09 June 2008

Spiritual Battle-2

Spiritual Battle-2

Nats: Mazmur 144


Dalam kehidupan kita mengikut Tuhan, seharusnya kita senantiasa berada dalam keadaan yang berjaga-jaga, memelihara fighting spirit. Peperangan rohani ini memang dicanangkan setelah kejatuhan. Kita tidak perlu berspekulasi andaikan Adam dan Hawa tidak jatuh. Faktanya adalah setelah kejatuhan, permusuhan itu sudah diumumkan “Aku (TUHAN Allah) akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15). Peperangan ini sudah diumumkan dan tidak mungkin ditarik kembali, tidak ada gencatan senjata, ini adalah suatu drama kosmik yang sedang terjadi. Manusia tidak mungkin tidak terlibat dalam realita ini. Persoalannya, di mana, atau lebih tepat, pada siapakah kita berpihak? Firman Tuhan hanya memberikan dua pilihan: si ular tua atau keturunan perempuan itu (Yesus Kristus). Kita dapat memilih untuk turut berperang bersama Kristus, atau berada pada pihak yang lain, atau membangun suatu ilusi seolah-olah perang itu tidak pernah ada dan tidak sedang terjadi.

Ada beberapa hal yang dapat dikontraskan dengan orang percaya yang turut serta dalam peperangan rohani ini. Antitesis dari fighting spirit ini yang pertama adalah kemalasan. Orang yang membuang-buang waktu, potensi, bakat yang ada pada dirinya atau menggunakannya di luar konteks peperangan rohani ini, suatu saat akan dihakimi oleh Allah. Yang kedua, mengutip Charles Spurgeon, “a sinful desire to comfort living”, suatu kerinduan yang berdosa terhadap kehidupan yang nyaman. Jangan-jangan spirit ini juga dimasukkan ke dalam beribadah, pengikutan kepada Tuhan, semua menuju kepada kenyamanan. Kenyamanan hidup sebagai berhala. Ketiga adalah kehidupan yang mempertahankan status quo rohani, tidak ada keinginan untuk maju dan melampaui keadaan yang sekarang, lalu jatuh ke dalam keadaan kepuasan diri yang salah (self-satisfaction). Keempat, discouragement, patah semangat, tidak ada lagi gairah dan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Salah satu pekerjaan iblis adalah membawa kita ke dalam keadaan discouraged. Di situ ia menipu kita dengan mengatakan bahwa kita tidak ada kekuatan lagi untuk melayani dan bahwa kita sangat kelelahan, ia akan terus menggiring kita untuk melihat dengan jelas kekecewaan hati kita, kesulitan-kesulitan yang tampaknya tidak mungkin dapat kita atasi, pesimisme yang tanpa harapan. Bahkan Martin Luther pun pernah mengalami masa-masa seperti ini. Ada saat-saat di mana dia depresi, merasa bahwa gerakan reformasi tidak berjalan sebagaimana yang dia pikirkan. Di dalam saat-saat seperti itu seorang pelayan Tuhan akan sangat mudah tergoda untuk berpikir “Jangan-jangan saya terlalu idealis, apakah ini mimpi saya sendiri dan bukan pekerjaan Tuhan, apakah saya telah salah mencari kehendak Tuhan?” Pertanyaan-pertanyaan introspeksi itu memang sangat baik dan menjadi bagian yang sehat dalam kerohanian Kristen, namun bisa juga menjadikan kita bingung dan tidak sanggup lagi untuk berjalan dalam iman. Salah satu kesulitan di dalam discouragement dalam kehidupan kita (entah itu pelayanan gerejawi, pekerjaan, study, keluarga dsb) adalah kita cenderung tidak melihat bahwa persoalan itu semata-mata ditimbulkan oleh sosok-sosok yang ada di sekitar kita secara horisontal. Ini adalah tipu muslihat iblis yang lain lagi. Waktu kita discouraged/kecewa, kita tidak lagi melihat bahwa itu dapat ditungganggi oleh pekerjaan si jahat. Kita hanya melihat bahwa kekecewaan ditimbulkan oleh orang ini atau orang itu atau lain-lainnya. Kita tidak melihat persoalan yang sesungguhnya, kita telah dikelabui. Kita melihat dengan satu perspektif yang tidak utuh. Apa yang terjadi di dunia ini adalah semacam drama kosmik. Tetapi kalau kita membaca surat kabar, tentunya hampir tidak ada yang memuat berita drama kosmik ini. Manusia terlalu biasa hanya membaca dalam perspektif ekonomi, sosial, budaya, politik, ekologi yang independen dari Tuhan. Inilah yang kita baca setiap hari di surat kabar. Tetapi sesungguhnya dari perspektif Tuhan sangat berbeda.

Orang yang berada dalam fighting spirit akan bertumbuh secara pesat. Orang yang tidak banyak mengalami hal ini akan tertinggal di dalam pengikutan kepada Tuhan. Tetapi kita harus membedakan fighting spirit yang bersifat alami dengan fighting spirit yang dari Tuhan. Memang ada orang-orang yang dari kecil memiliki fighting spirit (mulai dari memiliki sifat pekerja keras sampai dengan suka tawuran). Hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan fighting spirit yang dari Tuhan. Ada orang yang secara bawaan sabar luar biasa, dalam keadaan apapun dia tersenyum. Tapi itu tidak selalu berarti kesabaran yang dari Tuhan karena mungkin memang bawaannya seperti itu. Ini pembawaan alami yang memang ramah. Kita melihat di dalam Firman Tuhan bahkan orang-orang yang secara temperamen alami sabar, waktu Tuhan membentuk berdasarkan standar-Nya nyatalah bahwa mereka ternyata tidak terlalu sabar. Contohnya Abraham, menurut analisa Tim LaHaye adalah orang yang bertemperamen flegmatik. Abraham digambarkan sebagai orang yang tenang, sabar, bahkan demikian tenang dan sabarnya sampai janji Tuhan yang diberikan kepadanya tidak membuat dia percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan dengan sabar menanti penggenapan janji itu, ia malah berusaha mendahului Tuhan dengan menikahi Hagar dengan harapan mendapatkan keturunan melaluinya. Penggenapan jani itu dianggap terlalu lambat hingga Tuhan perlu menyatakan janji itu sekali lagi dan sekali lagi. Ketika dalam keadaan yang sulit dan terpojok dia tidak mengatakan separuh kebenaran dengan motivasi mengelabui Abimelekh (peristiwa ini menjadi suatu persoalan etis yang menarik untuk dibicarakan, apakah di sini Abraham sebenarnya berdusta atau tidak. Kita tidak menilai persoalan etis berdasarkan ajaran Kant dengan etika deontologisnya, melainkan etika Kristen harus dinilai berdasarkan iman atau relasi di hadapan Tuhan. Dan nyatalah dalam kasus ini Abraham bukan tidak bersalah, karena sekalipun berdasarkan standard etika Kant dia tidak berdusta [karena Sara memang istrinya], namun berdasarkan standard firman Tuhan ia sudah bersalah karena di situ ia memiliki motivasi mengelabui Abimelekh, dan juga bahwa motivasi itu timbul karena ketakutan diri supaya tidak dibunuh [motivasi egois], dan terlebih lagi karena ketakutan ini sebenarnya berakar dari ketidak-berimanan Abraham kepada Allah yang sanggup memelihara hidupnya, dalam peristiwa ini Abraham gagal menyatakan iman percayanya kepada Tuhan). Di sini kita melihat orang yang tenang dan sabar secara alamiah, secara pembawaan tidak tentu lulus berdasarkan standard kesabaran Tuhan. Di bagian lain Paulus pernah mengatakan di dalam suratnya bahwa jemaat di Korintus begitu ‘sabar’ terhadap orang-orang yang mengajarkan ajaran yang salah (2Kor. 11:4), memperhambakan mereka, menghisap mereka, menguasai mereka etc (11:20) dan dalam bahasa sindiran Paulus mengatakan bahwa di dalam hal ini ia terlalu lemah dibandingkan dengan jemaat Korintus yang memiliki lebih banyak ‘kesabaran’ (yaitu kesabaran alami dan bukan kesabaran yang dari Tuhan). Demikian pula halnya dengan fighting spirit, ada orang yang memang bawaannya suka bekerja keras, suka melakukan banyak hal, tidak bisa berdiam diri, suka mengerjakan yang paling banyak, tetapi persoalannya: tidak selalu yang dipercayakan dari Tuhan.

Dalam kehidupan kita, kita sebenarnya lebih suka fight untuk hal-hal yang menguntungkan diri kita sendiri. Tetapi hal-hal yang Tuhan ingin kita kerjakan, kita lebih gampang menyerah dan discouraged. Inilah keadaan kita yang sesungguhnya. Hal yang ingin kita dapatkan maka kita akan lebih ada fighting spirit, lebih ulet dan tekun. Tetapi giliran hal yang Tuhan percayakan, kita tunda-tunda, enggan dan lalu kita membenarkan diri dengan mengatakan , “Aku berserah, aku berserah, pada Yesus, Juruselamat …”. Pada kenyataannya kita kurang memiliki fighting spirit, tidak ada daya juang untuk menggenapkan apa yang Tuhan inginkan. Di dalam kehidupan Daud, dia dibentuk oleh Tuhan dalam hal ini karena dia sedang dipersiapkan Tuhan untuk menjadi seorang pemimpin.

No comments: