11 March 2008

Matius 9:14-17: ESENSI ATAU FENOMENA

Ringkasan Khotbah : 5 Juni 2005
Esensi atau Fenomena
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:14-17


Sebagai warga Kerajaan Sorga sejati maka kita harus taat – hidup seturut dengan hukum Kerajaan Sorga yang disusun oleh Kristus Yesus, Sang Raja, hukum itu dikenal dengan “Khotbah di atas Bukit“ (Mat. 5-7). Jadi, seorang Kristen bukanlah orang yang sekedar mempunyai atribusi Kristen tetapi harus berpaut dan terkait dengan status dan naturnya sebagai warga Kerajaan Sorga. Hukum Kerajaan Sorga itu haruslah terimplikasi dalam hidupnya sehingga orang dapat melihat bahwa hukum yang Kristus tegakkan tersebut bukanlah sekedar teori belaka. Implikasi hukum Kerajaan Sorga oleh Matius dibagi dalam empat sub tema dan setiap sub tema terdiri dari 17 ayat (Mat. 8:1-17; 18-34; 9:1-17; 18-34) dan setiap sub tema memuat tiga cerita. Adapun dari keempat sub tema kita telah sampai pada sub tema ketiga dan cerita ketiga maka ada baiknya kita mengingat kembali sub tema yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:

Pertama, the Lordship of Christ, Kristus bukan sekedar Juruselamat tetapi Dia adalah Tuhan (baca: Tuan) berarti kita adalah budak-Nya. Seorang Kristen sejati seharusnya berorientasi pada Kristus yang adalah Tuan atas hidupnya. Orang yang mengaku warga Kerajaan Sorga tetapi hidupnya tidak mencerminkan hidup seorang Kristen sejati, tidak mengakui Kristus sebagai Tuannya maka ia bukan warga Kerajaan Sorga tetapi ia lebih cocok disebut sebagai seorang pengkhianat Kerajaan Sorga.

Kedua, the discipleship, pemuridan; kata "murid" berkait dengan mengikut Kristus dan mengikut disini bukan bersifat sementara tetapi mengikut Tuhan Yesus harus totalitas tanpa syarat apapun. Menjadi murid Kristus berati kita belajar dari Kristus, dibentuk oleh Dia sehingga hidup kita menjadi hidup yang dikenan oleh-Nya.
Ketiga, separated, pemisahan; pengikut Kristus harus hidup kudus. Kudus berasal dari kata kadosh (bahasa Ibrani) artinya dipisahkan dari dunia karena kita sedang mewakili atau memancarkan sifat khusus yang berbeda dengan dunia dan salah satunya adalah kesucian dimana sifat suci hanya ada dalam diri seorang anak Tuhan yang sejati. Jadi, kudus berbeda artinya dengan suci. Dan dalam sub tema ini, Matius memberikan tiga peristiwa dan orang seringkali terkecoh dengan ceritanya sehingga gagal menangkap esensi yang sesungguhnya.
Pada kisah yang ketiga, seperti kejadian sebelumnya, kali inipun orang Yahudi tidak puas dengan “kelakuan“ murid-murid Tuhan Yesus karena hari itu mereka puasa sedang murid-murid Tuhan Yesus tidak. Perlu diketahui, pengikut Yohanes Pembaptis bukan pengikut Tuhan Yesus. Para pengikut Yohanes Pembaptis masih menggunakan konsep Yudaime begitu juga dengan orang Farisi bahkan mereka termasuk dalam golongan orang yang paling keras dan fanatik dalam menjalankan ritual agama, salah satunya ritual puasa. Konsep puasa ini sudah muncul sejak perjanjian lama dimana puasa dimulai dari pagi hingga matahari terbenam sebagai tanda berakhirnya hari dalam satu hari. orang Yahudi berpuasa selama sehari penuh dan keesokan harinya barulah mereka makan. Perhitungan hari orang Yahudi dimulai dari jam 6 petang hingga jam 6 petang. Puasa dilakukan pada setiap hari pendamaian, the day of atonnement, yaitu tanggal 7 bulan 10 namuan dalam perkembangannya puasa berubah menjadi ritual agama. Orang Yahudi beranggapan bahwa Allah berkenan pada orang yang puasa Senin – Kamis. Dan hukum puasa ini mulai dibakukan. Berarti orang Yahudi minimum berpuasa selama dua kali seminggu atau 104 hari dalam setahun.

Hal puasa inilah yang diributkan oleh pengikut Yohanes Pembaptis. Dan jawaban yang Tuhan Yesus berikan sepertinya tidak menjawab apa yang menjadi pertanyaan mereka (Mat. 9:15) namun jawaban itu sangatlah kita mengerti sebaliknya ilustrasi yang diceritakan Tuhan Yesus (Mat. 9:16-17) ini sangat dimengerti oleh orang Yahudi tapi tidak dimengerti oleh kita sekarang. Jawaban Tuhan Yesus ini menjadi tanda sekaligus memposisikan diri dan membedakan diri-Nya dengan orang lain. Dengan puasa itu, orang Yahudi merasa dirinya “beragama“ dan “saleh.“ Tidak hanya puasa, orang Yahudi juga menjalankan aturan lain seperti disunat pada hari ke delapan, menjadi anak Taurat pada usia 12 tahun, mereka juga harus menjalankan aturan-aturan Sabat dan masih banyak aturan lain demi untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia adalah seorang Yahudi tulen.
Aturan puasa pertama kali dibakukan dalam kitab Imamat dan mempunyai konsep:
Pertama, kerendahan hati, orang merasa kalau dirinya adalah orang yang papah, yakni miskin secara keberadaan menggambarkan dirinya tidak mempunyai nilai apapun, Kedua, orang yang membutuhkan belas pengasihan dan rahmat dari Allah atas dosa-dosa mereka maka hidup itu mutlak karena anugerah Tuhan. Daud menyadari akan konsep ini, dia berpuasa ketika ia menyadari kalau anak hasil perbuatan dosanya harus mati namun reaksi yang ditunjukkan Daud berbeda ketika anaknya sudah mati, yaitu ia mengakhiri puasanya. Reaksi Daud ini berada di luar dugaan orang-orang terdekat Daud sebab disangkanya Daud akan marah pada Tuhan karena doanya tidak dijawab. Daud berpuasa bukan untuk memaksa supaya anaknya tidak mati. Konsep mereka tentang puasa ternyata tidak beda dengan kita pada hari ini, yaitu dengan puasa maka Tuhan harus menuruti apa yang menjadi kehendak kita. Puasa bukanlah mogok makan supaya keinginan kita dituruti. Tidak! Daud puasa karena ia tahu bahwa ia adalah orang berdosa yang membutuhkan belas pengasihan Tuhan, Ketiga, sesudah pembuangan, puasa mempunyai tambahan makna, yaitu menyadari bahwa diri adalah orang yang rapuh yang mudah terterpa oleh godaan dosa. Maka puasa adalah usaha manusia untuk berperang melawan godaan-godaan iblis yang membelenggu hidup manusia.

Sayangnya, konsep puasa tersebut telah mengalami penggeseran. Andaikata, orang berpuasa karena ia mengerti esensi puasa pertanyaannya masihkah ia protes pada Tuhan Yesus karena pengikut-Nya tidak berpuasa? Jadi jelaslah mereka berpuasa karena aturan dan lama kelamaan puasa menjadi hal yang rutinitas dan kehilangan makna. Puasa seharusnya menjadikan orang rendah hati namun kini, orang menjadi sombong karena merasa dirinya lebih “saleh“ dibanding orang lain. Sayang, inti iman begitu dalam telah bergeser menjadi kesombongan rohani. Mungkinkah hari ini kita juga jatuh pada hal yang sama dimana ritual agama sudah menggeser esensi agama? Inti iman justru hilang dan digantikan dengan aplikasi agama. Hati-hati, bukan karena kita pergi kebaktian tiap minggu atau saat teduh setiap hari atau aktif melayani berarti kita orang saleh. Tidak! Kesalehan tidak diukur dari seberapa banyak kita menjalankan ritual agama.

Puasa menjadi mekanis karena ada aturan yang mengharuskan kita untuk berpuasa padahal sesungguhnya orang tidak suka menjalankan puasa. Celakanya, kita sudah capek-capek puasa, tapi orang lain tidak puasa maka timbullah rasa iri hati. Puasa seharusnya menyangkal diri supaya tidak berdosa tapi kini menjadikannya semakin berdosa. Makna puasa telah bergeser menjadi ritual. Kalau kita mengerti makna pelayanan maka rasa iri hati itu tidak akan timbul ketika melihat orang lain tidak melayani, saat itu kita justru menjadi berdosa dan tidak diperkenan Tuhan. Praktek-praktek ritualitas ini telah mencengkeram agama dunia karena itu kita perlu dimerdekakan oleh Tuhan Yesus. Sebagai warga Kerajaan Sorga yang beriman di dalam Kristus maka hidup kita tidak sama dengan tatanan agama yang ada di dunia. Kita telah dipisahkan dari dunia dengan demikian orang dapat melihat perbedaan orang yang hidup dan menjadi warga Kerajaan Sorga dengan orang yang hidup menurut dunia, yaitu:

I. Esensi – Fenomena
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, seseorang menjadi penganut agama tertentu karena ia telah menjalankan aturan yang diberlakukan dalam agama tersebut, seperti membaca kalimat tertentu, melakukan aturan yang berlaku maka barulah orang tersebut sah menjadi penganut agama tersebut. Akan tetapi dalam Kekristenan, ritual agama seperti baptisan tidak menjamin keselamatan. Sayangnya, ajaran ini pun mulai diselewengkan maka tidaklah heran kalau kemudian orang ramai-ramai minta dibaptiskan demi untuk memperoleh keselamatan. Penjahat yang berada di samping Tuhan Yesus tidak pernah dibaptis namun ia bertobat dan ia diselamatkan. Keselamatan tidak tergantung dari ritual apapun. Iman Kristen meminta kita menjadi warga Kerajaan Sorga karena esensi diri kita dalam hubungan dengan Kristus sebagai Raja. Apalah artinya seluruh pelayanan kita kalau tidak men-Tuhankan Kristus dalam hati kita, apalah artinya persembahan kita kalau hati kita tidak berpaut pada Kristus. Gejala bisa menjadi implikasi dari esensi bukan sebaliknya. Semua anak Tuhan sejati pasti dibaptis, pasti melayani, pasti menjadi saksi, ia pasti taat menjalankan semua hukum Kerajaan Sorga. Pertanyaannya sekarang apakah orang yang dibaptis, orang yang aktif melayani, orang yang menjalankan semua ritual itu beriman pada Krsitus? Jawabnya: tidak sebab apa yang menjadi fenomena tidak mewakili apa yang esensi. Allah tidak melihat apa yang di depan mata tetapi Tuhan melihat hati. Sudahkah hati kita berpaut pada Kristus?

II. Iman – Ritual
Orang benar hidup oleh iman, dari iman, oleh iman dan berakhir dengan iman. Kekristenan melihat iman di atas ritual sebaliknya dunia melihat ritual lebih dari pada iman. Perbedaan ini menjadi suatu pemisahan. Orang yang ingin melihat bukti terlebih dahulu baru kemudian ia mau beriman maka itu bukan iman tetapi ritual. Kalau sudah ada bukti lalu untuk apa lagi kita percaya? Iman justru karena tidak ada bukti maka kita percaya. Kegagalan dunia dalam religiusitas adalah menggunakan tatanan dunia yang dikenakan dalam tatanan iman. Alkitab menegaskan orang benar adalah hidupnya karena percaya. Kristus Yesus adalah satu-satunya obyek iman sejati yang menjadi subyek yang menata seluruh hidup kita. Percaya berarti percaya. Orang yang berkata percaya tetapi masih penuh dengan segala pertanyaan berarti ia masih ragu-ragu. Thomas sadar akan hal ini, ia datang dan meminta ampun pada Tuhan Yesus ketika ia mulai meragukan kebangkitan Tuhan Yesus. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Kekristenan melihat iman di titik kulminasi dalam hidup kita. Saat kita beriman maka hidup kita akan menjadi kuat sebaliknya agama yang didasarkan pada ritual maka orang pasti mati-matian mempertahankannya karena takut tergoncangkan dan hancur. Bagaikan sebuah kain yang belum susut ditambalkan pada sebuah kain tua maka kain tua itu akan rusak. Orang Yahudi tahu bahwa yang dimaksud dengan kain tua dan kantong kulit tua adalah dirinya, mereka mati di dalam aturan yang mereka buat sendiri.

III. Teosentris – Antroposentris
Iman sejati haruslah bersifat teosentris, yakni berpusat pada Allah bukan berpusat pada diri, antroposentris. Hampir sebagian besar agama-agama di dunia berpusat pada diri. Orang berpuasa karena ingin supaya orang lain melihat bahwa ia adalah seorang yang saleh, ia adalah seorang yang baik dengan demikian layak mendapat Kerajaan Sorga. Perhatikan, orang yang merasa dirinya baik justru menunjukkan kalau dirinya bukan orang baik. Segala sesuatu kalau berpusat dari Allah maka disanalah pondasi imanmu menjadi kuat berbeda halnya kalau segala sesuatu kita kerjakan berpusat pada diri maka akibatnya akan timbul iri hati. Di jaman modern ini pelayanan buat Tuhan dijadikan sebagai ambisi pribadi maka tidaklah heran kalau gereja dijadikan sebagai ajang bisnis. Ingat, ketika orang hendak memulai suatu gerakan back to the Bible maka hendaklah kita mengevaluasi diri benarkah memang Tuhan yang menginginkan gerakan itu ataukah itu hanya menjadi ambisi pribadi kita? Ketika orang mulai menyelewengkan kebenaran Firman maka itulah waktunya bagi kita harus melawan dan “berteriak“ keras supaya orang kembali pada kebenaran Firman dengan demikian gereja Tuhan dimurnikan. Di saat kehendak diri bertentangan dengan kehendak Tuhan maka kita harus taat menjalankan-Nya bahkan meski untuk itu kita harus berkorban karena itulah yang menjadi kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan bukan mengerjakan apa yang menjadi kesukaan dan ambisi pribadi. Bukan! Biarlah kita mengerti apa yang bersih, apa yang benar dan melawan orang-orang yang telah melawan kebenaran Firman dan menjadikan gereja sebagai bisnis. Gereja bukanlah tempat bagi kita untuk mencari keuntungan, gereja bukanlah tempatnya pekerjaan yang berpusat pada manusia tetapi berpusat pada Kristus yang adalah Raja.
Inilah separasi, pemisahan, dimana sistem Kerajaan Allah berbeda dengan sistem kerajaan dunia. Pertanyaannya sekarang adalah sebagai warga Kerajaan Sorga sudahkah kita menyangkal diri, menyadari ketidakberdayaan kita lalu menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan? Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Kerjakanlah semuanya itu di dalam anugerah Tuhan bukan menurut kesombongan diri. Biarlah kita sebagai warga Kerajaan Sorga dipakai oleh Tuhan menjadi saksi-Nya dan mendatangkan kemuliaan bagi Kristus Sang Raja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

No comments: