26 March 2008

Roma 6:20-23: HAMBA DOSA VS HAMBA KEBENARAN-2: Akibat dari Status dan Kondisi yang Diubahkan

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-8


Hamba Dosa Vs Hamba Kebenaran-2 :
Akibat dari Status dan Kondisi yang Diubahkan


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 6:20-23.

Setelah mempelajari tentang status dan kondisi yang diubahkan di dalam diri orang percaya di ayat 15 s/d 19, maka selanjutnya kita akan mempelari tentang akibat dari status dan kondisi yang diubahkan tersebut di empat ayat terakhir di pasal 6 ini.

Pada ayat 20, Paulus melanjutkan pembahasan tentang status hamba dosa, yaitu, “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran.” Ketika kita menghambakan diri di bawah dosa (atau dosa menjadi tuan hidup kita), pada saat yang sama kita bebas dari kebenaran. Kata bebas berarti terlepas atau tidak terikat, lalu kebenaran di dalam ayat ini menggunakan kata Yunani dikaiosunē yang artinya kebenaran keadilan. Dengan kata lain, ketika kita mentuankan dosa, kita tidak terikat dengan kebenaran atau tidak ingin/mau menjalankan kebenaran keadilan. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “...tidak dikuasai oleh kehendak Allah.” Gevena Bible Translation Notes memberikan catatan kaki pada bagian ini, “Righteousness had no rule over you.” (=Kebenaran keadilan tidak memiliki kekuasaan atasmu.) John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bebas dari kebenaran sebagai tidak memiliki kebenaran/tidak ada kebenaran. Dari beberapa pengertian di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting tentang status hamba dosa, yaitu :
Pertama, ketika kita mentuankan dosa, kita tidak memiliki kebenaran keadilan. Ketika kita melihat di dalam penciptaan, kita mengetahui bahwa Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Dengan kata lain, manusia menyandang gambar Allah sekaligus sifat-sifat Allah yang dikomunikasikan (communicable attributes of God), misalnya kebenaran, keadilan, kejujuran, kesetiaan, dll untuk menaklukkan dan memelihara alam semesta ini (Kejadian 1:28 ; 2:15). Di dalam theologia Reformed yang ketat, hal ini disebut mandat budaya, artinya kita mendapatkan perintah/mandat dari Allah untuk mengelola sekaligus memelihara alam semesta untuk memuliakan Allah. Tetapi sayangnya, manusia yang dipercayakan hal ini tidak bertanggungjawab, sehingga mereka mempermainkan tanggung jawab melalui Hawa yang lebih menaati perkataan iblis untuk makan buah pengetahuan baik dan jahat ketimbang taat mutlak kepada Allah yang melarangnya untuk makan buah tersebut. Di dalam kondisi inilah, dosa mulai mengintip dan masuk ke dalam manusia, dan mengakibatkan manusia tidak lagi mengindahkan kebenaran keadilan dari Allah. Hal ini terlihat dari Kain yang marah kepada Habel karena persembahan Kain tak diterima oleh Allah. Kemarahannya ini berpuncak pada tindakan pembunuhan Kain (Kejadian 4:8), padahal Allah telah memperingatkannya (Kejadian 4:6). Di sini, kita melihat Kain adalah bukti selanjutnya setelah Hawa bahwa dosa membuat orang yang mentuankannya tidak lagi menghiraukan kebenaran keadilan sejati dari Allah.
Kedua, ketika kita mentuankan dosa, kita tidak dikuasai oleh kehendak Allah. Mengutip contoh Kain, dosa membuat Kain tidak lagi dikuasai oleh kehendak Allah untuk berbuat baik, meskipun Allah telah memperingatkannya. Dikuasai oleh kehendak Allah adalah keinginan setiap umat pilihan-Nya untuk memuliakan Allah. Tetapi dosa membuat orang yang mentuankannya menjadi gila, memuja diri, menghina orang lain dan terutama menghina serta mengumpat Allah. Para pemuja dualisme, materialisme, humanisme, dll adalah contoh-contoh orang yang mentuankan dosa. Mengapa ? Karena mereka dikuasai oleh kehendak pribadi ketimbang kehendak Allah yang Mahakudus. Ketika hidup kita lebih berorientasi kepada materi, pribadi, nafsu, dll, di saat itulah kita lebih menaati kehendak diri dan materi ketimbang Allah dan di saat itu pulalah kita sedang mentuankan dosa, meskipun kita tidak pernah menyadarinya.

Lalu, Paulus menyambung penjelasan di ayat 20 dengan dampak/buah/akibat dari dosa yang menjadi tuan atas manusia yaitu di ayat 21, “Dan buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa malu sekarang, karena kesudahan semuanya itu ialah kematian.” Kata “buah” di dalam ayat ini diterjemahkan John Gill sebagai, “profit, pleasure, satisfaction, or comfort” (=keuntungan, kesenangan, kepuasan, atau kesenangan hidup/hiburan/ketenangan). Dengan kata lain, Paulus hendak menanyakan bahwa ketika kita mentuankan dosa, apa keuntungan, kesenangan, kepuasan atau kesenangan hidup/ketenangan yang kita peroleh ? Ini bukan berbicara tentang utilitarianistik yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus berguna/menguntungkan, kalau tidak, tidak usah dikerjakan. Ini berbicara mengenai esensi hidup dan dampak. Paulus menjawab pertanyaan itu dengan dampak beruntun. Jawaban Paulus ini berbeda dengan jawaban abad postmodern. Postmodern yang mengilahkan relativisme menjawab bahwa ketika kita mentuankan dosa, hidup kita enak, menyenangkan, dll karena hidup kita tidak dikekang. Banyak orang postmodern mengimplikasikan filsafat mereka ini dengan mengatakan bahwa menjadi orang Kristen itu susah, karena tidak boleh sembahyang di depan kubur, tidak boleh dugem (dunia gemerlap), tidak boleh mabuk, tidak boleh free-sex, dll. Benarkah demikian ? TIDAK. Paulus menjawab dan menantang dunia postmodern dengan dampak dan akibat beruntun dari orang yang mentuankan dosa yaitu :
Pertama, merasa malu sekarang. Dosa mengakibatkan orang yang mentuankannya menjadi malu. Banyak orang postmodern mengatakan bahwa dosa itu menyenangkan, tetapi sayangnya mereka tak menyadari bahwa itu sesuatu yang memalukan. Mengapa malu ? Malu ini harus diukur dari standar kedaulatan Allah. Artinya, ketika manusia berdosa, seharusnya orang normal akan merasa malu di hadapan Allah yang Mahakudus. Mengapa ? Karena dirinya tak sebanding dengan Allah yang Mahakudus. Coba kita berdiri di depan presiden (meskipun tetap manusia berdosa), kita akan sangat malu sekali misalnya ketika kita sembarangan duduk atau berlaku tak sopan. Tetapi herannya, di hadapan Allah yang Mutlak Suci, kita tidak memiliki malu. Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa hal ini adalah pembalikkan posisi. Artinya, kepada siapa yang seharusnya kita malu, kita tidak pernah malu (bahkan memalukan ; bahasa kerennya : malu-maluin), sebaliknya kepada siapa yang seharusnya kita tidak usah malu, kita malahan malu sekali. Inilah dosa kemaluan yang sebenarnya memang memalukan di hadapan Allah. Hal ini bisa diimplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika kita berdosa seperti free-sex, bicara kotor, dll, kita seharusnya merasa malu, karena tidak seharusnya kita yang diciptakan menurut peta teladan Allah yang Mahakudus malahan berbuat hal-hal yang menyakitkan hati-Nya.
Kedua, kematian. Kemaluan ini lama-kelamaan, jika tidak disembuhkan (artinya orang yang malu tersebut harus bertobat), akan mengakibatkan kematian. Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan bahwa kematian itu kesudahannya atau (tujuan) akhir (goal/end). Artinya, kematian itu upah/ongkos yang seharusnya diterima oleh orang yang mentuankan dosa dan tidak mau bertobat sungguh-sungguh. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 23a dengan mengatakan, “Sebab upah dosa ialah maut;” Dosa mengakibatkan bukan hanya merasa malu, tetapi juga kematian kekal/neraka. Dan ketika kita dimasukkan ke dalam neraka, tidak ada lagi pengharapan kita dapat diselamatkan, karena di saat itu kita sudah berada di dalam kematian kekal yang sama sekali tak berpengharapan. Ketika kita diperkenankan Tuhan untuk menyadari dosa-dosa kita saat ini, segeralah bertobat dan kembalilah kepada Tuhan Yesus Kristus, karena Ia adalah Allah yang mengasihi orang yang berdosa dan tetap menghukum mereka yang tidak mau bertobat.

Karena tidak ada lagi pengharapan bagi orang yang mentuankan dosa, maka Paulus memberikan solusi satu-satunya, yaitu di ayat 22, “Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.” Agama-agama postmodern (di luar keKristenan yang sejati) mengajarkan bahwa amal/perbuatan baik mampu menawarkan solusi bagi permasalahan dosa atau mengurangi dosa. Bahkan di abad pertengahan, Gereja Roma Katolik mempopulerkan surat indulgensia untuk membangun gedung gereja Basilica St. Petrus dengan mengajarkan bahwa ketika jemaat mencemplungkan uang ke dalam kantong persembahan, maka jiwa orang-orang yang mereka kasihi langsung berpindah dari api penyucian (purgatori) ke “Surga”. Pada saat itu, orang-orang tergila-gila dan akhirnya tanpa berpikir panjang (mirip dengan orang postmodern yang anti-rasio) mereka berlomba-lomba mencemplungkan uang sebanyak mungkin agar jiwa orang-orang yang mereka kasihi dapat diselamatkan. Pada saat itu, Dr. Martin Luther melawan ajaran gila itu dan mengadakan reformasi dengan mengajarkan salah satunya adalah keselamatan itu murni adalah anugerah Allah melalui iman, bukan melalui amal/perbuatan baik. Di saat itu pulalah, seluruh gereja Reformasi dan Reformed/Calvinisme mengajarkan pentingnya anugerah Allah tanpa membuang unsur perbuatan baik sebagai akibat dari pembenaran melalui iman. Kembali, sebagai solusi terhadap dosa, Paulus mengatakan bahwa kita dimerdekakan dari dosa. Kata “dimerdekakan dari dosa” tentu bukan berarti kita yang memerdekakan sendiri dari dosa dengan amal/perbuatan baik, karena pernyataan ini mengandung arti bahwa ada Pribadi yang memerdekakan kita (pernyataan ini memakai bentuk pasif). Dimerdekakan dari dosa mengandung arti kita tidak lagi terikat oleh kuasa dosa (dosa tidak lagi menguasai kita), atau kita tidak lagi mentuankan dosa. Lalu, pertanyaan selanjutnya, siapakah yang mampu memerdekakan kita dari dosa ? Nabi ? Rasul ? Pemimpin agama ? TIDAK ! Mereka semuanya sama-sama berdosa, bahkan seorang pemimpin agama dari agama terbanyak di Indonesia mengajarkan bahwa umatnya mendoakannya agar dirinya sebelum mati diterima di sisi“-Nya”. Ini membuktikan manusia seberapa “agung”, tetap saja berdosa dan tak berpengharapan. Lalu, bagaimana ? Di ayat 23b, Paulus menjelaskan, “karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Tidak ada jalan lain, Allah dari Surga harus menyelamatkan manusia yang berdosa. Caranya ? Caranya adalah Allah Bapa mengutus Allah Anak, Putra Tunggal-Nya, yaitu Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dan menyelamatkan manusia berdosa. Hal ini disebabkan karena kasih-Nya yang begitu besar bagi dunia (Yohanes 3:16) sekaligus bukti keadilan-Nya yang Mahakudus untuk memisahkan siapa yang termasuk umat pilihan-Nya yang percaya di dalam Kristus dan siapa yang memang sudah ditentukan-Nya untuk dibinasakan (otomatis sebagai lawan dari umat pilihan-Nya, yaitu umat reprobasi/kaum tertolak) yang terbukti dengan menghujat Kristus. (Yohanes 3:18-19)

Setelah Allah menganugerahkan keselamatan di dalam Kristus bagi umat pilihan-Nya, dampak apa yang terjadi ?
Pertama, pengudusan. Di ayat 22, Paulus mengajarkan bahwa setelah kita dimerdekakan dari dosa, kita beroleh buah yang membawa kita kepada pengudusan atau pemurnian (Yunani : hagiasmos ; Inggris : purification). Dengan kata lain, anugerah keselamatan dari Allah di dalam Kristus bagi umat pilihan-Nya memungkinkan umat-Nya tidak lagi berkanjang di dalam dosa, tetapi hidup kudus di dalam proses menuju kepada kesempurnaan Allah. Kita bisa hidup kudus karena Roh Kudus di dalam hati kita mencerahkan, menguduskan dan mengingatkan kita terus-menerus akan Firman Allah. Tetapi tidak berarti kita tidak ada inisiatif. Kita dapat inisiatif untuk hidup kudus karena Allah Roh Kudus yang memunculkan inisiatif tersebut. Puji Tuhan ! Tanpa-Nya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Kedua, kita bisa kudus karena kita melihat Pribadi Allah yang Mahakudus. Hal ini diajarkan oleh Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 1:16 dengan mengutip Imamat 11:44-45 ; 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Dengan kata lain, penebusan Kristus yang diefektifkan oleh Roh Kudus memungkinkan kita yang dahulu gemar terhadap dosa berbalik arah menjadi gemar akan kebenaran Allah dan menjadi kudus secara progresif. Ini disebabkan karena penebusan Kristus mengembalikan citra diri manusia berdosa kepada posisinya semula yaitu sebagai gambar dan rupa Allah yang mengerjakan kekudusan, kesetiaan, kejujuran, kebenaran, keadilan, kasih, kebaikan, dll.
Kedua, hidup yang kekal. Di ayat 22, Paulus menjelaskan bahwa setelah kita dikuduskan, kita nantinya beroleh hidup yang kekal. Berbeda dari akibat status hamba dosa yang mengakibatkan kita mati kekal, maka sebagai hamba kebenaran, kita nantinya akan hidup kekal di dalam Tuhan Yesus Kristus. Artinya : pertama, keselamatan umat pilihan-Nya dijamin oleh Allah sampai akhir. Dengan kata lain, ketika Allah telah memilih umat-Nya, Ia pula yang menyediakan keselamatan di dalam Kristus dan mengefektifkan karya penebusan Kristus itu melalui karya Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya serta memelihara keselamatan itu sampai akhir. Ini merupakan bukti providensia (pemeliharaan) dan kesetiaan Allah kepada umat-Nya. Adalah ajaran yang sangat konyol dari “theologia” Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan bisa hilang, karena mereka murtad. Mengapa konyol ? Karena mereka sebenarnya bukan saja menyerang Calvinisme, tetapi juga menyerang Allah dengan mengajarkan bahwa Allah itu “kewalahan” (kurang kuasa) ketika manusia mau murtad dan melawan Allah sekehendak hatinya. Dapat disimpulkan, Arminianisme menempatkan manusia sebagai pusat otoritas dan Allah sebagai “kacung/pembantu” manusia di dalam keselamatan. Kedua, hidup yang kekal berbicara mengenai kebangkitan tubuh. Kita bisa tetap mati secara fisik (di dalam kuburan), tetapi kita akan dibangkitkan secara fisik pada hari Kristus datang kedua kalinya. Di saat itu, kita mengalami hidup kekal yang 100% murni tidak bisa dipengaruhi oleh dosa, nafsu, dll, karena tugas kita di sana adalah hanya memuji Allah. Injil Yohanes 3:16 juga mengajarkan bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya (Kristus) tidak akan binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Bukankah ini merupakan suatu jaminan kekal bagi kita yang dipilih-Nya dari semula untuk percaya di dalam Kristus ? Sudahkah kita mengimaninya ?

Hari ini, setelah kita merenungkan keempat ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk sekali lagi hidup bagi Allah dengan berfokus pada Kristus ? Adakah kita berkomitmen untuk tidak lagi menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya serta hidup kudus ? Itulah citra diri hamba Kebenaran yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia. Soli Deo Gloria. Amin.

No comments: