh-sungguh rela tidak menjadikan uang sebagai pusat hidup kita? Beranikah kita yang memiliki toko sendiri berkomitmen untuk tidak membuka toko atau bekerja pada hari Minggu, meskipun itu tidak menguntungkan bagi kita? Semua ini membuktikan dan menguji kesiapan dan komitmen kita di hadapan Tuhan tentang bagaimana kita tidak mengilahkan uang sebagai pusat hidup kita. Yang sering terjadi adalah kita secara teori mengamini setiap khotbah dan firman Tuhan yang diberitakan, tetapi secara praktik, kita hampir tidak menjalankannya dengan segudang argumentasi yang kita ajukan kepada Allah. Sudah siapkah kita berkomitmen untuk mengutamakan Tuhan lebih dari segalanya ataukah kita mau mendua hati: Allah dan Mamon?

C. Teman/sahabat/saudara/pasangan hidup
Poin ketiga ini dan keempat nantinya adalah hambatan eksternal yang bersifat pengaruh yang hidup. Hambatan ketiga dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia yaitu adanya pengaruh dari teman/sahabat/saudara/pasangan hidup. Kita mungkin bertanya, bagaimana mungkin orang yang dekat dengan kita bisa mengakibatkan kita tidak menemukan makna dan tujuan hidup kita? Bukankah kita sering mendengar bahwa ketika pacaran, masing-masing pasangan menemukan makna hidupnya? Hal ini tidak salah. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengutamakan mereka lebih daripada mengutamakan Allah. Ketika kita mengutamakan dan menganggap orang-orang yang dekat dengan kita sebagai pusat dan sumber yang menentukan hidup kita, itulah yang menjadi hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup kita. Pacar, saudara, rekan, saudara, dan bahkan istri hanya bisa menolong kita menemukan makna dan tujuan hidup kita secara fana/sementara. Mengapa? Karena mereka juga sama-sama manusia (berdosa) seperti kita di mana mereka tentu tidak bisa menjadi patokan yang mengarahkan hidup kita. Tetapi herannya, manusia tak pernah menyadari hal ini. Karena orang-orang dekat ini, kita menjumpai fakta bahwa orang yang ingin menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan penuh waktu tiba-tiba mengurungkan niatnya dan bahkan melarikan diri dari panggilan Tuhan. Tidak sedikit, istri mempengaruhi suaminya untuk meninggalkan Allah, sehingga sang suami kehilangan makna dan tujuan hidupnya yang hanya bisa diisi oleh dan di dalam Allah. Di dalam Alkitab, Ayub adalah contoh praktis pertama yang bisa kita pelajari. Ketika dilanda masalah yang berat, istri Ayub menyuruh Ayub mengutuki Allah. Teman-temannya pun menuduh Ayub bahwa Ayub tidak setia atau berdosa kepada Allah. Abraham, contoh kedua, memiliki istri yang meragukan (menertawakan) janji Allah yang memberikan anak di dalam keluarga mereka. Ketiga, saudara-saudara Yusuf menjual Yusuf karena mereka iri. Tetapi puji Tuhan, ketiga tokoh Alkitab ini lebih beriman kepada Allah ketimbang kepada orang-orang yang dekat dengan mereka, sehingga mereka tampil menjadi pahlawan-pahlawan iman yang berhasil.
Bagaimana dengan kita? Secara teori, lagi-lagi kita banyak belajar bahwa pacar, saudara, teman, rekan, dan bahkan istri bukan sumber hidup kita, tetapi benarkah kita menjalankan prinsip yang kita pelajari? Benarkah kita berani dan rela TIDAK menaati apa yang diusulkan oleh orang-orang yang dekat dengan kita jika itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan? Biarlah ini menjadi introspeksi diri kita masing-masing.

D. Orangtua.
Poin terakhir yang menjadi hambatan kita menemukan makna dan tujuan hidup kita adalah orangtua. Hah? Bagaimana mungkin? Bukankah kita sering mendengar bahwa orangtua mengerti dan mengenal anak-anaknya serta memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya? Bukankah kita juga sering mendengar bahwa orangtua tidak mungkin mencelakakan anak-anaknya? YA. Secara teori duniawi, kita sering mendengar hal itu. Di satu sisi, hal tersebut benar, karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua untuk mendidik dan mengajar anak-anak mereka, sehingga mereka menjadi orang berguna. Tetapi di sisi lain, ketika mendidik dan mengajar anak-anak mereka, apa yang mereka ajarkan? Bukankah yang sering kita dapati adalah mereka mengajar anak-anak mereka agar anak-anak mereka memenuhi apa yang mereka inginkan (dan bukan apa yang Tuhan inginkan)? Bukankah kita sering mendengar bahwa orangtua memaksa anaknya (meskipun dalihnya: “menyarankan”) untuk meneruskan apa yang diinginkan (atau sudah dirintis) oleh orangtuanya yang bekerja profesi tertentu. Misalnya, jika orangtuanya (ayah atau ibunya) seorang dokter, maka orangtua ini menyuruh anaknya untuk sekolah kedokteran dengan tujuan agar anaknya ini kelak meneruskan profesi orangtuanya sebagai dokter. Saya memiliki contoh praktis dalam hal ini, yaitu dari sepupu saya. Kakak sepupu saya dipaksa oleh ayahnya–meskipun bukan dokter (tetapi ayahnya berdalih bahwa ia tak pernah memaksa tetapi “hanya” menyarankan) untuk masuk kedokteran dengan argumentasi bahwa dengan menjadi dokter itu berarti anaknya tidak usah “ikut orang” (diperintah orang), sedangkan kalau profesi lain, anaknya harus “ikut orang.” Akibat pemaksaan ini, sepupu saya ini tidak memiliki hasrat ingin belajar, karena ia masuk kedokteran untuk memenuhi keinginan orangtuanya saja. Hal yang serupa terjadi pada adik sepupu saya ini yang lebih suka bahasa Inggris, namun karena sudah ditetapkan oleh orangtuanya, ia dipaksa masuk fakultas hukum untuk menjadi notaris, lagi-lagi dengan alasan: “supaya tidak ikut orang.” Tidak cukup memaksa 2 anaknya, paman saya ini juga memaksakan anaknya yang ketiga untuk masuk sekolah kedokteran, padahal anaknya sejujurnya ingin menjadi businessman. Ketiga anaknya ini sudah salah arah, tetapi hanya karena keinginan orangtua yang “dibaptis” dalam nama “menyarankan” (sebenarnya: MEMAKSA), akhirnya, mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan (dan terlebih, apa yang Tuhan mau!). Bahkan untuk mendukung keinginan orangtua tertentu, ada yang sampai mengatasnamakan “Tuhan” agar anaknya patuh. Bukannya mengarahkan anaknya untuk menggumulkan panggilan hidupnya di hadapan Tuhan untuk mencari dan mengutamakan kehendak Tuhan, bahkan ada orangtua yang sampai mengatakan bahwa kehendak Tuhan bagi anak yaitu hanya melalui orangtua, bukan melalui pendeta, sahabat, dll. Di sini, orangtua ini (meskipun mengaku diri “Kristen”) sudah memutlakkan diri sebagai “tuhan” yang harus ditaati. Dengan kata lain, orangtua yang sudah memutlakkan hal ini sudah mengambil alih posisi Allah sebagai sumber dan itu adalah DOSA! Berhati-hatilah, para orangtua!
Bagaimana dengan Anda khususnya para orangtua Kristen? Apa yang Anda ajarkan kepada anak-anak Anda? Benarkah theologi yang sudah kita pelajari bahwa kehendak Tuhan yang terutama benar-benar kita terapkan dalam cara mengajar dan mendidik anak kita? Sudahkah Anda mengajar kepada anak-anaknya untuk mendahulukan dan mengutamakan kehendak dan keinginan Allah dalam hidupnya dan bukan kehendak (sebenarnya: keinginan) Anda sebagai orangtua? Orangtua boleh mengarahkan anaknya untuk memilih jurusan kuliah dan/ pekerjaan, tetapi sekali lagi: orangtua TIDAK berhak memaksa anak-anaknya, karena yang menciptakan anak-anak Anda adalah Allah dan Allah meminta kita bertanggung jawab mengajar dan mendidik mereka untuk dipakai memuliakan dan menggenapkan kehendak-Nya dalam hidup mereka (bukan memuliakan diri orangtua).


IV. Mengerti Kehendak dan Pimpinan Allah: Solusi terhadap Hambatan-hambatan Mengerti Maksud dan Tujuan Hidup Manusia
Setelah kita mengerti empat hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia, maka kita akan berpikir, bagaimana kita bisa mengerti makna dan tujuan hidup manusia yang sebenarnya? Di poin pertama artikel ini, kita telah membahas bahwa manusia diciptakan oleh Allah, sehingga secara otomatis, makna dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya hanya bisa ditemukan di dalam Allah. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, sudah sepatutnya kita kembali kepada Allah untuk mengerti kehendak dan pimpinan Allah di dalam seluruh aspek kehidupan kita, agar kita dapat memuliakan Tuhan.

A. Apakah Kehendak dan Pimpinan Allah itu?
Di sini, ada dua arti yang harus kita mengerti, yaitu:
1. Kehendak Allah
Kehendak Allah berbicara mengenai apa yang merupakan rencana Allah di dalam kekekalan. Roma 11:36 memberikan gambaran yang jelas tentang apa itu kehendak Allah, yaitu kehendak Allah itu adalah apa yang berasal dari Allah, dikerjakan oleh Allah, dan hasil akhirnya untuk kemuliaan Allah. Allah telah menetapkan segala sesuatu sebelum dunia dijadikan, lalu Ia yang telah menetapkan itu, Ia pula lah yang akan mengerjakan rencana-Nya melalui karya Roh Kudus, dan pada akhirnya, semuanya harus memuliakan Dia sebagai Sumber dan Pusat segala sesuatu. Sebagai contoh, di dalam pekerjaan baik. Ketika kita membaca Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”, kita mendapatkan gambaran serupa tentang kehendak Allah. Yaitu, Allah telah menetapkan (KJV: ordain) kita (yang diciptakan Allah) untuk melakukan pekerjaan baik, lalu penetapan Allah ini dilakukan di dalam Kristus – di mana umat pilihan-Nya ditebus oleh Kristus dan dijadikan ciptaan baru di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan – , baru setelah itu, kita dituntut untuk hidup di dalam pekerjaan baik itu demi kemuliaan Allah. Dari sini, kita mendapatkan 4 kehendak Allah yang terintegrasi, yaitu kehendak Allah di dalam Penciptaan (dari dan oleh Allah), Penebusan (dari dan oleh Allah), Kelahiran Kembali (oleh Allah), dan Kesempurnaan kelak (untuk Allah).

2. Pimpinan Allah
Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah kita sebagai manusia yang terbatas dan fana ini bisa mengerti rencana Allah yang kekal itu? Di sini, kita membutuhkan apa yang disebut pimpinan Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong mendefinisikan pimpinan Allah sebagai kehendak Allah yang berada di dalam proses sejarah/waktu. Dengan kata lain, pimpinan Allah adalah penyataan (intervensi) kehendak Allah yang kekal itu kepada umat-Nya yang tidak kekal. Dari Alkitab, kita mendapatkan pelajaran berharga tentang apa yang disebut pimpinan Allah. Di Perjanjian Lama, umat-Nya, Israel mendapatkan pimpinan Allah ketika mereka keluar dari Mesir menuju ke Tanah Kanaan. Begitu juga yang terjadi dengan pimpinan Allah yang dialami oleh para rasul di Perjanjian Baru.
Kemudian, kita akan mencoba membagi wujud pimpinan Allah itu. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam kaset Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK): “Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus” membagi dua wujud pimpinan Allah, yaitu pimpinan positif dan pimpinan negatif. Dua wujud pimpinan Allah ini pasti bermotivasi dan bertujuan baik, tetapi yang berbeda di antara keduanya adalah cara pandang manusia. Manusia sering kali memandang pimpinan Allah yang positif itu dari Allah, sedangkan yang kelihatannya negatif itu dari setan. Padahal tidak demikian. Di Perjanjian Lama, Allah memimpin umat-Nya, Israel keluar dari Mesir ke Tanah Kanaan dengan pimpinan positif dan negatif. Pimpinan positif diberikan-Nya ketika Ia memberikan manna kepada orang Israel ketika mereka kelaparan dan memberikan air kepada mereka yang kehausan. Tetapi Allah yang sama memimpin mereka untuk berputar-putar dahulu selama 40 tahun (Yos. 5:6; bdk. Ul. 2:7) untuk sampai ke Tanah Kanaan untuk menguji iman dan kesetiaan umat-Nya (kelihatannya negatif). Pimpinan Allah yang negatif mungkin kelihatan negatif di mata manusia, tetapi percayalah, pimpinan itu pasti berdampak positif bagi umat-Nya. Di Perjanjian Baru, Allah yang sama juga memimpin para rasul dengan pimpinan positif dan negatif. Pimpinan Allah yang positif dapat dilihat ketika Roh Kudus bekerja luar biasa dahsyat di dalam diri Petrus ketika ia memberitakan Injil, sehingga dr. Lukas mencatat pada saat itu yang bertobat pada hari Pentakosta adalah kira-kira 3000 orang (Kis. 2:41). Pimpinan Allah yang seolah-olah negatif dapat dilihat ketika Roh Kudus mencegah Paulus memberitakan Injil di Asia (Kis. 16:6). Mengapa Roh Kudus melarang Paulus memberitakan Injil di Asia? Bukankah maksud Paulus itu baik yaitu memberitakan Injil? Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa maksud Roh Kudus melarang Paulus memberitakan Injil di Asia adalah Paulus lebih cocok diutus ke Eropa, karena orang-orang di Eropa membutuhkan orang-orang seperti Paulus untuk meruntuhkan semua filsafat mereka dan menundukkannya di bawah Kristus, sedangkan untuk daerah Asia, Petrus lah yang diutus. Di sini, kita mendapatkan pengertian yang lebih dalam lagi yaitu ketika Roh Kudus melarang kita memberitakan Injil, bukan berarti Ia melarang motivasi kita yang baik itu, tetapi mungkin sekali Ia mempersiapkan orang lain untuk melakukan apa yang kita kerjakan, dan kita sendiri dipersiapkan untuk melakukan tugas yang lain yang lebih sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan kepada kita.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Masihkah kita menganggap pimpinan Allah yang seolah-olah negatif itu dari setan? Ataukah hari ini, kita mau kembali kepada Tuhan dan melihat pimpinan-Nya baik yang positif dan kelihatan negatif itu sama-sama pimpinan Allah yang baik bagi kita? Ingatlah, Allah sebagai Sumber dan Pusat hidup kita menginginkan kita mensinkronkan kehendak kita dengan kehendak-Nya melalui pimpinan-Nya. Sudah siapkah kita melakukannya?

B. Bagaimana Mengerti Kehendak dan Pimpinan Allah dalam Hidup Orang Percaya?
Lalu, bagaimana kita mengerti kehendak dan pimpinan Allah itu? Ada beberapa prinsip yang perlu kita mengerti dalam memahami kehendak dan pimpinan Allah di dalam segala aspek, yaitu:
1. Menyadari status kita sebagai orang percaya (anak-anak Allah)
Poin pertama yang harus kita pikirkan ketika kita mau mengerti kehendak dan pimpinan Allah adalah kita pertama-tama harus menyadari status kita sebagai orang percaya. Mengapa ini penting? Karena jika kita tidak pernah menyadari status kita sebagai orang percaya, kita tak akan pernah ada kehendak dan kerinduan untuk mensinkronkan apa yang kita inginkan dengan apa yang Allah inginkan. Orang percaya sejati bukan hanya orang yang aktif di dalam setiap kegiatan gereja, tetapi orang yang benar-benar 100% mendedikasikan hidupnya untuk memuliakan Tuhan. Mereka adalah orang yang mau menTuhankan Kristus di dalam hidupnya, bukan hanya sekadar di mulut saja. Ketika kita sudah menyadari bahwa kita sungguh-sungguh orang percaya yang memiliki kerinduan untuk mensinkronkan kehendak kita dengan kehendak Allah, maka kita baru boleh memikirkan bagaimana mengerti kehendak dan pimpinan Allah di dalam hidup kita. Tetapi jika kita tidak pernah menyadarinya, jangan pernah mulai memikirkan kehendak dan pimpinan Allah, karena itu adalah hal yang sia-sia. Lalu, bagaimana kita bisa menyadari bahwa kita benar-benar orang percaya? Roh Kudus lah yang bersaksi bersama roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm. 8:16). Di sini, ada janji Roh Kudus yang akan menyertai, menolong, menegur, menasihati, dan menghibur kita sebagai anak-anak-Nya. Ketika kita mulai menyeleweng dari kehendak Allah, Roh Kudus mengingatkan kita dengan menegur, menasihati, bahkan menghajar kita agar kita kembali kepada kehendak Allah. Ketika kita meresponi apa yang Roh Kudus lakukan di dalam hati kita ini, itu tandanya kita anak-anak Allah. Jika tidak, berhati-hatilah, mungkin sekali Anda bukanlah anak Tuhan, tetapi menyamar seolah-olah seperti anak Tuhan. Inilah bedanya, orang percaya (anak Tuhan) sejati dengan orang “percaya” (anak setan). Jadi, mulai sekarang, jangan berani mengatakan dan menyamakan semua orang Kristen dengan anak Tuhan, karena tidak semua orang Kristen adalah anak Tuhan.

2. Bergumul setiap hari bersama Tuhan
Kita jangan pernah menginginkan pimpinan Tuhan secara instant. Tuhan tidak pernah memimpin/memberikan segala sesuatu secara instant/serba cepat. Tuhan ingin kita berproses di dalam mengerti pimpinan-Nya. Proses itulah yang kita harus bangun dan mulai dengan bergumul setiap hari bersama-Nya di dalam doa dan pembacaan Alkitab.
Di dalam doa, kita terus menggumulkan apa yang menjadi kehendak dan pimpinan-Nya baik dalam karier, pekerjaan, perkuliahan, maupun pasangan hidup. Nyatakanlah apa yang kita inginkan di hadapan Tuhan di dalam doa, tetapi ingat, biarkan Tuhan yang menilai apa yang kita inginkan itu sesuai kehendak-Nya atau tidak. Berarti di dalam doa, ada komunikasi antara kita dengan Allah. Jangan pernah memanipulasi kepentingan kita di dalam doa. Biarkanlah Allah juga berkata-kata kepada kita di dalam doa. Itulah yang dialami baik oleh para nabi dan rasul di Alkitab ketika mereka melayani Tuhan dan memutuskan segala sesuatu. Mereka tidak gegabah melayani Tuhan dan memutuskan segala sesuatu, tetapi mereka meminta petunjuk Tuhan di dalam doa. Bagaimana dengan hidup doa kita? Apakah kita berdoa setiap hari? Ataukah kita berdoa hanya ketika kita sedang bergumul? Tuhan tidak mau kita berdoa hanya pada saat kita menggumulkan sesuatu. Misalnya, ketika kita mau bekerja, kita baru berdoa menggumulkan pimpinan Tuhan tentang pekerjaan apa yang dikehendaki-Nya. Tuhan mau seluruh hidup umat-Nya adalah hidup yang bergumul di dalam doa.
Bukan hanya di dalam doa, kita pun harus menggumulkan pimpinan Tuhan juga melalui firman-Nya, Alkitab. Di dalam Alkitab, kita belajar banyak prinsip-prinsip Kebenaran yang Allah inginkan di dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, di dalam pekerjaan, Alkitab mengajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (Rm. 11:36), lalu Alkitab juga mengajar bahwa kita harus bekerja seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Dari dua bagian Alkitab ini, kita akan mengerti bahwa pekerjaan yang Tuhan inginkan adalah yang berkenan kepada-Nya (memuliakan-Nya) dan Ia menginginkan kita bekerja semaksimal mungkin untuk memuliakan-Nya. Dari prinsip ini, jika kita misalnya ditawari dua pekerjaan, yang satu, sebagai sekretaris bank, dan yang lainnya, sebagai orang yang berkecimpung di dalam MLM (Multi Level Marketing), maka atas dasar prinsip Alkitab, kita harusnya lebih memilih profesi sebagai sekretaris bank meskipun gajinya lebih sedikit. Mengapa? Karena menjadi orang yang berkecimpung di MLM adalah orang yang berjudi dan praktek perjudian dilarang di Alkitab. Contoh kedua, misalnya pergumulan mencari pasangan hidup. Alkitab mengajar bahwa prinsip pertama mencari pasangan hidup adalah: lawan jenis (mengutip pernyataan Pdt. Effendi Susanto). Tuhan menciptakan pria dan wanita (tidak ada alternatif ketiga dan Tuhan mengutuk alternatif ketiga tersebut) dan Ia menghendaki pria dan wanita bersatu di dalam lembaga pernikahan (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Ef. 5:31). Kedua, Alkitab mengajar bahwa orang percaya harus mencari pasangan hidup yang seiman (2Kor. 6:14; secara konteks, “pasangan” di sini mengacu kepada sahabat, bisa juga diterjemahkan sahabat/pasangan hidup). Ketiga, Alkitab juga mengajar adanya kesepadanan (saling melengkapi) antara pria dan wanita yang diciptakan Allah secara berbeda (Kej. 2:18). “Sepadan” tidak berarti identik, tetapi sepadan berarti melengkapi. Dalam bahasa Ibrani, kata ini bisa diterjemahkan part opposite (=bagian yang berlawanan) Terjemahan kata ini sungguh unik, yaitu menggabungkan 2 istilah: bagian dan berlawanan. Meskipun berlawanan, keduanya tetap merupakan satu bagian (seperti dua gigi roda yang saling melengkapi). Di sinilah, artinya sepadan, yaitu satu bagian dengan dua karakter yang berbeda yang saling melengkapi. Tetapi kesepadanan ini berlaku bukan pada karakter primer yang berkaitan dengan kebenaran, tetapi pada karakter “sekunder” yang sama-sama bersumbangsih. Jangan salah mengerti arti kesepadanan ini, lalu menafsirkan kesepadanan berarti: kalau si cowok orangnya on-time, maka si cewek orangnya harus suka telat (ngaret); kalau si cowok jujur, maka si cewek harus tidak jujur; dll. Itu bukan contoh kesepadanan yang tepat. Kesepadanan yang tepat adalah jika si cowok orangnya cepat bekerja, maka harus diimbangi dengan si cewek yang agak lambat kerjanya, supaya masing-masing bisa saling membantu. Jika cowok dan cewek sama-sama cepat kerjanya, maka pekerjaan itu menjadi tidak teliti, karena tidak ada salah satu yang lambat memeriksa pekerjaan itu. Dan ketika mereka saling melengkapi dalam karakter, mereka melakukannya dengan semangat altruistik yang murni, bukan dengan tujuan menuntut/memaksa. Kegagalan pernikahan Kristen karena masing-masing pasangan saling menuntut.3 Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa pernikahan Kristen bukan mendapat sesuatu, tetapi memberi seseuatu (Christian marriage is not to get something from others, but to give something to others).
Dari tiga prinsip dasar ini, kita mendapatkan prinsip bahwa ketika kita ingin memilih pasangan hidup, yang perlu diperhatikan adalah satu, apakah pasangan kita lawan jenis atau sesama jenis; kedua, apakah pasangan kita seiman (dalam arti benar-benar percaya kepada Kristus, bukan hanya “Kristen”); dan ketiga, apakah masing-masing pasangan bersedia saling melengkapi (dan membangun) dalam karakter.

3. Meminta pertimbangan dari orangtua, teman/rekan/saudara, dan khususnya dari hamba Tuhan.
Prinsip terakhir di dalam mengerti kehendak dan pimpinan Allah adalah meminta pertimbangan dari orang-orang dekat, misalnya orangtua, teman/rekan/saudara, dan terutama dari para hamba Tuhan/orang Kristen yang taat. Mengapa saya meletakkan prinsip ini sebagai prinsip terakhir? Karena prinsip ini harus bersumber dari dan diuji oleh prinsip nomer dua, yaitu doa dan Alkitab. Orang yang tiba-tiba ingin mengerti pimpinan Allah hanya dari orangtua saja, lalu tak pernah bergumul di dalam doa dan membaca Alkitab, orang tersebut picik dan tak mungkin bisa mengerti apa yang Tuhan inginkan, mengapa? Karena ia telah mengunci orang-orang tertentu sebagai bukti pimpinan Allah bagi hidupnya, padahal mungkin orang-orang tertentu itu belum tentu benar mengarahkan kita sesuai prinsip-prinsip Firman (atau yang lebih parah, orang-orang yang kita percayai bisa saja membawa kita lebih menyeleweng dari kehendak dan pimpinan Allah, meskipun kelihatan “baik”). Jadi, prinsipnya doa dan Firman (Alkitab) menjadi kriteria penguji dan penghakim semua sarana manusia yang kita pakai untuk mengerti pimpinan Allah.
Setelah kita bergumul bersama Tuhan setiap hari di dalam doa dan pembacaan firman, kita baru boleh berkonsultasi dan meminta pertimbangan dengan hamba Tuhan, orangtua, rekan/sahabat/saudara, dan orang-orang yang dekat dengan kita. Mungkin saja, Tuhan memakai orang-orang tersebut untuk menasihati kita di dalam mengerti pimpinan Allah di dalam hidup kita. Di Perjanjian Lama, Tuhan memakai Abraham untuk mencarikan pasangan/istri bagi Ishak, anaknya. Di Perjanjian Baru, Tuhan memakai Paulus untuk menegur Petrus, rekan pelayanannya agar Petrus tidak berlaku munafik (Gal. 2:11-14). Tetapi kedua hal ini tidak boleh menjadi standar, lalu ditafsirkan bahwa orangtua harus mencarikan anaknya pasangan hidup, karena Abraham diperintahkan Tuhan seperti itu. Kedua contoh tadi hanya beberapa contoh media orang yang Tuhan pakai bagi anak-anak-Nya.
Lalu, kita perlu memerhatikan orang-orang yang kepadanya kita meminta pertimbangan, seperti apakah orang-orang tersebut. Jika kita ingin meminta pertimbangan tentang pasangan hidup kita, carilah orang-orang yang benar-benar mengerti kriteria pasangan hidup khususnya dari sudut pandang Alkitab. Dalam hal ini, saya lebih merekomendasikan agar kita lebih meminta pertimbangan kepada hamba Tuhan yang sungguh-sungguh dan bertanggungjawab atau orang Kristen yang taat agar kita lebih mengerti pimpinan Allah. Bagaimana jika kita meminta saran tersebut dari orangtua yang melahirkan kita? Kita boleh meminta juga saran dari orangtua kita, meskipun tentu saran orangtua kita belum tentu benar (karena mereka bukan Tuhan kita), karena mungkin sekali mereka memberi saran hanya dari sudut pandang dunia pada umumnya (respon terhadap wahyu umum Allah). Bagaimana jika kita juga meminta pertimbangan dari sahabat/rekan/saudara kita? Kita boleh meminta pertimbangan dari mereka, karena mungkin sekali kita lebih terbuka pada mereka (sesuai dengan usia kita), tetapi sekali lagi, saran mereka pun tetap harus diuji oleh kebenaran Firman Tuhan. Jadi, ketiga objek yang kepadanya kita meminta pertimbangan, pertimbangkanlah terlebih dahulu aspek rohaninya, baru aspek-aspek lainnya, supaya kita lebih mengerti pimpinan Allah, bukan apa yang dunia/orang kehendaki. Ingatlah, jangan pernah menelan mentah-mentah semua pertimbangan yang kita dapatkan, tetapi ujilah semua pertimbangan itu dengan dasar Alkitab saja (Sola Scriptura), lalu putuskan sendiri dengan bertanggungjawab di hadapan Tuhan.

No comments: