02 December 2007

Pendahuluan (Bab 2) : BAGAIMANA MENAFSIRKAN ALKITAB DENGAN BERTANGGUNGJAWAB ?

Bab 2
Bagaimana Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab ?


Dunia postmodern adalah dunia yang sarat dengan semangat relativisme yang “memutlakkan” kerelatifan, sehingga apapun yang manusia lakukan itu cenderung tidak diikat oleh apapun, atau bebas sebebas-bebasnya. Bahkan, salah satu bidang, misalnya penafsiran (hermeneutika) pun dipakai untuk melampiaskan kesewenang-wenangan manusia abad postmodern ini. Tidak heran, lalu muncul berbagai penafsiran yang tidak sesuai dengan hakekat penafsiran yang sejati, karena manusia ingin menginterpretasikan segala sesuatu menurut keinginan berdosanya. Ini ternyata tidak hanya terjadi di dunia saja, tetapi juga masuk dan merambah ke dalam dunia keKristenan. Prinsip hermeneutika menjadi masalah yang cukup pelik, tetapi herannya hal ini tidak begitu dirasa oleh banyak orang yang mengaku diri “Kristen”, mengapa ? Karena mereka sebenarnya tidak begitu peduli dengan hal-hal teori, melainkan lebih mementingkan hal-hal yang praktis. Tidak heran, di abad postmodern yang sarat dengan relativisme ini, banyak orang yang mengaku diri “Kristen” berkata, “Percuma teori saja, yang penting prakteknya.” Di satu sisi, perkataan ini memang menegur kita yang terlalu rasional dalam bertheologia, tetapi di sisi lain, perkataan ini memiliki satu motivasi yang terselubung, yaitu MALAS BELAJAR THEOLOGIA/TEORI. Inilah kecenderungan banyak orang Kristen yang mengaku diri memiliki “spiritualitas”, tetapi sebenarnya spiritisme (kedua hal ini dibedakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, kalau spiritualitas sejati berkait dengan kerohanian yang dari Allah sejati, sedangkan spiritisme adalah “kerohanian” yang berasal dari setan).
Pada Bab 2 ini, saya akan memberikan sedikit teori mengenai bagaimana menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab. Mungkin sekali seolah-olah bab 2 ini tidak ada sangkut pautnya dengan Bab 1, tetapi menurut saya, Bab 2 ini harus ada, mengingat buku The Purpose Driven Life adalah seperti sebuah renungan 40 hari yang tentu mengutip banyak ayat Alkitab, tetapi sayangnya banyak ayat Alkitab yang dikutip di luar konteks yang ada (tidak memenuhi hakikat penafsiran Alkitab yang beres). Pertama-tama, kita akan melihat alasan perlunya penafsiran Alkitab. Kemudian, presuposisi apa yang harus ada sebelum menafsirkan Alkitab. Lalu, kita akan melihat kondisi penafsiran Alkitab yang sekarang beredar di kalangan keKristenan, dan terakhir kita akan mencoba mempelajari bagaimana kaidah-kaidah penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.
2.1 Mengapa Perlu Ada Penafsiran Alkitab ?
Pertanyaan paling utama, di dalam bagian ini adalah mengapa Alkitab perlu ditafsirkan ? Kalau kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka setiap hari kita mau tidak mau menafsirkan sesuatu, baik itu buku, perkataan seseorang, dll. Di dalam jurusan Sastra Inggris, saya mempelajari pelajaran Discourse Analysis, sebuah analisa wacana, baik dalam bentuk perkataan, bacaan, dll. Di dalam percakapan sekalipun, kita sering mengalami miscommunication, diakibatkan kekurangmengertian kita di dalam menanggapi perkataan orang lain. Kekurangmengertian kita itu pasti akibat dari tafsiran kita akan perkataan orang lain. Di dalam pelajaran tersebut, saya belajar tentang Speech Act yang dibagi menjadi tiga hal, pertama, Locutionary Act, kedua, Illocutionary Act dan ketiga Perlocutionary Act. Lalu, juga ada istilah Illocutionary Force yang berarti maksud orang yang berbicara agar orang lain dapat mengerti dan meresponi apa yang dikatakan oleh si pembicara dengan tepat. Misalnya, Ani berkata kepada Budi, “Saya lapar.” Ini dikategorikan sebagai Illocutionary Act yang berarti bahwa perkataan Ani tidak sedang memberikan informasi kepada Budi bahwa Ani lapar, tetapi ada maksud Ani dalam mengatakan hal tersebut, yaitu supaya Budi membelikan dia makanan atau menyiapkan makanan bagi Ani. Maksud Ani inilah yang disebut Illocutionary Force. Kalau di dalam kehidupan sehari-hari, kita menafsirkan sesuatu dan bisa terjadi miscommunication, maka Alkitab pun mau tidak mau tidak lepas dari penafsiran ketika kita membacanya. Lalu, apakah tafsiran kita terhadap Alkitab itu bisa salah ? Tentu bisa, seperti yang saya kemukakan di dalam pelajaran Discourse Analysis tadi khususnya contoh Ani dan Budi di atas, di mana Budi bisa saja salah menafsirkan perkataan Ani lalu hanya mengangguk-angguk saja tanpa meresponi perkataan Ani dengan tepat. Kemudian, bagaimana supaya tidak terjadi miscommunication ? Hanya satu, yaitu bertanya langsung kepada yang berbicara (dalam hal ini, Ani) agar pendengar (dalam hal ini, Budi) dapat mengerti yang diucapkan oleh yang berbicara. Demikian pula, supaya tidak terjadi misinterpretation terhadap Alkitab, kita perlu memahami kaidah-kaidah tafsiran Alkitab.
Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah melalui sarana para nabi dan rasul-Nya. KeKristenan khususnya theologia Reformed mempercayai ketidakbersalahan Alkitab baik dari segi sejarah maupun pesan (inerrancy and infallibility of the Bible) di dalam naskah asli/autographanya. Mengapa harus naskah aslinya tidak bersalah ? Karena naskah asli itu yang asli langsung diwahyukan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Lalu, apakah berarti terjemahan-terjemahan yang kita pakai sekarang mengandung kesalahan dan tidak dapat dipercaya seperti naskah aslinya ? Kita percaya bahwa naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mengapa ? Itu adalah kedaulatan Allah yang mengizinkan segala sesuatu terjadi. Tetapi kalau mau ditafsirkan, naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mungkin ada kedaulatan Allah sengaja membiarkannya dengan maksud agar orang Kristen tidak memberhalakan naskah asli tersebut, karena manusia cenderung mengeramatkan hal-hal yang dianggap “suci” (misalnya, kain kafan Tuhan Yesus dikeramatkan, lalu tempat Tuhan Yesus dilahirkan di Betleham dikeramatkan dan dibangun gereja, dll), padahal itu tidak sesuai dengan Alkitab. Memberhalakan sesuatu atau menganggap sesuatu yang “suci” sekalipun sebagai “ilah” itu melanggar Titah Pertama di dalam Dasa Titah (10 Perintah Allah) yang mengatakan, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” (Keluaran 20:3 ; Bahasa Indonesia Sehari-hari) Kembali, karena naskah asli kita sudah tidak ada dan yang ada pada kita sekarang hanyalah naskah-naskah terjemahan Alkitab, maka kita perlu mengerti satu prinsip yaitu ketika Alkitab diterjemahkan dari bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB) ke dalam bahasa-bahasa lokal, maka pasti ada suatu gap bahasa, kebudayaan, dll.
Pertama, adanya gap bahasa. Misalnya, di dalam bahasa Yunani, kata “kebenaran” diartikan aletheia (=Truth) dan dikaiosunē (=Righteousness), sedangkan di dalam bahasa Indonesia, kata dikaiosunē (dalam Perjanjian Baru) mayoritas diterjemahan kebenaran, 9 ayat diterjemahkan sebagai keadilan (Kisah Para Rasul 17:31 ; Roma 3:25,26 ; Efesus 5:9 ; 1 Timotius 6:11 ; 2 Timotius 2:22 ; Ibrani 1:9 ; 2 Petrus 1:1 dan Wahyu 19:11) dan 1 ayat diterjemahkan sebagai kebaikan/yang baik (Titus 3:5). Sedangkan kata aletheia terdapat di dalam 97 ayat Alkitab Perjanjian Baru, hanya 8 ayat Alkitab di dalam PB yang tidak diterjemahkan sebagai kebenaran, di antaranya : 4 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai jujur (Matius 22:16 ; Markus 12:14 ; Roma 2:2 ; Filipi 1:18), 3 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai sungguh/sesungguhnya (Lukas 22:59 ; Kisah 4:27 ; 10:34) dan 1 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai tulus (Markus 5:33). Kata “kebenaran” di dalam bahasa Indonesia bisa memiliki begitu banyak arti di dalam bahasa Yunani, demikian pula kata “kasih” yang dalam bahasa Yunani memiliki 4 kata yang berbeda, yaitu Agape, Philia, Storge dan Eros. Kalau kita tidak menyelidiki Alkitab sampai ke bahasa aslinya, kita akan kehilangan begitu banyak berkat Firman Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada kita. Banyak orang Kristen mengira bahwa studi Alkitab sampai ke bahasa asli atau menggunakan terjemahan bahasa lain (misalnya, Inggris, Mandarin, dll) adalah terlalu akademis. Anggapan ini adalah anggapan yang sama sekali tidak bertanggungjawab.
Kedua, adanya gap budaya. Ketika di dalam Roma 16:16, Paulus berkata, “Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.”, maka beberapa kelompok sekte sesat di dalam “keKristenan”, yaitu children of “God” menafsirkan ayat ini lalu diterapkan ke dalam anggota jemaat gereja. Mengapa Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk saling berciuman kudus ? Apakah ini budaya free-sex ala Alkitab ? TIDAK ! Kata holy kiss diterjemahkan secara harafiah sebagai cium kudus, tetapi kata kiss di sini dari bahasa Yunani philēma yang akar katanya dari phileō yang merupakan kasih persaudaraan. Jadi, cium kudus ini berarti cium sebagai tanda persaudaraan, bukan berdasarkan kasih birahi atau eros. Lalu, ketika Paulus berkata kepada Timotius di dalam 1 Timotius 5:23, “Janganlah lagi minum air saja, melainkan tambahkanlah anggur sedikit, berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu sering lemah.”, apakah itu berarti bahwa anggur diperintahkan Paulus untuk diminum terus-menerus oleh Timotius dan kita juga? TIDAK ! Pada waktu itu, anggur dianggap sebagai obat. Begitu pula halnya dengan kata “minyak” di dalam Yakobus 5:14, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” yang jangan sembarangan ditafsirkan bahwa itu adalah minyak urapan seperti yang digembar-gemborkan oleh Pariadji/Tiberias. Kata “minyak” di sini dalam bahasa Yunaninya elaion berarti olive oil atau minyak zaitun dan minyak ini adalah sebagai obat. Itu adalah budaya setempat, jangan dipaksakan ke dalam budaya lain, termasuk Indonesia, lalu mengoleskan sembarangan minyak, yang penting minyak menurut Alkitab, itu salah. Kemudian, kata “Kerajaan Allah” di dalam Injil Matius hanya digunakan sebanyak 6x, sedangkan kata “Kerajaan Surga” dipakai sebanyak 34x di dalam Injil Matius (menurut Alkitab terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia/LAI), mengapa ? Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman mengungkapkan, “Alasannya, orang-orang Yahudi yang berusaha untuk menghindari nama Allah, telah memakai kata sorga sebagai ganti nama Allah ; ...” (Hoekema, 2004, p 57). Kalau kita tidak mengerti perbedaan kedua kata ini, kita tidak akan mengerti keseluruhan berita utama di dalam Injil Matius yang menekankan Kristus adalah Raja dan IA merekrut kita sebagai umat pilihan-Nya untuk menjadi anggota warga Kerajaan Surga yang melayani-Nya. Contoh lain, di dalam 1 Korintus 14:34, “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” Seorang teman “Kristen” saya menafsirkan ayat ini dan tanpa pikir panjang langsung berkomentar bahwa Paulus itu melakukan diskriminasi. Inilah akibat tidak mempelajari gap budaya di dalam Alkitab. Perempuan tidak boleh berbicara di dalam surat Korintus ini dikarenakan di dalam kota Korintus, perempuan diidentikkan dengan pelacur, karena banyak perempuan bekerja sebagai pelacur. Oleh karena itu, Paulus melarang perempuan berbicara.
Ketiga, adanya gap latar belakang. Semua kitab di dalam Alkitab ketika ditulis pasti memiliki latar belakang tertentu. Kalau kita tidak memahami dengan jelas, latar belakang setiap kitab, maka kita akan kehilangan makna aslinya yang akhirnya itu juga tidak membawa berkat bagi kita sebagai pembaca di masa sekarang. Seringkali banyak orang Kristen menganggap kitab-kitab di dalam Alkitab ditulis untuk kita di masa sekarang, lalu mereka mengabaikan konteks dan latar belakang yang ada. Oleh karena itu, Alkitab perlu ditafsirkan karena adanya gap latar belakang antara penulis kitab di dalam Alkitab dengan kita sebagai pembaca di masa sekarang. Misalnya, ketika Paulus di dalam Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Banyak hamba Tuhan Injili memakai ayat ini ketika memberitakan Injil dan menyuruh orang yang diinjili untuk berseru kepada nama Tuhan saja, nanti orang tersebut akan diselamatkan. Ini akibat dari mengabaikan latar belakang di dalam kitab Roma. Kecenderungan banyak hamba Tuhan yang dipengaruhi oleh Arminianisme/mayoritas theologia Injili adalah mengabaikan latar belakang yang ada dan langsung menyampaikan relevansi Alkitab terhadap kehidupan masa sekarang. Ini kesalahan di dalam penafsiran Alkitab. Kembali, Kitab Roma ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang sedang mengalami penganiayaan oleh Romawi yang pada waktu itu melarang orang Kristen menyembah Allah selain Kaisar Romawi, jika melanggar, akan dihukum mati. Oleh karena itu, Paulus menyerukan kepada jemaat di Roma bahwa barangsiapa yang berseru kepada Tuhan, tentu dengan resiko mati, akan diselamatkan. Nah, kalau ayat ini dilepaskan dari konteksnya, akan berakibat fatal, lalu Injil yang diberitakan adalah “injil” murahan, seperti yang banyak diberitakan di dalam banyak gereja kontemporer yang pop di mana banyak “injil” palsu yang diberitakan, misalnya, yang miskin setelah percaya kepada “Kristus” pasti kaya, dll.

2.2 Prinsip-prinsip Dasar (Umum) Dalam Penafsiran Alkitab
Penafsiran Alkitab atau lebih dikenal dengan hermeneutika Alkitab bukanlah salah satu bidang di dalam theologia sistematika yang diajarkan di sekolah theologia yang berdiri sendiri, tetapi hermeneutika ini pasti berkaitan dengan semua theologia sistematika lainnya, misalnya Doktrin Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Kristus, dll dan tentu dipengaruhi juga oleh berbagai hal dalam diri manusia sebagai si penafsir Alkitab. Oleh karena itu, marilah kita menyelidiki prinsip-prinsip dasar apa saja yang perlu diperhatikan di dalam menafsirkan Alkitab.
1. Dipengaruhi oleh presuposisi dan iman
Presuposisi atau praanggapan adalah suatu pola pikir manusia sebelum dia memiliki anggapan tertentu. Misalnya, sebelum dia menyatakan bahwa X adalah seorang pencuri, mungkin sekali dia sudah memiliki presuposisi yang mengakibatkan dia berhati-hati dalam memperhatikan si X. Jadi, presuposisi seseorang menentukan tindakan selanjutnya dari orang tersebut. Begitu pula, di dalam menafsirkan Alkitab, pengaruh presuposisi ini tidak bisa dilepaskan, karena presuposisi ini nantinya pasti mengakibatkan si penafsir Alkitab dapat menafsir Alkitab dengan baik atau malahan buruk dan menyesatkan. Di dalam istilah atau konsep presuposisi ini, unsur iman termasuk di dalamnya. Konsep iman yang dari titik awal sudah tidak beres, maka seluruh penafsiran Alkitab yang dihasilkannya pun tidak beres, meskipun mengutip ribuan ayat Alkitab. Perhatikan, kutipan ribuan ayat Alkitab tidak menjamin seorang pengkhotbah atau hamba Tuhan benar-benar mengerti presuposisi dasar Alkitab sesungguhnya, mungkin sekali si pengkhotbah ini kurang persiapan di dalam berkhotbah lalu mengutip banyak ayat Alkitab di luar konteks aslinya. Kembali, mengapa iman menjadi kriteria pertama dalam mempengaruhi penafsiran Alkitab ? Karena iman itu adalah anugerah Allah kepada umat pilihan-Nya. Iman sejati pasti menentukan penafsiran Alkitab yang beres. Tetapi masalahnya, iman itu sendiri kadang kala disalahmengerti sebagai tindakan manusia, sehingga dari konsep iman yang salah pasti mengakibatkan konsep penafsiran Alkitab yang salah (metode eisegese yang berarti mencocok-cocokkan ide manusia dengan dukungan ayat Alkitab). Mari kita selidiki dengan teliti kaitan antara doktrin Kristen di dalam theologia sistematika dengan konsep penafsiran Alkitab.
Pertama, doktrin Alkitab. Penafsiran Alkitab tentu tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan doktrin Alkitab si penafsir Alkitab. Misalnya, seorang yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah asli/autographanya (ini prinsip yang benar, theologia Reformed), maka si penafsir Alkitab akan memandang Alkitab sebagai satu-kesatuan yang menyeluruh, sehingga bagian Alkitab yang tidak seberapa jelas di dalam kitab tertentu akan dijelaskan di dalam bagian kitab lainnya sehingga membentuk totalitas Alkitab yang dapat dipercaya keotentikannya. Sebaliknya, jika di dalam diri si penafsir Alkitab, timbul suatu keraguan akan ketidakbersalahan Alkitab, lalu mempercayai bahwa Alkitab itu sepenuhnya karya manusia dan tidak diinspirasikan Allah (pandangan “theologia” liberal), maka sudah tentu si penafsir Alkitab ini akan menganggap semua data di Alkitab khususnya berkaitan dengan kelahiran Anak Dara Maria, hal-hal supranatural yang diberitakan oleh Alkitab, dll adalah karangan manusia belaka. Misalnya, ketika di dalam Alkitab diceritakan bahwa Musa membelah Laut Teberau, dan lautnya kering, maka para penafsir Alkitab yang liberal akan mengartikannya dengan menggunakan rumus-rumus fisika yang pada akhirnya menolak terjadinya hal supranatural tersebut. Lain pula halnya, ketika si penafsir Alkitab memiliki kepercayaan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah, tetapi berisi firman Allah (pandangan theologia Neo-Orthodoks dari Karl Barth dan Emil Brunner) yang mengajarkan bahwa Alkitab hanya salah satu kunci manusia memahami firman Allah, yang penting adalah pengalaman pribadi dalam mendengar suara Allah. Pandangan ini akan mengakibatkan si penafsir Alkitab menganggap Alkitab itu hanya salah satu firman Allah dan yang penting baginya adalah pengalaman pribadi mendengar suara Allah. Tidaklah heran, banyak gereja kontemporer yang pop saat ini dipengaruhi oleh theologia Neo-Orthodoks yang muncul setelah Perang Dunia I, lalu menganggap bahwa Alkitab itu tidak perlu ditafsirkan dengan metode yang sulit-sulit, karena Alkitab itu bukan buku akademis, sehingga marilah masing-masing orang dengan pengalaman pribadinya menafsirkan Alkitab. Meskipun pernyataan ini tidak berani diungkapkan oleh mereka, tetapi secara implisit mereka mengakui dengan bulat di samping mengakui ketidakbersalahan Alkitab secara akademis dan perkataan. Seorang apologet Reformed ternama, Dr. Cornelius Van Til di dalam bukunya The Defense of the Faith mengatakan bahwa banyak theolog Injili mempercayai Alkitab itu firman Allah, tetapi sayangnya mereka tidak benar-benar mempercayainya, lalu mulai membuktikan keberadaan Allah bukan dari Alkitab, tetapi dari bukti-bukti ilmiah dan rasio manusia. Lalu, tidak heran ketika Mazmur 1:3 bisa ditafsirkan seenaknya lalu mengajarkan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan pasti berhasil. Ini adalah akibat dari kepercayaan Neo-Orthodoks yang dimodernkan oleh banyak gereja kontemporer yang pop yang tidak memperhatikan kaidah penafsiran Alkitab.

Kedua, doktrin Allah. Setelah penafsiran Alkitab berkaitan dengan doktrin Alkitab, maka hermeneutika pun berkaitan juga dengan doktrin Allah. Theologia Reformed yang dipengaruhi oleh John Calvin menekankan akan kedaulatan Allah (the Sovereignty of God), Allah yang berada di dalam diri-Nya sendiri, Allah yang tidak bergantung pada apa dan siapapun, Allah yang tidak berubah, dll. Iman Reformed sangat menentukan sekali terhadap metode penafsiran Alkitab yang lebih mendekati Alkitab (metode eksegese). Kedaulatan Allah yang dipercaya oleh Reformed akan sangat menentukan dan memimpin arah penafsiran Alkitab yang para theolog Reformed dan penganut theologia Reformed kerjakan. Misalnya, ketika Kejadian 6:6, Allah bersabda, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.”, maka para penganut theologia Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan menafsirkan dan mengajarkan bahwa Allah itu adalah Allah yang Berdaulat sehingga Ia tak mungkin menyesal (lalu “mengubah” rencana yang sudah ditetapkan-Nya), maka ketika ayat ini berkata, “maka menyesallah TUHAN”, maka sesungguhnya perkataan ini dimengerti dalam cara pandang manusia, bukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan tafsiran ini, maka konsep ini akan sinkron dengan keseluruhan bagian Alkitab lainnya (misalnya, Mazmur 93:2, dll). Sedangkan para penganut theologia Arminian yang sama sekali menolak kedaulatan Allah dan lebih menekankan kehendak bebas manusia, ketika membaca Kejadian 6:6 di atas, lalu menafsirkan bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya ketika manusia gagal mematuhi-Nya. Masalah yang selanjutnya terjadi, presuposisi mereka dengan mudah dapat dijatuhkan, ketika Mazmur 93:2 berkata, “takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.” Kata “kekal” tidak dapat diartikan lain, kecuali selama-lamanya dan tidak berubah. Kalau Allah itu adalah Allah yang kekal, apakah Ia dapat mengubah rencana-Nya yang telah Ia tetapkan sebelum dunia dijadikan ? Kalau Allah yang kekal dapat mengubah rencana-Nya, lalu apa bedanya Allah yang adalah Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya ? Ini suatu ketidakmungkinan dan kesalahan paradigma di dalam bertheologia dan memahami Alkitab. Di sini, kegagalan sangat fatal dari para penganut theologia Arminian (kebanyakan Injili) dalam bertheologia secara mendasar dengan tidak membedakan secara kualitas antara Allah sebagai Pencipta yang tidak terbatas (kekal) dan manusia sebagai ciptaan yang terbatas.
Lalu, doktrin Allah ini akan membuat jalur perbedaan yang sangat tajam antara para penganut theologia Reformed yang menekankan supremasi Allah dan penundukan manusia dengan para penganut theologia Arminian yang sama-sama mengagungkan supremasi Allah dan manusia (meskipun tidak secara eksplisit mereka ungkapkan). Para penganut theologia Reformed yang menekankan kedaulatan Allah akan melihat seluruh bagian Alkitab sebagai bagian yang Kristo-sentris (berpusat kepada Kristus), sehingga manusia harus taat mutlak kepada-Nya. Ini ditegaskan di dalam jawaban pertanyaan nomer satu dalam Katekismus Singkat Westminster (salah satu pengakuan iman Reformed) yang berkata, “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya.” (Meade : 2004, p. 1) Meskipun Rick Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life mengungkapkan hal yang sama dengan konsep Reformed ini, tetapi jika kita terus meneliti satu per satu, maka dapat disimpulkan bahwa buku ini bukan buku yang berdasarkan sentralitas Alkitab dan kedaulatan Allah, tetapi lebih ke arah human-centered, meskipun Warren menyangkali pernyataan ini. Sebaliknya, konsep theologia Arminian yang human-centered sudah kelihatan dari cara penafsiran Alkitabnya yang mencari-cari ayat-ayat Alkitab sekehendak hatinya cenderung kurang memperhatikan konteksnya untuk mendukung bahwa manusia memiliki “supremasi” untuk menolak atau menerima anugerah Allah. Misalnya, banyak theolog Injili dengan aliran theologia Arminian yang dianutnya memahami Alkitab bukan dari presuposisi kedaulatan Allah, tetapi kehendak bebas manusia, sehingga meskipun jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang anugerah Allah, mereka pasti menafsirkannya dengan tetap menekankan kehendak bebas manusia, contoh, meskipun Allah memberikan anugerah kepada manusia, manusia tetap harus meresponinya, karena kalau tidak, manusia tersebut tidak dapat diselamatkan. Inilah gaya penafsiran Alkitab yang keliru. Pandangan theologia Arminian ini diadaptasi dari konsep pemikiran Semi-Pelagianisme yang merupakan “jalan tengah” dari ajaran Pelagius (yang mengajarkan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa) dan Augustinus (manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa). Bapa Gereja Augustinus telah lama berperang melawan Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, tetapi rupa-rupanya humanisme terus berjaya, dan sampailah kepada paham Arminianisme.

Ketiga, doktrin keselamatan (Soteriologi). Doktrin keselamatan dapat mempengaruhi posisi penafsiran Alkitab seseorang. Misalnya, seorang penganut theologia Reformed yang memegang kepercayaan bahwa anak-anak Tuhan sejati tidak mungkin kehilangan keselamatannya akan mengerti keseluruhan Alkitab lebih teliti dan bertanggungjawab. Yohanes 3:16 ; 10:27-29 ; Roma 8:33-35 adalah bagian-bagian Alkitab yang mengajarkan secara ketat akan kepastian jaminan Kristen tentang keselamatan (tanpa mengabaikan konteks aslinya). Sedangkan para penganut theologia Arminian dan Katolik Roma yang mempercayai perbuatan baik lebih penting daripada iman akan mengutip ayat-ayat Alkitab menurut kehendak mereka untuk mendukung ajaran mereka. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3 tentang problematika penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan.

Keempat, doktrin Kristus (Kristologi). Kristologi juga dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, seorang penganut theologia Reformasi dan Reformed yang menganut paham dwi-natur sifat Kristus, yaitu 100% Allah dan 100% manusia akan menafsirkan Alkitab dengan kedua pandangan ini. Dan hal ini jelas dibuktikan Alkitab secara eksplisit yaitu di dalam Yohanes 1:1 dan Roma 1:3-4. Tetapi para penganut theologia non-Reformasi, misalnya theologia Orthodoks (Syria) yang menekankan kemanusiaan Yesus dan menolak keilahian-Nya, maka mereka akan mengutip Yohanes 1:1 secara sebagian yaitu dengan menghilangkan pernyataan, “Firman itu adalah Allah.” Hal ini dikhotbahkan seorang pemimpin gereja yang dulunya beragama mayoritas di Indonesia, lalu kemudian menjadi “pendeta” yang sekarang ingin membawa keKristenan kembali kepada agama dahulunya agar menurutnya, keKristenan boleh diterima oleh agama dahulunya. Seorang penganut Orthodoks Syria ini akan kebingungan dalam menafsirkan Roma 1:4 yang menyebutkan Tuhan Yesus itu juga bernatur Ilahi selain bernatur manusia. Dengan kata lain, mereka akan berkontradiksi dan melawan diri sendiri jika menjumpai ayat-ayat Alkitab yang tidak cocok dengan formulasi doktrin mereka.

Kelima¸ doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pneumatologi, baik dengan konsep yang benar maupun salah, sama-sama mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab. Theologia Reformasi dan Reformed yang percaya 100% bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga Allah Trinitas yang berperan melahirbarukan umat pilihan-Nya untuk percaya di dalam Kristus dan menyempurnakan mereka serupa seperti Kristus kelak akan menafsirkan Yohanes 15:26 dengan mengatakan bahwa Roh Kudus datang untuk memuliakan Kristus dan juga Yohanes 16:8 bahwa Roh Kudus datang untuk menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Hal ini sinkron dengan keseluruhan berita Alkitab. Misalnya, di dalam 1 Korintus 12:3, “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”, 1 Petrus 1:2 yang mengajarkan, “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.” Jadi, apa yang Tuhan Yesus ucapkan di dalam Injil Yohanes tentang Roh Kudus juga diajarkan dengan konsep yang sama persis oleh para rasul-Nya, baik Paulus, maupun Petrus, dll. Inilah kekonsistenan seluruh berita Alkitab yang tidak mungkin berkonflik (berkontradiksi) dengan dirinya sendiri. Puji Tuhan. Lalu, kalau ada theologia Kristen yang non-Reformasi, misalnya, dipengaruhi oleh Arminian yang human-centered, akan mengatakan secara implisit bahwa Roh Kudus bisa diatur manusia, sehingga manusia seolah-olah dapat memerintah Roh Kudus. Kemudian, mereka mengklaim kepada Roh Kudus jika mereka tidak dapat berkarunia lidah. Yang paling aneh lagi, seorang penganut Karismatik Katolik yang tidak bisa berbahasa roh akan mengomel kepada Maria ibu Yesus untuk membujuk Tuhan Yesus untuk memberikan karunia roh tersebut. Sungguh aneh dan ajaran ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitab. Konsep yang tidak beres ini nantinya akan mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab dengan sengaja mencocok-cocokkan konsepnya yang salah itu agar bisa diterima oleh masyarakat Kristen umum. Ambil contoh, banyak pemimpin gereja dari kalangan gereja kontemporer yang pop sangat suka mengutip Yoel 2:28-32, “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu. Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari TUHAN yang hebat dan dahsyat itu. Dan barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan ada keselamatan, seperti yang telah difirmankan TUHAN; dan setiap orang yang dipanggil TUHAN akan termasuk orang-orang yang terlepas.” lalu menafsirkan bahwa zaman inilah zaman Roh Kudus, maka mari kita menantikannya. Ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan. Tafsiran ini salah di titik pertama, yaitu sengaja mengabaikan referensi yang ada di bawah bagian Alkitab yang menunjukkan kedua ayat ini merupakan nubuat yang nantinya digenapi di dalam peristiwa Pentakosta, Kisah Para Rasul 2:1-16, lalu Petrus mengutip Yoel 2:28-32 di dalam khotbah perdananya di dalam Kisah Para Rasul 2:17-21.

Keenam, doktrin gereja (ekklesiologi). Ekklesiologi sebagai theologia sistematika yang boleh saya kategorikan sebagai hal praktis pun dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, gereja-gereja Reformed yang mengakui adanya baptisan anak (infant baptism) akan memandang seluruh Alkitab secara totalitas yang mengajarkan secara berkesinambungan akan perjanjian (covenant) Allah. Meskipun istilah “baptisan anak” tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Reformed melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan Yesus. Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus), nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Reformed dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu dibaptis tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan kelompok Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip Alkitab tentang perjanjian (covenant).
Demikian pula halnya dengan konsep Perjamuan Kudus. Gereja-gereja Reformed mengikuti tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini berbeda dengan konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma : transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang membedakan antara form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) Paham Katolik Roma akan Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh seorang “pendeta” bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu Perjamuan Kudus berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3.

Ketujuh, doktrin akhir zaman (eskatologi). Eskatologi menurut Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman adalah “sebuah paham yang integratif dengan seluruh bagian Alkitab.” (Hoekema, 2004, p 3). Eskatologi ini menurut beliau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu eskatologi yang telah ditegakkan (inaugurated eschatology) dan eskatologi yang akan datang (future eschatology) (Hoekema, 2004, p 1 dan 2). Di dalam bukunya, beliau memaparkan bahwa konsep paradoks yang ada di dalam eskatologi ini menyangkut suatu paradoks antara eskatologi yang sudah dan akan terjadi (ketegangan antara yang sudah terjadi dengan yang belum terjadi). Inilah konsep eskatologi yang dipegang oleh theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab. Kemudian, theologia Reformed mempercayai bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan secara literal dalam arti Kerajaan itu terjadi secara nyata melalui wilayah/teritori tertentu di dalam suatu bangsa, tetapi Kerajaan Allah adalah kerajaan rohani. Di dalam paham eskatologinya, theologia Reformed berpaham amillenialisme. Sedangkan, para penganut theologia Injili yang mayoritas cenderung Arminian akan berpaham premillenialisme yang bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu premillenialisme historis dan premillenialisme dispensasionalis yang berusaha membagi sejarah/zaman menjadi 3, yaitu zaman Allah Bapa (sebelum kedatangan Kristus pertama), zaman Allah Anak (pada waktu Kristus berinkarnasi) dan terakhir, zaman Roh Kudus (setelah kebangkitan Kristus dan sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya). Konsep pembagian zaman ini (dispensasionalisme) sudah salah di titik awal yaitu berusaha memisahkan peran masing-masing Pribadi Allah Trinitas, sehingga seolah-olah di zaman sebelum kedatangan Kristus pertama, hanya Allah Bapa yang berperan (sedangkan Allah Anak dan Roh Kudus “pensiun” alias tidak berperan), nanti pada giliran Kristus berinkarnasi, maka Allah Anak yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Roh Kudus “pensiun”), dan terakhir, setelah kebangkitan Kristus, Allah Roh Kudus lah yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Anak “pensiun”). Konsep ini sudah menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Dengan kata lain, paham premillenialisme memandang Kerajaan Allah ini hadir secara literal di bumi ini, lebih tepatnya di kota Yerusalem, sehingga tidak heran di kalangan Kristen, muncul istilah Kristen Zionis, ini karena pengaruh premillenialisme yang ekstrim yang tidak diajarkan oleh Alkitab. Sebaliknya, kelompok liberal yang menganut paham postmillenialisme yang mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu sudah terjadi akan menafsirkan Alkitab dengan konsep liberalnya dan akan menutup mata akan fakta-fakta Alkitab tentang Kerajaan Allah di masa akan datang, lalu konsep ini akan mengakibatkan mereka sendiri tidak memiliki pengharapan yang pasti di masa akan datang. Inilah ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi, terlalu menekankan akhir zaman, padahal keliru (paham premillenialisme), sedangkan di sisi lain, terlalu menyepelekan akhir zaman, sehingga jatuh ke dalam paham postmillenialisme yang mengakibatkan para penganutnya berada di dalam kondisi tak berpengharapan.

2. Dipengaruhi oleh perasaan hati
Perasaan hati atau mood manusia dapat berubah-ubah setiap saat tergantung situasi dan kondisi. Masalah yang banyak terjadi, banyak manusia dengan perasaan hati yang berbeda pun diterapkan dalam menafsirkan Alkitab. Tidak heran, misalnya, seorang pria yang putus cinta akan sangat senang membaca Alkitab khususnya bagian Mazmur dan Amsal yang menguatkannya bahwa meskipun pacarnya meninggalkannya, Tuhan tetap besertanya, dan orang yang sama akan melewatkan membaca kitab Kidung Agung yang mengajarkan tentang cinta.

3. Dipengaruhi oleh kondisi sekitar
Terakhir, penafsiran Alkitab juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Ini adalah pengaruh yang amat sangat buruk. Di dalam keKristenan, ada dua contoh ekstrim yang mencoba menafsirkan Alkitab dengan pengaruh dari lingkungan/kondisi sekitar. Misalnya, pertama, gereja-gereja kontemporer yang pop yang gemar sekali cho gereja (atau mencari untung di gereja) akan mencomot ayat Alkitab sekehendak hatinya (2 Korintus 9:6, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.”) untuk mendukung pengajaran mereka misalnya tentang perpuluhan yang akan dikembalikan berlipat kali ganda. Ayat ini dilepaskan dari ayat-ayat selanjutnya, ayat 7, yang mengajarkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Kalau ayat 7 ini dibacakan, maka jemaat akan berpikir beratus kali untuk memberikan persembahan. Jadi, untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya dari persembahan jemaat, maka ayat 7 dengan sengaja tidak dibacakan, agar jemaat dapat memberikan uang sebanyak-banyaknya. Ini namanya gereja yang memperhatikan demand dari jemaat (hukum supply and demand di dalam gereja). Inilah corak gereja materialisme di abad postmodern ini. Di sisi lain, banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mengaku berlabel “Reformed” (sebenarnya : no-formed atau de-formed) sudah mendegradasi fondasi theologia yang Alkitabiah dan menggantinya dengan “theologia” religionum atau social “gospel”. Akibatnya, paham ini akan mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab yang cocok dengan paham mereka. Mereka akan menafsirkan Yohanes 14:6 bukan dengan menekankan finalitas Alkitab. Kemudian, saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh “pendeta” macam ini dengan mengutip Yohanes 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,…” lalu menafsirkan bahwa orang Kristen dan orang-orang non-Kristen seharusnya bersatu sama seperti Kristus dan Bapa bersatu. Ini tafsiran yang sangat tidak bertanggungjawab. Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Theologia Abu-abu, Pluralisme Agama (Edisi Revisi) mengetengahkan fakta tentang seorang “theolog” pluralis dari gereja Presbyterian, Taiwan, Choan-Seng Song yang menggunakan pendekatan penafsiran yang berhubungan dengan isu-isu sosial untuk mendukung “Theologia” Transposisinya. Berikut penuturan beliau,
Song juga menggunakan metode penafsiran radikal dalam membangun Teologi Transposisinya yang liberal dan yang anti finalitas Yesus. Song memulai usahanya dengan menggunakan cerita-cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial, kemudian mensinkronisasikannya dengan Alkitab untuk membangun Teologi Transposisinya... Dalam hal ini, Alkitab berperan hanya untuk mendukung konsep yang telah dibangunnya dari kesimpulan awalnya mengenai situasi kondisi sosial yang pincang. Sistem hermeneutika Song, dikenal dengan istilah penafsiran yang situasional mengenai isu-isu sosial (Socio-Critical Interpretation). Penafsiran kritik sosial dapat diartikan : ‘tertarik kepada bentuk yang kelihatan untuk menyatakan suatu penafsiran yang alamiah dalam kerangka pikir dari suatu tradisi mengenai asumsi sosial dan praktiknya. Penafsiran teks-teks Alkitab mengenai perbudakan, kaum perempuan, kaum miskin. Contohnya ialah Teologi Pembebasan dan Hermeneutika Feminisme.’... Dengan kata lain, Song membangun Teologi Transposisinya dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial di Asia. Song sangat prihatin dengan isu-isu sosial-politik di Asia...” (Lumintang, 2004, pp 335, 337)
Dengan jelas, semua ayat Alkitab dijadikan pendukung bukan sumber bagi pembentukan “Theologia” model ini yang justru melawan Alkitab. Ini adalah “gereja” yang bercorak humanisme di dalam era postmodern. Kedua contoh ini dapat mewakili apa yang Alkitab telah nubuatkan di dalam 2 Timotius 3:1-2, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,” Kalimat “manusia akan mencintai dirinya sendiri” adalah ciri dari humanisme dan kalimat “menjadi hamba uang” adalah ciri dari materialisme.

2.3 Problematika Penafsiran Alkitab di Kalangan KeKristenan
Setelah kita melihat prinsip-prinsip umum di dalam penafsiran Alkitab, marilah kita mencoba mempelajari banyak problematika yang terjadi berkenaan dengan penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan abad postmodern yang dipengaruhi oleh theologia sistematika yang salah.
Problematika utama yang terjadi di dalam penafsiran Alkitab di kalangan keKristenan yang terjadi pada abad postmodern ini adalah pengaruh humanisme yang meninggikan potensi diri manusia dan merendahkan kedaulatan Allah. Pengaruh ini mulai muncul di dalam zaman Renaissance sampai abad postmodern ini meskipun dengan cara yang sedikit berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama yaitu humanisme. Pada Abad Pertengahan (Medieval), di mana ilmu pengetahuan mendapat prioritas, maka seluruh ilmu pengetahuan berkiblat ke arah Yunani, mengikuti pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (Geosentris). Yang paling celaka, pada saat itu, gereja hanyut ke dalam filsafatnya Aristoteles. Tidak heran, ketika pertama kali, Nicolaus Copernicus mengemukakan bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta (Heliosentris), maka gereja Katolik marah dan menghukumnya, karena gereja Katolik mengikuti pandangan Aristoteles ditambah argumentasi yang dicomot dari Yoshua 10:12a-13b, “Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di hadapan orang Israel: "Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!" Maka berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh.” Apakah Geosentris itu benar atau Heliosentris ? Dengan bijaksana, Ir. Stanley I. Sethiadi di dalam artikelnya : “TEORI GEOSENTRIS VERSUS TEORI HELIOSENTRIS” di
http://www.sahabatsurgawi.net mengungkapkan,
Sesungguhnya kalau teori Geosentris dianggap salah, maka teori Helio sentris juga sama salahnya. Tidak ada alasan apapun untuk menganggap bahwa bumi atau matahari adalah pusat alam semesta. Untuk menggam barkan gerakan bulan atau satelit buatan terhadap bumi, paling logis ialah menganggap bahwa bumi diam dan bulan yang menge lilingi bumi. Untuk menggambarkan gerakan planet-planet, paing logis menganggap bahwa matahari diam dan planet-planet berputar mengelilingi matahari. Tetapi untuk menggambarkan gerakan bintang- bintang dalam glaxy Bima Sakti sangat tidak logis untuk mengambil matahari sebagai pusat Bima Sakti. Lebih logis menganggap bahwa ditengah-tengah Bima Sakti ada sumbu imaginair. Semua bintang-bintang dalam gugusan Bima Sakti berputar mengelilingi sumbu imaginair ini. Tetapi untuk menggamparkan gerakan galaxy-galaxy dalam cluster of galaxies, tidak logis mengambil sumbu imaginair ini. Mungkin haru diambil sumbu imaginair lain yang lebih besar. Dan sebagainya dan sebagainya.
Jadi sesungguhnya Copernicus tidak lebih benar dari Yoshua. Untuk menggambarkan gerakan matahari dan bulan terhadap orang-orang yang sedang bertempur waktu itu, Yoshua sangat logis menganggap bahwa matahari dan bulan yang bergerak dan bumi yang diam.

Ilmu pengetahuan bisa berubah dan relatif sifatnya, tetapi hanya satu yang tak mungkin berubah, itulah firman Allah. Kesalahan fatal penafsiran terhadap Yoshua 10:12a-13b adalah hanya mengambil sedikit ayat untuk mendukung ide filsafat Aristoteles yang memegang Geosentris yang dianut oleh gereja-gereja Katolik Roma. Dari sini, mulai muncul penyelewengan penafsiran Alkitab, yang nantinya berimbas pada doktrin/ajaran gereja Katolik Roma yang akhirnya didobrak oleh Dr. Martin Luther dengan 95 dalilnya yang ditempel di depan pintu gereja Wittenberg. Oleh karena itu, problematika penafsiran Alkitab sangat erat kaitannya dengan pengaruh theologia sistematika atau paradigma dasar. Mari kita akan menelusuri beberapa paradigma dasar atau theologia sistematika yang tidak bertanggungjawab yang mempengaruhi penafsiran Alkitab.
Pertama, Doktrin Alkitab (Bibliologi). Berikut ini saya akan menyajikan salah satu contoh problematika penafsiran Alkitab yang tidak bertanggungjawab yang diambil dari
http://www.ekaristi.net :
Tanya : Alkitab adalah satu-satunya sumber autoritas Firman Allah
Jawab : Rom 10:17: Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
Iman kita biasanya tidak dimulai ketika kita membaca Alkitab. Iman biasanya lahir dan berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain (orang tua kita, keluarga, teman, dll). Penyebaran iman melalui oral adalah yang dimaksudkan pada ayat ini. Alkitab mengatakan pada kita bahwa iman kita datang dari pendengaran terhadap Firman Allah. Alkitab dibaca dan digunakan untuk mengajar, tapi Alkitab bukanlah satu-satunya sumber wahyu Allah.

Komentar saya :
Bukankah Alkitab yang dikutip di sini jelas mengajarkan bahwa iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus ? Ayat 17 di dalam Roma 10 ini sudah amat jelas, tetapi dasarnya para theolog Katolik Roma menyangkali finalitas firman Kristus dan iman yang beres di dalam Allah, maka mereka berusaha memelintir ayat 17 yang sangat begitu jelas dengan argumentasi-argumentasi “akademis” mereka yang pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk menolak finalitas Alkitab (perhatikan pernyataan, “Alkitab bukanlah satu-satunya sumber wahyu Allah.”) Benarkah iman tidak dimulai dari membaca Alkitab ataukah iman lahir dan berkembang melalui apa yang kita dengar dari orang lain ? Di dalam theologia Reformed, manusia telah ditanamkan suatu benih agama di mana setiap manusia mau tidak mau pasti memiliki iman di dalam konsep Allah (belum tentu menyembah Allah yang sejati). Iman ini yang Pdt. Dr. Stephen Tong sebut sebagai iman natural/alamiah. Jadi, tidaklah benar bahwa iman itu timbul dan berkembang dari luar diri kita, karena jika iman timbul dan berkembang dari luar diri kita, maka ketika orang lain yang kita sandari tersebut mati, maka iman kita juga akan beralih kepada orang lain lagi. Itu namanya self-centered faith yang sama sekali ditolak oleh Alkitab. Iman di dalam Roma 10:17 adalah iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah hanya kepada umat pilihan-Nya. Iman ini merupakan suatu tindakan Roh Kudus yang mengaktifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya yang belum menerima Kristus. Yang paling aneh, si “apologet” Katolik yang tidak mengakui Alkitab sebagai sumber otoritas ini malahan mengutip bukti ketidakpercayaannya dari Alkitab (yang tidak dipercayainya). Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh.

Kedua, Doktrin Allah. Tentang Doktrin Allah, saya akan mengutip kekonyolan pernyataan doktrinal dari Jusufroni yang mengajar tentang Allah Trinitas.
“Keimanan agama Kristen berakar-bertumbuh dan berkembang dari agama Yahudi, dimana memiliki keyakinan monoteisme yang ketat, suatu kewajiban umat PL mengucapkan syahadat (pengakuan iman)-nya; SHEMA' YIS'RA'EL ADONAI ELOHEINÛ ADONAI EKHAD (Dengarkanlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!)─Ulangan 6:4.”
“Mat. 4:10b; Mark. 12:29; Yoh. 17:3; Yoh. 5:44; I Kor. 8:4b dan banyak lagi ayat-ayat yang lain menunjukkan keesaan Allah dalam PL dan PB.” (http://
www.besorahonline.com)
Komentar saya :
1. Tafsiran terhadap Ulangan 6:4 yang tidak bertanggungjawab.
Benarkah Allah yang dipercaya oleh orang Yahudi adalah Allah yang hanya satu pribadi (monotheisme) ? Kata “dxa ‘echad” tidak hanya berarti satu (one) tetapi bisa juga berarti united (dipersatukan). Mengapa “Abuna” Jusufroni begitu yakin bahwa Allah orang Yahudi adalah Allah yang hanya berpribadi satu ? Perlu diketahui Kitab Ulangan ditulis oleh Nabi Musa untuk mengingatkan kembali bangsa Israel agar mereka tidak berbalik kepada ilah-ilah palsu, sehingga Musa menegaskan pernyataan bahwa Allah bangsa Israel itu hanya satu (dalam arti, tidak ada dewa dewi lainnya yang boleh disembah sebagai “Allah”). Kalau ayat ini ditafsirkan bahwa mutlak hanya satu pribadi Allah, itu jelas salah tafsiran. “Pendeta” yang dengan sombongnya mengaku bergelar Doktor ini masih tidak mengerti bagaimana menafsirkan Alkitab dengan baik ! Semua ayat-ayat Perjanjian Lama yang dipakai oleh “Abuna” Jusufroni misalnya, Keluaran 20:3, 4, 5a ; Yesaya 44:6b ; 45:5a, 6b ; 46:9c tidak sedang mengajarkan bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi merupakan peringatan-peringatan dari nabi-nabi Tuhan untuk menegaskan ulang bahwa tidak ada dewa-dewi lain yang boleh disembah sebagai “Allah” kepada bangsa Israel, sehingga mereka (para nabi Tuhan) dengan gigih memperjuangkan bahwa Allah itu satu-satunya yang layak disembah. Perhatikan Kitab Kejadian 1:1-3, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong ; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah : “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.” Kata “Allah” yang digunakan dalam Kejadian 1:1 dalam bahasa Ibraninya, “Myhla” (‘elohiym) yang berbentuk/berintensif plural (plural intensive) dengan pengertian tunggal. Kemudian, kata “Roh Allah” menggunakan bahasa Ibrani, “xwr ” (ruwach) yang berarti Spirit of God, the third person of the triune God, the Holy Spirit, coequal, coeternal with the Father and the Son (Roh Allah, pribadi ketiga dari Allah Trinitas, Roh Kudus, sama kedudukan dan sama kekalnya dengan Bapa dan Anak). Kemudian, di dalam Kejadian 1:26, firman Tuhan berkata, “Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ...” Bagaimana “Abuna” Jusufroni menafsirkan kata “Kita” dalam Kejadian 1:26 ? Jelas, kata “Kita” bukanlah sesuatu yang tunggal/singular, tetapi bentuk jamak/plural. Lalu, siapakah “Kita” yang dimaksud ? Apakah berarti Allah menciptakan manusia bekerja sama dengan para malaikat ? TIDAK. Allah tak pernah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupa Allah (dan malaikat) {Kejadian 1:27}, lalu siapakah “Kita” yang dimaksud ? Jelas, Allah yang memiliki tiga Pribadi dalam satu Esensi, yaitu Allah Bapa dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Dan perlu diperhatikan semua ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang Jusufroni kutip selalu menggunakan kata dalam bentuk plural yang bermakna tunggal yaitu “Myhla” (‘elohiym).

2. Kutipan ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang tidak memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Injil Yohanes 17 jangan hanya dimengerti dalam ayat 3 saja, tetapi dalam seluruh perikop. Di ayat 21, Tuhan Yesus menyatakan bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (adanya kesatuan antara Allah Bapa dan Allah Anak). Lagi, 1 Korintus 8 ada dalam konteks di mana orang-orang Kristen di Korintus sedang meributkan masalah makan daging persembahan berhala. Nah, pada ayat 4b-5, Paulus memberikan jawaban bahwa mereka tidak perlu takut karena Allah itu lebih besar dari berhala-berhala dunia (tidak ada berhala di dunia), dan Allah itu Allah yang Esa. Tetapi jangan dipotong, karena ayat 6, menjelaskan bahwa Bapa itu Allah, Anak Allah yaitu Tuhan Yesus juga adalah Tuhan (Yunani : κύριος kurios ; Indonesia : Tuhan/Tuan/pemilik). Tuhan Yesus bernatur 100% Allah dan 100% manusia, sehingga Ia bisa berinkarnasi menjadi manusia tanpa menghilangkan natur Ilahinya (dwi natur Kristus). Kalau di zaman Perjanjian Lama, para nabi Tuhan ketika disuruh oleh Tuhan menyampaikan berita firman kepada bangsa Israel, mereka selalu berseru, “Beginilah firman Tuhan semesta alam,...” atau “Tuhan berfirman, ...”, dll, tetapi ketika Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, Ia tidak menggunakan kata-kata tadi, melainkan langsung menggunakan otoritas-Nya dengan mengatakan, “Aku adalah,...”, “Aku berkata kepadamu, ...” Tidak ada satu nabi Tuhan yang diutus-Nya berani mengucapkan “Aku” untuk menggantikan firman Allah, tetapi Tuhan Yesus melakukannya, karena Ia memang adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia !

Ketiga, Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology). Berkaitan dengan hal ini, saya akan mengutip pengajaran dari School of Ministry (SOM) Bethany yang diambil dari silabus “Salvation/Keselamatan” yang diterbitkan oleh GBI Bethany, Surabaya,
MANUSIA TERDIRI DARI ROH, JIWA DAN TUBUH
1. Roh Manusia
Elemen manusia yang sadar akan Allah, sanggup menyembah Allah dan sebagai pelita Tuhan. Zak. 12:1 ; Yoh. 4:25. Roh manusia terdiri dari Intuisi (pemahaman Ilahi), Iluminasi (pengertian Firman Allah), Instruksi (nasehat dan bimbingan) dan persekutuan dengan Allah.
Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus hubungannya dengan Allah. Efesus 2:1-3. Dalam kelahiran baru, manusia dipulihkan fungsi rohnya. Yoh. 3:3-7 ; Roma 8:16 ; Titus 3:5.
2. Jiwa Manusia
Elemen ini membuat manusia mempunyai kesadaran akan diri sendiri. Kej. 2:7, Allah menghembuskan nafas sehingga manusia menjadi nyawa yang hidup. Jiwa manusia (Psuche) adalah tempat kedudukan dari kepribadian dan diri (ego) manusia.
Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory, imajinasi, rasa ingin tahu dan suara hati. Fungsinya terbatas pada bidang mental semata. Dibutuhkan kuasa Roh Allah untuk merobohkan tembok pemisah dan mengangkat manusia dari pengaruh duniawi. Roma 8 ; 1 Kor. 2 ; Gal. 5.
3. Tubuh Manusia
Manusia mempunyai satu tubuh yang dapat berinteraksi dengan dunia sekitar. Panca indera merupakan jendela jiwa. Tubuh harus diserahkan kepada allah untuk menjadi bait-Nya. 1 Kor. 6:19 ; Roma 6:11.
Bagi manusia yang belum dilahirkan baru tubuh menjadi hamba dosa. Roma 6:17. Bagi yang telah percaya dan lahir baru tubuh ini menjadi rumah Roh Kudus. Immanuel, Allah berdiam di dalam kita. (Silabus SOM Bethany “Salvation/Keselamatan” p. 30)
Komentar saya :
Di dalam pandangan Karismatik/Pentakosta yang banyak menganut paham trikotomi sengaja memisahkan antara roh dan jiwa manusia, bahkan ada seorang dokter yang mengaku juga diundang berkhotbah di beberapa gereja/persekutuan doa Karismatik/Pentakosta mengungkapkan bahwa Ibrani 4:12 mengungkapkan “fakta” bahwa antara jiwa dan roh itu berbeda. Lagi-lagi, ayat ini tidak sedang membicarakan perbedaan antara jiwa dan roh, tetapi tentang kuasa Firman. Inilah penafsiran Alkitab yang terlalu dicocok-cocokkan. Kembali kepada pernyataan yang ada di dalam buku SOM ini.
1. Pernyataan, “Pada waktu manusia jatuh dalam dosa, roh manusia putus hubungannya dengan Allah. Efesus 2:1-3.” tidak bertanggungjawab.
Efesus 2:1-3, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.” Kata “roh” dalam bahasa Yunaninya pneuma yang identik dengan breath/nafas yang terdapat di dalam Kejadian 2:7 yang oleh penulis buku SOM ini dikategorikan sebagai jiwa manusia (bukan roh manusia), padahal antara jiwa dan roh manusia tidak ada perbedaan. Benarkah ketika manusia jatuh dalam dosa, hanya roh manusia putus hubungannya dengan Allah ? Pantas saja, banyak orang “Kristen” hari ini mengaku diri bebas dari segala dosa (tidak berdosa lagi), karena menurutnya yang berdosa itu hanya roh. Ini jelas salah. Penafsiran model ini membuktikan si penulis buku SOM ini tidak mengerti dasar iman Kristen, tetapi berani menulis buku. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajar bahwa yang berdosa itu hanya roh manusia. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh potensi hidup manusia sudah rusak total. Itulah yang John Calvin sebut sebagai kerusakan total (Total Depravity). Kerusakan total diibaratkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai noda teh yang tumpah pada baju kita yang mengakibatkan warna baju yang tadinya putih menjadi pudar (tetapi baju tersebut bukan menjadi tidak berwarna lagi).

2. Pernyataan “Jiwa manusia terdiri dari pikiran, perasaan, keinginan, memory, imajinasi, rasa ingin tahu dan suara hati.” tidak bertanggungjawab.
Benarkah suara hati dikategorikan sebagai jiwa manusia ? Mari kita menyelidiki lebih teliti. Amsal 20:27 (Terjemahan Baru) mengatakan, “Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.”, Alkitab terjemahan King James Version menerjemahkan, “The spirit of man is the candle of the LORD, searching all the inward parts of the belly.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Jelaslah, hati nurani tidak termasuk jiwa manusia, tetapi identik dengan roh manusia.
Kata “jiwa” dan “roh” manusia dipakai secara bergantian di dalam Alkitab baik PL dan PB. Mari kita selidiki. Bilangan 5:14, “dan apabila kemudian roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, dan perempuan itu memang telah mencemarkan dirinya, atau apabila roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, walaupun perempuan itu tidak mencemarkan dirinya,” Kata “roh” ini dalam bahasa Ibraninya rûach berarti wind, breath, dll. Kata yang sama dipakai di dalam Kejadian 2:7, di mana kata “nafas” dalam bahasa Ibraninya neshâmâh identik dengan wind, breath, dll. Di dalam Imamat 26:16, kata “jiwa” diterjemahkan sebagai heart oleh King James Version (KJV). Dengan kata lain, kata “hati” atau “hati nurani” identik baik dengan kata “jiwa” (Imamat 26:16) maupun dengan kata “roh” (Amsal 20:27). Kemudian, kata “jiwa” di dalam Yakobus 5:20 diterjemahkan oleh KJV sebagai soul yang berasal dari bahasa Yunani psuche yang juga bisa berarti spirit (Yunani : pneuma).
Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (2005) di dalam booklet Doktrin Manusia dan Dosa pada halaman 6-7 memaparkan empat contoh yang menunjukkan penggunaan kedua kata antara jiwa (Ibrani : nepes ; Yunani : psuchē) dan roh (Ibrani : ruah ; Yunani : pneuma) yang saling bergantian :
1 Kata “jiwa” dan “roh” dipakai secara bergantian :
a. Kej. 41:8 (bdk. Mzm 42:6)
· “his spirit was troubled” (New American Standard Bible/NASB) — “Gelisahlah hatinya” (LAI)
· My soul is in despair” (NASB) — “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku...”
b. Mat. 20:28 (bdk. Mat. 27:50)
· “memberikan nyawa-Nya” (psuchē)
· “menyerahkan nyawa-Nya” (pneuma)
c. Yoh. 17:27 (bdk. Yoh. 13:21)
· “jiwaku terharu” (psuchē)
· “terharu” (terjemahan seharusnya “roh-Nya terharu” — pneuma)
2 Kata ruah dan pneuma dipakai untuk menyebut nyawa/jiwa binatang (Pkh. 3:21 ; Why. 16:3).
3 Kata nepes dan psyche dipakai pada diri Allah (Yes> 42:1 ; Ibr. 10:39 ; bdk. Mat. 12:18).
4 Keadaan rohani manusia yang paling tinggi dihubungkan dengan “jiwa” (Mrk. 12:30 ; Luk. 1:46 ; Ibr. 6:19 ; Yak. 1:21).

Keempat, Doktrin Kristus (Kristologi). Berikut ini saya akan mengutip pernyataan doktrinal dari seorang “pemimpin gereja” Kemah Abraham, Jusufroni,
Secara pribadi saya ingin bertanya, yakinkah Anda bahwa kebenaran Kristus itu ditemukan atau suatu pernyataan ? Jangan sekali-kali mengatakan telah kutemukan kebenaran dalam Kristus. Memangnya siapa kita? Akulah jalan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Aku. Tolong camkan kata-kata itu. Murid-Nya tidak berkata Yesuslah jalan kebenaran dan hidup, tapi Yesuslah yang menyatakan diri-Nya dan bukan murid yang menemukan. Kalau pun kita mencoba mencari kebenaran agama, sebenarnya sampai saat ini belum menemukan. Kita baru coba-coba. Apalagi, kita mengatakan inilah kebenaran agamaku, yang diabsolutkan. Begitu diabsolutkan menolak kebenaran orang lain. Karena itu lahirlah penderitaan yang kita rasakan sekarang ini. Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran. (Majalah Narwastu, Juni 2000)
Komentar saya :
1. Tafsiran Yohanes 14:6 yang tidak bertanggungjawab.
Perhatikan alur pikirannya. Jusufroni mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup, tak seorangpun sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Dia. Itu benar dan terdapat dalam Yohanes 14:6. Lalu, lebih lanjut, Jusufroni mengemukakan pernyataan bahwa bukan murid-Nya yang mengemukakan hal ini, tetapi Kristus sendiri, jadi, “kalau kita mencoba mencari kebenaran agama, sebenarnya sampai saat ini belum menemukan. Kita baru coba-coba.” Sungguh tidak masuk akal. Memang benar bahwa Allah di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dan memproklamirkan diri-Nya sebagai jalan dan kebenaran dan hidup itu, sehingga barangsiapa yang mau datang kepada Bapa harus melalui diri-Nya. Ini berarti ada finalitas karya Kristus yang tak mungkin dijumpai pada para pendiri agama apapun ! Kalau demikian, memang bukan murid Kristus yang mengatakan hal ini, tetapi akibat dari pernyataan ini, para murid-Nya sadar dan akhirnya mengerti Tuhan yang selama ini diikuti-Nya adalah benar dan sejati. Akibat adanya konfirmasi Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju kepada Bapa di Surga, maka para murid Kristus dan kita sebagai orang Kristen percaya kepada-Nya. Sama seperti kita baru bisa mengasihi Allah, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Tanpa adanya campur tangan dan anugerah Allah yang intervensi ke dalam dunia, maka mustahil manusia yang berdosa bisa mencari dan mengasihi Allah ! Begitu kan logikanya. Kalau sampai si Jusufroni mengatakan bahwa dirinya masih meraba-raba dan mencoba-coba, bukankah berarti “kesaksiannya” selama ini adalah palsu/bohong tatkala dia menjadi “Kristen” dan bahkan “pendeta” ?! Kalau memang Jusufroni benar-benar bertobat dan rela menyerahkan diri menjadi pendeta yang bertanggungjawab, maka dia tak sampai mengeluarkan pernyataan yang tidak bertanggungjawab ini !

2. Pernyataan, “Begitu diabsolutkan menolak kebenaran orang lain.” yang tidak bertanggungjawab.
Apakah dengan mengabsolutkan suatu kebenaran yang benar-benar benar berarti menolak kebenaran orang lain ? YA, BENAR ! Lalu, apa yang salah dengan pemikiran ini ? Ambil contoh, seorang guru dengan tegas mengajarkan bahwa 1+1+2 (hal yang absolut), lalu, bolehkah murid-muridnya mengatakan bahwa sang guru mengajarkan hal-hal yang terlalu absolut dan bisa menolak “kebenaran” orang lain yang mengatakan bahwa 1+1=3 atau 4 atau 5 atau terserah ?! Tidak bertanggungjawab, bukan ? Sama halnya dengan pandangan ini. Tuhan Yesus sudah berkali-kali memperingatkan bahwa karena diri-Nya, barangsiapa yang mengikut-Nya pasti mengalami aniaya dan kita dituntut untuk juga menderita bersama Kristus dengan sukacita (1 Petrus 4:14). Demi Kerajaan Allah dan hidup kekal, kita pasti mau menderita, karena ada janji pengharapan bagi mereka yang setia mengikut Kristus (otomatis karena pimpinan dan pemeliharaan Allah melalui Roh Kudus). Ada harga yang harus dibayar ketika kita mengikut Kristus dan berperang bagi Kerajaan Allah, tidak ada kompromi ala dunia, harus berperang melawan setan dan kroni-kroninya ! Sesuatu yang absolut (dalam arti hanya Alkitab) pasti menolak kebenaran orang lain pun sedang menunjukkan bahwa “kebenaran” orang lain yang ditolak oleh Alkitab itu adalah suatu hal yang relatif dan siapa yang membela pernyataan ini (bahwa yang absolut menolak “kebenaran” orang lain) pun merupakan pengajaran yang relatif !

3. Pernyataan, “Mengapa terjadi bentrok itu ? Karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran.” Yang tidak bertanggungjawab.
Menurut pandangan Jusufroni, bentrok dan konflik terjadi karena mereka merasa sudah menemukan kebenaran, padahal pernyataan ini menurut Jusufroni “tidak benar”. Benarkah pandangan ini ? Kebenaran sejati (Alkitab) memang membutuhkan pengorbanan untuk dibenci oleh orang-orang dunia, karena orang-orang dunia di luar Kristus adalah orang-orang yang berdosa yang berasal dari dunia, sedangkan umat pilihan Allah adalah orang-orang yang sama-sama berdosa (tetapi telah ditebus oleh Kristus) dan tinggal di dalam dunia, tetapi berasal dari Surga/umat pilihan Allah (Yohanes 17:16) ! Tetapi tidak berarti ketika kita sedang menyatakan suatu kebenaran Alkitab, itu bisa menghina orang lain, sehingga terciptalah konflik. Ingatlah, konflik terjadi bukan karena orang-orang Kristen memperjuangkan kebenaran Alkitab, tetapi munculnya orang-orang Islam maupun Kristen yang radikal yang berusaha menghancurkan yang lain dengan kekerasan (peperangan dengan fisik). Peperangan sejati bukan peperangan fisik/daging, tetapi peperangan rohani melawan ajaran-ajaran yang sesat dengan hanya berpedoman Alkitab sebagai standart mutlak ! Seharusnya, kalau mereka masih menganggap diri manusia dan berhati nurani, mereka sadar dan kembali kepada Kristus, karena tanpa Kristus dan pengorbanan/penumpahan darah-Nya, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22)! Tetapi akibat dosa, maka hati nurani manusia pun menjadi terpolusi oleh dosa, sehingga mereka tidak mampu kembali kepada Kristus, kecuali melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan dan mencerahkan pikiran dan hatinya sehingga mereka dapat percaya kepada Kristus.

Kelima, Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pada bagian ini, saya akan mengutip dua hal tentang pengajaran tentang bahasa roh dari Sekolah Orientasi Melayani/School of Ministry (SOM) dari Gereja Bethany Indonesia (dulu : GBI Bethany),
HARUSKAH KITA BERBAHASA LIDAH
Dalam 1 Kor. 14:18, Paulus berkata : “Aku mengucap syukur kepada Allah bahwa aku berkata-kata dengan bahasa Roh lebih dari pada kamu semua.” Paulus berani bersaksi bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu ia bangun dari tempat tidur langsung berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam perjalanan, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa lidah. Paulus berbahasa lidah dalam frekuensi waktu yang cukup banyak...
Kita akan lihat beberapa alasan mengapa setiap orang Kristen harus berbahasa lidah :
Alasan 1...
Alasan 5 : Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat berdoa untuk sesuatu permohonan yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the unknown)
Roma 8:26, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.”
Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara akal sudah tidak terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa yang harus kita doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu kelemahan kita apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah...
Yang terakhir adalah : Mengapa Paulus berkata bahwa “bahasa Roh adalah tanda untuk orang yang tidak beriman ?” 1 Kor. 14:22. Yang jelas Paulus tidak bermaksud mengatakan bahwa orang yang berkata-kata dengan bahasa Roh itu orang yang tidak beriman, karena ayat-ayat sebelumnya Paulus menunjukkan bahasa-bahasa Roh itu penting untuk berkata rahasia kepada Allah dan penting untuk membangun diri sendiri, dan Paulus suka kalau semua orang berbahasa Roh seperti dia yang berbahasa Roh lebih dari semua orang Korintus.
Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada seorang tidak percaya atau mempersoalkan bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu adalah “tanda” bahwa mereka adalah orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible). (Buletin SOM Bethany “Roh Kudus”, pp 32-40)

Komentar saya :
Dari sekelumit pembahasan ini, mari kita akan memperhatikan problematika penafsiran Alkitab dari theologia ini :
1. Penafsiran 1 Korintus 14:18.
Dengan menafsirkan 1 Korintus 14:18, yang sengaja tidak mengutip ayat 19, penulis buku SOM ini mengutarakan, “Paulus berani bersaksi bahwa ia berkata-kata dengan bahasa lidah lebih dari orang-orang Korintus berarti begitu ia bangun dari tempat tidur langsung berbahasa lidah, pergi tidur berbahasa lidah, dalam perjalanan, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sehari-hari bahkan setiap saat ia berbahasa lidah. Paulus berbahasa lidah dalam frekuensi waktu yang cukup banyak...” Ayat ini dengan semena-mena ditafsirkan, padahal di dalam ayat selanjutnya, ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.” Memang Paulus bisa berbahasa Roh, tetapi ia mengungkapkan bahwa itu hanya untuk membangun dirinya sendiri, sedangkan di ayat 19, ia mulai membicarakan bahwa yang penting itu adalah untuk membangun Jemaat, sehingga ia lebih suka mengucapkan atau berkhotbah tentang 5 kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang ketimbang berpuluh-puluh ribu bahasa roh yang tidak diketahui. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “Yet in the church I had rather speak five words with my understanding, that by my voice I might teach others also, than ten thousand words in an unknown tongue.” Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Namun, di dalam pertemuan-pertemuan untuk menyembah Tuhan, saya lebih suka memakai lima perkataan yang dapat dimengerti orang daripada memakai beribu-ribu perkataan dalam bahasa yang ajaib. Saya lebih suka begitu supaya saya dapat mengajar orang.” Kata “understanding” dalam bahasa Yunaninya nous berarti intellect, mind, dll. Jadi, kata “pengertian” bisa mencakup intelek, pikiran, dll. Dengan kata lain, di dalam pertemuan jemaat atau ibadah, Paulus lebih suka mengajar orang lain dengan hal-hal doktrinal yang bisa dimengerti bahasanya supaya iman jemaat dapat dibangun ketimbang berpuluh-puluh ribu bahasa yang tidak dapat dingerti (unknown tongue). Kalau ayat 18 ditafsirkan bahwa Paulus setiap saat berbahasa lidah, bisakah Anda membayangkan bahwa mungkinkah Paulus menuliskan wahyu Allah melalui surat-suratnya ? Jelas, ini sebuah penafsiran yang dicocok-cocokkan. Kalau memang menurut penulis buku SOM ini, Paulus setiap saat berbahasa Roh, mengapa rasul-rasul Kristus lainnya, seperti Yohanes, Petrus, dll tidak dilaporkan setiap saat berbahasa Roh ? Jelas, ini suatu ketidakkonsistenan penafsiran Alkitab ala penulis buku SOM. Penafsiran Alkitab ini disebut eisegese (menafsirkan Alkitab sekehendak hatinya asal cocok dengan pola pikir yang telah ia tetapkan dahulu).

2. Penafsiran Roma 8:26.
Penulis buku SOM ini mengungkapkan 7 alasan orang “Kristen” harus “berbahasa roh”, salah satunya adalah alasan 5 yang menyatakan, “Dengan berdoa dalam bahasa lidah kita dapat berdoa untuk sesuatu permohonan yang kita tidak ketahui (Enable us to pray for the unknown)” Lalu, untuk mendukung pengajaran ini, ia mengutip Roma 8:26 dengan penafsirannya, “Kadang-kadang tatkala menghadapi persoalan yang amat berat dan secara akal sudah tidak terpecahkan dan sudah tidak ada jalan keluar lagi dan kita tidak tahu apa yang harus kita doakan dan mohonkan kepada Allah, saat itulah Roh akan membantu kelemahan kita apabila kita mulai berbicara dengan bahasa lidah...” Dengan sangat jelas, ayat 26 di dalam Roma 8 ditafsirkan seenaknya sendiri. Perhatikan. Roma 8:26 tidak sedang berbicara tentang doa dalam bahasa roh. Ayat ini berarti Roh Allah yang Mahakudus itu membantu kita berdoa kepada Bapa. Jadi, urutannya adalah : kita berdoa kepada Allah Bapa di dalam nama Tuhan Yesus melalui Roh Kudus. Tetapi herannya, beberapa pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengajarkan berdoa di dalam Roh itu berarti berdoa dengan menggunakan bahasa “roh”, lalu banyak jemaat mereka (termasuk para pemimpin gereja mereka yang tidak mengerti) kalau berdoa bukan kepada Bapa tetapi kepada Roh Kudus, ini pembalikkan ordo/urutan. Kembali, Roh Kudus membantu kita berdoa kepada Bapa karena kita tidak mengerti bagaimana berdoa supaya doa kita diperkenan Allah (doa yang tidak diperkenan Allah : doa yang egois, sombong, doa minta kaya, dll), oleh karena itu Roh Kudus lah yang membantu kelemahan kita sehingga doa-doa kita disampaikan oleh Roh Kudus kepada Allah Bapa. Lalu, jika Roh membantu kelemahan kita ketika kita mulai berbicara dengan bahasa lidah, tafsiran ini terlalu dicocok-cocokkan, mengapa ? Karena di dalam kelemahan-Nya dalam natur manusia, Tuhan Yesus ketika berdoa di Taman Getsemani, Ia berdoa kepada Bapa sama sekali tidak menggunakan bahasa roh, apakah berarti Roh Kudus tidak menolong-Nya ? Apakah berarti kita tidak boleh sama sekali berbahasa lidah ? TIDAK. Bahasa Roh sejati masih ada sampai sekarang, karena itu adalah suatu hal yang supranatural yang melebihi kemampuan rasio manusia, TETAPI tidak berarti karena itu hal yang supranatural lalu tidak ada standardnya. Tidak semua hal supranatural itu benar dan bertanggungjawab, oleh karena itu hanya Alkitablah yang harus menjadi standard untuk menguji hal-hal yang supranatural.

3. Penafsiran 1 Korintus 14:22.
Tentang bahasa roh yang adalah karunia untuk orang yang tidak beriman (1 Korintus 14:22), penulis buku SOM ini mengungkapkan, “Yang dimaksudkan Paulus adalah : Jika ada seorang tidak percaya atau mempersoalkan bahkan menolak dan menentang bahasa Roh, itu adalah “tanda” bahwa mereka adalah orang yang tidak mempunyai iman. Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible).” Perhatikan. Ayat ini jelas menyimpang dari konteksnya, mengapa ? Ayat 22 tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelumnya. Di ayat 20, Paulus sudah memperingatkan jemaat Korintus untuk tidak seperti anak-anak di dalam pemikiran mereka, karena mereka lebih melihat fenomena yang kelihatan “wah” dan “supranatural” tanpa melihat esensi yang lebih penting (yaitu mendengarkan Firman). Lalu, di ayat 21, dengan mengutip Yesaya 28:11-12, Tuhan berkata melalui Paulus, “Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.” Di dalam Yesaya 28:11-12, Yesaya menuliskan bahwa kepada para pemimpin Yerusalem, Allah menggunakan bahasa-bahasa yang tidak mereka mengerti untuk menghukum mereka, “Sungguh, oleh orang-orang yang berlogat ganjil dan oleh orang-orang yang berbahasa asing akan berbicara kepada bangsa ini. Dia yang telah berfirman kepada mereka: "Inilah tempat perhentian, berilah perhentian kepada orang yang lelah; inilah tempat peristirahatan!" Tetapi mereka tidak mau mendengarkan.” Oleh karena itulah, di dalam ayat 22, Paulus mengajarkan, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.” Lalu, penulis buku SOM ini menyimpulkan, “Jadi “bahasa Roh” adalah patokan yang mendasar. Jika menolak ini menjadi tanda bahwa mereka tidak mempunyai Iman. Mari kita kembali kepada pengajaran Alkitab yang sepenuhnya (Back to the Bible).” Posisi Alkitab sebagai satu-satunya yang layak dipercaya digeser menjadi bahasa roh menjadi patokan yang mendasar untuk mengukur iman seseorang, padahal di dalam Roma 10:17, Alkitab berkata, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Alkitab tidak pernah berkata bahwa iman timbul dari bahasa roh, tetapi dari pendengaran oleh firman Kristus ! Tetapi herannya, dengan menggantikan posisi finalitas Alkitab, penulis buku SOM ini mengatakan bahwa pengajarannya adalah pengajaran yang “kembali kepada Alkitab”. Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh.

Keenam, Doktrin Keselamatan (Soteriologi). Berikut adalah contoh konkrit tentang kesalahan tafsiran Alkitab yang diambil dari website “apologetika” sebuah pelayanan gereja Katolik (http://www.ekaristi.net).
Tanya : Pendapat Gereja Katholik tentang pentingnya perbuatan adalah salah satu penemuan buatan mereka.
Jawab : Filipi 2:12-13 : Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.
Umat di Filipi diminta untuk menuruti pesan St. Paulus untuk mengerjakan keselamatan mereka dengan takut dan gentar. Apa bedanya dengan kita, jika kita benar-benar adalah orang Kristen Perjanjian Baru ? Tingkah laku kita penting, karena dengan itulah Allah akan menghakimi kita. Ayat ini seharusnya membuat kita merasa gentar sehingga kita terus menerus melakukan keinginan Bapa dalam segala hal. St. Paulus atau penulis-penulis Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah pada masa sekarang.
Komentar saya :
Tafsiran terhadap Alkitab yang dilakukan secara semena-mena ini membuktikan penulis di website ini tidak mengerti benar Alkitab. Filipi 2:12-13 sangat digemari oleh para theolog Arminian dan Katolik yang anti-kedaulatan Allah. Coba kita akan menyelidiki dengan teliti. Memang benar, di dalam Filipi 2:12-13, Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk mengerjakan keselamatan. Ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa karena keselamatan itu mudah hilang, sehingga Paulus perlu mengingatkan jemaat di Filipi untuk mengerjakan keselamatan. Tafsiran model ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan (eisegese) yang tidak sinkron dengan seluruh berita Alkitab. Meskipun Filipi 2:12-13 dikutip keseluruhan, tetapi fokusnya sering dilihat hanya pada ayat 12, dan bukan pada ayat 13. Mengapa demikian? Karena di ayat 13 mengajarkan bahwa Allah lah yang mengerjakan kehendak baik manusia sehingga manusia bisa berbuat baik dan ajaran ini tidak cocok dengan ajaran Arminian dan Katolik Roma. Itu masalahnya. Saya tidak berarti menyalahkan 100% bahwa perbuatan itu tidak penting. Perbuatan baik itu penting tetapi bukan yang terutama, karena perbuatan baik adalah respon kita yang telah mendapatkan anugerah Allah melalui iman di dalam Kristus. Kita harus berbuat baik demi mewujudnyatakan cinta kasih dan terang Kristus ke dalam dunia kita yang berdosa. Tetapi tidak berarti perbuatan baik lebih penting dari iman, sehingga seolah-olah melalui perbuatan baik, “Allah” dipuaskan. Inilah yang ditekankan oleh banyak theolog Katolik Roma dengan “theologia” naturalnya dan banyak theolog Injili dengan presuposisi human-centerednya. Apalagi pernyataan yang mengatakan, “St. Paulus atau penulis-penulis Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan seperti yang banyak diajarkan oleh pengkhotbah-pengkhotbah pada masa sekarang.” adalah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah. Pernyataan ini adalah pernyataan yang dibuat-buat dan dicocok-cocokkan serta membuktikan penulis artikel ini tidak mengerti pengajaran Alkitab. Benarkah Paulus dan para rasul Perjanjian Baru tidak pernah mengajarkan kepastian keselamatan yang tidak perlu dikhawatirkan ? Ini pandangan keliru. Pandangan ini dengan mudah dapat dijatuhkan. Di dalam Yohanes 3:16, Tuhan Yesus memberikan janji kepastian keselamatan bahwa barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Apakah hidup yang kekal itu ? Hidup yang tidak dapat binasa, hidup selama-lamanya bersama Bapa di Surga. Apakah dengan ini berarti janji Tuhan Yesus itu palsu dan bohong belaka hanya untuk mengelabui Nikodemus pada waktu itu yang sedang “stres” ? Lalu, saya akan memberikan argumentasi theologis di dalam hal ini. Keselamatan adalah murni 100% adalah anugerah Allah, tidak ada satu unsur jasa baik manusia. Jangan percaya kepada theologia Injili yang mengaku juga mempercayai keselamatan adalah anugerah Allah, tetapi menyangkali kedaulatan Allah yang memimpin manusia pilihan-Nya sehingga tidak mungkin kehilangan keselamatan. Itu bohong belaka. Sekali lagi, theologia Reformed saja yang berani menegaskan kedaulatan Allah dan anugerah Allah secara konsisten. Keselamatan sejati adalah anugerah Allah, seperti yang dipaparkan Paulus di dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Gereja Katolik Roma dan Arminian mungkin saja menyetujui kedua ayat ini, tetapi dengan perspektif yang menyimpang dari konteks Alkitab ini, yaitu dengan mengajarkan bahwa meskipun keselamatan itu adalah anugerah Allah, kita sebagai manusia harus menerima keselamatan itu dan berbuat baik supaya diperkenan Allah. Ini sama saja bohong dan kontradiksi dengan pendapat sendiri. Ketika theologia Reformed berani menegaskan bahwa keselamatan sejati hanya melalui anugerah Allah di dalam iman, maka itu berarti keseluruhan proses keselamatan ada di tangan Allah secara pribadi (bukan di tangan manusia), yaitu mulai dari rencana keselamatan yang ditetapkan oleh Allah Bapa dengan memilih sebagian orang untuk diselamatkan, penggenapan keselamatan di dalam Pribadi Allah Anak, Tuhan Yesus Kristus dan penyempurnaan karya keselamatan melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan umat pilihan Allah Bapa untuk beriman di dalam Kristus Yesus. Itulah karya Allah Tritunggal di dalam keselamatan. Tidak ada satu theologia Kristen yang berani merumuskan theologia sistematika ini, kecuali theologia Reformed ! Lalu, keselamatan yang telah disempurnakan melalui karya Roh Kudus dengan melahirbarukan umat pilihan-Nya dan memberi mereka iman di dalam Kristus, lalu diterima oleh umat pilihan-Nya dan terus dikerjakan. Mengerjakan keselamatan tidak berarti mempertahankan keselamatan supaya tidak hilang, tetapi berarti mewujudnyatakan keselamatan itu sehingga orang lain dapat melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Bapa di Surga (Matius 5:16). Kembali, perbuatan baik kita yang dikaruniai dari Allah, dilakukan oleh Allah, berorientasi hanya untuk kemuliaan Allah (Roma 11:36). Prinsip Soli Deo Gloria (=kemuliaan hanya bagi Allah selama-lamanya) tidak ada pada theologia Katolik Roma, Orthodoks, Arminian, dll, tetapi hanya pada theologia Reformasi dan Reformed yang konsisten. Tidak ada satu arus theologia Kristen yang memiliki perspektif Kristo-sentris dan kedaulatan Allah (theology from above) kecuali theologia Reformed. Ini bukan fanatisme iman, tetapi realita yang mungkin membuat para penganut theologia lainnya akan marah, membenci, dll, itu tidak menjadi masalah. Kembali, kalau memang “benar”, para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian mempercayai bahwa keselamatan Kristen itu tidak pasti, saya akan bertanya, lalu, Allah yang menganugerahkan keselamatan itu juga bisa mengambil keselamatan sekehedaknya sendiri, itu berarti Allah tersebut bukan Allah yang diajarkan oleh Alkitab karena Allah tersebut adalah Allah yang plin-plan, seenaknya sendiri (tidak beda dengan manusia yang suka plin-plan, ini membuktikan “Allah” palsu ini merupakan proyeksi dari pikiran manusia yang berdosa seperti yang diajarkan oleh Ludwig Feuerbach). Entah, mungkin saja “Allah” seperti itu yang dipercayai oleh para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian. Itu jelas bukan Allah yang Alkitab ajarkan. Inilah kelemahan fatal para penganut theologia Katolik Roma dan Arminian.

Ketujuh, Doktrin Gereja (Ekklesiologi). Salah satu hal di dalam doktrin gereja yang akan kita selidiki adalah tentang minyak urapan dan Perjamuan Kudus. Berikut kutipan ajaran dari Bapak Yesaya Pariadji dari Tiberias yang mengemukakan ajaran tentang minyak urapan dan Perjamuan Kudus.
Tuhan Yesus menegaskan :
HANYA ORANG YANG PUNYA ROH MARTIR YANG DIBERIKUASA MEMBENTUK PERJAMUAN KUDUS YANG BENAR
I. Kita angkat Roti : Yang akan dibentuk menjadi Tubuh Kristus.“Inilah roti yang turun dari Sorga, inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib.” Artinya: Karena Perjamuan Kudus adalah korban Tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib, itulah sebabnya hanya orang yang punya Roh Martir yang diberi kuasa membentuk Perjamuan Kudus yang benar. Kalau orang masih minta-minta, minta-minta perpuluhan, itu tandanya orang itu tidak mempunyai Roh Martir sehingga Perjamuan Kudusnya hanya sekedar lambang saja, tidak ada kuasa Allah. Roh Martir adalah orang yang menyerahkan segala miliknya, nyawa dan darahnya. Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa menyerahkan segala milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan, agar Gereja penuh kuasa.
1. Pertama: Yang memberikan keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam Sorga. Dasar Firman Allah di dalam Yohanes 6:51 & 58... Artinya: Keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus yang benar. Di luar Yesus tidak ada keselamatan dan hidup yang kekal di Sorga (Yohanes 3:16).
2. Kedua: Untuk menyempurnakan tubuhku agar sehat sempurna. Untuk menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada akhir zaman. Dasar Firman Allah di dalam Yohanes 17:23 demikian: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.” Yohanes 6:54 demikian: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman”.
3. Ketiga: Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam, tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah sakit, agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di rumah sakit atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di dalam Yesaya 53:3-5 ...
(Buletin Gereja Tiberias NO. 883 Minggu TGL. 06 NOVEMBER 2005)
Komentar saya :
Semua ayat Alkitab banyak yang ditafsirkan sekehendak hati Pariadji sendiri. Mari kita akan menyelidiki satu per satu.
1. Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan, “hanya orang yang punya Roh Martir yang diberi kuasa membentuk Perjamuan Kudus yang benar.”
Pernyataan ini adalah tafsiran Pariadji sendiri yang mengaku langsung dari “Tuhan Yesus”, yang lebih aneh lagi, yang langsung dari “tuhan yesus” tidak ditemukan pengajarannya di dalam Alkitab, ini Tuhan Yesus atau “tuhan yesus” ? Dari pernyataan ini, sangat jelas bahwa orang yang punya “roh martir” yang dimaksudkannya adalah Pariadji sendiri. Baca pernyataan selanjutnya, “Gereja Tiberias dibangun karena kami bisa menyerahkan segala milik kami, nyawa dan darah kami agar banyak orang diselamatkan, agar Gereja penuh kuasa.” Kalimat ini mirip dengan kalimat klenik atau syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh kuasa supranatural. Gereja dibangun bukan untuk memperoleh kuasa, tetapi untuk memuliakan Kristus. Dari konsep gereja saja, Pariadji tidak mengerti totalitas pengajaran Alkitab, lalu berani mengklaim diri memiliki “roh martir”. Sungguh, suatu pernyataan orang yang aneh.
2. Pernyataan yang mengajarkan bahwa perjamuan kudus itu “memberikan keselamatan, yang memberikan hidup kekal di dalam Sorga.” adalah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus sebegitu berkuasanya sehingga dapat memberikan keselamatan. Sepertinya, Pariadji harus membaca seruan Petrus di dalam Kisah Para Rasul 4:12, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa keselamatan ada di dalam minyak urapan atau perjamuan kudus. Ditambah pernyataannya, “Keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus yang benar.” Dengan mengutip Yohanes 6:51 dan 58. Kedua ayat yang dikutip oleh Bapak Pariadji sama sekali tidak mengajarkan tentang kanibalisme, lalu orang percaya disuruh untuk benar-benar menguyah daging Tuhan Yesus. Tidak. Penggunaan kata “roti” di dalam kedua ayat ini memang menunjuk Perjamuan Kudus, tetapi yang dimaksudkan dengan “roti” adalah daging atau hidup-Nya sendiri yang diserahkan dan mereka harus menerima-Nya supaya mereka memperoleh hidup. Hidup dan keselamatan sejati didapat ketika mereka menerima-Nya sebagai Tuhan dan satu-satunya Juruselamat, bukan karena menerima Perjamuan Kudus. Dengan pernyataan Bapak Pariadji bahwa keselamatan hanya melalui Yesus, yaitu yang percaya dan menerima Perjamuan Kudus adalah pernyataan yang secara implisit menghina karya penebusan Kristus di kayu salib dan menggantinya dengan hanya menerima Perjamuan Kudus yang “benar” (keselamatan di dalam Kristus menurut Bapak Pariadji tidak cukup hanya percaya, tetapi juga harus menerima Perjamuan Kudus yang “benar”), padahal konsep Perjamuan Kudus yang dipromosikan oleh Bapak Pariadji adalah konsep yang salah (bandingkan 1 Korintus 11:23-31 ; ayat 27 di dalam pasal ini sering diabaikan oleh banyak pemimpin gereja kontemporer yang pop).

3. Kutipan Yohanes 6:54 yang seenaknya sendiri.
Fungsi perjamuan kudus yang dipaparkan Bapak Pariadji, “Untuk menyempurnakan tubuhku agar sehat sempurna. Untuk menyempurnakan jiwa dan rohku dan agar dibangkitkan pada akhir zaman.” Lalu, ia mengutip Yohanes 6:54. Pernyataan “makan daging dan minum darah” tidak bermakna secara literal. Perhatikan pernyataan yang diungkapkan oleh Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible, “Except ye eat the flesh ... - He did not mean that this should be understood literally, for it was never done, and it is absurd to suppose that it was intended to be so understood… His body was offered on the cross, and was raised up from the dead and received into heaven. Besides, there is no evidence that he had any reference in this passage to the Lord’s Supper… The plain meaning of the passage is, that by his bloody death - his body and his blood offered in sacrifice for sin - he would procure pardon and life for man;” (=Dia tidak bermaksud bahwa ayat ini dimengerti secara literal, ... Di samping itu, tidak ada bukti bahwa, bahwa Dia menunjukkan referensi apapun di dalam bagian ini terhadap Perjamuan Tuhan...Arti sederhana dari bagian ini, bahwa melalui darah kematian-Nya—tubuh dan darah-Nya diserahkan sebagai pengorbanan bagi dosa...) Untuk mendukung ajarannya yang kacau, Bapak Pariadji dengan sengaja mencocok-cocokkan ayat yang di luar konteks/makna aslinya supaya cocok dengan pandangan Perjamuan Kudus-nya yang “menyelamatkan” dan “mujarab”.

4. Tafsiran Yesaya 53:3-5 yang seenaknya sendiri.
Fungsi “perjamuan kudus” ala Pariadji adalah untuk menyembuhkan penyakit. Berikut pernyataannya, “Inilah tubuh Kristus yang tergantung di atas kayu salib yang tertikam, tertombak, agar kami tidak terkapar di meja operasi, agar kami tidak terkapar di rumah sakit, agar kami tidak lumpuh, agar kami tidak pikun, tidak koma, dan tidak terkapar di rumah sakit atau ruang ICU. Aku tolak kanker, aku tolak tumor. Dasar Firman Allah di dalam Yesaya 53:3-5 ...” Kembali, ini adalah sebuah pelecehan implisit terhadap makna asli Perjamuan Kudus. Memang, pengorbanan Kristus di kayu salib mampu mematahkan segala belenggu penyakit, tetapi itu bukan poin penting. Bapak Pariadji tidak bisa membedakan mana yang esensi (utama) dan mana yang tambahan (akibat dari esensi), akibatnya, dengan tidak bertanggungjawab, dirinya mencocok-cocokkan semua ayat Alkitab sesuai kehendak hatinya ditambah ada perkataan bahwa “tuhan yesus” langsung berkata kepadanya (biar kelihatan “rohani dan alkitabiah”). Herannya, Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 11:23-31 tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang makna Perjamuan Kudus yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Ini problematika Bapak Pariadji dalam menafsirkan Alkitab, mencari ayat-ayat Alkitab yang mendukung ajarannya dan sengaja meninggalkan 1 Korintus 11:23-31 yang jelas-jelas tidak mengajarkan tentang kemujaraban Perjamuan Kudus.

Kedelapan, Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi). Pada bagian terakhir, saya akan mengutip pengajaran eskatologi dari SOM Bethany yang nantinya mempengaruhi penafsiran Alkitab versi mereka. Berikut pengajarannya,
“Ada dua jenis Kebangkitan Tubuh :
KEBANGKITAN I :
Kebangkitan orang-orang benar sebelum Millenium berakhir untuk memperoleh HIDUP.
KEBANGKITAN II :
Kebangkitan orang-orang jahat sesudah Millenium berakhir untuk memperoleh HUKUMAN.
(Dan. 12:3 ; Yoh. 5:28-29 ; Wah. 20:4-6 ; Wah. 20:11-15). Jadi ada jarak 1000 tahun antara kedua kebangkitan tersebut.” (Silabus SOM Bethany “Second Coming/Kedatangan Tuhan”, p. 46)
Komentar saya :
1 Penafsiran Daniel 12:3 yang tidak bertanggungjawab
Pertama, Daniel 12:3, “Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya.” Ayat ini sengaja dicomot untuk mendukung ajaran adanya dua kali kebangkitan tubuh, padahal ayat ini tidak mengindikasikan pengajaran ini. Ayat ini hanya mengindikasikan tentang adanya orang-orang yang bijaksana yang adalah orang-orang yang takut akan Allah akan menjadi sinar yang menerangi orang-orang dunia, sehingga orang-orang pilihan-Nya yang belum bertobat boleh dipimpin dan diterangi oleh sinar itu lalu mereka boleh kembali kepada Allah.
2 Penafsiran yang parsial atas Wahyu 20:4-6, 11-15
Untuk menafsir Kitab Wahyu, kita harus memperhatikan prinsipnya yaitu di dalam Kitab Wahyu, terkandung banyak perkataan simbolis atau simbol-simbol yang tidak dapat ditafsirkan secara harafiah. Berikut kutipan paparan tentang kelemahan penafsiran ayat-ayat ini dari Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman,
“... penafsiran premillenialisme terhadap ayat 4 hingga 6 bukanlah satu-satunya kemungkinan ; beberapa bukti telah diberikan bahwa 20:4-6 tidak berbicara tentang kebangkitan tubuh bagi orang percaya ataupun orang tidak percaya... ajaran semacam ini didasarkan pada penafsiran secara harafiah terhadap perikop dari kitab yang sangat bersifat simbolis, dan mengabaikan ayat-ayat lain (seperti Yoh. 5:28-29 dan Kis. 24:15) bahwa kebangkitan orang percaya dan tidak percaya akan terjadi secara bersamaan...
Perhatikanlah kalimat “orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu.” (ayat 12)... Coba amati lebih jauh pernyataan bahwa laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya (ayat 13)...Sudah tentu Hades, yaitu dunia orang mati, mencakup semua orang yang telah mati, bukan hanya orang-orang tidak percaya yang telah mati.
Dalam ayat 12 kita membaca tentang kitab yang dibuka. Menurut bagian terakhir dalam ayat 12, kitab tersebut berisi catatan tentang apa yang setiap orang telah lakukan. Tetapi tidak ada indikasi bahwa kitab-kitab tersebut hanya berisi tentang penghukuman. Kitab kehidupan, yang disebut dalam ayat 12 dan 15, umumnya dimengerti sebagai daftar orang-orang pilihan...” (Hoekema : 2004, pp. 327-329)

Kita telah melihat problematika penafsiran Alkitab yang berintikan humanisme dan terimplikasi praktis di dalam paradigma dasar atau theologia sistematika mereka yang akhirnya mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab. Lalu, bagaimana kita dapat menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab ? Kita akan membahasnya pada poin 2.4.

2.4 Penafsiran Alkitab yang Dapat Dipertanggungjawabkan (Penggabungan Antara Theologia Sistematika dan Theologia Biblika)
Pada bagian terakhir, kita akan membahas bagaimana menafsirkan Alkitab dengan prinsip-prinsip yang bertanggungjawab sehingga kita dapat menghindarkan diri dari kesengajaan (atau ketidaksengajaan) mencoba mencomot ayat Alkitab di luar konteks yang ada. Lalu, pertanyaan yang muncul, apakah berarti kita harus mati-matian membela prinsip-prinsip tersebut, sehingga tanpa prinsip-prinsip tersebut kita tidak mungkin mengerti Alkitab ? Kemudian, bagaimana dengan ibu-ibu yang tidak pernah sekolah tinggi yang tinggal di desa, apakah mereka juga perlu sekolah theologia/Alkitab untuk memahami Alkitab ? Salah satu prinsip Alkitab itu jelas, sehingga ibu-ibu yang tidak berpendidikan tinggi sekalipun dapat memahaminya. Tetapi jangan menyempitkan arti kejelasan Alkitab ini, sehingga kita yang mengenyam pendidikan tinggi, kita malas mempelajari Alkitab, lalu sembarangan menafsirkan Alkitab dengan berpedoman bahwa Alkitab itu jelas. Kalau Tuhan menganugerahkan kita kemampuan dan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi, sebaiknya kita mempergunakannya untuk mempelajari firman-Nya terlebih dahulu.
Pada bab ini, saya akan membagi ke dalam dua prinsip, pertama, prinsip pembentukan pola paradigma yang bertanggungjawab (theologia sistematika), dan kedua disusul dengan prinsip-prinsip penafsiran Alkitab sesuai dengan theologia sistematika yang telah disusun.
Pertama, kita akan membahas tentang pengajaran-pengajaran theologia sistematika sebelum kita masuk ke dalam prinsip mengerti Alkitab. Pengajaran theologia sistematika ini hanya mungkin diintegrasikan dengan cara penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab ketika pengajaran ini dibangun di atas pengertian theologia Reformed yang konsisten.
1. Doktrin Alkitab (Bibliologi)
Di dalam theologia Reformed, Alkitab dipercaya adalah satu-satunya wahyu Allah yang tertinggi dan final (2 Timotius 3:16) yang tidak mungkin bersalah dalam naskah asli/autographa-nya (infallibility and inerrancy of the Bible). Hal ini berakar dari semboyan Reformasi dari Dr. Martin Luther, yaitu Sola Scriptura (hanya Alkitab). Theologia Reformed juga mempercayai bahwa Doktrin Alkitab (Bibliologi) sebagai Prolegomena atau doktrin yang mendasari semua doktrin Kristen. Jadi, semua pembahasan doktrin dari suatu arus theologia Kristen dilihat dari bagaimana arus theologia Kristen itu memandang Alkitab. Ketika kaum liberal mempercayai bahwa Alkitab itu murni buatan manusia, maka seluruh doktrin yang mereka bangun juga berdasarkan konsep kebersalahan Alkitab, sehingga tidak heran para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” yang bersumber dari “theologia” liberal mendewakan humanisme dan kontekstualisasi yang salah agar kepercayaan Kristen dapat dikompromikan dengan mudah (menghilangkan esensi Kristen). Selain prolegomena, theologia Reformed juga mempercayai adanya suatu pengertian yang holistik dari Alkitab, di mana seluruh kitab-kitab di dalam Alkitab dari PL sampai dengan PB adalah kitab-kitab yang memberikan penjelasan yang menyeluruh dan saling melengkapi, sehingga ketika kita menemukan adanya kekurangjelasan dalam satu kitab tertentu, kita dapat membuka bagian kitab lainnya untuk mendapatkan penjelasannya. Ketika theologia Reformed memegang pendapat ini, maka jarang sekali para theolog Reformed membuat spekulasi theologia hanya dari satu bagian Alkitab, biasanya mereka akan mengintegrasikannya dengan seluruh berita di dalam kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk penjelasan bagian ini akan dijelaskan pada Bab 4 ini pada prinsip kedua.

2. Doktrin Allah
Tentang doktrin Allah, theologia Reformed dengan sangat konsisten mengajarkan prinsip kedaulatan Allah (the Sovereignty of God) dengan memegang prinsip bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah saja kemuliaan sampai selama-lamanya (Roma 11:36). Oleh sebab itu, theologia Reformed dapat disebut sebagai theology from above yang berusaha melihat segala sesuatu BUKAN dari perspektif manusia berdosa, tetapi dari perspektif Allah di dalam Alkitab. Itu sebabnya, di dalam seluruh arus theologia Kristen, hanya theologia Reformed yang lebih mendekati Alkitab (tidak berarti theologia Reformed identik dengan Alkitab), karena kekonsistenan theologia Reformed dalam melihat segala sesuatu. Kalau ada orang “Kristen” yang tidak pernah belajar theologia sama sekali, lalu berani mengatakan bahwa theologia Reformed itu sombong dan tidak mengasihi, berhati-hatilah terhadap orang “Kristen” yang sok tahu ini. Kembali, mengapa theologia Reformed berani menegakkan kedaulatan Allah secara konsisten di dalam seluruh arus pemikirannya ? Karena hanya theologia Reformed melihat Allah sebagai Allah, Tuhan, Pencipta dan Pemilik seluruh alam semesta dan manusia adalah ciptaan-Nya yang hanya merupakan derivasi (turunan) dari atribut Allah yang dapat dikomunikasikan (communicable attribute), misalnya, adil, kasih, jujur, baik, dll. Allah adalah Tuhan yang memiliki dunia ini, sehingga Ia berdaulat dan berhak mengatur dan memimpin hidup manusia sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Di sini, posisi manusia hanya taat mutlak akan pimpinan-Nya. Perbedaan ini disebut oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai perbedaan kualitatif (qualitative difference). Perbedaan kualitatif ini memang bersumber dari Alkitab, tetapi hanya dapat digali oleh theologia Reformed. Oleh karena itu, tidak usah heran, banyak theolog atau hamba Tuhan yang bertheologia Injili (yang cenderung Arminian, lawan Reformed/Calvinisme) yang akhirnya dapat dengan mudah diperdaya oleh Gerakan Zaman Baru—GZB (New Age Movement) yang beridekan humanisme dan pantheisme, sehingga dengan berani mengajarkan bahwa di dalam diri manusia terkandung unsur positif, bahkan ada seorang pemimpin gereja Karismatik yang berani mengajarkan bahwa manusia adalah little gods (ilah-ilah kecil). Lalu, seorang direktur dari John Robert Power di Surabaya ternyata adalah seorang “penginjil” perempuan di sebuah gereja Karismatik “terbesar” di Surabaya. Mereka bisa masuk ke dalam racun GZB ini karena doktrin Allah mereka tidak kuat dan begitu kacau, karena mereka secara implisit mempercayai bahwa Allah bisa berubah atau mengubah rencana-Nya sesuai kondisi manusia.

3. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)
Theologia Reformed yang konsisten mengajarkan bahwa manusia itu diciptakan segambar dan serupa dengan Allah yang menurunkan sifat-sifat Allah yang kasih, suci, baik, adil, jujur, dll (atribut-atribut Allah yang dapat dikomunikasikan), sehingga manusia dapat berpotensi menjadi seperti Allah (tetapi tetap sebagai makhluk yang terbatas, diciptakan dan berdosa). Lalu, theologia Reformed mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa (pandangan dikotomi), di mana kedua hal ini saling berhubungan dan menyatu. Ketika tubuh dan jiwa dipisahkan, maka manusia itu pasti mati. Tetapi saya sangat heran, ada seorang “pemimpin gereja” yang melakukan bisnis “minyak urapan” hobi “bersaksi” bahwa roh/jiwanya turun naik “surga” (tentu, terlepas dari tubuhnya). Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip Alkitab, jangan percaya akan hal yang aneh ini. Mengenai penjelasan pandangan dikotomi, Anda dapat membaca sendiri buklet Doktrin Manusia dan Dosa yang ditulis oleh Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano (Momentum, 2005). Kembali, di dalam theologia Reformed yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab secara konsisten, manusia yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ini telah jatuh ke dalam dosa dan dosa ini mengakibatkan seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total (Total Depravity), sehingga tidak ada satu inci diri manusia yang tidak berdosa (Roma 3:23). Dosa inilah mengakibatkan hubungan antara manusia dengan Allah terputus, begitu pula hubungan antara manusia dengan alam, binatang dan sesama manusia juga terputus. Tidak heran, di dalam dunia ini muncul berbagai macam masalah, mulai dari timbulnya penyakit yang aneh, bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dll, itu semua akibat dosa. Tetapi tidak berarti setiap penyakit, bencana alam pasti dari dosa. Yang saya maksudkan adalah dosa mengakibatkan penyakit, bencana alam, dll. Dosa ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu dosa asal (original sin) yang diwariskan dari Adam (Roma 5:12-14), lalu ada dosa aktual, yaitu dosa yang kita kerjakan sendiri. Dalam kondisi ini, manusia hanya memiliki satu kecenderungan : tidak bisa tidak berdosa (artinya ingin terus-menerus berdosa).

4. Doktrin Keselamatan (Soteriologi)
Konsep anugerah adalah konsep utama yang telah ditegakkan dari Paulus, Bapa gereja Augustinus, Dr. Martin Luther sampai John Calvin dan mempengaruhi semua theologia Reformasi dan Reformed. Di dalam hal ini, John Calvin, dengan memegang prinsip dari Paulus, menegakkan konsep kedaulatan Allah lah yang dengan lebih tepat mengartikan konsep hanya anugerah (sola gratia) ketimbang Luther. Mengapa ? Karena di dalam theologia Reformed, konsep anugerah langsung dikaitkan dengan kedaulatan Allah, sebaliknya di dalam theologia Reformasi agak kurang menekankan kaitan anugerah Allah dengan kedaulatan Allah, sehingga beberapa gereja Lutheran mulai mengkompromikan theologia mereka dengan theologia Injili yang Arminian. Mengapa menurut saya, theologia Reformed saja yang lebih tepat memahami anugerah Allah ? Karena hanya theologia Reformed mengaitkan konsep kedaulatan Allah dengan anugerah Allah ditambah ketidakmampuan manusia secara total, sehingga manusia pasti membutuhkan-Nya. Konsep anugerah ini jelas mempengaruhi doktrin keselamatan dan kehidupan Kristen sehari-hari. Di dalam doktrin keselamatan, theologia Reformed mempercayai bahwa sebelum dunia dijadikan, Allah telah memilih kita tanpa memandang jasa baik kita, tetapi murni atas kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat (Efesus 1:3-6). Lalu, setelah Allah memilih kita untuk menerima keselamatan yang telah direncanakan-Nya, Bapa mengutus Putra untuk menggenapkan karya keselamatan itu dengan mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, kemudian Roh Kudus diutus untuk menyempurnakan karya keselamatan itu dengan mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya dengan memberikan iman di dalam Kristus. Hanya theologia Reformed yang konsisten mengajarkan peranan setiap Allah Tritunggal di dalam proses keselamatan. Lalu, Allah yang memulai keselamatan ini akan menjaga umat pilihan-Nya sampai akhir sehingga mereka tidak pernah mungkin dapat meninggalkan Kristus untuk selama-lamanya. Konsep ini jelas konsisten dengan seluruh berita Alkitab (Yohanes 3:16 ; 6:40,44,47 ; 10:27-30 ; Roma 8:33-35). Tetapi herannya konsep ini ditolak mentah-mentah oleh theologia Injili yang cenderung Arminian dan juga theologia Katolik Roma yang mengatakan bahwa ketika orang tersebut murtad, maka keselamatannya bisa hilang. Ini jelas tidak konsisten, mengapa ? Kembali, problematika kekekalan keselamatan berkaitan erat dengan kekekalan diri Allah dan pemeliharaan-Nya. Kalau pandangan Arminian yang mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang akibat murtad itu adalah pandangan yang “benar”, maka kaum Arminian secara implisit ingin mengajarkan konsep Deisme (yang mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan dunia ini, maka Ia tidak memelihara dunia ini) dan dengan jelas merendahkan posisi Allah di bawah posisi manusia yang “berotoritas”. Mengapa demikian ? Karena dengan mengatakan bahwa keselamatan umat pilihan Allah bisa hilang, otomatis sedang menghina Allah bahwa Ia tak sanggup lagi berbuat apa-apa terhadap keselamatan umat pilihan-Nya ketika mereka memilih untuk murtad. Ini tentu bukan Allah sejati tetapi “ilah” buatan para theolog Arminian dan Katolik yang tidak lebih dari suatu idealisme utopia yang tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, tetapi mirip seperti pandangan L. Feuerbach bahwa “Allah” itu diciptakan menurut gambar dan rupa manusia. Di dalam kehidupan Kristen sehari-hari, konsep anugerah harus menjadi konsep yang tertanam di dalam hati dan pikiran kita, sehingga apapun yang telah Ia berikan kepada kita baik itu kepintaran, kemampuan berbicara, dll, itu murni adalah anugerah Allah, lalu pergunakanlah itu hanya bagi kemuliaan-Nya saja.

5. Doktrin Kristus (Kristologi)
Theologia Reformed mengikuti pandangan dari Rasul Paulus sendiri (Roma 1:3-4), para bapa gereja yang setia, Luther dan John Calvin memegang pernyataan bahwa Kristus itu bernatur 100% Allah dan 100% manusia (dwi natur/dua sifat di dalam satu Pribadi Kristus yang tidak terbagi, terpecah, tercampur). Hal ini telah dirumuskan dalam pengakuan iman gerejawi yang bertanggungjawab, baik Chalcedon, dll. Tetapi yang agak berbeda, theologia Reformed memiliki pandangan lain terhadap pribadi Kristus yang tidak dianut oleh arus theologia Kristen apapun, yaitu Kristus itu sebagai Nabi, Imam dan Raja. Sebagai Nabi (di atas segala nabi), Ia memberitakan firman Allah tentang kerajaan Allah kepada manusia dan kedatangan-Nya membuktikan Kerajaan Allah telah hadir di bumi ini (Kerajaan Allah pada waktu sekarang/yang telah ditegakkan), sebagai Imam (di atas segala imam), Ia mengorbankan diri-Nya sendiri sebagai penebusan dosa bagi umat manusia yang berdosa (Ia berbeda dengan para imam di dalam Perjanjian Lama yang mengorbankan binatang sebagai korban penebus dosa) dan sebagai Raja, Ia memerintah alam semesta ini sebagai Tuhan yang berdaulat dan berkuasa penuh (Matius 28:18) serta Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya untuk mendirikan Kerajaan-Nya (Kerajaan Allah yang akan datang).

6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)
Roh Kudus BUKAN Kuasa Allah, tetapi Roh Kudus adalah Pribadi Allah sendiri yaitu Oknum/Pribadi Ketiga dari Allah Trinitas. Di dalam ordo/urutan keselamatan, Roh Kudus berfungsi mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati setiap umat pilihan-Nya sehingga mereka bisa percaya di dalam Kristus dan bertobat. Tanpa ada karya Roh Kudus ini, tak mungkin manusia dapat beriman dan mengaku Kristus sebagai Tuhan (1 Korintus 12:3). Menghujat Roh Kudus sama halnya dengan menghujat fungsi dan peranannya, oleh karena itu tindakan ini tidak ada ampun (Matius 12:32). Lalu, theologia Reformed seperti Alkitab juga mempercayai bahwa Roh Kudus diutus untuk, “menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman” (Yohanes 16:8). Kalau ada orang yang berani mengajar tentang Roh Kudus, tetapi terlepas dari (bahkan bertentangan total dengan) prinsip ini, berhati-hatilah terhadap para pengajar itu, karena dapat dipastikan mereka adalah para pengajar palsu meskipun berjubah “Kristen” bahkan “pendeta” atau “pemimpin gereja”.

7. Doktrin Gereja (Ekklesiologi)
Gereja bukanlah gedungnya, tetapi orang-orangnya. Jadi, ketika orang-orang Kristen disebut Bait Roh Kudus/Allah (1 Korintus 3:16), maka gereja yang merupakan kumpulan orang-orang pilihan Allah pun dapat disebut Bait Allah tetapi dengan pengertian theologis. Kalau gereja bukanlah gedungnya, maka kita tidak perlu berlomba-lomba membangun gedung gereja sebagus dan semewah mungkin, tetapi kita tidak perlu jatuh ke dalam ekstrim lainnya, yaitu membiarkan bangunan gereja tidak terawat, berdebu, bau, dll. Kedua hal itu sama-sama salah. Gereja dapat dibagi menjadi dua, yaitu, gereja yang kelihatan (visible church), gereja yang kelihatan dalam bentuk gedung, misalnya, GRII, GKA, GKRI, GKT, GKI, GBI, dll dan kedua, gereja yang tidak kelihatan (invisible church) yang meliputi semua orang Kristen sejati dari berbagai zaman, tempat dan kondisi. Lalu, kalau gereja adalah kumpulan orang-orang pilihan Allah, apakah berarti semua anggota gereja pasti diselamatkan ? Kalau gereja itu dalam pengertian gereja yang tidak kelihatan (orang-orang Kristen sejati), maka pasti diselamatkan, tetapi jika dalam pengertian keanggotaan formal gereja yang kelihatan, maka mereka belum tentu diselamatkan (karena banyak orang yang pergi ke gereja bahkan mengaku diri “melayani tuhan” terbukti bahwa mereka bukan termasuk umat pilihan Allah).
Di dalam doktrin gereja, theologia Reformasi dan Reformed menegaskan bahwa gereja yang sehat adalah gereja yang mengerjakan dua tugas yaitu mengajar doktrin dan melakukan sakramen (dalam hal ini, hanya dua, yaitu Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus saja). Khususnya, di dalam theologia Reformed, mandat gereja dibagi menjadi tiga, yaitu mandat theologis (mengajar doktrin kepada jemaat-jemaat gereja), mandat Injil (memberitakan Injil) dan mandat budaya (anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dunia di dalam setiap aspek hidup, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dll). Di dalam theologia Reformed, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism) dengan paradigma dasar bahwa baptisan bukan hal yang menyelamatkan, tetapi respon terhadap anugerah Allah yang mendahului iman seseorang. Prinsip ini konsisten di dalam seluruh Alkitab, di mana di dalam PL, Allah mengadakan perjanjian (covenant) melalui sunat sejak kecil (tanpa perlu mempertanyakan apakah anak kecil itu beriman dahulu atau belum), maka di dalam PB, perjanjian itu berupa baptisan. Selain itu, gereja-gereja Reformed memegang sistem pemerintahan gereja Presbyterial/Presbyterian. Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika : Doktrin Gereja mengungkapkan tentang sistem pemerintahan gereja Reformed ini,
Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh pertimbangan kebijaksanaan manusia...
Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :
1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas
...Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja...
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adala hTuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi jjuga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Mat 28:18 ; Ef 1:20-22 ; Flp 2:10,11 ; Why 17:14 ; 19:16.Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana Gereja adalah tubuh-Nya...Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai Legislator dan Raja. Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama, walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak nampak yang membentuk tubuh-Nya secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang nampak bukan hanya dalam pengertian organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan memerintah atasnya, Mat 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yoh 13:13 ; 1 Kor 12:5 ; Ef 1:20-23 ; 4:4,5,11,12 ; 5:23,24...
2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.
Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas... Karena Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis tidak boleh ada dalam Gereja...
3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.
...sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai pelaksana atau delegasi dari jemaat...
4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Hal-hal Khusus.
Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus. Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. Para pejabat Gereja adalah wakil bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya mereka harus bertanggungjawab...
5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.
... (Berkhof, 1997, pp. 57-63)

8. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)
Terakhir, theologia Reformed memegang konsep Amillenialisme di dalam doktrin Akhir Zamannya. Di mana, pernyataan “Kerajaan 1000 Tahun” bukan dimengerti secara harafiah, tetapi simbolis. Oleh karena itu, theologia Reformed sangat berhati-hati dalam menafsirkan Kitab Wahyu, karena kitab ini berisikan simbol-simbol yang ditulis oleh Rasul Yohanes untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan. Di dalam Doktrin Akhir Zaman, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. membagi dua konsep kerajaan Allah dan Eskatologi yaitu Kerajaan Allah dan Eskatologi yang telah ditegakkan dan Kerajaan Allah dan Eskatologi yang akan datang. Inilah paradoksikal di dalam iman Kristen yang sungguh iman. Kerajaan Allah yang telah ditegakkan adalah Kerajaan Allah yang hadir ketika Kristus berinkarnasi ke dalam dunia sampai Ia mati dan bangkit yang membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa dosa, iblis dan maut, lalu Kerajaan Allah ini terus berlangsung sampai akhir (Kerajaan Allah yang akan datang), di mana anak-anak-Nya akan menikmati berkat yang telah dijanjikan-Nya yaitu tidak ada air mata, tidak ada penyakit, dll. Konsep paradoks ini berimplikasi di dalam kehidupan Kristen yaitu mendorong kita untuk tidak terlena dalam menikmati berkat-berkat pemeliharaan Allah yang telah diberikan-Nya pada zaman sekarang, lalu mendorong kita juga untuk giat bagi pekerjaan Allah meskipun harus menderita aniaya, karena kita memiliki pengharapan yang pasti bahwa Allah pasti mengalahkan iblis dan dunia yang jahat ini.

Kedua, kita akan melanjutkan dengan prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab sesuai prinsip-prinsip theologia sistematika di atas.
Berikut adalah prinsip-prinsip dalam penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab.
1 Memperhatikan Konteks yang Ada
Kalau kita membaca buku apapun hendaklah kita memperhatikan konteks penulisan buku itu supaya kita tidak sembarangan menafsirkan maksud penulis yang sebenarnya. Apalagi ketika kita mulai membaca dan menafsirkan Alkitab, prinsip pertama yang tidak boleh dilupakan adalah memperhatikan konteks yang ada. Setiap ayat dan pasal di dalam suatu kitab di dalam Alkitab memiliki banyak konteks. Misalnya, ketika di dalam Ibrani 4:12, penulis Ibrani mengajarkan, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”, jangan langsung gegabah menafsirkan bahwa penulis Ibrani mengajarkan tentang pemisahan antara jiwa dan roh. Konteks penulisan ayat ini adalah tentang begitu dahsyatnya kuasa Firman Allah sehingga mampu menembusi kedalaman manusia. Pdt. Thomy J. Matakupan dan Ev. Julio Kristano di dalam buklet Doktrin Manusia dan Dosa (2005) memaparkan, “Penulis Surat Ibrani di dalam bagian ini sebenarnya lebih menekankan daya dan kuasa firman yang menembus jauh ke dalam sehingga manusia tidak dapat bersembunyi.” (p. 7)

2 Memperhatikan Latar Belakang Penulisan Kitab
Setelah kita memperhatikan konteks yang ada, selanjutnya kita harus juga memperhatikan latar belakang penulisan masing-masing kitab di dalam Alkitab, karena setiap kitab ditulis oleh para penulis dengan latar belakang tertentu, misalnya di dalam penganiayaan, dll. Saya akan memberikan dua contoh. Contoh pertama, Roma 10:9 berkata, “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ayat ini dengan mudah dicomot oleh banyak penginjil untuk dijadikan dasar dalam memberitakan Injil, lalu berkata, “Ayo coba katakan Yesus, Yesus, maka kamu akan diselamatkan.” Ini adalah penafsiran Alkitab yang dipaksakan. Benarkah arti ayat ini ? Lalu, apakah Paulus bertentangan dengan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21 mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” ? Ini akibatnya menafsirkan Alkitab tanpa melihat latar belakang. Surat Roma ditulis oleh Rasul Paulus untuk dikirimkan kepada jemaat-jemaat Kristen di Roma yang mengalami penganiayaan dan penderitaan, di mana pada waktu itu mereka diancam jika mereka menyembah Allah di luar Kaisar yang dianggap sebagai “Allah”, mereka akan dibunuh. Oleh karena itu, mengapa di dalam ayat 9 di dalam Roma 10 ini, Paulus mengatakan bahwa jika mereka mengaku dengan mulut mereka bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hati mereka, mereka akan diselamatkan, karena dengan menyebut Yesus sebagai Tuhan, mereka pasti menerima resiko hukuman mati dari Kerajaan Romawi.
Kedua, Rasul Paulus berkata di dalam Galatia 1:6-7, “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. ” Lalu, muncul pertanyaan “injil lain” apakah yang Paulus maksudkan ? Kalau kita memperhatikan latar belakangnya, maka kita akan mengerti mengapa Paulus menulis kedua ayat tersebut. Dari buku Handbook the Bible, kita dapat mengerti latar belakang ini,
“...Tidak lama setelah kunjungan pertama Rasul Paulus, guru-guru Yahudi yang lainnya tiba di Galatia. Rasul Paulus mengajarkan bahwa untuk dapat menerima pengampunan Allah dan karunia hidup baru diperlukan pertobatan dan iman. Tetapi guru-guru itu bersikeras mengharuskan orang bukan Yahudi yang telah bertobat agar disunat juga dan menaati hukum Yahudi — dengan kata lain harus menjadi orang Yahudi — untuk dapat diselamatkan...” (“Handbook to the Bible,” 2002)
Dengan kata lain, “injil lain” ini adalah “injil” palsu yang diberitakan oleh guru-guru Yahudi dengan Yudaismenya.

3 Memperbandingkan Berbagai Terjemahan Alkitab (Khususnya dengan bahasa Ibrani dan Yunani)
Setelah mempertimbangkan konteks dan latar belakang, sekarang kita akan mencoba masuk ke dalam tahap ketiga yaitu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab (dari berbagai bahasa, entah itu Indonesia, Mandarin, Jawa, Madura, Batak, Inggris, Latin, dll). Mengapa ini perlu dilakukan ? Karena kita mempercayai ketidakbersalahan Alkitab hanya di dalam naskah asli/autographanya, sehingga terjemahan-terjemahan yang disalin dari Alkitab mengandung beberapa kelemahan arti (meskipun tidak 100% mempengaruhi isi Alkitab). Kita sebagai orang Kristen harus tetap percaya bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab dijaga oleh Tuhan sehingga tidak menyimpang dari arti aslinya, tetapi karena keterbatasan terjemahan, kita tetap perlu memperbandingkan berbagai terjemahan Alkitab untuk mendapatkan makna aslinya yang lebih jelas, khususnya memperbandingkan langsung dengan terjemahan asli Alkitab dalam bahasa Ibrani (PL) maupun bahasa Yunani (PB). Misalnya, Paulus di dalam Roma 1:16 berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (TB), di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Saya percaya sekali akan Kabar Baik itu, karena kabar itu adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua orang yang percaya; pertama-tama orang Yahudi, dan bangsa lain juga.” dan Alkitab terjemahan King James Version (KJV) mengartikannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek.” Terjemahan Baru dan BIS dalam hal ini kurang jelas mengartikan maksud dari “mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil”, sedangkan KJV lebih tepat menerjemahkannya, “For I am not ashamed of the gospel of Christ:...” (=Sebab aku tidak malu akan Injil Kristus). Kata “ashamed” lebih sesuai dengan kata dalam bahasa Yunaninya epaischunomai yang berarti to feel shame for something (merasa malu akan sesuatu). Dari perbedaan kata ini, kita dapat menemukan makna yang mendalam yaitu Paulus yang berkeyakinan kokoh ini benar-benar tidak malu akan Injil Kristus, meskipun harus mengalami penganiayaan sekalipun, karena hal ini senada dengan ungkapan Paulus sendiri di dalam suratnya yang kedua kepada Timotius pasal 1 ayat 12, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.”
Contoh kedua, di dalam Roma 3:23, Paulus berkata, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (TB) Alkitab BIS menerjemahkannya, “Semua orang sudah berdosa dan jauh dari Allah yang hendak menyelamatkan mereka.” dan Alkitab KJV menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Kata “kehilangan kemuliaan Allah” di dalam Terjemahan Baru (TB) dapat mengakibatkan tafsiran yang aneh yaitu kemuliaan Allah benar-benar hilang dalam diri manusia, ini adalah pandangan dari theologia Lutheran yang mengajarkan bahwa peta teladan Allah sudah hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Padahal arti sebenarnya, bukan “kehilangan kemuliaan Allah” tetapi “jauh dari Allah” (BIS) atau “come short of the glory of God” (KJV) yang berasal dari bahasa Yunaninya hustereō yang berarti fall short (=tidak mencukupi), fall, lack (=kekurangan), dll. Dalam hal ini, theologia Reformed yang ditegakkan oleh John Calvin tepat sekali mengartikan bahwa ketika manusia jatuh ke dalam dosa, peta teladan Allah tidak hilang, tetapi hanya rusak total atau mengurangi kemuliaan Allah. Di sini, theologia Reformed menunjukkan ketelitiannya di dalam menafsirkan Alkitab.

4 Memperhatikan Bentuk Sastra/Genre yang Digunakan
Kemudian, setelah membandingkan berbagai terjemahan Alkitab, kita juga harus memperhatikan bentuk sastra atau genre yang dipakai di dalam setiap kitab di dalam Alkitab. Setiap kitab di dalam Alkitab memiliki keunikan tersendiri, di mana ada yang berisi nyanyian (seperti Mazmur), puisi (Amsal), cerita, surat pastoral (Roma, Galatia, Efesus, dll), simbol-simbol (Wahyu), dll. Masing-masing bentuk ini harus diperlakukan dengan tepat, sehingga tidak terjadi kebingungan. Jika kita menafsirkan kitab Wahyu, janganlah menggunakan pendekatan yang harafiah/literal (seperti para penganut Premillenialisme/Dispensasionalisme). Itu akan berakibat fatal dan kita akan salah langkah untuk nantinya mengerti simbol-simbol seperti kuda merah (Wahyu 6:4), dll yang adalah suatu kebahayaan jika kita menafsirkan hal ini benar-benar kuda berwarna merah. Misalnya, kalau kita menggunakan penafsiran literal untuk menafsirkan kitab Wahyu khususnya dalam menafsirkan tentang angka 666 di dalam Wahyu 13:18, maka pengajaran yang dihasilkan adalah langsung mewaspadai setiap angka 666 baik di dalam plat nomor kendaraan, label harga, dll dan mencap itu adalah antikristus. Angka 666 adalah bilangan manusia, jadi, angka ini dapat menunjuk kepada pribadi tertentu. Kalau di dalam konteks penulisan Rasul Yohanes ini, maka angka 666 menunjuk kepada “Kerajaan Romawi dan penyembahan Kaisar” (“Handbook to the Bible,” 2002) Yang jelas, angka 666 ini menunjuk kepada antikristus. Pdt. Thomy J. Matakupan pernah menafsirkan ayat ini sebagai berikut : angka 6 menunjuk kepada manusia (karena manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam) dan angka 6 ini disebutkan tiga kali yang menunjukkan Allah (Allah Trinitas), maka angka ini berarti manusia yang ingin menjadi seperti Allah, atau lebih tepatnya Antikristus yang menggantikan posisi Kristus sebagai Allah. Apakah ini menunjuk kepada suatu pribadi tertentu, misalnya, Paus, dll ? Alkitab tidak membicarakannya, karena Yohanes menulis kitab Wahyu bukan hanya untuk orang-orang di zaman sekarang, tetapi dikhususkan untuk orang-orang Kristen pada waktu itu.

5 Memperhatikan Kaitan Antara Satu Kitab Dengan Kitab-kitab Lain
Setelah itu, kita juga memperhatikan kaitan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya. Mengapa ? Karena kita percaya bahwa Alkitab itu tidak mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya dan Alkitab itu menafsirkan dirinya sendiri. Kedua konsep ini mengarahkan kita untuk mencoba membandingkan satu kitab yang diselidiki dengan kitab lainnya. Misalnya, ketika di dalam Yakobus 2:14-26, ditemukan kata intinya yaitu “iman”, maka kita dapat membandingkan pengertian kata ini dengan kitab-kitab yang ditulis oleh rasul lainnya, misalnya Paulus (Efesus 2:8-10), Petrus (1 Petrus 5:9 ; 2 Petrus 1:1), penulis Ibrani (Ibrani 11:1), dll, lalu dengan kitab-kitab PL (Kejadian 12 dan 17) dan diintegrasikan dengan seluruh kitab di dalam Alkitab. Kalau kita ingin mengerti konsep Injil ketika kita menyelidiki surat Roma, maka kita harus memperbandingkan pengertian Injil di dalam Roma dengan surat-surat Paulus lainnya, misalnya Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, dll, lalu dikaitkan dengan surat-surat pastoral dari Petrus (1 dan 2 Petrus), Rasul Yohanes, dll, ditambahkan tipologi Injil di dalam PL. Jadi, di dalam menyelidiki dan memperbandingkan dengan kitab-kitab lain di dalam Alkitab, pertama-tama kita harus memperbandingkannya dengan kitab yang ditulis oleh penulis yang sama (misalnya ketika kita menyelidiki Surat Roma, kita dapat memperbandingkannya dengan Surat Galatia, Efesus, Filipi, dll), kemudian juga memperbandingkan dengan surat-surat yang ditulis oleh penulis yang berbeda (misalnya, 1 dan 2 Petrus, surat 1, 2, dan 3 Yohanes, Kitab Wahyu, dll), ditambah juga memperbandingkannya dengan kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama dan akhirnya kita dapat mengintegrasikan semuanya dalam pengertian yang lebih dalam dan jelas. Apakah ini untuk keperluan akademis ? Tidak. Ini sangat penting agar kita dapat mengerti Alkitab bukan secara parsial/sebagian, tetapi menyeluruh/holistic, dan kita nantinya dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan Kristen kita sehari-hari.

6 Memperhatikan Tafsiran-tafsiran Alkitab yang Ada
Keenam, kita juga memperhatikan tafsiran-tafsiran Alkitab yang telah ditulis oleh para penafsir Alkitab yang bertanggungjawab. Hal ini diletakkan pada prinsip keenam, karena ini hanya sebagai pembanding dan juga penambah pengetahuan bagi kita saja. Apakah ini mutlak perlu ? Tidak, tetapi tetap perlu untuk dibaca dan diperbandingkan. Kita tidak boleh mengambil dua sikap ekstrim, yaitu, pertama, menolak semua tafsiran Alkitab yang pernah ditulis baik oleh para bapa gereja, theolog dan para penafsir Alkitab, karena kita percaya bahwa Roh Kudus lah yang menafsirkan Alkitab. Di sisi lain, kita juga tidak boleh terus-menerus mempercayai 100% terhadap buku-buku tafsiran Alkitab yang ada meskipun ditulis oleh para theolog dan penafsir Alkitab tersohor, lalu kita kelihatan akademis karena suka mengutip pendapat orang lain. Buku-buku tafsiran Alkitab itu baik, tetapi tidak boleh menggantikan posisi Alkitab sebagai wahyu Allah yang tidak bersalah. Saya akan memberikan contoh, Paulus di dalam Roma 1:17 berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Kalau sepintas kita membaca pernyataan ini, kita dapat menafsirkan bahwa orang benar yang hidup akan hidup oleh imannya, tetapi benarkah tafsiran demikian ? Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengungkapkan, “The Syriac renders it in a similar manner, “The just by faith shall live.”” Artinya, orang benar melalui iman baru dikatakan hidup. Kalau kita kurang memperhatikan beberapa tafsiran Alkitab seperti ini, kita akan kehilangan makna ini.

7 Mengaplikasikan ke dalam Kehidupan Kristen Sehari-hari
Terakhir, penafsiran Alkitab bukan hanya untuk kepentingan akademis di seminari theologia, tetapi juga untuk diaplikasikan. Percuma saja kita mahir di dalam menafsirkan Alkitab sampai menyelidiki bahasa asli Alkitab, tetapi di dalam tafsiran itu kita lupa untuk mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah kelemahan dari banyak buku tafsiran Alkitab yang ditulis hanya untuk menambah pengetahuan theologis, penemuan ilmiah, sastra, dll tanpa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan Kristen sehari-hari. Hermeneutika tanpa implikasi adalah suatu kesia-siaan, karena ketika kita menafsirkan Alkitab, kita ingin terus-menerus belajar tentang firman dan kebenaran-Nya yang terus-menerus mengoreksi dan menuntun jalan hidup kita.

Setelah kita mempelajari cara dan prinsip penafsiran Alkitab, marilah kita bukan hanya menambah pengetahuan saja, tetapi setiap anak Tuhan diharapkan dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari agar nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

No comments: