09 June 2008

Spiritual Battle-3

Spiritual Battle-3


Nats: Mazmur 144


Sebagaimana sudah kita bahas, hidup dalam fighting spirit adalah pembentukan atau latihan yang terus dikerjakan oleh Tuhan pada orang-orang yang hendak dipakainya. Mereka yang sabar dan bertekun dalam pembentukan ini akan menuai buah yang telah disediakan oleh Tuhan. Upah dari fighting spirit ini, di antaranya adalah:

Pertama, ketekunan atau karakter itu sendiri. Orang yang dilatih Tuhan di dalam peperangan rohani akan memiliki karakter, yang sedang dipersiapkan menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tidak mempunyai pengalaman fighting spirit akan sulit menjadi seorang pemimpin yang baik.

Kedua, dia akan menjadi seorang prajurit yang sejati. Dalam cerita the Chronicles of Narnia digambarkan bahwa Peter ketika berhadapan dengan serigala harus belajar untuk menghadapinya sendiri. Peter berjuang untuk menaklukkan serigala itu. Dan setelah berhasil membunuh serigala barulah ia dinobatkan sebagai seorang prajurit yang sejati. Tuhan terkadang seolah tidak hadir atau tidak berperan dalam peperangan rohani yang sedang kita hadapi, namun yang terjadi di situ sesungguhnya adalah kita sedang dilatih untuk menjadi laskarnya. Tuhan sebagai The Great Warrior dan kita pun sebagai warrior di dalam rencana-Nya.

Ketiga, kita melihat suatu worldview yang tidak dilihat oleh dunia ini yaitu suatu drama kosmik, peperangan antara Allah melawan si jahat. Tetapi berapa banyak orang yang melihat keadaan dunia yang seperti ini? Bukankah banyak orang yang mempunyai perspektif yang sama sekali tidak penting? Yesaya 6 mengatakan bahwa pada waktu raja Usia mati Yesaya mendapat visi dan ini adalah drama kosmis yang sangat penting. Raja Usia mati tidak sepenting Yesaya mendapat visi, maka Alkitab mencatat tentang kematian raja Usia hanya dengan beberapa kata. Tetapi yang dimuat di ‘Newsweek’ dan yang dipublikasikan besar-besaran bukan tentang Yesaya yang mendapat visi tetapi raja Usia yang mati. Raja Usia mati menjadi berita besar sementara Yesaya mendapat visi tidak penting. Tetapi Alkitab lain karena yang ditulis Alkitab adalah drama kosmis itu. Dan inilah yang dinyatakan terus-menerus dalam Alkitab. Orang yang memiliki kepekaan rohani akan melihat hal seperti demikian. Orang yang tidak memiliki kepekaan rohani akan hanyut di dalam berita-berita dunia dan perspektif matanya akan kacau karena dia hanya melihat hal-hal yang kurang penting yang dijadikan penting dan akhirnya hal yang sungguh-sungguh penting dilewati. Dia tidak menangkap momen di mana Tuhan menyatakan karyanya di dalam sejarah. Dia hanya menyoroti hal-hal yang tidak penting di dalam sejarah. Itu adalah kerugian orang-orang yang tidak memiliki worldview yang benar. Ini akan teerjadi ketika kita tidak melatih diri di dalam fighting spirit. Fighting spirit akan menajamkan kita akan worldview sebagaimana firman Tuhan memandang (biblical perspective).

Keempat, kita berpartisipasi di dalam kemenangan Tuhan. Mazmur 144:2 mengatakan Tuhan adalah “gunung batuku, kubu pertahananku, kota bentengku ...”, tetapi “... yang menundukkan bangsa-bangsa ke bawah kuasaku”. Daud jelas memahami bahwa ini adalah peperangan yang dimenangkan oleh Tuhan dengan kuasa Tuhan tetapi juga dengan yakin ia mengatakan bahwa bangsa-bangsa ditundukkan ke bawah kuasanya. Daud berbagian di dalam kemenangan Tuhan, Daud berbagian di dalam peperangan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.

Di dalam ayat 3 dan 4 terlihat seperti kutipan dari Mazmur 8. Memang bagian ini mengingatkan kita dengan ayat dari Mazmur 8:5 “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?“ Namun ini bukan menjadi menarik karena persoalan tambahan redaksi awal redaksi akhir, melainkan karena kedua ayat ini memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Ayat dalam Mazmur 144 ini ditulis dalam konteks yang berbeda. Ayat ini berada setelah pemazmur melihat Tuhan adalah Tuhan yang berperang dan ayat 3-4 menyatakan suatu pemahaman akan ketidakberartian manusia itu sendiri. Pemazmur memelihara diri dari penghayatan yang salah dari kemenangan yang diperoleh lalu menjadi percaya diri (dan lupa diri) karena dia sudah menang atas musuh-musuhnya, Tuhan digeser keluar lalu dia menikmati kemenangan itu seolah-olah itu diraih dengan kekuatan tangannya sendiri.
Elia jatuh di dalam kesalahan ini. Kalau kita membaca dengan teliti, saat Tuhan menolong dia mengalahkan dewa-dewa Baal, kemenangan besar dalam peperangan rohani itu kemudian membawa dia dalam suatu keadaan depresi, tersendiri, mengasihani diri. Yang celaka dia berpendapat bahwa dia seorang diri berperang melawan nabi-nabi palsu itu. Dia pikir dia satu-satunya orang yang paling mengerti kehendak Tuhan, yang paling giat melayani dan paling mencintai Tuhan, bertempur bagi Tuhan sementara yang lain tidak. Alkitab memang tidak mencatat secara eksplisit bahwa Elia mencuri kemuliaan Tuhan dalam kemenangan tersebut, akan tetapi mengapa Elia masuk ke dalam keadaan (tersendiri) seperti itu? Tiba-tiba rohaninya menjadi lelah (exhausted). Kalau itu pekerjaan Tuhan mengapa dia menjadi lelah sementara Tuhan adalah Tuhan yang berkuasa? Yang berkarya adalah Tuhan dan Ia jugalah yang menyatakan kebesaran-Nya, mengapa Elia yang menjadi lelah? Di sinilah ironisnya jikalau kita mengambil bagian yang seharusnya merupakan kemenangan Tuhan lalu kita perhitungkan sebagai kemenangan kita sendiri, kita akan dihempaskan dalam perasaan ketersendirian. Waktu kita mengembalikan semua kemuliaan kepada Tuhan, kita justru berlari dan tidak menjadi lesu, berjalan dan tidak menjadi lelah.

Alkitab mencatat bahwa manusia berdosa tidak tahan memandang kemuliaan Tuhan. Ada orang yang tidak mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan lalu mengambil kemuliaan itu untuk dirinya sendiri, maka dia akan kelelahan sendiri. Tetapi justru ketika manusia mengembalikan semua kemuliaan kepada Tuhan, menyatakan itu sebagai pekerjaan Tuhan, dia berada di dalam keadaan yang aman karena dia menyerahkan semua kekuatan dan kuasa yang ada padanya merupakan kuasa yang dari Tuhan yang sedang bekerja dan ia tidak akan menjadi lelah karena yang berperang adalah Tuhan sendiri. Daud di dalam hal ini mempunyai kepekaan rohani yang lebih dibanding Elia (bagian ini tidak sedang membanding-bandingkan tokoh-tokoh dalam Alkitab seolah-olah mereka berada dalam satu kompetisi satu dengan yang lain, melainkan ingin menyatakan satu fakta sederhada bahwa raksasa-raksasa rohani seperti Elia pun sebenarnya adalah orang biasa, sama seperti kita, seperti dikatakan oleh Yakobus, mereka juga memiliki kelemahannya, demikian juga halnya dengan Daud, sekalipun pada bagian ini kita tidak sedang membahas kelemahannya, namun pada bagian firman Tuhan yang lain kita tahu bahwa dia pun juga, sama seperti Elia, adalah seorang manusia berdosa yang juga memiliki kelemahan).

Setelah mengalami kemenangan yang dimpimpin Tuhan, Daud menyadari dirinya sebagai manusia yang seperti angin dan bahwa hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat. Itu menjaga dia di dalam satu kehidupan rohani yang sehat di hadapan Tuhan. Itu memelihara dia dari kehidupan yang mencuri kemuliaan Tuhan yang akhirnya membawa dia ke dalam kehidupan yang melelahkan. Justru di dalam penghayatan seperti ini, ketika kita baca pada ayat yang selanjutnya, baru dia bisa melihat dan menyatakan kebesaran Tuhan yang sesungguhnya.

Ayat 5, “tekukkanlah langitmu dan turunlah, sentuhlah gunung-gunung sehingga berasap, lontarkanlah kilat-kilat dan serakkanlah mereka, lepaskanlah panah-panahmu sehingga mereka kacau.” Dari penghayatan ketidakberartian diri, Daud mengharapkan keperkasaan Tuhan, kemahakuasaan-Nya. Daud berharap akan kebesaran Tuhan, sebagaimana dia mengetahuinya dalam peristiwa Keluaran. Sebenarnya yang dicatat dalam ayat 5 dan 6 adalah peristiwa gunung Sinai. Tuhan yang menyatakan diri, dan dalam suatu keadaan yang menggentarkan orang-orang Israel. Daud mengenal dengan baik bagaimana Tuhan telah berkarya di masa yang lampau.

Kita membaca pengenalan seperti ini juga dalam tulisan-tulisan Daud yang lain. Ini adalah satu bagian yang kita perlu belajar terutama karena Alkitab seringkali menyatakannya berulang-ulang. Di dalam pengharapan akan kebangunan rohani, kita perlu mengingat pekerjaan Tuhan yang pernah terjadi di masa yang lampau. Kita ingat Tuhan yang pernah bekerja di masa yang lampau, “nyatakanlah Tuhan pekerjaan-Mu seperti Engkau pernah melakukannya dahulu, bagaimana Engkau memimpin Musa untuk membebaskan umat Israel keluar dari tanah perbudakan”. Dia mengingat peristiwa yang lampau, dia mengingat pekerjaan dan kebesaran Tuhan di masa yang lampau. Tetapi ada orang-orang Kristen yang tidak mengenal kebaikan Tuhan dan kebesaran Tuhan di masa yang lampau. Akhirnya waktu berada di dalam penderitaan/kesulitan, dia terjerembab di dalam kesulitan tersebut. Dia tidak bisa mengingatkan dirinya akan kebaikan Tuhan yang pernah dia alami pada waktu-waktu yang lampau. Dia tidak melihat kebesaran Tuhan di masa yang lampau, sehingga dia tidak sanggup untuk menghadapi waktu yang sekarang dan akhirnya tidak berpengharapan untuk waktu yang akan datang. Daud bukan orang yang demikian. Daud mengenal dengan baik pekerjaan Tuhan di masa lampau. Itu menjadi semacam api yang menguatkan dia untuk terus menerus berada di dalam fighting spirit karena dia mengenal bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak berubah, dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya. Tidak ada theologi pengharapan dan theologi masa kini tanpa theologi masa lampau.

Ayat 7 dan 8, “Ulurkanlah tangan-Mu dari tempat tinggi, bebaskanlah aku dan lepaskanlah aku dari tangan orang-orang asing yang mulutnya mengucapkan tipu dan yang tangan kanannya adalah tangan kanan dusta.” Daud biasa mengalami fitnah, biasa mengalami suatu perkataan yang tidak benar tentang dirinya, ini termasuk salah satu pembentukan Tuhan dalam kehidupan Daud. Bagaimana dia berespon waktu dia mengalami ini? Ini termasuk dalam kaitan pembentukan fighting spirit. Di sini kita lihat, Daud menyerahkannya kepada Tuhan. Dia tidak dikuasai oleh perasaan dendam (fighting spirit kedagingan), tetapi dia menyerahkan kesulitan itu di dalam keadilan Tuhan. Bukan bagian Daud untuk membalas. Tetapi dia sendiri belajar bagaimana ketika dia mengalami hal tersebut bisa tetap memelihara true fighting spirit, yaitu melihat panggilan Tuhan yang dipercayakan di dalam dirinya, dengan kata lain tetap memiliki fokus yang benar dan tidak membiarkan diri distracted. Fitnah dapat menyebabkan kehidupan seorang percaya tidak lagi memiliki fokus yang benar ketika ia menjadi terganggu karena ada orang-orang yang mengatakan hal yang tidak benar tentang dirinya, lalu dia melayani atau menanggapi orang-orang tersebut, membuat pernyataan-pernyataan atau penjelasan-penjelasan untuk membenarkan diri. Lalu yang dijelaskan juga tetap tidak jelas, lalu dijelaskan lagi, lagi dan lagi, seumur hidup menjelaskan dan mengklarifikasi persoalan yang tidak pernah habis. Seorang hamba Tuhan senior seringkali mengatakan dalam pengalaman seperti itu bahwa “dia tidak dipanggil untuk itu (menjawab dan mengklarifikasi fitnah-fitnahan terhadap dirinya)”.

Orang yang terus sibuk menanggapi fitnah tentang dirinya akan kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan pekerjaan Tuhan yang jauh lebih mulia. Daud sendiri mengalami pembentukan seperti itu. Dia belajar untuk menyerahkan ke dalam tangan Tuhan. Dia juga belajar untuk tidak berusaha membereskan semua hal-hal tersebut secara horisontal karena memang hal-hal itu akan terus menyertai dia seumur hidupnya. Sampai terakhir tetap ada orang-orang yang melakukan itu terhadap dia, bahkan waktu dia sudah menjadi raja. Tuhan mengijinkan dia terus mengalami pergumulan seperti itu tetapi dia tetap berada di dalam satu ketaatan akan panggilan Tuhan terhadap dirinya. Di dalam kehidupan kita, kita harus belajar untuk peka melihat hal-hal yang mengacaukan hidup kita taat melakukan panggilan/kehendak Tuhan. Ada begitu banyak hal yang tidak penting, tetapi karena itu mengganggu seringkali kita tersedot dan energi kita terkuras dan kita tidak memiliki lagi kekuatan yang cukup berperang bagi kerajaan Allah malah kita menyelesaikan hal-hal yang tidak ada urusannya dengan kerajaan Allah. Tidak membiarkan diri dikacaukan oleh hal-hal yang kurang penting adalah termasuk latihan fighting spirit. Seorang prajurit yang baik tidak akan menghambur-hamburkan persenjataannya untuk menyerang hal-hal yang tidak berguna.

Ayat 9, “Ya Allah, aku hendak menyanyikan nyanyian baru kepadaMu dengan gambus 10 tali, aku hendak bermazmur bagi-Mu.” Bagian ini belum sampai kepada keselamatan, tetapi Daud sudah memuji Tuhan. Kita lihat bahwa lagu juga bisa menjadi satu kekuatan untuk mengantisipasi kemenangan besar yang Tuhan akan berikan kepada kita. Lagu dapat dinyanyikan sebagai kalimat iman. Memang lagu waktu kita nyanyikan bisa kita nyanyikan sembari ngegombal. Seperti biasa dikatakan, “Orang Kristen tidak berkata dusta, mereka hanya menyanyikannya.” Mereka memang tidak berbohong dalam pengertian menipu dan mengelabui orang lain, tetapi mereka biasa berbohong ketika mereka menyanyi. “Aku mengasihi Engkau Tuhan, dengan segenap hatiku, segenap jiwaku, akal budiku ….”, “Di bumi maupun di surga, tidak ada yang kuingini selain Engkau …” Sambil menyanyi, sambil menipu Tuhan, menipu diri sendiri dan sesama jemaat. Kalimat-kalimat yang sesungguhnya adalah kalimat-kalimat besar, dan memang diambil dari Alkitab, tetapi dinyanyikan dengan tidak jujur. Kita perlu bertobat dari retorika-retorika kosong yang mendukakan Roh Kudus!

Namun pada bagian ini kita membaca, ada tempat yang sah dan benar untuk menyanyi dan memuji Tuhan dengan roh yang benar, yaitu kalimat yang diucapkan dengan iman dan kepercayaan yang tulus, bukan sebagai kalimat tipuan/gombal, tetapi kalimat iman yang dikatakan untuk mengantisipasi pekerjaan Tuhan yang akan tiba. Daud menyanyikan bagian tersebut meskipun persoalan yang ada dalam dirinya belum terselesaikan. Memang kita bisa juga menafsirkan bahwa dia tetap memuji Tuhan di tengah kesulitan, dan kita percaya kalimat-kalimat pujian yang dinaikkan dengan jujur dan tulus akan menjadi kekuatan penghiburan yang sangat besar. Melalui pujian seseorang juga berkata-kata kepada dirinya, mengajar dirinya sendiri. Dengan kekuatan itu dia menanti-nantikan, dia berharap dalam kepastian iman. Lagu pujian di sini dimengerti dan berfungsi sebagai dorongan eskatologis (eschatological drive).

Bagian yang terakhir, ayat 12 – 15, Daud memohon berkat, “Semoga anak laki-laki kita seperti tanam-tanaman tumbuh menjadi besar pada waktu muda, semoga gudang-gudang kita penuh, semoga domba-domba kita menjadi beribu-ribu, berlaksa-laksa ...” Dalam Perjanjian Lama, berkat seringkali dimengerti sebagai berkat fisik dan materi. Maka pengertian cinta kasih Allah seringkali dinyatakan dalam bentuk pemeliharaan secara fisik, diselamatkan dari musuh, berkat-berkat fisik dan sebagainya. Itu adalah pengertian cinta kasih Tuhan yang dinyatakan di dalam PL. Sekalipun demikian konsep bahwa berkat rohani adalah lebih penting daripada berkat fisik juga sudah tersirat dalam Perjanjian Lama (tidak sejelas dalam PB). Dalam kisah Ayub misalnya, berkat fisik tidak harus menandakan berkat dari Tuhan, itu boleh diambil dan Ayub tetap dinyatakan sebagai orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Banyak orang-orang yang salah mengerti Ayub di dalam keadaan yang seperti itu. Sahabat-sahabat Ayub pun mengaitkan perkenanan Tuhan dengan berkat-berkat jasmani. Namun jelas di akhir cerita bahwa Tuhan tetap memperkenan dan memberkati kehidupan Ayub, bukan hanya karena ia akhirnya mendapat kekayaannya dua kali lipat, melainkan bahwa melalui pencobaan itu ia lebih mengenal Allah secara pribadi. Di dalam bagian ini, Daud memang sedang memohon berkat. Kita harus mengatakan bahwa ini bukan hanya mencakup berkat fisik saja melainkan berkat dalam pengertian yang lebih utuh (yang mendapatkan penggenapan puncaknya dalam diri Yesus Kristus).

Ada satu tafsiran yang mengaitkan bagian ini dengan ayat yang pertama karena seluruh pasal memang membicarakan tentang fighting spirit. Memelihara fighting spirit berkait erat dengan berkat ini. Maksudnya, ketika Gereja memelihara fighting spirit, mereka akan menyelamatkan generasi yang berikutnya. Tetapi ketika Gereja tidak memelihara fighting spirit, dia tidak hanya sedang merusak dirinya sendiri, melainkan dia juga akan menghancurkan generasi yang berikutnya. Gereja-gereja yang tidak memelihara fighting spirit lambat laun akan menjadi tempat yang menyatakan sisa-sisa kebudayaan Kristen tetapi yang sudah kehilangan esensi di dalam kehidupan Kristen yang sesungguhnya.

Gambaran yang dikatakan dalam ayat 12 – 15 juga menceritakan suatu keadaan eskatologis yang sempurna, pengharapan di masa yang akan datang. Dan sekali lagi, keadaan seperti ini tidak diperoleh atau dituai tanpa fighting spirit. Moltmann, seorang teolog yang merayakan ulang tahunnya yang ke-80 pada tahun ini, memberikan suatu penekanan yang menarik karena dia menjadikan eskatologi sebagai tarikan yang terutama dalam theologinya. Theologi Moltmann banyak membahas tentang Allah yang bersimpati terhadap penderitaan manusia, Allah yang solider. Kita percaya bahwa ini juga adalah ajaran yang diajarkan Alkitab dalam surat Ibrani (bahwa Yesus adalah Imam Besar yang mengerti kesulitan-kesulitan kita karena Ia sendiri mengalami pencobaan). Namun Tuhan bukan hanya mengerti kelemahan kita, bersimpati dan solider terhadap kita. Ia jauh melampaui hal tersebut (jika kita sakit dan pergi ke dokter, lalu kita menjelaskan bahwa kita sedang sakit maag, kemudian dokter itu berkata, dengan penuh simpati, bahwa dia juga sering mengalami sakit maag, bahkan sakit maag yang lebih parah daripada saya, agaknya simpati sedemikian memberikan penghiburan yang tidak terlalu besar, apalagi suatu eschatological hope). Simpati dan solidaritas saja tidak cukup untuk memberikan suatu dorongan atau pengharapan eskatologis dalam kehidupan seorang percaya. Kita hidup dalam konteks yang semakin menyatakan dirinya sebagai jaman yang menggumulkan persoalan penderitaan dengan serius, lalu yang ditekankan dalam keadaan seperti ini adalah hidup solider, khususnya solider terhadap mereka yang menderita. Ya, ini memang ide yang sangat baik dan indah, namun sesungguhnya hanya mengandalkan kuasa solidaritas, apalagi solidaritas humanisme dan bukan teistik, menyenangkan manusia dan bukan Allah, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan orang yang pergi ke dokter tadi.

Alkitab mengatakan tidak ada damai yang sejati tanpa peperangan rohani. Damai yang sesungguhnya adalah damai yang kita tuai dari peperangan rohani. Tanpa peperangan rohani tidak ada damai sejati, itu hanyalah damai semu yang dibicarakan dalam tatanan retorika-retorika kosong manusiawi. Alkitab mengajarkan Yesus datang bukan untuk membawa damai, tetapi membawa pedang. Justru dengan pedang dan kuasa pemisahan itulah Dia membawa damai yang sesungguhnya. Ini bukan kontradiksi, Yesus tidak datang membawa damai sebagaimana damai yang dimengerti oleh dunia. Jika Yesus hanya datang untuk menolong orang miskin, melenyapkan penyakit, berdiakonia untuk orang lain, Ia tidak akan terancam hukuman mati! Yesus dibenci dan hendak dibunuh justru karena dia dengan berani memberitakan Injil kebenaran yang menusuk hati banyak orang yang membenci terang.

Berbuat kebaikan yang tulus sesungguhnya sudah menyatakan perang terhadap kejahatan. Kedatangan Yesus sesungguhnya meresahkan orang-orang beragama, orang-orang Farisi, meresahkan Herodes dan Pilatus, ya, meresahkan mereka yang tetap mencintai kejahatan dan membenci kebenaran, namun menjadi penghiburan yang besar bagi mereka yang bergumul untuk kebenaran dan keadilan yang sejati, kasih dan penerimaan yang tulus, kelimpahan hidup yang sesungguhnya. Ia tidak pernah mengkompromikan identitasnya sebagai Anak yang diutus oleh Bapa-Nya, ia terus memancarkan kebaikan, kemurahan, kekudusan dan kebenaran, kehadiran-Nya selalu bersifat memisahkan antara mereka yang dengan rendah hati mau menerima terang itu dengan mereka yang lebih suka hidup dalam kegelapan. Ketika kita tekun berbuat baik kepada sesama kita, jangan kita menjadi kecewa jika ketulusan hati kita tidak selalu diterima dengan baik, selalu ada orang-orang yang terus mencurigai, bahkan membenci kehadiran kita. Firman Tuhan mengatakan, “Seorang murid tidak lebih daripada gurunya” (Luk. 6:40), jika Tuhan kita telah mengalami semua itu, kita pun juga akan melewati jalan yang sama.

Ia sudah berperang mendahului kita dan telah menang. Ia sedang terus mengumpulkan tentara-tentara-Nya untuk berbagian dalam peperangan yang sudah dimenangkan-Nya. Berbahagialah mereka yang dengan tekun terus berbagian di dalamnya karena sesungguhnya perjuangan mereka tidak akan sia-sia. Tuhan menguatkan dan memberkati kita sekalian.

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE




Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio, S.S.



Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J. S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Theologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman: Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral (Ph.D.–Cand.) di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.

No comments: