31 July 2007

Tentang Calvinisme-3 : KEDAULATAN ALLAH : DASAR PRESUPOSISI IMAN YANG BERTANGGUNGJAWAB (Denny Teguh Sutandio, S.S.)

Tentang Calvinisme-3



KEDAULATAN ALLAH : DASAR PRESUPOSISI IMAN YANG BERTANGGUNGJAWAB

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.



Pada bagian ketiga ini, saya lebih menspesifikkan ke dalam area pembahasan inti doktrin Calvinis yaitu kedaulatan Allah yang berkaitan erat dengan konsep epistemologi dunia (bagaimana saya tahu apa yang saya ketahui). Di bagian ini, saya akan menyodorkan beragam epistemologi dunia yang human-centered dan kelemahan-kelemahannya, lalu saya akan membawa manusia melihat finalitas Kristus dan kedaulatan Allah sebagai satu-satunya dasar presuposisi iman yang bertanggungjawab.

Menurut
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, epistemologi berarti cabang ilmu filsafat yang mempelajari natur dan cakupan pengetahuan. Kata “epistemologi” sendiri berasal dari bahasa Yunani, episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya kata (word/speeech). Atau lebih singkatnya, epistemologi itu adalah suatu studi mempelajari bagaimana kita tahu bahwa kita itu mengetahui sesuatu. Di dalam studi kita kali ini, saya hanya akan menyuguhkan dua macam cara berpikir manusia khususnya di dunia Barat yaitu apriori dan aposteriori serta pemikiran univocal dan analogical.

Para filsuf di dunia Barat selama berabad-abad membedakan dua macam pengetahuan yaitu a priori dan a posteriori :
F Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang didapat dari reason (akal sehat) saja, tanpa pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari pengalaman tertentu (di sini, pengalaman biasanya berarti penelitian/observasi dari dunia melalui persepsi pengertian/sense perception). Pdt. Sutjipto Subeno pernah menuturkan bahwa di dalam a priori, tidak ada yang mendahului artinya ia adalah satu-satunya dasar pijak pengetahuan (bersifat deduktif).
F Pengetahuan a posteriori adalah macam lain dari pengertian, yaitu pengetahuan pencapaian atau pembenaran yang mana mengharuskan referensi/keterangan/petunjuk terhadap pengalaman. Pdt. Sutjipto Subeno pernah menuturkan bahwa di dalam a posteriori, pengetahuan didapat setelah ada landasan pengetahuan (bersifat induktif).

Lalu, selain pengetahuan a priori dan a posteriori, di dunia Barat juga dikenal cara berpikir univocal dan analogical :
· Pengetahuan univocal berarti semua pengetahuan berasal dari sumbernya.
· Pengetahuan analogical berarti ada posisi derivatif pengetahuan (artinya : pengetahuan turunan/diturunkan).
(disarikan dari kuliah yang disampaikan oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Selain itu, mari kita akan menelusuri cabang-cabang dari epistemologi dan implikasinya yang ternyata masuk ke dalam keKristenan di zaman postmodern ini, lalu kita akan melihat kelemahan-kelemahannya dari kacamata theologia Reformed :
1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah filsafat yang mengajarkan bahwa kita dapat mengetahui segala sesuatu jika sesuatu itu sesuai dengan pikiran kita. Filsafat ini berkembang dengan pesat pada abad pertengahan (medieval) di mana mulai munculnya semangat renaissance yang mencoba menggali budaya-budaya Barat (khususnya filsafat Barat) untuk membangun kembali rasio yang sudah lama ditinggalkan di zaman pramodernisme. Filsafat ini muncul dari pemikiran seorang filsuf Yunani yang bernama Plato yang mengajarkan bahwa rasio itu mengontrol keinginan melalui perasaan (MacKenzie, 2006, halaman 42). Tidak heran, salah satu pencetus rasionalisme (Bapak Rasionalisme), Rene Descartes berkata cogito ergo sum (I think, therefore I exist). Selain itu, para tokoh rasionalisme adalah
Julian Huxley, Gottfried Leibniz, Baruch de Spinoza, Nicolas Malebranche, dll (http://en.wikipedia.org/wiki/Rationalism). Otomatis, rasionalisme dipengaruhi oleh paham humanisme yang pada waktu itu berkembang pesat. Segala sesuatu yang diketahui yang tidak cocok dengan pengetahuan dianggap tidak benar, itu menurut rasionalisme. Pertanyaan selanjutnya, seberapa besarkah pikiran/rasio manusia sehingga mampu menampung segala sesuatu dan apakah cinta itu yang tidak bisa dipikirkan secara rasio tetapi dirasakan, juga tidak termasuk suatu pengetahuan/kebenaran ? Di sini kegagalan cara pikir rasionalisme. Ternyata bukan orang-orang dunia saja yang menggunakan cara pikir ini, keKristenan pun telah tercemar filsafat ini. Adolf von Harnack adalah bapak “theologia” liberal di dalam gereja, yang sekarang diikuti oleh banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mungkin secara teori/doktrin menentang liberalisme, tetapi secara praktek dapat dilihat imbas dari “theologia” liberal. Misalnya, “Pdt.” Ioanes Rachmat dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) merelatifkan iman Kristen dan Alkitab (karena mengembangkan “theologia” religionum yang mengembangkan dialog “theologia” agama-agama yang sebenarnya bersumber dari “theologia” liberal), di samping itu dari sumber artikel Pdt. Budi Asali, M.Div., “Pdt.” Eka Darmaputera juga dari GKI pernah menuliskan bahwa Alkitab itu memang adalah Firman Allah, tetapi Firman Allah bukanlah Alkitab. Kebanyakan dari mereka tidak mempercayai mukjizat-mukjizat Allah yang sejati di dalam Alkitab, Tuhan Yesus adalah Tuhan dan satu-satunya Juru Selamat dunia, Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah, dll.

2. Empirisisme
Filsafat dunia yang kedua adalah empirisisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat diketahui atau disebut kebenaran jika dapat dialami atau melalui pengalaman. Dengan kata lain, manusia harus mengalami dahulu sesuatu, baru sesuatu itu dikatakan kebenaran. Pendiri dari filsafat ini adalah John Locke. Para tokoh empirisisme lainnya adalah David Hume, Ludwig A. Feuerbach, dll. Salah satu tokoh empirisisme ini, Ludwig A. Feuerbach mengajarkan bahwa agama itu feeling absolute dependency (perasaan kebergantungan mutlak). Dari pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa hanya melalui pengalaman, kita baru dapat mengerti kebenaran dan agama identik dengan sebuah perasaan saja, bukan sebuah iman. Ternyata ada juga orang “Kristen” yang mentah-mentah mengadopsi pemikiran seperti ini. Misalnya, banyak “hamba Tuhan” di beberapa gereja kontemporer mengajarkan pentingnya mengalami hadirat Allah, tanpa perlu memahami dan mengenal Pribadi-Nya serta tunduk kepada-Nya. Yang penting bagi mereka, ketika berdoa dan menyembah, mereka mengalami kepenuhan dari Roh-Nya, lalu setelah itu, mereka membagikan pengalamannya kepada orang lain dan bahkan ada yang mengajarkan dengan mutlak bahwa jika tidak memiliki pengalaman seperti itu berarti tidak ada Roh Kudus. Kegagalan cara pemikiran empirisisme adalah perasaan dan pengalaman manusia pasti berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi (atau istilahnya mood). Adalah sangat berbahaya jika orang “Kristen” tiba-tiba mengklaim sedang mengalami hadirat Allah, padahal itu hanya halusinasinya saja (seperti onani, dan pemuasan hawa nafsu lainnya, dll).

3. Otoritarianisme
Ketiga, filsafat otoritarianisme mulai meracuni dunia kita dan khususnya keKristenan. Di dalam dunia, otoritarianisme mengajarkan pentingnya sebuah otoritas untuk mengklaim sebuah kebenaran. Misalnya, kalau ingin meyakinkan orang lain bahwa si A itu orangnya baik, maka X memakai sebuah otoritas yaitu kepala sekolah atau bapak presiden atau orang-orang yang berotoritas lebih tinggi, sehingga orang lain tidak bisa berkutik lagi. Celakanya, model filsafat ini ditiru dan diimport ke dalam keKristenan. Misalnya, seorang “pendeta” pernah mengaku sering naik turun “surga” lalu diajak minum kopi oleh “tuhan yesus”, kemudian sang “pendeta” ini kalau berkhotbah selalu menggunakan “otoritas”, “’Tuhan’ berkata kepadaku kemarin malam...” atau sejenisnya. Entah, Tuhan atau hantu yang berkata kepadanya, sungguh “membingungkan”. Sang “pendeta” ini menggunakan otoritas yang paling tinggi dan Kebenaran itu sendiri untuk meyakinkan jemaat-jemaatnya bahwa ajaran sang “pendeta” itu langsung dari Tuhan, sehingga jemaat-jemaatnya harus taat, jika tidak, maka para jemaatnya akan dicap tidak taat dan tidak beriman serta berdosa. Gejala seperti ini dulu pernah terjadi, misalnya, seorang “pendeta” gereja sesat, Jim Jones pernah menyuruh anggota jemaatnya minum racun dan bersama-sama turun ke jurang untuk membuktikan bahwa Allah itu berkuasa dan tidak meninggalkan umat-Nya, akhirnya banyak jemaatnya yang mati. Saya menyebutnya sebagai otoritas palsu. Jangan menganggap bahwa semua yang mengklaim menggunakan nama Allah itu pasti dari Allah, karena Tuhan Yesus sendiri telah berpesan di dalam Matius 7:21-23, bahwa di zaman akhir, banyak orang akan menyebut-Nya, “Tuhan, Tuhan”, tetapi Kristus tak pernah mengenal mereka, dan menyebut mereka sebagai pembuat kejahatan, mengapa ? Karena mereka tidak pernah diutus oleh Kristus untuk menjadi saksi-Nya, tetapi mereka memberanikan diri menggunakan otoritas Kristus. Itulah jahatnya manusia !

4. Subjektivisme
Filsafat keempat yang mempengaruhi dunia kita sekarang adalah subjektivisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu benar jika dinilai berdasarkan subjektivitas diri sendiri. Jadi, menurut filsafat ini, dirilah yang menjadi pusat kebenaran. Di luar dirinya, mutlak tidak ada yang benar. Celakanya, filsafat ini telah meracuni keKristenan. Pengalaman-pengalaman pribadi misalnya disembuhkan dari penyakit, dll, ternyata dijadikan doktrin dan diajarkan di dalam mimbar gereja dengan teriakan bahwa yang tidak disembuhkan dari penyakit, berarti kurang beriman, dsb. Bahkan subjektivisme telah menggerogoti iman Kristen dengan di“sembah”nya para pemimpin gereja seperti layaknya “Tuhan”, karena kebanyakan dari mereka menggunakan otoritas yang salah (berkaitan dengan otoritarianisme). Kelemahan filsafat ini adalah bahwa diri manusia tidak layak dijadikan subyek segala sesuatu, karena adanya realita dosa yang mencengkeram diri manusia.

5. Skeptisisme
Kelima, skeptisisme adalah suatu arus filsafat yang meragukan segala sesuatu. Di dalam filsafat ini, segala sesuatu diragukan. Filsafat ini muncul karena di dalam diri manusia tidak ada patokan dasar yang mampu mengarahkan hidup mereka. Filsafat ini mungkin sekali jarang dijumpai di kalangan keKristenan, tetapi saya menjumpai beberapa orang Kristen yang masih memegang filsafat ini. Saya menduga bahwa beberapa orang Kristen sampai menjadi skeptis karena ada dua alasan : pertama, tidak ada dasar iman yang kokoh ditambah yang kedua, kurangnya orang tersebut mempelajari Alkitab. Filsafat ini sedikit memiliki kelebihan yaitu para skeptis tidak sembarangan menerima segala sesuatu, tetapi kelemahan filsafat ini adalah bagi para skeptis, segala sesuatu diragukan, dan anehnya keraguannya sendiri tidak pernah diragukan benar atau tidaknya. Perhatikan, skeptisisme lama-kelamaan akan mengakibatkan timbulnya relativisme jika terus-menerus dibiarkan.

6. Relativisme
Filsafat keenam yang cukup banyak dianut oleh banyak orang di zaman postmodern ini adalah relativisme. Dari katanya saja dapat dimengerti bahwa filsafat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah relatif. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menuturkan bahwa seorang tokoh evolusi yang bernama Sir Herbert Spencer mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak di dunia (there’s nothing absolute in the world). Lalu, seorang pemuda bertanya kepada Spencer bahwa apakah dia (Spencer) mengakui teori secara mutlak, kemudian, Spencer diam termenung. Sungguh kontradiksi. Sangatlah tepat jika Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa semua filsafat yang melawan Alkitab akan berperang dengan dirinya sendiri (berkontradiksi). Benarkah tidak ada yang mutlak di dunia ini ? Kalau benar, secara otomatis, teori kerelatifan ini dipegang secara mutlak, karena barangsiapa yang melawan teorinya akan berhadapan dengan pemuja teori relativisme. Bukankah seharusnya seorang penganut relativisme akan diam saja jika ada orang lain yang mengajarkan kemutlakan ? Tetapi kenyataannya tidak. Setiap orang yang mengatakan bahwa semua itu sama saja, mereka akan marah bila ada orang lain yang mengklaim semua itu berbeda. Dengan demikian, penganut relativisme mengukur diri sebagai puncak kebenaran dan kebenaran itu tergantung masing-masing individu. Jadi, relativisme adalah bentuk turunan/derivatif dari skeptisisme yang brutal. Ternyata keKristenan juga sering mengadopsi filsafat ini. Pernahkah Anda mendengar bahwa semua gereja itu sama, yang penting bertumbuh atas firman-Nya ? Saya tanya, apa motivasi orang mengeluarkan pernyataan demikian ? Saya curiga dan ragu bahwa motivasinya adalah agar jemaat-jemaat di gereja yang sering menyanyikan lagu tersebut (gereja X) tidak berpindah ke gereja lain yang lebih beres dan bertanggungjawab (gereja Y) daripada gereja yang semula (gereja X), karena semua gereja itu sama saja, sebaliknya jemaat-jemaat gereja lain (gereja Q) yang belum ke gereja yang mengajarkan lagu tersebut (gereja X) diajak ikut ke gereja tersebut (gereja X) juga dengan alasan yang sama yaitu semua gereja itu sama saja sebagai tameng/topeng (dalam pengertian sesungguhnya, gerejaku lebih baik dari gereja lain). Problematika kelemahan fatal relativisme adalah tidak diakui kebenaran sejati dan otomatis tidak mengakui adanya Allah sebagai Sumber Kebenaran (mengarah kepada atheisme). Yang paling aneh para penyembah relativisme selalu beranggapan bahwa semua itu sama saja, tetapi herannya kalau memilih suami/istri tidak berani mengatakan bahwa semua laki-laki/perempuan itu sama saja, maka semua laki-laki/perempuan dapat dijadikan suami/istri (asal berlainan jenis).

7. Pragmatisme
Filsafat ketujuh yang mencengkeram hidup manusia adalah pragmatisme. Pragmatisme adalah sebuah kepercayaan akan pengajaran filsafat yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1800an dan digolongkan oleh desakan/permintaan yang tegas pada konsekuensi-konsekuensi/kepentingan-kepentingan, kegunaan dan hal yang praktis sebagai komponen-komponen vital akan pengertian dan kebenaran. Pragmatisme berkeberatan dengan pandangan bahwa konsep-konsep dan intelek (kemampuan memahami dan berpikir) manusia mewakili realita, dan oleh karena itu berdiri dalam perlawanan terhadap cabang-cabang filsafat dari formalis dan rasionalis. Selain itu, pragmatisme tidak menganggap bahwa segala sesuatu itu yang berguna atau praktis seharusnya dianggap sebagai benar, atau segala sesuatu yang menolong kita untuk bertahan hanya dalam waktu singkat ; para pragmatis (penganut paham pragmatisme) beralasan bahwa apa yang sebaiknya dianggap sebagai benar adalah apa yang paling banyak memberikan kontribusi (atau menyumbang) terhadap kebaikan manusia yang paling banyak selama/pada/melampaui arah/serangkaian yang terpanjang (over the longest course) (http://en.wikipedia.org/wiki/Pragmatism). Dengan kata lain, menurut paham pragmatisme, sesuatu yang bersumbangsih bagi hidup manusia itulah yang dianggap sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika sesuatu itu tidak bersumbangsih bagi hidup manusia, otomatis sesuatu itu bukan kebenaran. Sekilas pandangan ini agak benar, tetapi tahukah Anda berapa kalikah manusia di dunia menganggap bahwa sesuatu yang menurutnya berguna dan bersumbangsih bagi hidup manusia selama jangka waktu yang panjang tetapi itu sesungguhnya menyesatkan ?! Dan sebaliknya, berapa kalikah manusia di dunia menganggap bahwa sesuatu yang tidak bersumbangsih bagi hidupnya ternyata lebih benar dan bertanggungjawab ketimbang apa yang pernah dipikirkannya ?! Apakah wujud dari kedua pernyataan tersebut ? Pernyataan pertama yaitu apa yang menurut manusia dunia dianggap bersumbangsih bagi hidup manusia itu ternyata menyesatkan adalah filsafat-filsafat dunia yang melawan Alkitab, seperti berpikir positif, win-win solution, dll. Kelihatannya filsafat-filsafat tersebut bersumbangsih bagi hidup manusia, misalnya, berpikir positif, dapat “meningkatkan” kepercayaan diri manusia yang berdosa, tetapi itu semua palsu adanya. Berpikir positif yang salah itu meniadakan realita dan menganggap realita itu harus selalu positif di mata sang pemikir positif tersebut. Padahal realita terjadi berkebalikan dengan pemikiran para pemikir positif. Pernyataan kedua yaitu apa yang manusia dunia anggap tidak bersumbangsih bagi hidup manusia, seperti keKristenan yang berdasarkan Alkitab yang sesungguhnya adalah sesuatu yang lebih benar dan bertanggungjawab daripada pemikiran mereka yang berdosa. Mengapa sampai manusia dunia tidak menyadari hal ini ? Karena mereka pada intinya sudah jatuh ke dalam dosa, sehingga apa yang dianggap bernilai tidak sinkron dengan apa yang Tuhan anggap bernilai ! Nilai manusia dunia yang pragmatis ini lebih diletakkan pada hasil akhir yang kelihatan cocok dan menyenangkan. Ide di balik pragmatisme hampir sama dengan utilitarianisme (asas manfaat). Maklumlah manusia berdosa ingin memuaskan hasrat keberdosaan manusia ! Tidak heran, mengapa seminar-seminar dan berbagai macam training pengembangan pribadi seperti dari Andrie Wongso, Anthony Robbins, dll begitu laris bak kacang goreng ? Karena mereka memang perlu pelampiasan emosional sesaat tanpa Allah di dalamnya yang menjadi Pemilik hidup mereka ! Tahukah Anda, filsafat gila ini pun sudah masuk ke dalam keKristenan. Tidak heran, banyak gereja berlomba-lomba membangun gedung gereja yang super megah ditambah bersaing untuk menambah jumlah jemaat agar kelihatan ada “roh kudus”. Semua itu hanya fenomena saja, hanya kelihatan penuh secara kuantitas, sedangkan tidak berkualitas. Kalau mencari gereja, bukan mencari gereja yang lebih cocok dengan firman Tuhan, tetapi mencari gereja yang mengkhotbahkan hal-hal yang enak, penuh cerita-cerita lucu, kesaksian-kesaksian (entah itu asli atau palsu), dll, yang penting ke gereja, yang penting dapat manfaat dan kegunaan yang menurut mereka bersumbangsih bagi hidup mereka (memaksa Tuhan untuk menuruti permintaannya di dalam doa). Itulah gejala manusia Kristen yang pragmatis di abad postmodern ini : suka hal-hal yang fenomenal dan membuang rasio ! Kelemahan fatal filsafat ini adalah yang dianggap benar kembali bersifat subjektif dan kadang-kadang bisa sirna. Misalnya, kalau di suatu jangka waktu tertentu, gereja X dan pendeta A yang terkenal, maka semua gereja berlomba-lomba mengundang pendeta A dan mencontoh pola pertumbuhan gereja X. Sepuluh tahun berikutnya, gereja X akhirnya ditemukan banyak manipulasi dan pendeta A diisukan korupsi, maka gereja Y yang sekarang naik daun dan pendeta B yang terkenal, kemudian kembali gereja-gereja lain seperti orang gila berlomba-lomba mengundang pendeta B dan meniru pola pertumbuhan gereja Y, dst. Semakin lama, semakin orang Kristen dan gereja yang mengikuti gereja dan orang Kristen lain yang belum tentu benar, semakin mereka jatuh ke dalam fenomena-fenomena yang semakin jauh dari Alkitab. Tidak heran, mengapa tahun-tahun belakangan ini gejala seperti Toronto Blessing sudah menghilang, padahal pada akhir abad 20, gejala ini merajalela bahkan diimport di dalam banyak gereja di Indonesia ? Trendnya sudah ganti, dari Toronto Blessing berpindah ke Benny Hinn, City Harvest Church, Philip Mantofa, dll. Beberapa tahun lagi, fenomena-fenomena ini akan digantikan oleh hal-hal lain yang mungkin lebih parah.

8. Materialisme
Kedelapan, filsafat materialisme yang menganggap bahwa satu-satunya hal yang benar-benar dapat dikatakan berada adalah benda (matter) dan semua hal yang terdiri dari hal-hal material/jasmaniah dan semua fenomena adalah hasil dari interaksi jasmaniah. Concern dari materialisme adalah pada hal-hal material/jasmaniah dan itulah yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Materialisme tidak hanya terbatas pada uang dan harta benda saja, tetapi pada segala sesuatu yang bersifat jasmaniah. Manusia dunia sekarang ini menganggap materi itu segala-galanya dan bahkan mereka mau berkorban tenaga, waktu dan segalanya demi mengejar sebuah materi, termasuk di dalamnya adalah sebuah ketenaran dan jabatan yang tinggi. Bahkan di dalam surat kabar Jawa Pos yang saya baca baru-baru ini (Jumat, 27 Juli 2007) ada iklan seminar yang salah satunya berbunyi, “Bagaimana uang dapat mengejar Anda?” Lalu, filsafat ini “dibaptis” dalam nama “yesus” ke dalam gereja. Tidak heran, khotbah-khotbah yang bertemakan materialisme, misalnya “Ditebus dari Kemiskinan”, “Menang, Sukses dan Berhasil”, dll menjadi bahan khotbah yang disenangi oleh banyak orang “Kristen” terutama para usahawan. Yang dikhotbahkan dan diajarkan bahwa menjadi orang “Kristen” pasti kaya, sukses, berhasil, dll, sehingga ada sebuah gereja yang memakai slogan di depannya Successful..., tetapi sang pemimpin gereja ini menyangkal bahwa dirinya mengajarkan “theologia” kemakmuran kepada jemaatnya. Selain itu, sang pemimpin gereja ini juga pernah berkhotbah bahwa pada hari ini jika ada jemaat yang masih naik roda dua, minggu depan pasti naik roda empat. Ide-ide kemakmuran materi, kelancaran hidup dan tidak adanya sakit-penyakit pada “anak-anak Tuhan” (bahkan ada yang mengajarkan bahwa tidak ada “anak Tuhan” yang sampai digigit nyamuk) itulah yang selalu didengang-dengungkan oleh banyak gereja kontemporer hari-hari ini, mengapa demikian ? Karena itulah yang cocok di telinga orang-orang postmodern. Kelemahan fatal filsafat ini adalah para penganut materialisme tidak sadar bahwa materi dan hal-hal jasmaniah lainnya itu fana sifatnya dan sebentar saja bisa sirna dimakan waktu. Jika materi-materi dan hal-hal jasmaniah lainnya diutamakan dan dijadikan kebenaran, dan pada suatu saat, hal-hal tersebut hilang, misalnya, dicuri oleh perampok, maka apakah berarti “kebenaran” itu juga hilang ? TIDAK !

9. Dualisme
Filsafat kesembilan yang hampir banyak dianut oleh manusia di abad postmodern ini adalah dualisme. Filsafat ini mengajarkan adanya pemisahan antara mind (pikiran/dunia ide) dan body (tubuh/dunia realita). Di dalam dunia Barat, filsafat ini dikembangkan oleh filsuf Yunani kuno, Plato. Plato mengembangkan ide dualisme ini untuk mengatasi pergolakan filsafat-filsafat Yunani pada waktu ia hidup yaitu antara pemikiran Heraclitus dan Parmenides (MacKenzie, 2006, halaman 40). Heraclitus mengajarkan bahwa realitas itu satu dan bisa berubah (becoming), sedangkan Parmenides mengajarkan bahwa sesuatu yang berada (being) itu tidak mungkin berubah (tetap). Selain itu, menurut Plato, jiwa ini baik dan tubuh ini jahat, tidak heran, dia (yang dipengaruhi oleh Socrates) pernah mengatakan bahwa kematian itu adalah pembebasan dan pemisahan jiwa dari tubuh, sehingga menurutnya, para filsuf itu hidup untuk mati. Filsafat Plato ini akhirnya merajalela, mempengaruhi kepercayaan Manikhaisme yang mengajarkan adanya dewa baik dan dewa jahat (sempat mempengaruhi rasio bapa gereja Augustinus), mempengaruhi juga kepercayaan Zoroasterianisme (mengajarkan adanya dewa baik/Ahura Mazda dan dewa jahat/Angro Mainyu) dan diterima di dalam dunia Barat sampai sekarang. Di dalam dunia Timur yang beridekan mistik, filsafat dualisme muncul dengan konsep Yin dan Yang (filsafat Taoisme). Konsep ini mengajarkan bahwa di dalam dunia ini pasti ada yang baik dan jahat, pria dan wanita, terang dan gelap, putih dan hitam, dll. Saya juga sempat heran bahwa ada seorang teman “Kristen” saya di kampus Petra mengatakan konsep ini dan otomatis dia mempercayainya. Filsafat dualisme ini ternyata masuk ke dalam keKristenan ditambah semangat antitheistik dan sekularisme yang “disembah” oleh banyak orang “Kristen” menggantikan posisi Allah. Tidak heran, banyak orang “Kristen” mengklaim diri mereka sebagai orang “Kristen” bahkan “melayani Tuhan” di gereja, tetapi sempat mengatakan bahwa agama dan science itu tidak berhubungan sama sekali. Inilah yang saya sebut sebagai penganut dualismenya Plato yang juga dipengaruhi oleh sekularisme dan semangat antitheistik. Pertanyaannya, apakah orang ini seorang Kristen sejati yang beriman kepada Kristus ?! Sama sekali, TIDAK ! Orang ini sama sekali bukan orang Kristen yang beriman kepada Kristus, tetapi mungkin sekali orang yang ber-KTP Kristen yang beriman kepada diri sendiri dan kemampuannya sendiri. Kelemahan fatal filsafat ini lebih bersifat tunggal yaitu menyangkal pribadi Allah di dalam kehidupan sehari-hari (atheisme praktis) dan akibatnya, semakin manusia menjauhi Allah, semakin manusia tidak merasakan damai sejahtera, mendapat hikmat sejati dan semakin rusak baik paradigma maupun moralitasnya.

10. Pantheisme
Filsafat terakhir yang mempengaruhi orang dunia khususnya di abad postmodern ini adalah pantheisme. Pantheisme yang berasal dari bahasa Yunani : pan (berarti semua) dan theos (berarti Allah/God) adalah cabang filsafat yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah “Allah” (all is “god”) atau antara alam semesta, manusia dan Allah adalah sama/sederajat. Tidak heran, di zaman postmodern, semua ide di balik training pengembangan pribadi baik dari Andrie Wongso, Anthony Robbins, John Robert Powers, dll, adalah bermotifkan filsafat pantheisme, di mana di dalam diri manusia terkandung potensi ilahi (atau “allah” yang sedang tidur) yang harus dibangunkan dan dikembangkan. Yang paling celaka, sebuah kampus “Kristen” swasta di Surabaya gencar-gencarnya mengundang Andrie Wongso dan mengadakan training motivasi seperti Manage Your Mind to be Success untuk “meningkatkan” kepercayaan diri para mahasiswa (YANG BERDOSA). Filsafat ini telah meracuni keKristenan dalam dua bentuk. Pertama, adanya ajaran yang mengatakan bahwa manusia itu adalah ilah-ilah kecil (little gods) dan ajaran ini diajarkan oleh seorang pemimpin “gereja” di dunia Barat yang notabene penganut paham Word of Faith Movement (Gerakan Kata-kata Iman). Ajaran ini menitikberatkan bahwa apapun yang kita minta di dalam doa pasti dikabulkan oleh Tuhan (Sebut dan Tuntutlah/name it and claim it). Itulah yang mereka ajarkan sebagai “iman” dalam Gerakan Kata-kata Iman. Bentuk kedua dari filsafat yang sudah meracuni keKristenan ini adalah munculnya istilah-istilah baru yang belum pernah muncul di dalam keKristenan, misalnya, di dalam setiap benda atau aktivitas negatif itu ada roh/setannya, seperti roh zinah, roh ngantuk, roh mati lampu, roh guci, dll. Hal ini kerapkali diucapkan oleh banyak “hamba Tuhan” dari gereja-gereja kontemporer di abad postmodern ini. Mereka selalu mengatakan bahwa kalau ada jemaat yang mengantuk ketika mendengarkan khotbah di dalam gereja itu berarti ada setan/roh ngantuk, sehingga yang perlu diusir atau ditengking adalah setan/roh ngantuk. Lalu, kalau ada jemaat yang suka berzinah, anehnya, bukan si jemaat yang ditegur, tetapi setan/roh zinah yang diusir/ditengking. Tidak heran, mulai abad 20 muncullah “profesi baru” di dalam kalangan “hamba Tuhan” selain mengajar, memberitakan Injil dan menggembalakan, yaitu menengking roh/setan.




Lalu, bagaimana respon dan serangan keKristenan terhadap kesepuluh presuposisi epistemologi ini ? Jawabannya hanya ditemukan di dalam Alkitab dari perspektif theologia Reformed yang ketat, yaitu kedaulatan Allah. Berikut adalah definisi kedaulatan Allah yang memberikan jawaban sekaligus mengkritik dan menyerang kesepuluh paradigma dunia di atas (sebagai respon terhadap doktrin bahwa Allah menghakimi semua paradigma dunia berdosa).
Pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pencipta. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang menciptakan segala sesuatu. Mengapa Pencipta disebut berdaulat dan di mana letak signifikansinya ? Mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno tentang hukum relasi Pencipta—ciptaan : Allah yang menciptakan segala sesuatu berarti Allah yang pertama kali menetapkan tujuan penciptaan, kemudian merancang ciptaan, menjadikan ciptaan dan berdaulat menggunakan ciptaan itu untuk kemuliaan-Nya (Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!"”), itulah kedaulatan Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai ciptaan, kita sebagai manusia taat mutlak kepada perintah Allah sebagai Pencipta, khususnya kita yang telah ditebus oleh Kristus harus menaati perintah Allah di dalam Alkitab.

Konsep Allah sebagai Pencipta mengkritisi dan menghakimi konsep Gerakan Zaman Baru yang dipengaruhi oleh pantheisme bahwa manusia adalah “allah”. Di titik pertama, pantheisme tidak bisa membedakan antara ciptaan dengan Pencipta. Kalau pantheisme itu “benar” bahwa semua manusia adalah “allah” yang “hebat”, maka mengapa mereka perlu belajar ? Belajar adalah suatu proses yang tak diperlukan bagi Pencipta. Allah kita tak diikat oleh proses yang meliputi ruang dan waktu, tetapi manusia sebagai ciptaan sangat terikat oleh proses, oleh karena itu manusia perlu belajar. Tetapi kalau manusia sudah menjadi “allah”, perlukah ia belajar dan terikat di dalam proses ? Sungguh konyol ! Konsep Allah sebagai Pencipta juga menyerang konsep dualisme yang mengajarkan dikotomi/pemisahan mutlak antara hal-hal rohani dengan jasmani. Di titik pertama, “pemuja” dualisme sudah menyangkali bahwa Allah sebagai Pencipta yang berdaulat mutlak menggunakan apapun yang diciptakan-Nya untuk kemuliaan-Nya sendiri. Dengan kata lain, mereka ingin mengambil alih posisi “Pencipta” demi kemuliaan mereka sendiri. Itulah sebenarnya makna dosa, yaitu ketidaktaatan dan ingin menjadi seperti Allah.


kedua, Allah yang Berdaulat sebagai Sumber. Artinya, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang daripada-Nya segala sesuatu itu ada. Allah tak pernah bergantung pada siapapun dan apapun, karena Ia berada pada diri-Nya sendiri (self-dependence of God). Ini bukan hanya menyangkut masalah penciptaan, tetapi juga menyangkut masalah lain di dunia ini yang bersumber pada Allah. Misalnya, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala pengetahuan, sehingga Raja Salomo yang terkenal bijaksana menuliskan, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,…” (Amsal 1:7) Ketika kita mau belajar sungguh-sungguh tentang pengetahuan, kembalilah kepada Firman Allah, Alkitab, karena di situ kita dapat mempelajari sumber pengetahuan sejati. Hal ini tidak berarti Alkitab adalah buku pengetahuan, tetapi Alkitab memberikan dasar filosofis tentang pengetahuan sejati yaitu takut akan Tuhan. Ketika manusia enggan percaya kepada/di dalam Allah melalui Alkitab, mereka bukan saja dianggap bodoh, tetapi juga sia-sia (Amsal 1:7b).
Konsep Allah sebagai Sumber menyerang konsep berpikir rasionalisme. Di dalam rasionalisme, manusialah yang berperan sebagai sumber di dalam menentukan mana yang benar dan salah. Jika memang rasionalisme benar, para penganut rasionalisme pasti tidak dapat memahami sesuatu yang melampaui diri manusia, termasuk memahami cinta. Kalau rasionalisme “benar”, mengapa abad di mana rasionalisme berjaya ternyata diakhiri dengan Perang Dunia 1 dan 2 ? Bukankah secara rasio, mereka sebenarnya sadar bahwa perang itu tidak baik dan merugikan ? Di sini, letak kegagalan rasionalisme yang mencoba menggantikan Allah sebagai Sumber. Rasio memang adalah ciptaan Allah, tetapi ingatlah, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rasio manusia ikut dipolusi oleh dosa, sehingga rasio kita (ketika kita berdosa) bukan diperuntukkan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk melayani diri dan yang lebih parah melayani setan. Sehingga, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa iman adalah penundukkan rasio kepada Kebenaran. Dengan kata lain, orang Kristen sejati tidak boleh mengikuti/menganut rasionalisme, tetapi mereka tetap harus rasional, mengapa ? Karena orang Kristen diharuskan mengaktifkan rasio mereka semaksimal mungkin untuk ditundukkan dan dibawa kembali kepada Allah dan Alkitab. Selain itu, konsep Allah sebagai Sumber menghakimi konsep berpikir empirisisme dan subjektivisme. Empirisme adalah konsep yang menekankan pengalaman sebagai sumber. Konsep ini adalah konsep ekstrim kanan selain rasionalisme. Dunia terbagi menjadi dua ekstrim, yaitu di ekstrim kiri ada rasionalisme menekankan aspek rasio sebagai sumber, dan di ekstrim kanan muncul empirisisme yang menekankan aspek emosi/perasaan sebagai sumber. Di dalam iman Kristen, kedua konsep ini, khususnya empirisisme tidak benar, mengapa ? Karena perasaan masing-masing orang tidaklah sama (alias berbeda) dan tergantung mood. Kalau mood seseorang lagi baik, maka perasaannya pun baik dan ia pasti menganggap semua orang itu baik (meskipun berbuat jahat), sedangkan ketika mood seseorang lagi tidak baik, maka perasaannya pun tidak baik dan ia pasti menganggap semua orang itu jahat (meskipun orang yang dinilainya itu baik, misalnya memberitakan Injil kepadanya). Kalau perasaan dijadikan standar “kebenaran”, maka perasaan siapakah yang qualified dijadikan standar/sumber “kebenaran” ? Bukankah semua perasaan manusia juga berdosa ketika mereka jatuh ke dalam dosa ? Perasaan memang ditanamkan oleh Allah di dalam manusia, tetapi jangan pernah menjadikan perasaan sebagai sumber, karena itu amat berbahaya dan menyesatkan. Perasaan yang beres adalah perasaan yang dikembalikan/ditundukkan kepada Allah sebagai Sumber. Selain itu, Allah sebagai Sumber juga menyerang konsep subjektivisme yang berpusat kepada diri. Iman Kristen bukanlah iman yang subjektif, meskipun tetap ada unsur subjektif. Artinya, di dalam keKristenan yang beres, unsur subjektif tetap ada, misalnya pengalaman pribadi dengan Allah, tetapi unsur itu harus ditundukkan kepada unsur objektif yaitu Allah sebagai Sumber. Dengan kata lain, spiritualitas sejati diimplikasikan dari pemahaman doktrinal yang solid dan bertanggungjawab dari Alkitab, sehingga ketika ada “pengalaman rohani” yang tidak sesuai dengan Alkitab, kita harus membuang pengalaman itu (meskipun itu memakai kata “Tuhan”) dan tetap mempercayai Alkitab. Kemudian, konsep Allah sebagai Sumber menyerang konsep relativisme yang me“mutlak”kan bahwa segala sesuatu itu relatif. Memang aneh para pemuja relativisme di abad postmodern yang gila ini. Mereka mati-matian menyerukan freedom, semua itu relatif/sama saja, dll, tetapi di sisi lain, ketika ada orang yang menolak pandangan mereka, mereka pasti marah dan memusuhi orang itu. Kalau mau konsisten, para pemuja relativisme itu juga mau menerima pandangan orang lain yang bahkan menolak pandangannya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Para pemuja relativisme juga harus mengatakan bahwa semua wanita itu cantik, semua obat itu sama, dll, lalu jadikan semua wanita itu istrinya dan makanlah semua obat (meskipun ada yang beracun), lalu lihatlah hasilnya. Kesemuanya ini membuktikan bahwa manusia semakin lama semakin menganggap diri “hebat”, “pandai”, dll, tetapi sebenarnya “nol besar” alias kosong/tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Konsep ini mempengaruhi skeptisisme yang meragukan segala sesuatu. Dari konsep bahwa segala sesuatu itu relatif, maka para relativis nantinya akan menjadi seorang skeptis yang meragukan semuanya kecuali dirinya. Bagaimana dengan iman Kristen ? Iman Kristen yang beres menolak relativisme dengan tegas, dan hanya “mengakui” relativisme/pluralisme di dalam hal bermasyarakat (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Kita mengakui bahwa dunia kita dipenuhi oleh beragam agama dengan berbagai kepercayaan, tetapi kita TIDAK boleh ikut-ikutan mempercayai bahwa agama-agama itu juga “benar” dan “melengkapi” iman Kristen kita (seperti yang digembar-gemborkan oleh para pemuja “theologia” religionum/social “gospel”). Iman Kristen yang beres juga menghakimi skeptisisme. Meskipun Skeptisisme ada sedikit unsur positif yaitu belajar kritis/tidak mau menerima segala sesuatu, letak kelemahannya cukup fatal yaitu para skeptisis meragukan segala sesuatu, tetapi herannya mereka tak pernah sedikitpun meragukan keragu-raguannya apakah keragu-raguannya itu layak diragukan atau disandari. Keragu-raguan sejati harus segera dibereskan dengan konsep Allah sebagai Sumber yaitu Allah yang tak mungkin bersalah dan tidak ada kontradiksi (Ev. Ivan Kristiono di dalam National Reformed Evangelical Youth Convention 2006 mengajarkan : in God, there is no contradiction/di dalam Allah, tidak ada kontradiksi). Mengapa Allah tidak berkontradiksi ? Karena hanya Dia saja yang setia, bertanggungjawab, jujur, berada pada diri-Nya dan kekal. Di dalam hidup manusia (khususnya para skeptisis), jawaban satu-satunya hanya di dalam Allah yang tak perlu lagi diragu-ragukan. Ketika manusia mulai meragukan Allah, maka hidup orang itu pasti tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Materialisme juga harus dihakimi dengan konsep Allah sebagai Sumber, mengapa ? Karena materialisme menjadikan materi sebagai tolok ukur “kebenaran”, padahal Allah menciptakan materi itu untuk dikuasai oleh manusia. Materialisme membalik posisi ini (manusia dikuasai materi) dan itu tetap adalah dosa. Konsep Allah sebagai Sumber juga mengkritisi pandangan otoritarianisme yang menjadikan manusia sebagai sumber (otoritas manusia). Layakkah manusia dijadikan standar kebenaran/otoritas yang sah ? TIDAK. Mengapa ? Karena manusia adalah makhluk yang menurut Pdt. Dr. Stephen Tong ada dalam tiga kondisi : dicipta (created), terbatas (limited) dan terpolusi oleh dosa (polluted). Sebagai manusia yang dicipta, manusia harus taat dan tunduk kepada Sang Pencipta ; sebagai manusia yang terbatas, manusia memiliki unsur-unsur kefanaan sehingga harus bergantung kepada Allah yang Kekal ; dan sebagai manusia yang berdosa, manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan lemah sehingga membutuhkan Allah yang menebus dosa-dosa mereka di dalam Kristus Yesus. Ketiga kondisi ini membuktikan bahwa manusia harus membutuhkan Allah sebagai Sumber, karena diri mereka tidak dapat disandari ! Otoritas sejati bukan di tangan manusia, tetapi di tangan Allah sebagai Sumber, karena hanya Dia satu-satunya sebagai : Pencipta, Penebus dan Pengwahyu serta Penyempurna segala sesuatu. Konsep Allah sebagai Sumber juga menghakimi konsep berpikir dualisme yang mengajarkan bahwa hal-hal rohani tidak berhubungan dengan hal-hal jasmani. Dualisme itu jelas-jelas salah di titik pertama, mengapa ? Karena selain menyangkali Allah sebagai Pencipta, para penganut dualisme juga menyangkali Allah sebagai Sumber yang dari-Nya segala sesuatu itu berasal. Ketika Allah disebut Sumber, berarti Dia adalah Pusat yang tanpa-Nya tak mungkin ada manusia, benda-benda materi, binatang, tumbuhan, dll. Selain itu, sebagai Sumber, Allah juga berada/bergantung pada diri-Nya sendiri (self-reliance/self-dependence of God) yang tak memerlukan pribadi lain sebagai penopang diri-Nya (tak bergantung pada siapa dan apapun). Kalau dualisme itu “benar”, maka di titik pertama, mereka sudah menolak bahwa Allah sebagai Pusat segala sesuatu dan “beriman” bahwa diri manusia adalah pusat segala sesuatu yang sanggup mengatakan bahwa hal-hal rohani tak berhubungan dengan hal-hal jasmani. Kedua, para penganut dualisme menghina Allah sebagai Sumber dengan meletakkan Allah sebagai Pribadi yang hanya “sanggup” berkuasa di dalam area rohani, dan tidak di dalam area sekuler. Konsep ini sudah sesat luar biasa, mengapa ? Karena Allah sebagai Sumber adalah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu harus berpusatkan kepada diri-Nya yang layak disandari. Sehingga hal-hal jasmani seperti ilmu politik, sains, ekonomi, sosial, hukum, dll harus berpusat pada Allah dan Firman-Nya (Alkitab). Dengan demikian, orang Kristen yang beres pasti dan harus mengerjakan mandat budaya yaitu membawa seluruh kebudayaan manusia berdosa kembali kepada Kristus (untuk ditundukkan kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus dan Alkitab).


ketiga, Allah yang Berdaulat adalah Pemelihara. Bukan hanya sebagai Pencipta dan Sumber, Ia juga sebagai Pemelihara segala sesuatu. Konsep deisme mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, maka Ia “cuek” dan meninggalkan ciptaan-Nya itu. Hal ini tidak diajarkan oleh Alkitab, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Ia memelihara ciptaan-Nya. Buktinya, kalau Allah tidak memelihara alam semesta ciptaan-Nya, maka jarak antara bumi dan matahari bisa bergeser menjadi 130 juta km yang mengakibatkan kita bisa terbakar (gosong) atau bergeser menjadi 200 juta km yang mengakibatkan kita bisa membeku (menjadi es). Tetapi puji Tuhan, Ia memelihara ciptaan-Nya, bahkan manusia pilihan-Nya. Rasul Paulus di dalam Efesus 1:4-5 mengajarkan bahwa Allah memilih kita di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan menurut kerelaan kehendak-Nya. Bukan hanya memilih, Ia jugalah yang : merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, menggenapkan keselamatan itu di dalam pribadi Kristus dan menyempurnakannya sampai akhir melalui karya Roh Kudus, sehingga Calvinisme berani mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya (anak-anak Tuhan) mutlak tidak bisa hilang (baca : Yohanes 6:37, 39-40 ; 10:27-30). Mengapa Calvinisme berani menyimpulkan hal ini ? Bukankah Arminianisme atau separuh Calvinisme (termasuk salah satunya, sebagian besar Katolikisme) mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus bisa hilang karena orang “Kristen” tersebut yang sudah “diselamatkan” murtad ? TIDAK ! Calvinisme berani menyimpulkan hal ini karena Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah di mana Allah yang telah memulai rencana keselamatan Allah, Ia pulalah yang pasti akan menyempurnakannya kelak melalui karya Roh Kudus. Menolak paham ini bukan hanya menolak pandangan Calvinisme tetapi menolak berita Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah itu tidak pernah berubah atau kekal dan juga menjunjung tinggi manusia lebih daripada Allah (seolah-olah Allah “kewalahan” ketika manusia ingin murtad ; dengan kata lain, Arminianisme dan kroni-kroninya menghina Allah dan meletakkan posisi manusia di atas Allah). Jika Arminianisme menghina Allah, layakkah ajaran/theologia ini dianut oleh orang Kristen yang beres dan bertanggungjawab ? Silahkan pikirkan sendiri.

Konsep Allah sebagai Pemelihara mengkritisi pandangan rasionalisme. Rasionalisme yang mengajarkan bahwa rasio adalah tolok ukur “kebenaran” sebenarnya sudah salah, mengapa ? Karena para rasionalis menganggap bahwa hanya rasio manusia yang dapat mengatur segala sesuatu, padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa abad rasionalisme diakhiri dengan Perang Dunia 1 dan 2 (1942-1945). Ini adalah kegagalan rasionalisme mengatur sejarah, sebaliknya orang Kristen sejati harus kembali kepada Allah sebagai Pemelihara yang memelihara ciptaan-Nya khususnya umat pilihan-Nya yang telah ditebus oleh Kristus sampai kepada tahap kesempurnaan kelak. Sejarah adalah bukti bahwa Allah memelihara ciptaan-Nya. Ada suatu istilah yang bagus yaitu : History (=sejarah) adalah His-story (kisah-Nya). Belajar dari sejarah adalah belajar bahwa Allah memelihara segala sesuatu. Orang yang tak pernah belajar sejarah adalah orang yang konyol, karena biasanya orang yang sama mengulangi kesalahan yang sudah pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya, misalnya para pemuja unitarianisme yang mati-matian membela bahwa Allah itu hanya satu pribadi (mereka membangun doktrin gila ini agar menurut mereka, “iman” Kristen dapat menjadi “berkat” bagi orang-orang Islam/motivasinya untuk dialog antar agama), sebenarnya konsep mereka sudah ditentang dan dinyatakan sebagai bidat (ajaran sesat) oleh para bapa gereja. Selain itu, otoritarianisme dunia harus dihakimi dengan konsep Allah sebagai Pemelihara. Sungguh aneh, otoritarianisme yang mengajarkan bahwa pentingnya otoritas bukan direferensikan kepada Allah, tetapi kepada manusia dan segala atribut berdosanya, lalu mereka berpikir bahwa mereka bisa mengatur segala sesuatu. Kenyataannya ? Nihil ! Manusia bukan saja tidak bisa mengatur segala sesuatu, bahkan banyak manusia malahan merusak segala sesuatu yang telah diciptakan Allah, sehingga bencana alam (seperti banjir, dll) sering terjadi. Ini membuktikan otoritas manusia dan atribut-atributnya itu palsu dan marilah kita sebagai orang Kristen kembali kepada otoritas sejati yaitu Allah sebagai Pemelihara yang memelihara ciptaan-Nya. Ketika kita beriman di dalam Allah yang memelihara, maka hidup kita akan tenang meskipun menghadapi marabahaya sekalipun. Mengapa ? Karena kita percaya di dalam pemeliharaan (providensia) Allah yang akan menuntun dan memimpin anak-anak-Nya menghadapi kesulitan ujian hidup. Kemudian, konsep Allah sebagai Pemelihara mengkritisi pandangan dualisme. Dualisme jelas-jelas salah karena mereka menganggap Allah tidak sanggup (lebih tepatnya : “kewalahan”) memelihara ciptaan-Nya, sehingga mereka berpikir bahwa mereka dan hukum alam lah yang mengatur semuanya. Pandangan ini mirip dengan deisme (lihat penjelasannya di atas). Allah yang mencipta tentu adalah Allah yang memelihara, karena Ia adalah Allah yang setia dan bertanggungjawab, tidak seperti manusia yang omong besar tetapi hasilnya nol besar (alias tidak setia plus tidak bertanggungjawab, lalu menggunakan dalih “hak asasi manusia”) !


keempat, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang Mahakuasa. Dengan sangat bijaksana, hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong mengaitkan konsep ini. Seringkali, banyak gerakan/“theologia” Karismatik/Pentakosta selalu menekankan bahwa Allah itu Mahakuasa, maka Ia menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll. Itu tidak salah, tetapi salah motivasi. Tuhan bisa menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi ingatlah, semua itu dilakukan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya. Dengan kata lain, meskipun Ia pasti mampu menyembuhkan penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi Ia juga bisa tidak mau menyembuhkan penyakit, dll, karena itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Meniadakan kedaulatan Allah dan hanya menekankan ke“Mahakuasa”an Allah yang diselewengkan artinya bisa berakibat fatal, yaitu menjadikan Tuhan sebagai “pembantu/budak” kita (padahal kita lah pembantu/budak Allah). Selain itu, Pdt. Dr. Stephen Tong juga mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa seringkali dimengerti sebagai Allah yang bisa melakukan segala sesuatu, tetapi beliau mengingatkan bahwa hanya ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh Allah, yaitu berdosa (karena Allah itu Mahakudus tak mungkin berbuat dosa). Dengan kata lain, beliau mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang rela membatas diri-Nya sendiri agar sesuai dengan Firman-Nya. Jadi, adalah salah jika banyak pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengatakan bahwa di zaman ini ada “wahyu-wahyu” baru yang “melengkapi” Alkitab ! Mengapa ? Karena Allah sejati rela membatas diri-Nya dengan Firman Tuhan/Alkitab (2 Tim. 3:16-17) dan barangsiapa yang berani menambahi ayat-ayat Alkitab, kepadanya akan diberikan lagnat (baca : Wahyu 22:18-19).

Konsep Allah sebagai Allah yang Mahakuasa menghakimi beberapa filsafat dunia berdosa, di antaranya : pertama, rasionalisme. Rasionalisme menganggap bahwa rasio lah yang menjadi tolok ukur kebenaran. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak masuk akal tidak dapat disebut kebenaran. Fakta dari Alkitab membuktikan bahwa terlalu banyak hal-hal di luar sana yang kelihatannya tidak masuk akal, sebenarnya masuk akal dan kebenaran, mengapa ? Karena apa yang dipikir manusia sebenarnya terbatas dan sudah jatuh ke dalam dosa dan kebenaran-kebenaran di luar akal manusia itu lah kebenaran sejati dari Allah di dalam Alkitab. Misalnya, tentang mujizat. “Theologia” liberal (dipengaruhi rasionalisme) tidak mempercayai adanya mujizat, karena bagi mereka, mujizat itu tidak masuk akal (irasional), tetapi kenyataannya bukan demikian. Mujizat sejati bukan irasional, tetapi supra-rasional (melampaui akal). Dengan kata lain, mujizat sejati merupakan bukti intervensi Yang Kekal (Allah) pada dunia materi/ciptaan yang bersifat fana, dan intervensi Allah ini tidak memerlukan persetujuan dari manusia berdosa ! Contoh lainnya yaitu cinta. Bagi orang rasionalis, cinta itu tidak masuk akal, karena tidak bisa diselidiki di dalam laboratorium. Padahal secara tidak sadar, para rasionalis ini memiliki cinta yaitu cinta pada hal-hal yang dipikirkannya. Cinta sejati bersumber dari Allah yang Mahakuasa yang rela mengasihi dunia berdosa dengan mencipta mereka dan menebus umat pilihan-Nya serta menyempurnakan mereka. Itu semua adalah bukti kasih Allah yang Mahakuasa. Kedua, empirisisme. Empirisisme yang meletakkan pengalaman sebagai tolok ukur kebenaran mungkin sedikit memiliki signifikansi di dalam Kristen yaitu bagaimana mengalami Allah, tetapi sayangnya mengalami Allah tidak sama dengan mengalami dan mempercayai keMahakuasaan Allah. Apa bedanya ? Mengalami Allah adalah mengalami hadirat dan penyertaan-Nya, mungkin juga mengalami keMahakuasaan Allah, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” yang mengklaim mengalami Allah (bahkan keMahakuasaan Allah) tidak mau menaklukkan diri di bawah-Nya. Dengan kata lain, empirisisme jatuh ke dalam presuposisi pengalaman tanpa adanya otoritas Allah di dalamnya. Ini yang mengakibatkan empirisisme dunia maupun yang sudah masuk ke dalam keKristenan menjadi kacau dan membingungkan. Sudah saatnya orang Kristen kembali kepada presuposisi iman yang bertanggungjawab yaitu beriman di dalam Allah yang Mahakuasa lalu merelakan diri taat dan tunduk mutlak kepada-Nya serta mengalami penyertaan, hadirat dan pimpinan-Nya setiap saat. Pengalaman sejati tanpa disertai dengan otoritas iman yang bertanggungjawab akan mengakibatkan pengalaman itu tanpa arah yang jelas, karena pengalaman itu subjektif, sedangkan iman adalah anugerah Allah yang objektif dan bertanggungjawab. Ketiga, otoritarianisme. Otoritarianisme dunia menganggap bahwa manusia dan atribut-atributnya yang memegang kendali sebagai kebenaran, sehingga mereka menggeser segala sesuatu di luar dirinya yang layak dijadikan otoritas. Misalnya, para pemimpin dunia yang kejam, dari Adolf Hitler, dan para penguasa komunis di Rusia, Tiongkok, dll adalah manusia-manusia yang merasa layak menjadi otoritas “tertinggi” yang mengatur dunianya, tetapi sayangnya Allah yang Mahakuasa sebagai Pemilik Otoritas yang tentu lebih besar dan agung menghancurkan otoritas mereka. Di Tiongkok, meskipun asasnya adalah komunisme, tetapi sebagian besar komunisme sudah hilang (masih ada sedikit remah-remah komunisme di Tiongkok). Hal ini terbukti dengan masuknya agama-agama di Tiongkok. Di Rusia dan negara-negara yang bekas komunis, keKristenan dan misionaris masuk dan memberitakan Injil. Itu semua membuktikan bahwa otoritas manusia itu dangkal, sedangkan Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang berkuasa mutlak pada dunia, sehingga hanya Dia saja yang layak dijadikan otoritas absolut. Keempat, materialisme. Para materialis menganggap bahwa materi itu segala-galanya. Bahkan di dalam buku Robert T. Kiyosaki, orang dituntut untuk sesegera mungkin pensiun dini, pensiun kaya (Retired Young, Retired Rich). Benarkah materi itu segala-galanya? Sekali lagi, Allah yang Mahakuasa menyatakan diri bahwa materi itu bukan segala-galanya dengan cara mengambil materi itu. Contoh di dalam Alkitab, Ayub adalah seorang yang kaya tetapi puji Tuhan, ia tak menyandarkan diri pada materi, tetapi pada Allah, sehingga ketika Allah mengujinya dengan mengambil seluruh harta dan bahkan anak-anaknya serta megnizinkan ia memiliki penyakit, ia tetap berharap dan beriman pada Allah. Iman di dalam Ayub merupakan teladan bagi kita bagaimana kita tidak mendasarkan hidup pada materi yang dapat binasa, tetapi di dalam dan hanya pada Allah yang Mahakuasa. Kelima, dualisme. Menurut dualisme, “Allah” seolah-olah hanya berkuasa di dalam dunia religius/rohani, dan tidak pada dunia materi. Hal ini dilatarbelakangi oleh presuposisi Gnostisisme dan berakar pada filsafat Plato yang mendikotomikan antara hal-hal jasmani yang jahat dan hal-hal rohani yang baik. Alkitab dengan tegas menolak paham atheis ini dan mengajar bahwa tubuh dan jiwa adalah sama-sama ciptaan Allah. Lalu, ciptaan Allah ini membuktikan bahwa Allah itu Mahakuasa sehingga mampu memakai tubuh yang dipandang manusia sebagai jahat untuk menggenapi kehendak-Nya. Contohnya, inkarnasi Kristus membuktikan bahwa Allah yang Mahakuasa yang tidak terbatas berkuasa untuk membatas diri-Nya dengan menggunakan tubuh sebagai sarana untuk menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, dualisme gagal di titik pertama. Keenam, pantheisme. Menurut pantheisme, manusia itu juga adalah “allah”, tetapi benarkah demikian ? Kalau manusia adalah “allah”, berarti mereka juga “mahakuasa”, tetapi kenyataannya di dalam banyak hal, manusia bukan saja tidak “mahakuasa”, malahan manusia sangat banyak memiliki kelemahan. Contohnya, tidak ada seorangpun yang mampu menyelesaikan perang antara Israel dan Palestina. Demikian juga, lumpur LAPINDO di Porong tak ada yang mampu menyelesaikannya. Tidak usah terlalu jauh, ketika tsunami datang, manusia yang selalu menganggap diri “allah yang mahakuasa” ternyata juga mati diterjang air ini. Semua itu membuktikan bahwa manusia tidak pernah “mahakuasa” dan mereka pasti membutuhkan Allah yang Mahakuasa !


kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden berarti Allah yang jauh di sana, yang tak terjangkau oleh manusia, sedangkan Allah yang imanen adalah Allah yang dekat dengan kita/manusia. Agama-agama dan filsafat-filsafat dunia selalu tidak seimbang dalam menekankan bagian ini. Mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Abraham Kuyper di dalam bukunya “Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Lectures on Calvinism)”, ada tiga macam agama/posisi doktrinal yang besar yang mewakili penyimpangan-penyimpangan ketidakseimbangan konsep antara ketransendenan dan keimanenan Allah, yaitu pertama, Paganisme atau agama kafir/tradisional yang mencari Allah di dalam ciptaan. Paganisme meliputi kepercayaan Animisme, Dinamisme, Pantheisme, Hinduisme dan Buddhisme. Hal ini nantinya mempengaruhi Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) di abad postmodern yang gila ini yang mengajarkan bahwa manusia itu adalah “allah” kecil (little gods). Konsep pikir ini sama sekali absurd, karena Allah dan ciptaan adalah sesuatu yang berbeda (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya : perbedaan kualitatif/qualitative difference). Kalau Allah identik dengan ciptaan, maka apa gunanya ciptaan menyembah Allah, kalau toh Allah yang disembah itu adalah manusia/ciptaan juga. Hal ini menggenapi apa yang filsuf Ludwig Feuerbach ajarkan bahwa “Allah” diciptakan menurut peta teladan manusia (bukannya manusia yang diciptakan menurut peta teladan Allah). Agama kedua adalah Islam. Di dalam Islam, Dr. Kuyper mengatakan bahwa Allah diisolasi dari ciptaan. Artinya, Allah itu transenden dan tidak imanen. Sehingga, kalau mau menghampiri “Allah”, mereka harus berteriak keras dahulu, baru “Allah”nya mendengar seruan mereka. Sungguh amat sangat mengasihankan. Konsep mereka persis seperti para nabi Baal yang ditantang oleh Nabi Elia di dalam 1 Raja-raja 18:22-41. Mari kita simak kisah ini. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Ahab yang tidak takut akan Tuhan yang tidak mempercayai perkataan Elia, lalu menantang Elia dengan mengirimkan 450 nabi Baal. Elia menantang 450 nabi Baal, “biarlah kamu memanggil nama allahmu dan akupun akan memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!” (1 Raj. 18:24). Maka, 1 Raja-raja 18:26 mencatat tentang tindakan para nabi Baal, “Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu.” Bukankah ini persis seperti yang dilakukan oleh kerabat “dekat” kita yang sering pergi ke Mekkah itu ? Apa jawab Elia ? Perhatikan ayat 27 dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Berdoalah lebih keras! Ia ilah, bukan? Mungkin ia sedang melamun, atau ke kamar kecil. Boleh jadi juga ia sedang bepergian! Atau barangkali ia sedang tidur, dan kalian harus membangunkan dia!” Lalu, para nabi Baal itu “berdoa lebih keras lagi. Dan seperti yang biasanya mereka lakukan, mereka menggores-goresi badan mereka dengan pedang dan tombak sampai darah bercucuran. Begitulah mereka terus-menerus sampai petang hari seperti orang kesurupan. Tetapi tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memperhatikan.” (1 Raj. 18:28-29 ; BIS) Kemudian, Elia berkata, “Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1 Raj. 18:36-37) Lalu, ayat 38 mencatat, “Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya.” Bagaimanakah respon rakyat dan Elia setelah melihat kejadian itu ? Ayat 39-40 mencatat, “Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!" Kata Elia kepada mereka: "Tangkaplah nabi-nabi Baal itu, seorangpun dari mereka tidak boleh luput." Setelah ditangkap, Elia membawa mereka ke sungai Kison dan menyembelih mereka di sana.” Bukankah konsep agama kedua ini sangat mengasihankan karena manusia yang sudah diciptakan Allah ternyata tidak mengetahui dan mengenal siapa Allahnya. Agama ketiga yang tidak seimbang menekankan konsep ini adalah Katolik Roma yang mengajarkan bahwa Allah dapat bersekutu dengan ciptaan melalui sarana hubungan pengantara yang mistis, yaitu Gereja (lembaga yang kelihatan dan nyata). Dengan kata lain, Gereja adalah pengantara Allah yang bersekutu dengan umat-Nya. Permasalahannya adalah ketika gereja berbuat salah atau mengajarkan doktrin yang kacau/salah, maka bukankah umat-Nya akan menganggap Allah itu juga kacau/salah. Tidak ada jalan lain, hanya theologia Reformed/Calvinisme yang berani menerobos problematika tersebut dengan menekankan keseimbangan antara Allah yang transenden dan imanen. Dr. Kuyper mengaitkan keseimbangan ini sebagai syarat pertama bagi satu sistem kehidupan yang nyata. (Kuyper, 2005, pp. 15-16) Konsep ini dapat diimplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menyadari bahwa Allah kita transenden sekaligus imanen, hal ini mengakibatkan kita semakin takut menghampiri hadirat-Nya sekaligus bersukacita karena kita telah ditebus oleh Kristus. Ibadah/kebaktian yang beres harus memadukan dua unsur ini, tidak boleh berat sebelah.

Allah yang transenden sekaligus imanen jelas melampaui pandangan rasionalisme. Rasionalisme yang mengilahkan rasio tak mungkin dapat memikirkan konsep bahwa Allah itu transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan umat-Nya). Dengan kata lain, konsep ini jauh melampaui pandangan manusia berdosa, tetapi sangat berarti. Allah yang tidak transenden tetapi imanen mengakibatkan Allah dan manusia tidak ada bedanya, sedangkan Allah yang transenden tetapi tidak imanen mengakibatkan Allah terkesan “angker”, menakutkan, dll. Konsep ini berdampak pada kehidupan sehari-hari yaitu adanya kesetaraan dan kebertingkatan. Dalam dunia ini, semua mau sama, yaitu antara bos dan karyawan memiliki hak yang sama. Tetapi mungkinkah ? TIDAK. Karena bos adalah bos yang harus dilayani, sedangkan karyawan adalah orang yang melayani bos. Ordo tetap adalah ordo/urutan, tetapi ordo tidak hanya berhenti pada ordo, melainkan ada kesetaraan. Artinya, meskipun bos lebih tinggi dari karyawan, bos tidak boleh mempermainkan karyawan seperti binatang, karena bos dan karyawan sama-sama manusia. Bos yang baik meskipun tetap mempertahankan jabatan tetapi ia bisa turun dan berbaur dengan pegawainya (tanpa harus mengorbankan jabatannya). Begitu indahnya konsep transenden dan imanen dari Allah kita. Selain rasionalisme, Allah yang transenden sekaligus imanen jauh melampaui konsep empirisisme. Empirisisme di dalam keKristenan diwakili oleh banyak gerakan Kristen kontemporer yang pop, sehingga yang dipentingkan adalah mengalami hadirat Allah. Padahal Alkitab jelas mengatakan bahwa mengalami Allah harus berangkat dari pengenalan akan Allah yang Mahakudus. Raja Daud berani menuliskan pengalaman pribadinya dengan Allah di dalam kitab Mazmur, setelah ia mengenal kekudusan dan kebenaran-Nya. Ayub berani bersyukur kepada-Nya karena ia telah mengenal dan mengalami pimpinan, kebenaran, kehendak dan kekudusan-Nya di dalam setiap pencobaan yang dialaminya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa otoritas yang membuktikan bahwa Allah itu transenden tidak boleh dilepaskan dari imanensi Allah. Melepaskan kedua hal ini berarti menghina Allah yang berdaulat. Dalam hal ini, otoritarianisme juga dikritik oleh pandangan Allah yang transenden dan imanen. Otoritarianisme selalu menuntut otoritas. Memang tidak salah ketika otoritas ditegakkan, tetapi ada bahaya jika terlalu mengilahkan otoritas. Misalnya, di dalam tradisi Tiongkok, seorang istri diperlakukan sebagai warga kelas dua, sehingga (mengutip pengajaran dari Pdt. Dr. Stephen Tong) di dalam tradisi filsafat Kong Hu Cu, jika ada seorang istri yang tidak bisa melahirkan anak bagi sang suami, adalah salah satu penyebab sang suami boleh menceraikan istrinya (selain ada sebab-sebab lain suami boleh menceraikan istri, misalnya istri cerewet, dll). Ketika otoritas diberhalakan, maka tidak ada lagi etika, cinta kasih dan kebertanggungjawaban. Hal ini ditentang oleh konsep Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden dan imanen adalah Allah yang tetap memberikan perintah kepada umat-Nya untuk ditaati tetapi Ia juga lah yang memimpin mereka melalui kuasa Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya untuk menjalankan perintah-Nya. Tidak ada filsafat, agama, ilmu, dll yang seindah dan seagung iman Kristen ! Puji Tuhan !



keenam, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pengwahyu. Allah yang Berdaulat bukan hanya transenden dan imanen, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai wujud imanensi Allah. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya di dalam dua sarana, yaitu wahyu umum yang diwahyukan kepada semua manusia tanpa kecuali melalui hati nurani dan alam (diresponi oleh manusia dengan menciptakan agama dan kebudayaan), dan wahyu khusus yang diwahyukan hanya kepada umat pilihan-Nya melalui sarana Tuhan Yesus Kristus (tak tertulis) dan Alkitab (tertulis). Maksud dari pewahyuan ini agar manusia mengenal Allah, tetapi wahyu umum Allah yang diresponi manusia ternyata tak sanggup mengenal siapa Allah sesungguhnya (karena adanya bibit dosa di dalam manusia yang akhirnya mempengaruhi respon manusia terhadap wahyu umum Allah), sehingga Allah harus mewahyukan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Di dalam Calvinisme, wahyu khusus selalu dimengerti sebagai wahyu tertinggi dan mutlak yang melampaui semua respon terhadap wahyu umum Allah, sehingga di dalam segala hal, Alkitab dan Kristus dipandang sebagai penentu, penghakim dan sumber dari semua agama, ilmu, kebudayaan, dll. Menolak konsep ini sama dengan menolak Alkitab dan Kristus, serta menolak Allah yang telah mewahyukan diri-Nya.

Konsep Allah sebagai Pengwahyu mengkritik dan menghakimi beberapa pandangan dunia : pertama, rasionalisme. Rasionalisme di titik pertama jelas menolak konsep pewahyuan/penyataan diri Allah, karena bagi para rasionalis, wahyu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Sebenarnya bukan tidak masuk akal, hanya akal manusia saja yang tak sanggup menampungnya. Justru ketika Allah menyatakan diri-Nya, di saat itu pula kita mengenal sumber dari rasio kita yaitu Allah. Kedua, otoritarianisme. Otoritarianisme dunia selalu menempatkan diri manusia dan materi sebagai otoritas tertinggi. Padahal Allah yang menyatakan diri-Nya lah yang patut menjadi otoritas tertinggi. Mengapa ? Karena sumber kebajikan, keadilan, kejujuran, dll datang dari Allah yang menyatakan diri sebagai Sumber Kasih, Kebajikan, Keadilan, Kebenaran, Kejujuran, dll hanya di dalam Alkitab. Sehingga adalah sangat layak ketika Allah Pengwahyu diletakkan sebagai Otoritas sejati yang mengalahkan segala otoritas palsu duniawi. Ketiga, skeptisisme. Skeptisisme adalah filsafat yang meragukan segala sesuatu, tetapi herannya tidak pernah meragukan keragu-raguannya. Orang bisa meragukan segala sesuatu karena berbagai alasan, salah satunya tidak mengerti. Tetapi tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk menjadi seorang skeptis, mengapa ? Karena orang Kristen sejati yang merupakan umat pilihan-Nya telah menerima penyataan diri Allah secara khusus melalui Kristus dan Alkitab, sehingga tak boleh ada keragu-raguan di dalam hidupnya. Meragukan Kristus dan Alkitab sama artinya dengan meragukan dan menghina Allah yang telah menyatakan diri. Keempat, relativisme. Relativisme yang bisa dilatarbelakangi oleh skeptisisme mempercayai bahwa segala sesuatu itu relatif/sama. Bagi orang Kristen, hal ini salah, mengapa ? Karena kita beriman bahwa kita telah menerima penyataan diri Allah secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab yang membedakan iman Kristen dengan iman lainnya. Bukan hanya membedakan dari iman agama lain, iman Kristen adalah satu-satunya iman yang bersumber dari anugerah Allah yang agung di dalam Kristus, sehingga kita boleh beriman bahwa di luar iman Kristen di dalam Kristus mutlak tidak ada keselamatan dan jalan keluar dari dosa. Orang Kristen bahkan “pemimpin gereja” yang masih memuja relativisme sebenarnya belum mengenal dan mengerti wahyu khusus Allah, melainkan masih meraba-raba di dalam wahyu umum Allah (hati nurani dan alam semesta), sehingga orang ini tidak layak disebut Kristen/pengikut Kristus. Kelima, pragmatisme. Pragmatisme selalu berpusat pada tujuan yang mengenakkan manusia. Konsep ini TIDAK boleh menjadi “iman” bagi orang Kristen sejati, karena konsep ini sudah salah, mengapa ? Karena bagi seorang pragmatis, kalau sesuatu tidak menguntungkan, maka sesuatu itu dianggap tidak benar. Misalnya, ketika ada seorang yang menegur dirinya, dia langsung marah, karena itu tidak menguntungkan dirinya, tetapi kalau ada orang yang menyanjung dirinya, dia langsung gembira, karena itu menguntungkan dirinya. Padahal teguran dari seseorang yang beres mengakibatkan kebaikan bagi orang yang ditegur. Misalnya, ketika seseorang ditegur untuk tidak boleh merokok, otomatis, orang yang menegur ini mengerti bahwa merokok mengakibatkan penyakit kanker, impotensi, dll. Orang yang normal pasti mematuhi orang yang menegur ini. Bagi orang Kristen, teguran yang berdasarkan Firman Allah membawa kita semakin mendekat kepada Allah dan mengenal-Nya dan firman-Nya. Apalagi ketika Alkitab menegur kita, itu membuktikan Firman Allah sangat mengasihi kita sehingga kita tidak tersandung pada hal-hal yang membuat kita menjauh dari-Nya. Keenam, materialisme. Materialisme selalu berpusat pada materi dan hal-hal duniawi. Konsep ini lemah, karena menurut wahyu Allah, sebenarnya materi itu dikuasai oleh manusia dan manusia dikuasai Allah. Dan benar ketika kita taat pada wahyu Allah di dalam Alkitab, hidup kita semakin lama semakin bersukacita. Sedangkan bagi mereka yang tidak taat bahkan menghina Alkitab, hidup mereka bukan tambah bersukacita, malahan mereka pasti tambah menderita dan bahkan teraniaya, karena yang menjadi pusat hidupnya adalah uang dan materi. Ketujuh, dualisme. Dualisme selalu mendikotomikan antara hal-hal jasmani dan rohani. Padahal, Allah sebagai Pengwahyu adalah dasar dan sumber dari semua hal, sehingga bidang-bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dll harus kembali kepada Allah. Ketika seorang “Kristen” memegang dualisme dengan meniadakan aspek iman di dalam semua bidang kehidupan, percayalah, orang tersebut pasti gagal dan mengalami jalan buntu dari keterbatasan ilmu dan otak manusia. Tetapi ketika seorang Kristen menolak dualisme dan menjalankan mandat budaya dengan menjadikan iman Kristen dan Alkitab sebagai sumber kebenaran bagi semua bidang kehidupan, maka orang tersebut akan bersukacita dan memberikan pengaruh. Mengapa Dr. Abraham Kuyper, seorang theolog Reformed/Calvinis berhasil menjadi perdana menteri Belanda (meskipun hanya beberapa saat) ? Karena beliau adalah seorang Calvinis yang menjalankan mandat budaya. Mengapa negara-negara/daerah-daerah yang dipengaruhi oleh Calvinisme dan Reformasi, seperti Jerman, Belanda, Swiss, Geneva, dll memproduksi barang-barang yang bermutu tinggi, seperti arloji Rolex, mobil Mercedes Benz, dll ? Karena mereka menjalankan mandat budaya dengan mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan. Justru ketika seorang bertheologia Reformed yang mempercayai wahyu khusus Allah, kita dapat membawa sebanyak mungkin orang Kristen bahkan orang dunia untuk membenahi apa yang salah dengan dasar sesuatu yang benar (sebenarnya). Kedelapan, pantheisme. Allah yang mewahyukan diri-Nya tidak mungkin dapat diselami oleh seorang pantheis yang meniadakan perbedaan antara Allah dan manusia. Kalau pantheisme “benar”, maka dunia ini bakal kacau, mengapa ? Karena semua adalah “allah”, maka semua mengerjakan apa yang dianggap baik, padahal apa yang dianggap baik oleh A belum tentu dianggap baik oleh B, C, dll. “Allah” seperti ini bakal kacau dan memukul diri sendiri. Tetapi puji Tuhan, Allah kita adalah Allah yang menyatakan diri-Nya yang berbeda total dari manusia sebagai ciptaan-Nya yang mulia sekaligus berdosa. Penyataan diri Allah membuat kita sadar bahwa diri kita lemah, terbatas dan berdosa, sehingga kita membutuhkan Allah. Tanpa adanya wahyu, kita bisa tersesat dan merasa diri hebat, padahal tidaklah demikian.


ketujuh (terakhir), Allah yang Berdaulat adalah Allah Trinitas. Wujud penyataan diri secara khusus dari Allah kepada umat pilihan-Nya selain Kristus dan Alkitab adalah Allah Trinitas, yaitu 1 esensi Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda, yaitu Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang menggenapkan satu tujuan ultimat Allah. Agama mayoritas di Indonesia dan kaum unitarian (percaya pada ketunggalan Allah/Allah yang hanya satu pribadi ; salah satunya diwakili oleh Frans Donald) menyanggah doktrin Trinitas dengan mengajukan argumentasi konyol, misalnya : Allah itu harus satu, tidak ada yang mengajarkan bahwa Allah memiliki anak, dll. Argumentasi-argumentasi ini saya katakan konyol, karena sama sekali tidak berdasar. Apalagi yang berani mengajukan argumentasi ini adalah orang “Kristen” unitarian, bagi saya, tambah konyol. Memang di dalam Alkitab, tidak ada pernyataan eksplisit tentang Trinitas, tetapi secara implisit, pasti ada. Matius 28:19 jelas menunjukkan konsep Trinitas, “...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” Bagi mereka yang mengerti bahasa Inggris, di dalam terjemahan Inggris (baik itu King James Version, International Standard Version, dll), kata “nama” menggunakan bentuk tunggal (name) dan masing-masing pribadi Allah diselipkan kata the yang menunjukkan pribadi Allah yang berbeda. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost:” Seharusnya, kalau ada tiga pribadi, Alkitab memakai bentuk jamak pada kata “name”, tetapi herannya terjemahan Alkitab Inggris menggantinya dengan bentuk tunggal, ini membuktikan bahwa Allah itu memiliki tiga pribadi yang masing-masing berbeda tetapi tetap satu esensi. Allah Trinitas memang tidak bisa dimengerti secara logika manusia yang terbatas (meskipun selalu dianggap “hebat”, “pintar”, dll), tetapi Allah Trinitas dimengerti melalui iman yang bersumber pada Kebenaran Allah (Truth) yang menuntun sekaligus menundukkan rasio. Atau menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, iman adalah penundukkan/pengembalikan rasio kepada Kebenaran. Lalu, apakah Alkitab tidak mengajarkan bahwa Allah memiliki Anak ? Jelas, Alkitab mengajarkannya, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (Mazmur 2:7). Mazmur ini disebut Mazmur Mesianik. Kalau mereka mengatakan bahwa Allah itu tidak mungkin tiga pribadi tetapi tetap satu, berarti mereka secara tidak sadar sedang mengkotakkan/membatasi Allah yang tidak terbatas dan Berdaulat adanya. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang mampu melakukan apa saja yang tidak melawan natur-Nya. Untuk itu, manusia tak memiliki hak sedikitpun untuk mengkomplain kedaulatan Allah. Ketika manusia berani meragukan Allah, itu sudah berdosa. Perhatikanlah kisah Adam dan Hawa sebelum mereka akhirnya jatuh ke dalam dosa, di mana ketika setan membalikkan perkataan Allah lalu mengatakan bahwa semua buah dari pohon ini tidak boleh dimakan, kecuali buah pohon pengetahuan baik dan jahat, Hawa mulai meragukan perkataan Allah meskipun menyanggah perkataan setan. Lalu, keraguan Hawa mulai bertambah ketika setan memberitahukan bahwa ketika makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, ia tak akan mati, tetapi akan sama seperti Allah, tahu yang baik dan jahat. Keraguan dua tahap ini lah mengakibatkan Hawa akhirnya berdosa. Hal yang sama juga terjadi ketika manusia dunia mulai mencoba meragukan Allah yang seharusnya tidak perlu diragukan. Allah Trinitas adalah Allah yang layak dipercaya, oleh karena itu berimanlah di dalam-Nya, dan jangan meragukannya.

Konsep Allah Trinitas menyerang pandangan rasionalisme. Di dalam hal ini, rasionalisme mempengaruhi unitarianisme yang mempercayai bahwa Allah itu hanya satu pribadi karena bagi mereka, Allah yang esa dan berpribadi tiga itu tidak masuk akal. Kembali, kata “tidak masuk akal” muncul untuk mengisolasi dirinya dari kebenaran Alkitab. Memang jika dipikir secara nalar rasional, Allah Trinitas sungguh aneh, tetapi sebenarnya tidak aneh, hanya karena otak kita yang terbatas, maka kelihatan aneh. Ibarat matematika dapat dipakai : ~ + ~ + ~ = ~ (bukan 3~). Tetapi ibarat ini tidak 100% sempurna, karena tidak ada satu ibarat dalam dunia ini yang sanggup menyamai Allah. Itu sebabnya Trinitas bukan tidak masuk akal, tetapi melampaui akal (suprarasional).




Setelah kita merenungkan ketujuh jawaban dari perspektif theologia Reformed dalam menyerang kesepuluh pandangan filsafat dunia, maukah kita dibangunkan dan diubah konsep berpikir kita bahwa segala sesuatu harus berpusat kepada kedaulatan Allah dan BUKAN pada ambisi manusia ?! Semoga artikel ini mencerahkan, menegur dan mengoreksi semua pemikiran kita yang salah serta membawa kita semakin mengenal kebenaran Alkitab dan bukan “kebenaran” manusia berdosa yang terbatas dan menyesatkan. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Amin.

1 comment:

Anonymous said...

The Top Ten
(10 daftar puncak ayat Alkitab yang mendasari ajaran Gereja)

Berikut adalah sepuluh daftar paling atas dari bagian di Alkitab, di mana gereja lain tidak bisa menjelaskan dengan baik tanpa mengadopsi pengajaran dari Gereja Katolik. Daftar ini bisa diperluas menjadi 20 paling atas, 50 paling atas, atau 100 paling atas, tetapi daftar 10 ini mencakup banyak hal dan dapat dengan mudah dimengerti sebelum dilakukan penjelasan ajaran (apologetik) yang lebih luas. Sepuluh daftar paling atas ini juga menyediakan pengenalan yang sempurna tentang pengajaran Gereja Katolik sebelum pembaca berusaha untuk mengkonsumsi lebih dari 2000 bagian Alkitab dan analisa di website ini (http://www.scripturecatholic.com).

Umat Katolik akan menjadi tahu dalam ayat-ayat ini sehingga mereka bisa secara efektif bersaksi tentang kebenaran dari Gereja. Gereja lain harus mengambil ayat-ayat ini secara mendalam sebagaimana mereka menghadapi tantangan kepercayaan mereka sendiri dan untuk menginvestigasi ajaran Gereja Katolik.

Tetapi kedua-duanya perlu ingat bahwa apologetik Katolik bukanlah berbicara tentang benar dan salah. Tetapi tentang berbagi kepenuhan dari kebenaran yang diberikan oleh Yesus Kristus kepada kita melalui GerejaNya yang Katolik dan Kudus. Kita juga percaya bahwa analisa ayat-ayat ini dan ayat yang lain di scripturecatholic.com menunjukkan bahwa pemahaman Gereja Katholik tentang Alkitab hampir selalu didasarkan pada makna literal dari kata-kata yang digunakan oleh penulis, suatu penafsiran paling layak dari berbagai cara penafsiran yang ada, dan posisi yang memberikan Yesus kemuliaan yang tinggi dengan menunjukkan kemurahan hati dan cintaNya yang tanpa batas kepada kita.

1. Matius 16:18-19/Yesaya 22:22 (Tentang Otoritas)
2. 1 Timotius 3:15 (Tentang Otoritas)
3. 2 Tesalonika 2:15 (Tradisi)
4. 1 Petrus 3:21 (Tentang Baptisan)
5. Yohannes 20:23 (Tentang Penguatan/Krisma)
6. Yohannes 6:53-58, 66-67 (Tentang Ekaristi)
7. 1 Korintus 11:27 (Tentang Ekaristi)
8. Yakobus 5:14-15 (Tentang Pengurapan)
9. Kolose 1:24 (Tentang Penderitaan)
10. Yakobus 2:24 (Tentang Perbuatan)

A. Otoritas

I. Matius 16:18-19 / Yesaya 22:22

Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
Mat 16:19 Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

YES 22:22 Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.

Dalam bahasa asli, kata jemaat dalam Mat 16:18 adalah Gereja (Yunani : Ekklesian/Ekklesia, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa "gereja" mengacu pada massa pengikut Kristen seluruh dunia, yang dengan bebas dihubungkan satu sama lain oleh iman mereka dalam Alkitab saja. Tetapi ayat ini menunjukkan bahwa "Gereja" yang didirikan oleh Yesus Kristus bukanlah suatu badan yang tak kelihatan dari pengikut bebas yang terhubung (loosely-connected), tetapi adalah suatu institusi yang hirarkis dan kelihatan yang dibangun di atas seseorang, Petrus. Seseorang yang diberi otoritas tertinggi, suatu badan dengan suksesi dinasti, dan diberikan ketidak-bersalahan (infallibility). Gereja ini Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Di dalam ayat-ayat ini, kita lihat berikut :

Pertama, Yesus membangun GerejaNya (“ekklesia”) di atas Petrus. Yesus mengubah nama Simon menjadi Kepha, dan berkata bahwa di atas "Kepha" ini Ia akan membangun Gereja. Kepha, dalam bahasa Aram (bahasa di mana Yesus berbicara), berarti suatu bentuk batu karang raksasa, dan penggunaan Kepha oleh Yesus untuk mengubah nama Petrus menandakan dasar kepemimpinan di dalam Gereja (lihat juga Mrk. 3:16 dan Yoh. 1:42 di mana Yesus mengubah nama Simon menjadi "Kefas" yang mana transliterasi dari bahasa Aram "Kepha"). Hanya Gereja Katolik yang dapat memenuhi dan membuktikan suatu garis keturunan para pengganti yang tak terputus yang pondasinya adalah Petrus.

Yang kedua, Yesus mengatakan alam maut tidak pernah akan menguasai Gereja. Maka meskipun Yesus menugaskan manusia penuh dosa seperti Petrus untuk memimpin Gereja, Yesus berjanji neraka tidak akan menguasainya. Karena kuasa neraka mengacu pada yang hal-hal yang supranatural/gaib, ini harus berarti bahwa Gereja, walaupun dipimpin oleh orang-orang penuh dosa, akan dilindungi dengan sempurna. Karena Gereja sangat dilindungi, Gereja tidak bisa membawa orang beriman ke dalam kesalahan supranatural. Jadi, dia tidak bisa untuk memberi pengajaran yang salah dalam hal iman dan moral. Ketidak-bisa-an untuk memberi pengajaran yang salah dalam iman dan moral ini disebut "infallibility" atau ketidak-bersalahan (ini tidak bisa dikaitkan dengan kesalahan dan kebejatan para pemimpin Gereja, yang mana sudah mengarah pada "impeccabilas" atau ketidak-celaan). Jika Gereja tidak infallible, maka kuasa kematian atau alam maut tentu saja akan menjatuhkan anggotanya yang penuh dosa. Pengajaran Gereja yang konsisten dalam iman dan moral selama 2000 tahun membuktikan Yesus telah menjaga janjiNya.

Ketiga, Yesus memberi Petrus kunci kerajaan surga. Sementara banyak gereja lain berpikir bahwa pemberian "kunci" berarti bahwa Yesus menetapkan Petrus sebagai pelindung dari pintu gerbang surga, kenyataannya "kunci" tersebut mengacu pada otoritas Petrus atas Gereja di dunia (yang mana Yesus sering menggambarkannya sebagai "kerajaan surga." Mat. 13:24-52; 25:1-2; Mrk. 4:26-32; Luk 9:27; 13:19-20, dll.)
Di dalam kerajaan Daudiah (Perjanjian Lama), raja mempunyai perdana menteri di mana di atas bahunya Tuhan menempatkan kunci dari kerajaan (Yes 22:22). Dengan cara yang sama, kerajaan Kristus yang baru juga mempunyai seorang perdana menteri (Petrus dan para penggantinya) yang diberi kunci kerajaan.

Kunci tidak hanya merepresentasikan otoritas perdana menteri dalam mengatur jemaat Tuhan dalam ketidakhadiran sang raja, tetapi juga berarti termasuk rangkaian pergantian perdana menteri (sebagai contoh, di Yes 22:20-22, Eliakim menggantikan Shebna sebagai perdana menteri di dalam kerajaan Daudiah). Hanya Gereja Katolik yang mengakui dan membuktikan suatu rangkaian pergantian perdana menteri (paus) sampai dapat dilacak kembali ke Petrus, dan rangkaian pergantian ini dimudahkan melalui kunci kerajaan.

Akhirnya, Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa apapun yang ia ikat dan lepaskan di atas bumi akan terikat dan terlepas pula di dalam surga. Seperti di dalam kerajaan Daudiah, kapan saja Petrus, perdana menteri membuka, tak seorangpun akan menutup, dan kapan saja ia menutup, tak seorangpun akan membuka. Yesus, oleh karena itu, memberi Petrus otoritas untuk membuat keputusan yang akan disahkan di dalam keabadian. Bagi Petrus yang penuh dosa (dan para penggantinya melalui penyampaian "kunci") untuk membuat keputusan seperti ini, ia harus dengan sempurna dilindungi. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa Yesus memberikan ketidak-bersalahan (infallibility) kepada Gereja. Hanya di Gereja Katolik dan yang telah dibuktikan bahwa pengajarannya selama 2000 tahun dalam iman dan moral yang tidak berubah, infallibility dinyatakan.

II. 1 Timotius 3:15
1 Tim 3:15 Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.

Seperti yang dijelaskan di ayat yang pertama, dalam bahasa asli, kata jemaat dalam 1 Tim 3:15 inipun mauksudnya adalah Gereja (Yunani : Ekklesian, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa Alkitab menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran, dan tidak ada pengetahuan di luar Alkitab yang diperlukan bagi keselamatan kita. tetapi kenapa Santo Paulus menulis bahwa Gereja, dan bukan Alkitab, menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran? Ini adalah suatu teks kuat yang menyangkal teori Sola Scriptura (Hanya dengan Alkitab saja) dari gereja lain, yang mana secara salah meyakini bahwa Alkitab menjadi satu-satunya sumber kebenaran kekristenan (suatu teori yang tidak bisa ditemukan di manapun di dalam Alkitab sendiri). Sementara, Santo Paulus mengatakan Gereja yang menjadi tiang penopang dari kebenaran.

Ini maksudnya bahwa semua adalah kebenaran, bahwa Yesus mewarisi kita iman, moral dan keselamatan kita, mengalir melalui suatu Gereja yang hidup, seperti yang sudah kita pelajari, dibangun oleh Kristus sendiri di atas batu karang Petrus dan para penggantinya. Seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik, Tuhan telah memberi kita kebenaranNya dalam wujud firman yang hidup (Alkitab yang tertulis dan tradisi lisan) dan pengajaran yang hidup dari otoritas Gereja, yang diwarisi dengan pemberian kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan. Sesungguhnya, ini adalah karena Gereja adalah pondasi kebenaran yang kita percayai dalam Alkitab. Ini adalah karena Gereja Katolik mengumpulkan Alkitab menjadi satu kitab dengan menentukan kitab mana adalah diilhami (inspired) oleh Tuhan dan kitab mana yang tidak. Gereja menyelesaikan pemilihan "kanon Alkitab" pada akhir abad keempat. Jika Gereja Katolik bukan merupakan puncak pondasi dari kebenaran, kepercayaan kita akan Alkitab akan tanpa dasar/pondasi yang kuat.

Kompilasi dari Alkitab oleh Gereja menerangi kesalahan Sola Scriptura. Seperti yang sudah disinggung di atas, gereja lain biasanya percaya bahwa Tuhan sudah mewahyukan semua hal yang diperlukan bagi keselamatan kita melalui Alkitab saja. Sebagai konsekuensi, mereka juga percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang perlu dicari di luar Alkitab mengenai Iman Kristen yang diperlukan bagi keselamatan kita. Meskipun begitu, pengetahuan kitab-kitab mana yang menjadi bagian dari Alkitab dan kitab-kitab mana yang tidak adalah sangat penting bagi keselamatan kita, sebab jika kita tidak mengetahui, kita bisa terjerumus kepada kesalahan. Lebih lanjut, pengetahuan ini hanya bisa datang dari Tuhan sebab manusia tidak bisa melihat inspirasi ilahi.

Masalah dalam sola Scriptura, adalah bahwa pengetahuan tentang yang mana kitab-kitab yang diilhami dan yang mana yang tidak, tidaklah terdapat di Alkitab. Alkitab tidak mempunyai "daftar isi yang diilhami". Justru, pengetahuan tentang kanon adalah wahyu dari Tuhan yang penting bagi keselamatan kita, yang kita terima dari luar Alkitab. Wahyu ini diberikan kepada Gereja Katolik yang Kudus, dan fakta sejarah dan teologis ini menghancurkan doktrin Sola Scriptura (menariknya, sementara gereja lain menolak otoritas Gereja Katolik dalam kebanyakan hal, mereka menerima otoritas Gereja dalam menentukan kanon Perjanjian Baru).

Jika kita adalah seorang dari gereja lain berusaha untuk membuktikan doktrin Sola Scriptura, dan di sana adalah ayat yang berkata "Alkitab menjadi tiang dan penopang dari kebenaran," kita akan memproklamirkan ayat itu paling atas. Pada waktu yang sama, jika kita adalah seorang dari gereja lain, kita harus mengabaikan 1Tim 3:15 untuk melanjutkan protes tentang Iman Katolik.

B. Tradisi

III. 2 Tesalonika 2:15

2 Tes 2:15 Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.

2 Tes 2:15 Therefore, brethren, stand fast, and hold the traditions which ye have been taught, whether by word, or our epistle.

2 Tes 2:15 ara oun adelphoi stêkete kai krateite tas paradoseis as edidachthête eite dia logou eite di epistolês êmôn

Di dalam Alkitab bahasa Yunani di atas, kata paradoseon, paradoseis, paradosin yang berdiri sendiri, selalu diterjemahkan sebagai tradition dalam bahasa inggris. Entah mengapa terjemahan bahasa Indonesia tidak menulisnya tradisi. Jika Anda mempunyai Alkitab atau Alkitab elektronik multi bahasa, dapat melihat contoh-contoh lain di Mat 15:2, Mat 15:3, Mat 15:6, Mar 7:3, Mar 7:5, Mar 7:8, Mar 7:9 dan beberapa ayat lagi, yang mengatakan bahwa kata tersebut berarti tradisi dalam bahasa Indonesia.

Seperti yang sudah kita bahas, gereja lain percaya bahwa kekristenan akan mengikuti Alkitab saja sebagai sumber Iman Kristen mereka (Sola Scriptura). Akan tetapi kenapa Paulus memberitahu kita untuk mengikuti kedua-duanya, yaitu Alkitab dan kata-kata lisan? Tidakkah Paulus menambahkan sesuatu hal lain untuk diikuti sebagai tambahan dari Alkitab? Ya, sebab doktrin Sola Scriptura adalah suatu doktrin salah.

Paulus berkata bahwa mematuhi tradisi yang tertulis (Kitab Suci) tidaklah cukup. Kita harus pula mematuhi tradisi lisan. Ini menjadi dasar pengajaran bahwa Kristus memberikan kepada para rasul pengajaran yang tidak tertulis (Rasul Yohanes mengatakan bahwa "dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, bdk Yoh 21:25”).

Dengan kata lain, ini adalah semuanya yang lain di mana Gereja memberi pengajaran atas iman dan moral. Kita berterimakasih kepada tradisi lisan apostolik yang sudah secara pasti mengajarkan kepada kita tentang Allah Trinitas, dua keadaan Kristus (manusia dan ilahi), persatuan dari keadaan itu (hypostatic union), Filioque (Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra), dan kanon kitab suci (kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Alkitab dan yang tidak). Semua pengajaran ini, dan banyak, banyak lagi yang lain tidak dengan tegas diajarkan di dalam Alkitab, tetapi secara umum dipercaya oleh semua kekristenan. Untuk belajar lebih banyak tentang tradisi lisan apostolik, Anda dapat membeli buku Katekismus Gereja Katolik.

Karena 2 Tesalonika 2:15 sangat mengganggu posisi doktrin Sola Scriptura, Gereja lain sering membantah bahwa dalam tradisi lisan, Paulus mengacu, tradisi itu harus berasal dari mulut para rasul. Argumentasi mereka lebih lanjut adalah bahwa, semua rasul meninggal, kita tidak lagi harus mengikuti tradisi lisan. Argumentasi ini, bagaimanapun, tidak bisa terbukti dari kitab suci (yang mana akan mungkin jika Sola Scriptura benar) dan pada kenyataannya, bertentangan dengan kitab suci sendiri. Sebagai contoh, di 2 Timotius 2:2 di mana Paulus (generasi pertama) menginstruksikan kepada Timotius (generasi kedua) untuk memberi pengajaran kepada yang lain tentang iman (generasi ketiga) yang akan bisa memberi pengajaran kepada yang lain juga generasi keempat). Argumentasi seperti itu juga bertentangan dengan seluruh maksud tradisi (dalam bahasa Yunani, "paradosis") yang mana berarti "diterima sampai ditangan" dari satu generasi kepada generasi berikutnya.


Lebih dari itu, argumentasi gereja lain juga terbantah, di mana pada saat Gereja memilih Kanon Alkitab. Sementara rasul terakhir Yohanes meninggal di sekitar tahun 100 M, Alkitab belum selesai dikumpulkan sampai tahun 397 M. Jadi Gereja diperlukan untuk menjaga tradisi lisan apostolik selama 300 tahun dalam rangka menentukan surat yang mana yang diilhami dan surat yang mana yang tidak. Tradisi tentu tidak berasal dari mulut rasul (mereka sudah meninggal), tetapi dari para pengganti mereka. (Tidak ada alasan juga untuk menyimpulkan bahwa Gereja perlu/seharusnya mendengarkan generasi keempat, kelima, atau keenam dari pengganti para pengganti rasul, tetapi tidak boleh mendengarkan dari para penggantinya di kemudian hari seperti kita saat ini).

Kita perlu juga catat bahwa tradisi apostolik yang diperintahkan Paulus kepada kita untuk diikuti di dalam 2 Tesalonika 2:15 tidak sama dengan tradisi orang Farisi yang dikutuk Yesus di dalam Mat 15:3 dan Mrk 7:9. Tradisi yang dikutuk Yesus mengarah pada peraturan ritual dan tindakan lain dalam Perjanjian Lama yang kontroversi dengan Perjanjian Baru. Maka ada tradisi manusia tertentu yang, jika bertentangan dengan Injil, kita harus menolak, dan tradisi apostolik lisan yang diperintahkan oleh Paulus harus kita terima.

Satu-satunya argumentasi gereja lain yang dapat dibuat adalah, sekali Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, semua tradisi lisan apostolik sudah masuk dalam Kitab Suci. Sebagai hasilnya, kebutuhan untuk mengikuti tradisi lisan tidak diperlukan lagi. Tetapi mereka tidak bisa membuktikan dari Alkitab itu sendiri. Tidak ada di dalam Kitab Suci yang memerintahkan kita untuk mengikuti tradisi lisan hanya sampai Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, dan kemudian mengikuti Alkitab saja (kata "Alkitab" bahkan tidak ada di Alkitab). Sesungguhnya, Yesus juga tidak pernah memerintahkan kepada siapapun dari para rasulNya untuk menulis apapun. Mereka hanya ditugaskan untuk "mengabarkan Injil kepada semua makhluk, Mat 28:19”. Sebab Kitab Suci adalah firman Tuhan yang hidup yang akan tetap sama dari kemarin, hari ini dan untuk selamanya (bdk. Ibr 13:10), dan tidak ada ayat di dalam Kitab Suci yang menentang perintah Paulus dalam 2 Tes 2:15, kita harus pula mematuhi tradisi lisan dari Gereja sebagaimana yang Paulus perintahkan, atau kita tidak setia kepada Kitab Suci.

C. Baptisan
IV. 1 Petrus 3:21
1 Pet 3:21 Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan, maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus.


Kebanyakan gereja lain mengajarkan bahwa baptisan hanya simbolis dan tidak benar-benar menyelamatkan kita. Mengapa kemudian, Petrus mengatakan bahwa baptisan itu tentu saja menyelamatkan kita? Sebab baptisan, tidak seperti yang diajarkan gereja lain, adalah menyelamatkan. Melalui jasa dari kebangkitan Kristus, baptisan, Sakramen Inisiasi dalam Kristen yang dimulai oleh Kristus, membersihkan kita dari dosa asal, membuat kita diangkat menjadi anak-anak Tuhan, dan membawa kita kepada keselamatan.

Tidak seperti yang gereja lain ajarkan, baptis bukan hanya suatu tindakan simbolis yang berupa penuangan, percikan atau membenamkan orang ke dalam air (jika tidak, Petrus tidak akan berkata bahwa itu menyelamatkan kita). Kis 2:38 juga mengatakan hal ini bahwa kita harus bertobat dan dibaptis untuk pengampunan dosa kita. Pertobatan sudah barang tentu menjadi syarat keselamatan, dan baptisan merupakan tanda ke-berolehan keselamatan tersebut. Baptisan bukan hanya suatu pendekatan kepada Tuhan melalui suatu tanda simbolis. Inilah alasan kenapa Petrus mengatakannya "bukan sebagai suatu penghapusan kotoran dari badan”. Kebanyakan ahli mengatakan Petrus sedang mengacu pada khitanan (upacara ritual inisiasi dalam Perjanjian Lama) ketika ia menulis tentang “penghapusan kotoran dari badan. ”Khitanan adalah suatu isyarat simbolis di depan Tuhan yang tidak pernah dapat menyelamatkan kita. Tetapi, paling tidak, Petrus mengajar baptisan itu tidak berkenaan dengan bagian luar/lahiriah, tetapi bagian dalam dari kehidupan seseorang.

Jadi, Petrus mengajarkan bahwa baptisan itu menyelamatkan kita “dengan nurani yang bersih”. Ini berkenaan dengan bagian dalam kehidupan. Dengan cara yang sama, penulis dari Ibr 10:22, dalam hubungannya dengan pencucian dengan air yang murni (tentang baptis), mengatakan kita dibasuh dan menjadi “bersih dari nurani yang jahat”. Baptis menghapus dosa asal yang menggelapkan nurani kita. Ini memurnikan bagian dalam dari kehidupan seseorang. Baptis bukan hanya suatu eksternal, simbolis, upacara tanda/isyarat, (jika tidak, para penulis yang kudus tidak akan menulis tentang pemurnian dari nurani, di mana dosa dilahirkan).

Jadi, melalui kebangkitan Kristus, sekarang baptisan benar-benar menyelamatkan hidup rohani kita, sama halnya perahu nabi Nuh (yang mana Petrus mengatakan baptisan "sesuai dengan") yang menyelamatkan hidup keluarganya. Di dalam baptisan, kita dicuci bersih dari dosa asal dan menjadi anak angkat laki-laki dan perempuan dari Bapa. Inilah alasan kenapa Paulus menulis kepada Titus, mengenai baptisan, yaitu “Dia menyelamatkan kita dengan rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang mana Dia menuangkannya kepada kita dengan melimpah melalui Yesus Kristus, sedemikian sehingga kita dibenarkan oleh rahmatNya dan menjadi pewaris hidup abadi.” (Tit 3:5-7). Paulus menguatkan pengajaran Petrus bahwa baptisan itu menyelamatkan kita dengan pembaharuan bagian dalam hidup kita, yakni, jiwa kita, yang mana kini diwarisi dengan keilahian Tuhan dan rahmat penyucian. Jadi kita menjadi anak-anak Tuhan dan mewarisi kerajaanNya.

Hanya Gereja Katolik yang mengajarkan bahwa baptisan, berdasarkan atas jasa Kristus dan pelaksanaannya kepada kita, adalah menyelamatkan. Gereja lain, bertentangan dengan 1 Pet 3:21 (dan Titus 3:5-7; Yoh 3:5; dan Ibr 10:22) memberi pengajaran baptisan itu hanya simbolis. Dalam pelaksanaannya, Gereja Katolik melakukan persiapan yang cukup panjang untuk calon baptis (katekumen), karena menyadari bahwa baptisan adalah sesuatu yang sakral. Baptisan, karena merupakan meterai penyelamatan, harus benar-benar dipersiapkan oleh calon baptis dalam hal pemahaman ajaran Gereja Katolik, dan tentunya adalah pertobatan.


D. Pengakuan Dosa
V. Yohanes 20:22-23

Yoh 20:22 Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus”.
Yoh 20:23 Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.

Gereja lain percaya bahwa orang Kristen perlu mengaku dosa mereka secara pribadi kepada Tuhan, dan tidak kepada seorang imam. Mengapa, kemudian Yesus memberi kuasa kepada para rasul untuk mengampuni dan mempertahankan dosa? Sebab, tidak seperti kepercayaan gereja lain, Yesus percaya bahwa orang Kristen secara terbaik berkembang dalam kekudusan dengan mengaku dosa mereka kepada para imam Nya dan menerima pengampunan dalam sakramen pengakuan dosa. Pengakuan dosa menjadi cara normatif dimana Tuhan mengampuni dosa kita.

Ayat ini sangat kuat mengganggu posisi gereja lain. Pertama, kita lihat bahwa Yesus menghembusi para rasulNya. Satu-satunya waktu lain Tuhan menghembusi manusia adalah ketika Ia menciptakan manusia dan memberikan nyawa di badannya (Kej 2:7). Ketika Tuhan menghembusi manusia, suatu perubahan terjadi. Di sini, para rasul diubah menjadi "Kristus lain" yang diisi dengan Roh Kudus dan diberi otoritas ilahi oleh Yesus untuk mengampuni dosa.

Begitu juga, Matius menulis, Tuhan itu memberi kuasa kepada manusia (Yesus sebagai Anak Manusia) untuk mengampuni dosa (Mat. 9:8). Kita juga catat bahwa Yesus tidak membedakan antara dosa yang sangat serius (dosa berat) dan dosa yang lebih sedikit (dosa ringan) (seperti pada 1 Yoh 5:16-17). Berdasarkan atas kemurahan hati Tuhan, para rasul bisa mengampuni semua dosa.

Kita juga mencatat bahwa para rasul tidak hanya diberi kuasa untuk mengampuni dosa, tetapi juga untuk mempertahankan dosa. Apa artinya ini? Maksudnya adalah bahwa para rasul diberi anugerah dalam memberikan pertimbangan dan keputusan atas ketulusan dari pengaku dosa, dan mengikat pengaku dosa dengan tindakan penebusan dosa agar diampuni dosanya. Jika di dalam pertimbangan para rasul, pengaku dosa tidak tulus hati, atau dikehendaki harus melaksanakan tindakan penebusan dosa di dalam perbaikan terhadap dosanya, para rasul bisa mempertahankan dosa (menahan pengampunan) sampai kondisi-kondisi mereka dipenuhi. Sementara otoritas seperti itu hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri, Kristus membagi otoritas ini bersama dengan para rasul.


Kuasa untuk mempertahankan dosa sangat penting sebab ini memberikan otoritas kepada para imam, tidak hanya untuk mengampuni dosa, tetapi untuk menghapus penghukuman sementara terhadap dosa (Gereja menyebut penghapusan dari hukuman sementara terhadap dosa yang telah diampuni ini dengan sebutan "indulgensi"). Tentunya, jika seorang imam dapat mengampuni dosa berat (yang mana, jika tidak diampuni akan mengirim orang ke neraka), imam tentunya dapat menghapus hukuman sementara terhadap dosa ringan. Ini adalah bagian dari otoritas imam untuk mengikat (menahan dosa dan menentukan penebusan dosa) dan otoritas untuk melepaskan (mengampuni dosa dan penghapusan hukuman sementara terhadap dosa).

Tentu saja anugerah Yesus dalam otoritas yang disebutkan dalam Yoh 20:22-23 hanya dapat diberikan jika pengaku dosa mengaku dosanya secara lisan kepada para rasul. Para rasul tidak memberikannya dengan membaca pikiran si pengaku dosa, dan sekalipun mereka mengaku secara lisan, pengampunan dosa masih akan tergantung pada keinginan pendosa untuk diampuni (pendosa akan menyatakan keinginan itu dengan mengaku dosanya kepada imam). Jika pengakuan lisan tidak diperlukan, cara Yesus memberikan anugerah kepada para rasul tidak akan ada artinya.
Akhirnya, sekelompok kecil gereja lain mengakui bahwa para rasul mempunyai kuasa untuk mengampuni dan mempertahankan dosa, mereka hanya dapat mengesampingkan Yoh 20:22-23 dengan membantah bahwa otoritas ini berakhir pada kematian mereka. Masalah dengan argumentasi mereka bahwa ini tidak bisa dibuktikan dari Kitab Suci ( tidak bagian dalam Kitab Suci yang mengajarkan bahwa otoritas mengikat dan melepas, dari para rasul akan berakhir pada kematian). Sebaliknya, argumentasi dapat dibuktikan dari catatan sejarah (Gereja sudah dan terus memberikan sakramen pengakuan dosa selama berabad-abad).

Lebih dari itu, gereja lain gagal untuk memberikan penjelasan yang cukup tentang mengapa Yesus harus mewariskan anugerah yang tidak masuk akal seperti itu kepada jaman para rasul, dan kemudian mengambil kembali anugerah itu dari generasi berikutnya. Jawabannya, tentu saja adalah bahwa Ia tidak mengambil anugerah itu kembali. Anugerah dipelihara melalui rangkaian suksesi para imam oleh sakramen imamat seperti yang Kristus harapkan. Tentang pewarisan anugerah ini, Alkitab sering menyebutnya sebagai "penumpangan tangan." Kis 6:6; 13:3; 8:18; 9:17; 1 Tim 4:14; 5:22; 2 Tim 1:6

E. Ekaristi
VI. Yohanes 6:53-58, 66-67
Yoh 6:53 Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.
Yoh 6:54 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Yoh 6:55 Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.
Yoh 6:56 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.
Yoh 6:57 Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.
Yoh 6:58 Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya."
Yoh 6:66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
Yoh 6:67 Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?".

Kebanyakan gereja lain percaya bahwa roti dan anggur yang ditawarkan oleh Imam Katolik di dalam Misa Kudus hanya lambang dari tubuh dan darah Kristus. Mereka tidak percaya bahwa orang Kristen harus benar-benar makan daging dan minum darah Kristus untuk memperoleh hidup abadi. Mereka tidak percaya bahwa daging Kristus adalah makanan yang nyata, dan darahNya adalah minuman yang nyata. Mengapa, kemudian, Yesus berulang-kali mengatakan dalam ayat ini bahwa kita harus makan dagingNya dan minuman darahNya atau kita tidak punya hidup di dalam diri kita? Mengapa Kristus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja adalah makanan, dan darahNya tentu saja adalah minuman, jika darah dan dagingNya bukan benar-benar makanan dan minuman? Pengajaran Yesus tentang Ekaristi ini adalah yang paling besar di dalam seluruh Kitab Suci, dan ayat ini adalah ayat yang sangat membuat masalah dan pertentangan di gereja lain, bahwa roti dan anggur dalam Misa Kudus hanya sebagai lambang.


Ketika Yoh 6 dengan penuh doa dibaca, kita lihat bagaimana Yesus secara berangsur-angsur memberi pengajaran orang beriman tentang roti dari sorga yang membawa hidup, yang akan Ia berikan kepada dunia (melalui pemecahan lembaran roti, mengacu kepada hujan manna yang diberikan kepada bangsa Israel, dan akhirnya mengacu kepada roti yang Yesus akan berikan, yang mana adalah dagingNya sendiri). Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan Yesus tentang bagaimana mungkin ia bisa memberi mereka dagingNya untuk dimakan, Yesus menjadi lebih harafiah di dalam penjelasanNya. Yesus mengatakan beberapa kali bahwa kita harus makan (di dalam bahasa Yunani, "phago") dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang secara harafiah berarti "untuk mengunyah").

Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan keanehan pengajaranNya lebih lanjut, lebih lanjut pula Yesus menggunakan kata yang lebih harafiah lagi (di dalam Yunani, "trogo") untuk menjelaskan bagaimana kita harus makan dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang mana secara harafiah berarti "untuk menggerogoti atau memamah") (Yoh 6:54). Di bagian lain Perjanjian Baru, kata “trogo” hanya digunakan dua kali (Mat. 24:38; Yoh 13:18) dan selalu digunakan secara harafiah (makan secara fisik). Gereja lain tidak mampu memberikan satu contoh di mana kata "trogo" pernah digunakan dalam makna simbolis. Untuk mengarahkan ke titik utama dari pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja makanan riil, dan darah Nya adalah tentu saja minuman riil (Yesus tidak mengatakan sesuatupun tentang roti (dan anggur) yang menjadi lambang Tubuh dan Darahnya).

Apakah kemungkinan-kemungkinan yang paling memaksa dari bagian ini, dan apa yang terjadi pada ujung ceramah Yesus. Kita mengetahui bahwa bangsa Yahudi memahami bahwa Yesus mengatakan secara harafiah. Ini ditunjukkan oleh pertanyaan mereka, "Bagaimana mungkin manusia memberi kepada kita dagingNya untuk dimakan?" Mereka tidak bisa mengerti tentang mengapa mengkonsumsi daging Yesus dapat membawa hidup dan bagaimana mereka bisa mungkin melakukan hal seperti itu. Kita juga mengetahui bahwa Yesus bereaksi terhadap pertanyaan mereka dengan menjadi lebih harafiah lagi tentang memakan daging Nya dan meminum darah Nya. Tetapi kita belajar dari ujung ceramah Yesus, bahwa banyak dari pengikut Nya, oleh karena kesulitan memahami pengajaranNya, memutuskan untuk tidak lagi mengikutiNya, dan Yesus membiarkan mereka pergi. Kemudian Ia menghampiri para rasulNya dan menanyai mereka "Akankah kamu juga pergi?".

Akankah Yesus, yang adalah inkarnasi dari Firman Tuhan yang menjadi manusia untuk menyelamatkan umat manusia, mengijinkan pengikut nya untuk meninggalkanNya jika mereka salah mengerti tentang pengajaranNya? Tentu saja tidak, apalagi pengajaranNya tentang bagaimana mereka memperoleh hidup abadi yang mana adalah inti dari misi Yesus. Yesus selalu menerangkan arti dari pengajaranNya kepada para muridNya (Mrk 4:34).

Yesus tidak mengatakan, "Hei, orang-orang, kembali ke sini, kamu semua salah mengerti". Ia tidak melakukan ini sebab mereka semua tidak salah. Mereka memahami dengan tepat, kita harus makan daging Yesus dan minum darahNya, atau kita tidak memiliki hidup di dalam diri kita. Gereja lain yang menentang, bahwa roti dan anggur yang diberikan oleh Gereja Katolik di dalam Misa Kudus adalah hanya simbol (dan bukan secara ajaib menjadi tubuh dan darah Kristus melalui tindakan dari Imam yang bertindak "sebagai persona Christi") harus membaca Yoh 6:53-58, 66-67, mengapa Yesus menggunakan kata-kata yang Ia katakan, dan mengapa Yesus mengijinkan pengikut Nya untuk meninggalkanNya jika mereka memahamiNya dengan benar (yang mana adalah satu-satunya kejadian di dalam Injil di mana Kristus mengijinkan murid Nya untuk meninggalkanNya berkenaan dengan pengajaran doktrin).

Ketika kita merenungkan misteri ini dengan pikiran dan hati yang terbuka, kita diajak untuk percaya dan mengetahui bahwa Ekaristi menjadi cara Bapa untuk memberi kita PutraNya di dalam perjanjian cinta yang abadi oleh kuasa Roh Kudus. Ekaristi adalah perluasan dari Inkarnasi. Jika kita bisa mempercayai Inkarnasi (Tuhan menjadi bayi mungil), selanjutnya akan mudah bagi kita untuk percaya bahwa Tuhan membuat Dirinya secara hakekat hadir dalam wujud roti dan anggur. Gereja telah mengajar untuk 2000 tahun lamanya bahwa Ekaristi menjadi sumber dan puncak dari Iman Kristen, kesempurnaan dari pengorbanan anak domba Paskah, yang mana kita dikembalikan kepada Tuhan dan mengambil bagian di dalam hidup ilahiNya. Paulus mengatakan, "anak domba Paskah kita telah dikorbankan, oleh karena itu, mari kita merayakan pesta". (1 Kor 5:7-8).

VII. 1 Korintus 11:27
1 Kor 11:27 Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.

Walaupun gereja-gereja lain mengajarkan bahwa Ekaristi hanyalah simbol dari tubuh dan darah Kristus, Paulus dalam ayat ini mendasari pengajaran Katolik yang mengajar bahwa Kristus itu nyata, sungguh-sungguh, dan secara hakekat (substansi) hadir dialam Ekaristi. Paulus mengkonfirmasikan apa yang Yesus ajarkan dalam Injil Yohanes bab 6. Jika kita ikut serta dalam Ekaristi dengan tidak layak, kita bersalah karena kejahatan mencemarkan tubuh dan darah Kristus (yang secara harafiah, membunuh Kristus). Ini pengajaran yang sangat khidmat dan kuat membuktikan dengan pasti pemahaman Katolik tentang Ekaristi dan meninggalkan keraguan kecil, bila ada, tentang kehadiran yang riil (Real Presence).


Suatu ilustrasi tentang penerapan dari ayat ini yang mungkin sangat menolong. Suatu waktu, sebut saja Toni yang seorang Katolik sedang berdebat dengan seseorang dari gereja lain di tempat kerja, tentang Kehadiran Kristus yang riil (Real Presence) dalam Ekaristi. Toni menerangkan kepadanya bahwa dalam ketiga Injil Sinoptik tentang Perjamuan Terakhir, seperti juga dalam pengajaran Paulus yang menerima secara langsung dari Kristus, Yesus mengambil roti, memberkati dan memecah-mecahkannya, dan berkata, "Inilah tubuhKu". Dengan cara yang sama, ia mengambil anggur, mengucap syukur, dan berkata, "Inilah darahKu" (Mat 26:26-28, Mar 14:22-24, Luk 22:19-20, dan 1 Kor 11:21-25). Toni menekankan bahwa Yesus tidak mengatakan "Ini mewakili tubuh dan darahKu," atau " Ini adalah lambang tubuh dan darahKu" (meskipun ada banyak kata kerja dalam bahasa Aram untuk kata “mewakili”). Toni menjelaskan lebih lanjut kepadanya, bahwa Tuhan tidak, dan tidak bisa, menyatakan sesuatu tanpa membuatnya, dan menantang dia untuk menemukan dalam Kitab Suci, ayat untuk membuktikan Toni salah, dan ia tidak bisa.

Sebagai gantinya, gereja lain memberikan penjelasan, dengan ilustrasi foto istrinya diambil dari dinding di dalam ruangannya, dan diberikannya kepada Toni, dan berkata, "Inilah istriku". Kemudian ia menanyai Toni, "Apakah ini bukan benar-benar dia, siapakah dia?". Ia pikir ia membuat Toni diam.

Pertama-tama Toni memberi selamat pada dia atas pasangan cantik yang dikaruniakan kepadanya seperti itu. Toni kemudian berpura-pura menyobek foto itu dan menjatuhkannya ke lantai, berpura-pura menginjak-injaknya. Toni membuat sedikit kegaduhan. Ia melihat Toni dengan ekspresi terkejut dan bingung. Toni kemudian menanyainya, “Bukankah sekarang saya bersalah telah mencemarkan tubuh dan darah istrimu?”

Setelah beberapa saat, ia menjawab, “Tidak”. Toni balik bertanya kepadanya, “Mengapa tidak?”. Pikirannya benar-benar berputar, tetapi Toni berpikir bahwa ia tidak mengetahui arah pikiran Toni. Toni menyela untuk membantunya, dengan mengatakan “aku akan memberitahu kamu mengapa, dari poin yang baru saja kamu buat. Karena foto istrimu hanyalah simbol dari dia (istrimu), dan bukan benar-benar dia?”. Sampai titik ini, ia setuju, tetapi masih bingung. Toni kemudian menambahkan, “menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah istrimu karena menyobek fotonya dan akan menyakitkan hatinya adalah tidak mungkin, sebab kamu tidak bisa mencemarkan suatu simbol, apakah ini benar?” Ia menyetujui.


Toni kemudian mengarahkan pembicaraan ke titik utama dengan mendekatinya dan menanyakan dengan pelan-pelan. “Kemudian mengapa Paulus di dalam 1 Kor 11:27 menyatakan kepada kita bahwa kita menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah Kristus jika kita menerima Ekaristi dengan tidak layak? Itu adalah sesuatu pernyataan yang tak masuk akal jika Ekaristi hanyalah suatu simbol, tidakkah seperti itu?”. Setelah jeda beberapa lama terlihat kebingungan dari teman Toni dari gereja lain tersebut untuk berkata-kata. Yang dapat dilakukannya adalah meminta Toni untuk mengembalikan foto istrinya kepadanya dan berjanji bahwa ia akan membaca ayat dalam konteks yang benar dan akan kembali lagi kepada Toni. Tetapi ia tidak pernah melakukannya.






F. Pengurapan Orang Sakit
VIII. Yakobus 5:14-15

Yak 5:14 Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.
Yak 5:15 Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.

Sementara gereja lain biasanya mempunyai beberapa bentuk bantahan untuk kebanyakan ayat dalam Kitab Suci yang mendukung pengajaran Gereja Katolik (yang selalu dapat dibuktikan balik), mereka biasanya hanya mempunyai sedikit kata-kata untuk Yak 5:14-15. Kebanyakan gereja lain menyimpan ayat ini, tidak pernah untuk berhubungan dengannya lagi. Ini adalah karena tidak ada tempat untuk meletakkan ayat ini dalam Teologinya. Tidak cocok di bagian manapun.

Bagian ini mendasari Sakramen Pengurapan Orang Sakit dari Gereja Katolik (yang dulu disebut "Pemberian minyak suci secara sungguh-sungguh/Extreme Unctuation") Sakramen ini, yang adalah salah satu tujuh sakramen, Yesus mengadakan untuk GerejaNya, dan diberikan kepada orang-orang dalam bahaya kematian, menderita penyakit yang mematikan, atau berhadapan dengan penanganan medis yang serius.

Ayat ini menunjukkan beberapa hal yang telah diajarkan oleh Gereja selama 2000 tahun. Pertama, untuk menerimakan sakramen, orang harus meminta uskup atau para imam Gereja. Ini memerlukan seorang laki-laki yang secara khusus ditahbiskan untuk melakukan pekerjaan khusus tersebut, dan berkaitan dengan apa yang kita mengerti tentang Gereja (jangan lupakan Petrus, kunci-kunci, suksesi kerasulan, pentahbisan imam, kuasa untuk mengikat dan melelepaskan, dan pondasi dari kebenaran).

Kedua, Yakobus mengatakan doa imam yang penuh iman akan menyelamatkan penderita sakit dan Tuhan akan menaikkan dia ke atas. Ini menunjukkan tindakan para imam Gereja dalam pribadi Kristus (“in persona Christi") di dalam melanjutkan karya penyelamatan Kristus. Yesus adalah satu-satunya Juru Selamat kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk mengambil bagian di dalam imamatNya yang abadi, dan Ia memanggil manusia (laki-laki) tertentu untuk mengambil bagian dengan cara yang sangat mendalam untuk menuju keselamatan (melalui jabatan imamat yang dijelaskan di sini). Sehingga para imam, melalui kuasa Kristus, menyelamatkan jiwa penderita sakit.

Akhirnya, berdasarkan atas doa dan tindakan dari para imam, dosa-dosa penderita sakit diampuni (ini yang sebenarnya menyelamatkan jiwa manusia). Gereja lain mengalami kesulitan besar dengan ayat ini terutama karena ayat ini menunjukkan bahwa para imam mempunyai otoritas dan kuasa untuk mengampuni dosa (yang diberikan kepada manusia oleh Kristus, lihat juga Mat 9:8, Yoh 20:23). Tidak sama dengan apa yang Alkitab nyatakan, tidak ada di manapun dalam teologi atau praktek di gereja lain yang menyatakan tentang pengampunan dosa oleh pendeta atau sakramen untuk orang sakit.


G. Penderitaan
IX. Kolose 1:24
Kol 1:24 Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.

Kol 1:24 Who now rejoice in my sufferings for you, and fill up that which is behind of the afflictions of Christ in my flesh for his body's sake, which is the church

Seperti pada beberapa ayat sebelumnya, di dalam ayat ini, kata church dalam bahasa inggris sebenarnya lebih cocok diterjemahkan sebagai gereja, yang merupakan Tubuh Kristus. Umat Kristen percaya bahwa penderitaan yesus dan kematianNya secera keseluruhan cukup untuk pengampunan semua dosa dunia. Mengapa kemudian Paulus mengatakan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam penderitaan Kristus? Bagaimana hal ini mungkin? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh pemahaman Gereja Katolik yang sudah berumur 2000 tahun, bagaimana kita sebagai umat Kristen mengambil bagian dalam penebusan dan penyelamatan Kristus.

Kebanyakan gereja lain memberikan Anda janji manis ketika mereka memberikan pengajaran tentang penderitaan. Sebab di dalam aliran gereja lain tersebut pada umumnya Anda semua hanya perlu untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, dan diselamatkan, tidak ada yang lain, penderitaan sederhananya dipandang sebagai sesuatu yang harus dipikul sebagai bagian dari keadaan manusia, tanpa nilai atau manfaat untuk diri kita atau orang lain. Karena Gereja Katolik percaya bahwa masing-masing dari kita, berdasarkan baptisan kita, mengambil bagian dalam Imamat abadi Kristus, Gereja juga mengajarkan bahwa doa kita, perbuatan baik, dan bahkan penderitaan adalah melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah konsekwensi dari menjadi anggota persekutuan para Kudus. Ini adalah juga yang ditulis oleh Paulus tentang suratnya di Kolose 1:24.

Di ayat ini, Paulus mengatakan ia bergembira di dalam penderitaannya untuk kepentingan orang lain. Dari yang yang kita pahami tentang Paulus, kita dapat dengan menyimpulkan bahwa pada kenyataannya ia tidak bergembira di dalam keadaan seperti apapun (dia menderita). Ia bergembira karena telah menderita untuk ikut menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Memang sangat sedikit surat-surat tentang teologi ini. Kita juga lihat bahwa kegembiraan Paulus bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anggota Gereja yang lain. Maka kegembiraan Paulus tentang nilai dari penderitaannya di dalam pekerjaan penebusan berdasarkan pada pemahaman bahwa penderitaanya adalah untuk membantu orang lain (bukan karena ia menikmati sakit dalam penderitaan). Ini menjadi lebih jelas seperti pada saat Paulus menjelaskan pengajarannya dalam konteks Tubuh Mistis Kristus, dan hanya dalam konteks ini pengajaran Paulus bisa dimengerti.

Paulus menjelaskan bahwa ia melengkapi apa yang menjadi kekurangan dari penderitaan Kristus. Tetapi Paulus tidak melakukan ini untuk kepentingan Kristus Sendiri, sebab penderitaan Kristus adalah cukup dan sempurna untuk penebusan kita. Paulus tidak bisa menambahkan apapun kepada kekuatan penderitaan Kristus. Justru, Paulus menjelaskan bahwa ia mengerjakan ini untuk kepentingan Gereja (Tubuh Mistik) di mana Kristus menjadi kepalanya. Mengapa? Sebab Tuhan menginginkan kita untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dalam melanjutkan pekerjaan penebusanNya. Jadi, di dalam Gereja dan untuk Gereja, Yesus Kristus, dengan cara yang misteri, memberikan ruang dan mengijinkan penderitaan kita untuk dipersatukan dengan penderitaanNya, untuk memenuhi kehendak Bapa. Dalam baptisan kita, di mana kita menjadi anak-anak di dalam PutraNya dan mengambil bagian dalam ImamatNya, bahwa penderitaan kita dapat melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah hal yang mulia, tetapi ini sama seperti cinta Tuhan kepada kita, dan ini justru oleh karena cinta Tuhan kepada kita semata.

Bagaimana kita, seperti Paulus, melengkapi kekurangan dari penderitaan Kristus untuk kepentingan Gereja? Kita memberikan penderitaan kita sebagai pengorbanan pujian kepada Tuhan. Sebagai ganti dari memikul penderitaan, kita secara harafiah akan menderita melalui doa untuk menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah apa yang Gereja sebut sebagai "penderitaaan penebusan". Jenis penderitaan ini yang membuat Paulus bergembira, dan inilah alasan kenapa cara kita menjalani penderitaan menjadi sangat penting. Penderitaan seperti itu dapat bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang menderita, tetapi bagi semua anggota Tubuh Kristus. Jenis penderitaan yang terburuk adalah penderitaan yang sia-sia. Hanya Gereja Katolik, yang selama 2000 tahun telah hidup dan diajar oleh pengajaran Paulus dalam penderitaan.

H. Perbuatan
X. Yakobus 2:24
Yak 2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Sebagai tambahan terhadap kepercayaan mereka di dalam Alkitab Saja ("Sola Scriptura"), kebanyakan gereja lain percaya bahwa semua orang harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi untuk dibenarkan oleh Tuhan (pembenaran adalah proses dengan mana manusia digerakkan oleh rahmat, menuju ke arah Tuhan dan meninggalkan dosa, dan menerima pengampunan dan kebenaran Tuhan). Jadi, kebanyakan gereja lain percaya bahwa orang dibenarkan dan diselamatkan oleh iman nya di dalam Kristus saja (yang disebut "Sola Fide" atau Iman Saja). Tetapi jika ini benar, kenapa kemudian Yakobus mengatakan bahwa seorang manusia dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja?

Yakobus mengatakan ini, sebab kita dibenarkan, dan akhirnya diselamatkan melalui kedua-duanya, iman dan perbuatan kita, dan tidak hanya iman saja. Pada kenyataannya, satu-satunya tempat di dalam Alkitab di mana frase "iman saja" muncul adalah di dalam Yakobus 2:24 di mana di situ dikatakan kita dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja. Sehingga Alkitab tidak pernah memberi pengajaran di manapun bahwa kita dibenarkan, diselamatkan, atau yang lainnya, oleh iman saja. Sementara dalam hal ini, posisi Gereja Katolik nampak jelas nyata, teologi iman dan perbuatan berkenaan dengan keselamatan kenyataannya cukup rumit, dan telah menjadi salah satu sumber utama perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja lain. Karenanya, poin-poin harus dibuat untuk menanggapi kontroversi ini dan memperjelas pengajaran Katolik

Pertama, Katolik akhirnya percaya bahwa kita diselamatkan, bukan oleh iman atau perbuatan, tetapi oleh Yesus Kristus dan hanya Dia. Kematian Yesus Kristus dan kebangkitanNya adalah semata-mata sumber dari pembenaran (sedang dalam hubungan yang benar dengan Tuhan) dan keselamatan kita (berbagi dalam kehidupan ilahi dengan Tuhan). Tetapi sebagai hasil dari kematian dan kebangkitan Kristus, kini kita mampu menerima rahmat Tuhan. Rahmat/anugerah adalah hidup ilahi milik Tuhan yang mana diberikanNya ke dalam jiwa kita. Inilah pengertian bahwa Adam pada permulaan kalah untuk kita, dan Kristus menang kembali untuk kita. Rahmat ini yang menyebabkan kita untuk mencari Tuhan dan untuk percaya dalam Dia (bagian "iman"). Non-Katolik biasanya berhenti sampai di sini.

Tetapi Tuhan menginginkan kita untuk merespon terhadap rahmatNya dengan membawa iman kita ke dalam tindakan (bagian "perbuatan"). Inilah alasan kenapa Yesus selalu mengajar tentang keselamatan kita dalam konteks apa yang benar-benar kita lakukan selama hidup kita di dunia, dan bukan berapa banyak iman yang kita miliki ("segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40,45)). Ketika Yesus memberi pengajaran tentang kedatanganNya yang kedua di mana Ia akan memisahkan domba dari kambing, Ia mendasarkan keselamatan dan kutukan atas apa yang benar-benar kita lakukan ("perbuatan"), apakah benar atau jahat. (Mat 25:31-46). Di dalam Yak 2:14-26, Yakobus dengan cara yang sama menginstruksikan kepada kita untuk meletakkan iman kita ke dalam tindakan dengan melakukan perbuatan baik, dan tidak hanya dengan memberikan persetujuan iman intelektual. Yakobus mengatakannya dengan "jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yak 2:17, 26).

Maka kita harus melakukan lebih dari menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Bahkan setanpun percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat, dan "mereka gentar" (Yak 2:19). Kita harus pula berbuat baik. Iman menjadi permulaan proses yang mengarahkan kita kepada pembenaran, tetapi iman saja tidak pernah memperoleh rahmat pembenaran. Iman dan Perbuatan bertindak bersama-sama untuk mencapai Pembenaran kita. Paulus mengatakannya dengan sangat baik ketika ia menulis bahwa kita memerlukan "iman yang bekerja dalam kasih" (Gal 5:6). Kita tidak dibenarkan dan diselamatkan oleh iman saja.


Kedua, adalah penting untuk membedakan antara "perbuatan" yang diajarkan Yakobus di dalam Yak 2:24 dan "perbuatan menurut hukum" diajarkan Paulus di dalam Rom 3:20,28; Gal 2:16,21; 3:2,5,10; dan Efe 2:8-9. Gereja lain biasanya mengacaukan "perbuatan baik" yang diajarkan Yakobus dan “perbuatan menurut hukum” yang diajarkan Paulus" ketika mereka mencoba untuk membuktikan bahwa "perbuatan" adalah tidak relevan kepada pembenaran dan keselamatan. "Perbuatan menurut hukum" yang diajarkan Paulus di dalam Ef 2:8-9 dan di bagian lain merunjuk pada Hukum Musa dan sistem hukum mereka yang dibuat Tuhan, dan diwajibkan bagi mereka untuk memperloleh imbalan dari perbuatan. Mereka akan sangat “bangga” dengan perbuatan mereka dan menghargai perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. (Bdk Rom 4:2; Ef. 2:9). Paulus mengajarkan bahwa dengan kedatangan Kristus, Hukum Musa (tentang moral, hukum, dan peraturan adat) yang membuat Tuhan mengampuni dosa-dosa kita, tidak lagi dapat membenarkan seseorang. Sebagai gantinya, Paulus mengajarkan bahwa sekarang kita dibenarkan dan diselamatkan oleh rahmat (bukan kewajiban terhadap hukum) melalui iman (bukan perbuatan mematuhi hukum) (Ef. 2:5,8). Karenanya kita tidak lagi “bangga” dengan menghargai perbuatan kita untuk diri kita sendiri. Kita menghargainya untuk Tuhan yang memberikan segalanya kepada kita dengan cuma-cuma oleh rahmatNya.

Oleh karena itu, kita tidak lagi diharuskan untuk memenuhi “perbuatan hukum”, tetapi untuk memenuhi “Hukum Kristus” (Gal. 6:2). Inilah alasan kenapa Paulus menulis bahwa “pelaku hukum Taurat (yang relevan dengan hukum Kristus)” akan dibenarkan (Rom. 2:13). Tentu saja, “perbuatan menurut hukum” yang ditulis Paulus dalam Rom. 3:20,28; Gal. 2:16,21; 3:2,5,10 dan Ef. 2:8-9 tidak ada hubungannya dengan “perbuatan baik” yang diajarkan Yakobus dalam Yak. 2:24 atau “hukum” yang diajarkan Paulus dalam Rom. 2:13 (sebab semua menjadi bagian dari Firman Tuhan yang tidak pernah dapat saling berkontradiksi).

Secara ringkas, berdasar Kitab Suci, Gereja telah mengajarkan selama 2000 tahun bahwa kita dibenarkan dan diselamatkan oleh kemurahan hati dan rahmat Kristus melalui kedua-duanya iman dan perbuatan, dan bukan iman saja. Kita tidak lagi berada dalam sistem hukum hutang, di mana Tuhan memberikannya kepada kita (sebagai pemberi pinjaman/pendosa). Kita sekarang berada dalam sistem rahmat di mana Tuhan memberi penghargaan atas perbuatan kita ketika dilaksanakan dengan iman dalam Kristus ( Bapa/Anak). Ini juga berarti bahwa kita harus melanjutkan untuk melatih iman dan perbuatan kita sampai akhir dari hidup kita untuk diselamatkan. Inilah alasan kenapa Yesus mengatakan kepada kita untuk "bertahan sampai akhir" untuk bisa diselamatkan (Mat 10:22; 24:13; Mar 13:13). Ini adalah juga mengapa Paulus memperingatkan kita bahwa kita bisa kehilangan keselamatan kita jika kita tidak bertekun (Bdk Rom 11:20-23; 1 Kor 9:27). Iman Katolik ini membantah novel gereja lain tentang gagasan "sekali selamat tetap selamat".

Copyright 2006 by John Salza (johnsalza@scripturecatholic.com)
Alih Bahasa : Fantioz (fantioz@yahoo.com)