02 December 2007

Bab 3 : SEBUAH PERJALANAN DENGAN TUJUAN ??

Bab 3
Sebuah Perjalanan Dengan Tujuan ??

Pada bab 3 ini, kita akan menelusuri kelemahan-kelemahan yang ada (boleh dikatakan sangat fatal) di dalam buku The Purpose Driven Lifenya Rick Warren lalu kita akan mencoba mempelajari apa kata Alkitab terhadap pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya.
Kita akan memulai pada bagian awal buku, yaitu pada lembar keempat dalam terjemahan bahasa Indonesia. Berikut penuturannya,
“Buku ini dipersembahkan bagi Anda. Sebelum Anda dilahirkan, Allah merencanakan saat ini dalam kehidupan Anda. Bukanlah kebetulan kalau Anda sedang memegang buku ini. Allah rindu agar Anda menemukan kehidupan yang Allah ciptakan untuk Anda jalani—di bumi ini, dan selamanya dalam kekekalan

Di dalam Kristuslah kita menemukan siapa kita dan untuk apa kita hidup. Jauh sebelum kita mendengar tentang Kristus untuk pertama kali, ... Dia telah melihat kita, merancang kita bagi kehidupan yang penuh kemuliaan, bagian dari keseluruhan tujuan yang Dia kerjakan di dalam segala sesuatu dan semua orang.
Efesus 1:11 (Msg)

Saya berterima kasih kepada ratusan penulis dan pengajar, baik yang klasik maupun kontemporer, yang telah membentuk kehidupan saya dan menolong saya untuk mempelajari kebenaran-kebenaran ini. Saya berterima kasih kepada Allah dan kepada Anda atas hak istimewa untuk membagikan kebenaran-kebenaran tersebut kepada Anda.” (Warren, 2005)


Komentar saya :
Hanya ada satu kejanggalan di dalam ketiga paragraf ini yang akan mempengaruhi totalitas arah buku ini yaitu penafsiran yang dicocok-cocokkan dalam Efesus 1:11. Entah dengan alasan apa Rick Warren sengaja memakai terjemahan Message Bible (bandingkan dengan penuturannya sendiri di dalam bukunya terjemahan Indonesia halaman 361 paragraf kedua) yang menurut bahasa asli dan terjemahan bahasa Inggrisnya tidak mengajarkan demikian. Konteks Efesus 1 adalah berbicara mengenai keselamatan yang telah Allah tetapkan. Di dalam Terjemahan Baru (TB) di dalam ayat ini, Rasul Paulus berkata, “Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya--” King James Version menerjemahkannya, “In whom also we have obtained an inheritance, being predestinated according to the purpose of him who worketh all things after the counsel of his own will:” Suatu hal yang aneh jika Rick Warren memakai ayat ini untuk mendukung pengajaran bahwa Allah telah melihat dan merancang kita bagi kehidupan yang penuh kemuliaan. Memang benar, Allah telah menganugerahkan kehidupan yang penuh kemuliaan kelak di akhir zaman, tetapi sekali lagi Efesus 1:11 tidak sedang berbicara tentang hal itu, melainkan tentang keselamatan. Bacalah ayat-ayat sebelumnya (ayat 1-10).

Pada halaman 9 buku terjemahan bahasa Indonesia ini, Rick Warren mengungkapkan,
“Ini lebih dari sekedar buku ; buku ini adalah sebuah penuntun untuk perjalanan rohani 40 hari yang akan memungkinkan Anda menemukan jawaban bagi pertanyaan paling penting : Sesungguhnya untuk apakah aku ada di dunia ? Pada akhir perjalanan ini Anda akan mengetahui tujuan Allah bagi hidup Anda dan akan memahami gambaran besar, yakni bagaimana semua bagian dari kehidupan Anda saling sesuai. Cara pandang ini akan mengurangi rasa stres dan memudahkan Anda untuk mengambil keputusan, meningkatkan kepuasan Anda, dan yang terpenting, mempersiapkan diri Anda bagi kekekalan. (Warren, 2005, p 9)”

Komentar saya :
Manusia di abad postmodern, lebih umumnya, semua manusia di dunia akibat dosa, mereka tidak mampu lagi menemukan arah tujuan hidupnya yang sejati, karena hubungan mereka sudah jauh dari Allah sebagai Sumber Hidup. Tidak heran, mereka kebingungan menemukan tujuan hidup mereka, dan yang paling laku untuk memuaskan keinginan mereka dalam menemukan tujuan hidup, BUKANLAH Alkitab, tetapi training motivasi. Salah satunya melalui buku The Purpose Driven Life yang diklaim oleh Rick Warren bukan tentang Anda, membantu para pembaca untuk mengetahui tujuan Allah bagi hidup mereka, tetapi di sisi lain, tujuan itu BUKAN bermaksud untuk memuliakan Allah, tetapi untuk, “mengurangi rasa stres dan memudahkan Anda untuk mengambil keputusan, meningkatkan kepuasan Anda, dan yang terpenting, mempersiapkan diri Anda bagi kekekalan.” Dari sini saja, kita sudah jelas bahwa ajaran ini sudah menyimpang dari kebenaran Alkitab yang mengatakan, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36). Kalau Allah telah menetapkan segala sesuatu termasuk tujuan-Nya bagi hidup manusia, itu dimaksudkan untuk memuaskan keinginan manusia, meningkatkan potensi diri manusia, tetapi hanya satu yaitu untuk MEMULIAKAN TUHAN. Karena Rick Warren adalah seorang penganut “theologia” Arminian, maka tidaklah salah bila ia merumuskan Arminianismenya dengan akar humanisme untuk mengajar orang-orang Kristen. Ini jelas berbeda total dengan theologia Reformasi dan Reformed yang bermoto, Soli Deo Gloria, segala kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Allah. Apa pun yang dikerjakan oleh anak-anak Tuhan sejati harus dipergunakan untuk memuliakan Allah, bukan untuk manusia. Paulus di dalam Kolose 3:17 mengajarkan, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Di dalam Kolose 3:23 pun, Paulus mengajarkan juga, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ketika segala sesuatu yang kita kerjakan dipergunakan untuk memuliakan Tuhan, itu mengajarkan kepada kita untuk tidak sombong dan selalu mensyukuri anugerah-Nya, karena kita dapat hidup, bekerja, dll itu semua adalah anugerah-Nya yang harus dipertanggungjawabkan. Inilah prinsip theologia Reformed. Sehingga orang-orang Kristen yang bertheologia Reformed akan berusaha bekerja semaksimal mungkin karena mereka sadar bahwa mereka telah banyak mendapatkan anugerah-Nya yang harus dipertanggungjawabkan, lalu pekerjaan yang mereka lakukan pertama-tama untuk memuliakan Allah dan setelah itu berfaedah bagi sesamanya.

Untuk mendukung/mempromosikan renungan harian 40 hari versi Rick Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life, ia mengatakan, “Bukankah suatu penggunaan waktu yang bijaksana jika Anda menyisihkan waktu 40 hari dari masa hidup tersebut (25.550 hari/70 tahun—Red.) untuk menemukan apa yang Allah ingin Anda lakukan dengan sisa hari-hari Anda?”

Komentar saya :
Benarkah kita hanya membutuhkan waktu 40 hari dari kira-kira 70 tahun masa hidup kita untuk menemukan kehendak Allah bagi kita ? Waktu itu terlalu sedikit, mengapa ? Karena hidup kita terlalu banyak menggunakan waktu dengan tidak bertanggungjawab (misalnya, mengunjungi tempat pelacuran, mengikuti training motivasi yang tidak bertanggungjawab, membaca buku Rich Dad, Poor Dad dari Robert T. Kiyosaki, pergi berdansa, ikut band rock bahkan yang “rohani” sekalipun, dll), termasuk dengan membaca buku The Purpose Driven Life yang hampir tidak berfaedah. Di dunia yang berdosa ini, hampir setiap hari, kita terus-menerus sedang diracuni dengan filsafat-filsafat yang anti-kedaulatan Allah di dalam Alkitab, misalnya humanisme yang menjunjung tinggi manusia, materialisme yang berorientasi pada hal-hal jasmaniah, relativisme yang “memutlakkan” kerelatifan, dll, tetapi kita hanya mempunyai 40 hari untuk mengetahui kehendak Allah bagi kita lalu kita dianggap bijaksana ? Itu mustahil. Anda ingin menemukan kehendak Allah bagi hidup Anda ? Jawabannya, BUKAN dengan mengikuti promosi buku The Purpose Driven Life ini, tetapi hanya satu : BACALAH ALKITAB DARI KEJADIAN SAMPAI DENGAN WAHYU. Dengan membaca Alkitab setiap hari (tidak terbatas hanya 40 hari), kita terus-menerus akan mengetahui kehendak Allah bagi kita untuk kita lakukan di dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita dimampukan untuk melawan dan menantang filsafat-filsafat dunia yang menyerang keKristenan dan anti kedaulatan Allah. Dari pernyataan singkat ini, sangat jelas, Warren tidak mengajarkan para pembacanya untuk membaca Alkitab, tetapi malahan menganjurkan para pembacanya memakai bukunya. Ini suatu ajaran yang tidak bertanggungjawab. Theologia Reformed berusaha mengajak orang-orang Kristen siapapun untuk hanya kembali kepada Alkitab, bukan untuk membela theologia Reformed. Meskipun theologia Reformed memiliki jiwa Ecclesia Reformata Semper Reformanda yang artinya gereja-gereja Reformed ingin terus-menerus di-Reformed­-kan agar sesuai dengan Alkitab, tetapi tidak berarti theologia Reformed tidak memiliki akar pengertian Alkitab yang solid. Ini jiwa yang sangat mulia. Jiwa theologia Reformed ini dimulai dari jiwa seorang bapa Gereja, Augustinus yang dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa jika ada orang yang menemukan kesalahan pada tulisan Augustinus yang melawan Alkitab, maka buanglah tulisan Augustinus dan peganglah Alkitab. Tetapi herannya, Rick Warren tidak berani mengungkapkan pernyataan seperti Augustinus. Ada apa gerangan dengan Rick Warren ? Waspadalah.

Perhatikan kembali, pernyataan Rick Warren pada halaman 9 bawah - 10 atas ini,
“Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah menganggap 40 hari adalah periode waktu yang penting secara rohani. Kapanpun Allah ingin mempersiapkan seseorang bagi tujuan-tujuan-Nya, Dia mengambil 40 hari :
· Kehidupan Nuh diubahkan dengan 40 hari hujan (Kej. 7:12—Red.).
· Musa diubahkan dengan 40 hari di Gunung Sinai (Kel. 24:18 ; 34:28—Red.).
· Para pengintai diubahkan dengan 40 hari di Tanah Perjanjian (Bil. 13:25—Red.).
· Daud diubahkan dengan 40 hari tantangan dari Goliat (1 Sam. 17:16—Red.).
· Elia diubahkan ketika Allah memberinya 40 hari kekuatan dari makanan (1 Raj. 19:8—Red.).
· Keseluruhan kota Niniwe diubahkan ketika Allah memberi 40 hari bagi bangsa tersebut untuk berubah (Yunus 3:4—Red.).
· Yesus diberi kuasa dengan 40 hari berada di padang gurun (Mat. 4:12 ; Mrk. 1:13 ; Luk. 4:2—Red.).
· Para murid diubahkan dengan 40 hari bersama Yesus setelah kebangkitan-Nya (Kis. 1:3—Red.).”

Komentar saya :
Ayat-ayat ini ditafsirkan menurut kehendak Warren sendiri agar cocok dengan promosi buku renungan harian 40 hari yang ditulisnya ini (metode eisegese). Apakah Allah ingin mempersiapkan Nuh bagi pekerjaan-Nya lalu dengan sengaja memberikan hujan lebat selama 40 hari ? Tidak. Air bah itu adalah wujud hukuman Tuhan bagi manusia berdosa. Perhatikan Kejadian 6:11-18 yang dengan sengaja diabaikan oleh Warren, “Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi. Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam. Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta tingginya. Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas. Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa. Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu dan isteri anak-anakmu.” Jelaslah, bahwa dengan menurunkan hujan lebat, Allah menunjukkan murka-Nya atas manusia yang makin lama makin berdosa. Tetapi Ia berkenan memilih Nuh dan keluarganya untuk diselamatkan dengan memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera. Hujan lebat memang turun 40 hari, tetapi setelah itu air bah yang berkuasa di atas bumi itu 150 hari lamanya (Kejadian 7:24). Mengapa ayat ini tidak dipakai oleh Warren ? Jawabannya sederhana, karena tidak cocok dengan promosi buku 40 hari renungannya.
Hal kedua, benarkah Musa diubahkan dengan 40 hari di Gunung Sinai ? Ini benar, karena terdapat di dalam Kel. 24:18 (untuk menerima Hukum Tuhan) ; 34:28 (untuk menerima Hukum Tuhan yang baru setelah Musa melemparkan dan memecahkan kedua loh batu yang berisi Hukum Tuhan yang pertama di dalam Keluaran 32:19). Tetapi, Musa yang diubahkan adalah Musa yang tidak taat dan tidak setia, sehingga Allah melarangnya untuk masuk ke Tanah Kanaan (Bilangan 14).
Hal ketiga di dalam delapan poin yang Warren paparkan tentang prinsip 40 harinya, benarkah para pengintai diubahkan dengan 40 hari di Tanah Perjanjian ? Kalau kita sepintas melihat di dalam Bilangan 13:25, hal ini benar, tetapi jika kita dengan teliti membaca Bilangan 14:34 (Terjemahan Baru) yang mengatakan, “Sesuai dengan jumlah hari yang kamu mengintai negeri itu, yakni empat puluh hari, satu hari dihitung satu tahun, jadi empat puluh tahun lamanya kamu harus menanggung akibat kesalahanmu, supaya kamu tahu rasanya, jika Aku berbalik dari padamu:” atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Kamu akan menanggung akibat-akibat dosamu empat puluh tahun lamanya; satu tahun dihitung untuk satu hari dari setiap empat puluh hari yang kamu pakai untuk menyelidiki tanah itu. Kamu akan tahu bagaimana rasanya kalau Aku melawan kamu!” Mereka (para pengintai) dihukum oleh Tuhan selama 40 tahun, karena mereka tidak mengabarkan hal yang benar tentang Tanah Perjanjian. Perhatikan di dalam Bilangan 14:35-38, “Aku, TUHAN, yang berkata demikian. Sesungguhnya Aku akan melakukan semuanya itu kepada segenap umat yang jahat ini yang telah bersepakat melawan Aku. Di padang gurun ini mereka akan habis dan di sinilah mereka akan mati." Adapun orang-orang yang telah disuruh Musa untuk mengintai negeri itu, yang sudah pulang dan menyebabkan segenap umat itu bersungut-sungut kepada Musa dengan menyampaikan kabar busuk tentang negeri itu, orang-orang itu mati, kena tulah di hadapan TUHAN. Tetapi yang tinggal hidup dari orang-orang yang telah pergi mengintai negeri itu hanyalah Yosua bin Nun dan Kaleb bin Yefune.” Banyak pengintai Israel yang melaporkan hal yang palsu sehingga banyak orang Israel bersungut-sungguh karenanya dan akibatnya, para pengintai yang melaporkan kepalsuan itu langsung dihukum mati oleh Allah, tetapi hanya Yosua dan Kaleb yang dibiarkan hidup. Kalau benar bahwa para pengintai diubahkan dengan 40 hari di Tanah Perjanjian, perubahan apa yang dialami para pengintai itu? Perubahan yang positif atau negatif ? Kembali, Warren mengutip ayat Alkitab tanpa memperhatikan ayat Alkitab yang lainnya (metode eisegese).
Hal terakhir dari delapan poin yang ia paparkan tentang renungan 40 harinya yang perlu disoroti adalah benarkah para murid diubahkan dengan 40 hari bersama Yesus setelah kebangkitan-Nya (Kis. 1:3) ? Jelas, tidak. Mengapa ? Para murid Tuhan Yesus itu aneh, mereka sudah menerima pengajaran langsung dari Tuhan Yesus kira-kira 3,5 tahun, ditambah les privat selama 40 hari setelah kebangkitan-Nya tentang Kerajaan Allah, tetapi saat sebelum Kristus naik ke Surga, mereka masih bertanya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6) Apakah ini membuktikan dengan waktu 40 hari setelah kebangkitan-Nya, mereka diubahkan ? TIDAK. Mereka (para murid) masih tidak mengerti tentang Kerajaan Allah, sampai-sampai Kristus sendiri berkata, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:7-8) Dalam hal ini, Warren tidak teliti membaca Alkitab dan sengaja menghilangkan ayat 6 untuk mendukung promosi renungan 40 harinya.

Selanjutnya, Warren mengungkapkan bahwa bukunya dibagi menjadi 40 bab singkat dan ia menganjurkan para pembaca untuk membaca satu bab saja sehari, sehingga mereka memiliki waktu untuk berpikir tentang penerapannya bagi kehidupan mereka. Untuk hal ini, Warren mengutip Roma 12:2. Kemudian, ia berkata lagi,
“Satu alasan mengapa sebagian besar buku tidak mengubah kita adalah karena kita begitu ingin membaca bab berikutnya, kita tidak berhenti sejenak dan mengambil waktu untuk berpikir dengan serius apa yang baru saja kita baca. Kita tergesa-gesa menuju kebenaran berikutnya tanpa merefleksikan apa yang telah kita baca.
Jangan sekedar membaca buku ini. Berinteraksilah dengannya. Garis bawahilah. Tulislah pikiran-pikiran Anda sendiri di bagian pinggir. Jadikanlah buku ini buku Anda. Buatlah sesuai selera !...” (Warren, 2005, p. 10)

Komentar saya :
Saya percaya renungan harian yang lebih berkualitas seperti Santapan Harian, Renungan Harian, dll tidak berani mengungkapkan hal yang senekat Rick Warren di dalam bukunya yang mengatakan bahwa jadikanlah bukunya adalah buku bagi para pembaca. Paragraf kedua ini memberikan indikasi secara implisit bahwa bukunya ini “melengkapi” Alkitab, sehingga perlu digarisbawahi, dll. Sungguh aneh, seharusnya, setiap buku rohani apapun yang baik dan berkualitas akan menuntut dan menuntun setiap pembacanya untuk lebih mengerti Alkitab, tetapi Rick Warren di dalam bukunya tidak bertujuan itu, karena di dalam paragraf kedua di dalam pernyataan ini, ia tidak satu kalipun menyebutkan tujuan untuk lebih mengerti Alkitab dengan lebih bertanggungjawab melalui bukunya. Ini jelas sebuah permainan licik dari Rick Warren untuk pelan-pelan mengikuti alur pikirnya yang beridekan humanisme lalu mempermainkan ayat-ayat Alkitab di luar konteksnya untuk mendukung ide humanisnya, setelah itu barulah orang-orang yang mengikuti alur pikiran Warren disebut orang yang memiliki tujuan (purpose) di dalam hidupnya, padahal itu semu belaka.
Di sisi lain, kita juga perlu merefleksikan apa yang Warren katakan, apakah benar ketika kita membaca renungan harian lainnya, kita seakan-akan take it for granted, lalu melupakan, padahal renungan harian yang beres seharusnya menuntun kita untuk lebih mengerti maksud Allah di dalam Alkitab. Renungan harian hanya sebagai pelengkap untuk kita boleh mengerti Alkitab, tetapi ingat satu hal, fokusnya hanya Alkitab. Isi dalam renungan harian yang beres sekalipun mungkin sekali mengandung beberapa kesalahan, oleh karena itulah, kita tidak boleh menganggap bahwa renungan harian itu identik dengan Alkitab yang tidak dapat bersalah.

Kemudian, Warren melanjutkan tulisannya dengan mengatakan,
“Pada akhir setiap bab ada sebuah bagian yang disebut “Berpikir tentang Tujuan Saya.” Di situ Anda akan menemukan :
· Pokok untuk direnungkan. Inilah suatu bongkah kebenaran yang berharga yang merangkum sebuah prinsip kehidupan yang dikendalikan tujuan yang Anda bisa renungkan sepanjang hari...
· Ayat untuk Diingat. Inilah ayat Alkitab yang mengajarkan sebuah kebenaran dari bab tersebut. Jika Anda benar-benar ingin meningkatkan kehidupan Anda, menghafal ayat bisa merupakan kebiasaan terpenting yang bisa Anda mulai. Anda bisa menyalin ayat-ayat ini dalam kartu-kartu kecil untuk Anda bawa, atau membeli Purpose Driven Life Scripture Keeper Plus.
· Pertanyaan untuk Dipikirkan.... “ (Warren, 2005, pp. 10-11)

Komentar saya :
Dari awal saja sudah salah, setiap renungan harian yang beres bukan terus memikirkan tentang saya, saya, dan saya, tetapi tentang kehendak Allah dan memuliakan Allah. Tetapi herannya, Warren mengungkapkan bahwa di dalam akhir setiap bab, ada bagian yang disebut “Berpikir tentang Tujuan Saya.” Dari sini saja, Warren sudah bersifat antroposentris karena yang dipikir selalu tentang diri, diri, dan diri lagi, bukan Allah.
Kedua, pada bagian “Pokok untuk direnungkan.”, Warren mengatakan bahwa prinsip kehidupan itu digerakkan atau dikendalikan oleh tujuan. Benarkah hal demikian ? Mari kita berpikir logis. Kalau memang benar bahwa prinsip kehidupan kita dikendalikan oleh tujuan, maka ada beberapa pertanyaan : pertama, mengapa harus menetapkan tujuan bagi kehidupan (motivasi penetapan tujuan), lalu kedua, tujuan itu tujuan siapa ?, ketiga, tujuan dari penetapan tujuan itu untuk siapa ? Dalam hal ini, Warren menjawab ketiga pertanyaan tadi dengan jawaban-jawaban yang terdapat di dalam bukunya ini : pertama, jelas, motivasi dari menetapkan tujuan itu adalah untuk “mengurangi rasa stres dan memudahkan Anda untuk mengambil keputusan, meningkatkan kepuasan Anda, dan yang terpenting, mempersiapkan diri Anda bagi kekekalan.” (Warren, 2005, p. 9) Dari titik pertama, motivasi menetapkan tujuan ini salah, yaitu antroposentris, dan kesalahan di titik pertama pasti mengakibatkan kesalahan pula di titik kedua dan ketiga. Jawaban kedua dari pertanyaan tadi adalah tujuan itu sebenarnya tujuan yang manusia sendiri tetapkan (lebih tepatnya, Warren telah tetapkan bagi para pembacanya) dengan “meminjam” perkataan bahwa itu tujuan dari “Allah”. Disusul dengan jawaban ketiga, tujuan dari penetapan tujuan itu jelas untuk pemuasan diri sendiri (lihat jawaban 1 di atas) bukan untuk menggenapkan kehendak dan Kerajaan-Nya di dunia ini.
Ketiga, pada poin “Ayat untuk Diingat.”, Warren mengungkapkan bahwa ayat Alkitab itu mengajarkan kebenaran dari bab yang ia bahas. Dari cara pikir ini saja, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ayat Alkitab hanya dijadikan boneka yang dapat dipermainkan untuk mendukung ide-ide humanisnya (metode penafsiran eisegese Alkitab ini memang sangat disukai oleh banyak “pemimpin gereja” dari mayoritas golongan Injili, Pentakosta/Karismatik dan Katolik Roma ; tentang problematika penafsiran Alkitab, Anda bisa membaca makalah yang telah saya susun dengan judul, “Bagaimana Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab ?”). Hal ini sangat kentara dalam pengutipan ayat Alkitab yang ia jelaskan sendiri di dalam Apendiks 3 di dalam buku terjemahan bahasa Indonesia pada halaman 361-363. Lalu, lebih aneh lagi, Warren mengungkapkan, “Jika Anda benar-benar ingin meningkatkan kehidupan Anda, menghafal ayat bisa merupakan kebiasaan terpenting yang bisa Anda mulai. Anda bisa menyalin ayat-ayat ini dalam kartu-kartu kecil untuk Anda bawa, atau membeli Purpose Driven Life Scripture Keeper Plus.” Inilah mistisisme model baru di dalam keKristenan, yaitu menghafal ayat Alkitab sampai-sampai menyalin dan membawanya ke manapun manusia berada. Bukan berarti ini tidak boleh, tetapi tindakan ini sudah menyalahi satu prinsip Alkitab bahwa Roh Kudus bekerja di dalam hati umat pilihan-Nya untuk mengingatkan apa yang telah Kristus ajarkan dan lakukan, sehingga ketika umat pilihan-Nya memiliki keinginan untuk berbuat dosa, maka Roh Kudus mencerahkan pikiran mereka melalui ayat-ayat Alkitab dan manusia pilihan-Nya akan mematuhi suara pencerahan Roh Kudus ini. Kalau dengan menyalin ayat-ayat Alkitab bahkan membawa salinan itu berarti orang ini tidak percaya akan pekerjaan Roh Kudus yang mencerahkan pikiran seseorang atau orang ini ragu akan pekerjaan Roh Kudus yang bisa saja lupa mengingatkan orang Kristen, sehingga orang Kristen harus “berdikari” sendiri. Ini sudah menghina Roh Kudus. Tahukah Anda motivasi Warren dalam mengatakan ini ? Dari pernyataannya saja, dapat disimpulkan bahwa ia ingin produk-produknya laku di pasaran ke“Kristen”an. Kok bisa ? Perhatikan pernyataannya, “Anda bisa menyalin ayat-ayat ini dalam kartu-kartu kecil untuk Anda bawa, atau membeli Purpose Driven Life Scripture Keeper Plus.” Ujung-ujungnya adalah mendorong para pembaca untuk membeli produk-produknya yang lain supaya Warren mendapat untung sebanyak-banyaknya. Tidak heran, buku ini dikategorikan sebagai The #1 New York Times Bestseller dan terjual lebih dari 16 juta buku versi New York Times, Wall Street Journal dan Publisher’s Weekly. Satu hal yang perlu diingat oleh orang Kristen adalah tidak semua buku bestseller ala dunia benar-benar bermutu dan sesuai dengan Alkitab. Saya bertanya bahwa apakah berlian yang paling mahal itu bermutu atau tidak ? Pasti bermutu, tetapi hanya sedikit orang yang mampu membelinya, mengapa ? Karena mahal. Sedangkan yang tidak bermutu pasti mendapatkan market yang banyak dan harganya pasti murah. Jadi, pikir dan renungkan sendiri buku The Purpose Driven Life adalah barang bermutu atau tidak.

Kemudian, pada halaman 11, Warren mengungkapkan hal yang kelihatan Alkitabiah, tetapi jika diteliti sangat aneh. Perhatikan pernyataannya,
“Cara terbaik untuk menjelaskan tujuan Allah bagi kehidupan Anda adalah membiarkan Alkitab berbicara sendiri, jadi di dalam buku ini Alkitab dikutip secara luas, dengan menggunakan lebih dari seribu ayat yang berbeda dari 15 terjemahan dan parafrase bahasa Inggris. Saya menggunakan versi-versi berbeda tersebut untuk beberapa alasan penting, yang saya jelaskan dalam apendiks 3.” (Warren, 2005, p. 11)
“Apendiks 3
MENGAPA MEMAKAI BEGITU BANYAK TERJEMAHAN ?
Buku ini berisi hampir seribu kutipan dari Alkitab. Saya dengan sengaja menyelang-nyeling terjemahan-terjemahan Alkitab yang digunakan karena dua alasan penting. Pertama, tidak peduli seberapa indahnya sebuah terjemahan, toh ada keterbatasannya. Alkitab pada mulanya ditulis menggunakan 11.280 kata-kata Ibrani, Aram dan Yunani, tetapi terjemahan bahasa Inggrisnya menggunakan hanya sekitar 6.000 kata. Jelas, nuansa dan bayangan makna bisa hilang, jadi selalu berguna untuk membandingkan beberapa terjemahan.
Kedua, dan yang terlebih penting, ialah kenyataan bahwa kita seringkali kehilangan makna penuh dari ayat-ayat Alkitab yang umum, bukan karena penerjemahan yang buruk, tetapi hanya karena ayat-ayat tersebut sudah menjadi begitu umum ! ... Karena itu saya dengan sengaja menggunakan parafrase-parafrase guna membantu Anda melihat kebenaran Allah dengan cara yang baru dan segar... Teladan saya untuk hal ini adalah Yesus dan bagaimana Dia dan para rasul mengutip Perjanjian Lama. Mereka seringkali hanya mengutip sebuah frasa untuk menjelaskan sebuah pokok.” (Warren, 2005, p. 361)

Komentar saya :
Mungkin ketika kita membaca pernyataan-pernyataannya ini, Anda akan membenarkan pendapat Warren tentang konsepnya mengenai Alkitab yang memang diterjemahkan dari bahasa Ibrani, Aram dan Yunani dan terjemahan itu memiliki arti yang berbeda ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahkan Indonesia. Ini tidak salah. Tetapi benarkah motivasi Warren ingin agar Alkitab itu berbicara sendiri untuk menjelaskan tujuan Allah bagi kehidupan para pembacanya ? TIDAK. Mengapa ? Yang sebenarnya ingin dia katakan adalah membiarkan Alkitab berbicara sesuai dengan idenya, lalu idenya lah yang ia utarakan untuk menjelaskan tujuan yang katanya dari Allah bagi kehidupan para pembaca. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan tersebut ? Mari kita perhatikan alur berpikirnya khususnya pada Apendiks 3.
Buku yang memuat beribu tafsiran ayat Alkitab itu memiliki dua indikasi, yaitu pertama, buku itu benar-benar sesuai dengan Alkitab, dan kedua, buku itu hanya ingin mencari ayat-ayat yang sesuai dengan ide sang penulis, sehingga ayat-ayat Alkitab yang dikutip mungkin saja kelihatan sinkron dengan ide penulis, tetapi jika diteliti lebih lanjut, ayat-ayat Alkitab tersebut dikutip tanpa memperhatikan konteks, bahasa Yunani, latar belakang, dan memperbandingkan dengan ayat-ayat Alkitab lainnya (baca Bab 2 di dalam makalah saya ini tentang bagaimana menafsirkan Alkitab dengan bertanggungjawab khusus pada poin 2.4). Saya lebih mengkategorikan buku The Purpose Driven Life ini sebagai buku kedua yaitu buku yang mengutip ayat-ayat Alkitab yang ribuan tanpa memperhatikan konteks, latar belakang, bahasa asli (Ibrani dan Yunani) dan kesesuaian dengan ayat-ayat Alkitab yang lainnya. Ingatlah, jangan mengira sebuah buku dengan ribuan bahkan jutaan ayat Alkitab adalah buku yang Alkitabiah, itu adalah anggapan yang konyol. Menggunakan berbagai terjemahan Alkitab untuk diperbandingkan itu tidak menjadi masalah dan tidak salah, tetapi yang menjadi masalah adalah apa motivasi dan tujuan si penafsir Alkitab menggunakan berbagai terjemahan Alkitab. Jika motivasi dan tujuannya beres, yaitu agar si penafsir Alkitab lebih mengerti maksud Firman Tuhan dengan lebih jelas, itu tidak menjadi masalah, tetapi jika sebaliknya, si penafsir Alkitab sengaja membandingkan terjemahan Alkitab untuk mencari terjemahan Alkitab yang lebih cocok dengan ide yang ia ingin utarakan, itu yang paling celaka.
Dari pernyataan Warren yang mengungkapkan, “kita seringkali kehilangan makna penuh dari ayat-ayat Alkitab yang umum, bukan karena penerjemahan yang buruk, tetapi hanya karena ayat-ayat tersebut sudah menjadi begitu umum ! ... Karena itu saya dengan sengaja menggunakan parafrase-parafrase guna membantu Anda melihat kebenaran Allah dengan cara yang baru dan segar.”, saya menemukan adanya tendensi Warren ingin mengarahkan para pembacanya untuk lebih mengerti isi Alkitab bagi hidup mereka, tetapi ia sebenarnya ingin agar para pembacanya untuk lebih mengerti isi hati Warren dalam menuliskan bukunya lalu mengutip ribuan ayat Alkitab supaya kelihatan sinkron dengan idenya Warren. Mari kita simak baik-baik pernyataan ini. Warren mengungkapkan bahwa kita seringkali kehilangan makna penuh dari ayat-ayat Alkitab yang umum, bukan karena ada terjemahan yang buruk, tetapi ayat-ayat tersebut menurutnya sudah menjadi begitu umum. Pernyataan ini sudah tidak bertanggungjawab di titik awal. Benarkah kita kehilangan makna asli dari ayat Alkitab karena ayat-ayat tersebut telah begitu umum ? TIDAK. Saya ambil contoh, ayat Alkitab yang begitu umum adalah Yohanes 3:16 yang mengajarkan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Ayat Alkitab ini mungkin kelihatan begitu umum, tetapi bukan berarti karena terlalu umum menjadi tidak bermakna. Yang menjadi masalah ketika kita kehilangan makna asli dari ayat-ayat Alkitab adalah kita kurang bahkan cenderung malas untuk memperhatikan konteks ayat Alkitab, terjemahan-terjemahan Alkitab bahkan menyelidiki sampai bahasa asli Alkitab, yaitu Ibrani, Aram dan Yunani. Kalau kita kembali kepada Yohanes 3:16 tadi dan menelitinya, maka kita mendapatkan beberapa hal yang penting yang kurang diuraikan oleh banyak pemimpin gereja khususnya dari mayoritas kalangan Karismatik/Pentakosta/Injili, yaitu : Pertama, kata “kasih” atau “mengasihi” ini di dalam bahasa Yunani menggunakan kata agapaō yang berarti kasih yang tidak bersyarat. Di dalam bahasa Yunani, kata “kasih” diterjemahkan ke dalam empat pengertian yang berbeda, yaitu agape (kasih yang tidak bersyarat), philia (kasih persaudaraan), storge (kasih antara orangtua dan anak) dan eros (kasih birahi). Sedangkan di dalam bahasa Inggris, hanya dipakai satu istilah yaitu love dan bahasa Indonesia hanya memakai kata kasih. Kedua, kata “percaya kepada-Nya” di dalam Alkitab terjemahan King James Version diterjemahkan, “believeth in him” yang artinya percaya/mempercayakan diri di dalam-Nya (bukan “percaya kepada-Nya”, tetapi “percaya di dalam-Nya). Ketiga, kalau kita bertanya lebih lanjut siapakah orang percaya ini, kita akan kebingungan menjawabnya jika kita tidak memperhatikan konteks dan perikop seluruhnya di dalam Yohanes 3. Di dalam Yohanes 3:3, Tuhan Yesus mengajarkan hal yang sangat penting yang nantinya menentukan pengajaran-Nya di dalam ayat selanjutnya, yaitu, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Jadi, orang yang percaya di dalam-Nya bukan orang yang dengan kemampuannya sendiri mempercayai-Nya (seperti pandangan kaum Injili yang cenderung Arminian), tetapi orang-orang pilihan-Nya yang telah dilahirkan kembali oleh Allah melalui pekerjaan Roh Kudus (pandangan theologia Reformed). Mengapa bisa demikian ? Coba kita pikirkan sejenak. Di dalam ayat 16, Tuhan Yesus menjanjikan barangsiapa yang percaya di dalam-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal, lalu kalau kita menafsirkan “barangsiapa yang percaya di dalam-Nya” ini adalah orang yang dengan kemampuannya sendiri mempercayai-Nya, lalu mengapa di dalam ayat 3, Ia perlu mengajar Nikodemus tentang orang yang dilahirkan kembali baru dapat melihat Kerajaan Allah. Apakah seorang yang dengan kemampuannya sendiri adalah orang yang dilahirkan kembali ? TIDAK. Orang-orang yang telah dipilih-Nya dari semula dapat meresponi panggilan untuk percaya di dalam Kristus, setelah Roh Kudus melahirbarukan mereka dan memimpin mereka untuk percaya di dalam-Nya. Tanpa anugerah Allah melalui pimpinan Roh Kudus, tak mungkin manusia dengan kemampuan sendiri yang sudah dicemari oleh dosa bisa mempercayai Kristus yang benar (1 Kor. 12:3), padahal kita saja kalau memilih kepiting dan durian saja bisa dan bahkan sering salah, yang kita lihat dari luar itu besar dan padat, ternyata dalamnya banyak kosongnya dan sedikit dagingnya (ilustrasi ini dikembangkan dari penjelasan dan ilustrasi Pdt. Dr. Stephen Tong).
Kemudian, tujuan dari perbandingan terjemahan ala Warren ternyata diungkapkannya sendiri dengan jelas yaitu bukan untuk menemukan arti yang lebih mendekati bahasa aslinya, tetapi untuk “melihat kebenaran Allah dengan cara yang baru dan segar”. Jadi, misalnya kalau kita kembali kepada Yohanes 3:16, maka mungkin sekali Warren dengan theologia Injili/Arminiannya dan gayanya yang baru dan segar menafsirkan ayat ini dan mengajarkan bahwa orang yang percaya di dalam-Nya adalah kita dengan kemampuan sendiri harus mempercayai-Nya (kalau tidak, Ia tidak akan menebus dan menyelamatkan kita). Inilah cara tafsiran yang menurut Warren baru dan segar, tetapi sayangnya ngawur di titik awal. Dengan kata lain, penggunaan “dengan cara yang baru dan segar” mengindikasikan bahwa Warren percaya penuh akan adanya “wahyu-wahyu Allah” lagi di zaman sekarang selain Alkitab, sehingga ia perlu menafsirkan Alkitab dengan cara yang baru dan segar yang berbeda dari para penafsir Alkitab terdahulu (pandangan Neo-Orthodoks dari Karl Barth, dll). Yang lebih parah lagi, Warren berani mengungkapkan hal yang sangat aneh, “Teladan saya untuk hal ini adalah Yesus dan bagaimana Dia dan para rasul mengutip Perjanjian Lama. Mereka seringkali hanya mengutip sebuah frasa untuk menjelaskan sebuah pokok.” Inilah gaya Warren yang ingin menyamai (dengan topeng “meneladani”) Tuhan Allah di dalam menafsirkan Kitab Suci sambil membuktikan bahwa Warren tidak mengerti Alkitab secara utuh. Tuhan Yesus mengutip ayat-ayat di dalam Perjanjian Lama untuk ditafsirkan ulang menurut-Nya, itu karena Ia adalah Tuhan atas hukum dan Ia sendiri Pembuat Hukum Taurat dan yang mengwahyukan Perjanjian Lama, sehingga Ia sangat berhak menafsirkan ulang ayat-ayat Perjanjian Lama yang telah diselewengkan oleh orang-orang Yahudi dan ahli-ahli Taurat pada waktu itu. Demikian pula halnya dengan para rasul-Nya yang mengikuti teladan Kristus dengan mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama, karena memang Perjanjian Lama berpusatkan pada kedatangan Kristus/Mesias. Tetapi, siapakah Rick Warren ? Kristus ? Bukan ! Salah satu rasul Kristus ? Juga bukan, tetapi berani “meneladani” Kristus dalam menafsirkan ulang ayat-ayat Alkitab. Kalau Kristus dan para rasul-Nya memiliki alasan yang kuat dalam menafsirkan ayat-ayat Perjanjian Lama yang berpusatkan pada Kristus dan karya-Nya, maka dengan alasan dan dasar apakah Warren menafsirkan ulang ayat-ayat Alkitab dengan gaya yang baru dan segar ? Ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat Alkitab yang dikutipnya “berpusatkan” kepada ide di balik buku The Purpose Driven Lifenya ?! Itu penghujatan terhadap Kristus dan Alkitab !

No comments: