31 July 2007

Roma 2:13 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH : ESENSI ATAU FENOMENA ?

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-11


Standar Penghakiman Allah : Esensi atau Fenomena ?

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.


Nats : Roma 2:13.

Setelah kita merenungkan standar penghakiman Allah bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi berdasarkan Taurat, maka kita akan beralih kepada pembahasan mengenai di dalam penghakiman Allah, apakah yang menjadi standarnya, apakah sekedar fenomena keberagamaan atau esensi dari keberagamaan itu sendiri ? Untuk itulah, pada ayat 13, Paulus mengatakan, “Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.” Sebenarnya di dalam terjemahan King James Version, ayat 13-15 berada di dalam tanda kurung yang menunjukkan kemungkinan ketiga ayat ini tidak terdapat di dalam naskah asli Alkitab (terjemahan English Standard Version dan International Standard Version tidak memberikan tanda kurung kepada ketiga ayat ini) yang tetap mengajarkan alasan mengapa orang berdosa tetap harus dihukum dengan standar Taurat (yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa Taurat, sedangkan yang berdosa di bawah Taurat akan dihakimi menurut Taurat). Pada perenungan kali ini, saya hanya akan membahas ayat 13 dari ketiga ayat (13 s/d 15), yang merupakan intisari dari ketiga ayat itu. Ayat 13 menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikan, “Sebab orang berbaik kembali dengan Allah, bukan karena orang itu sudah mengetahui hukum agama Yahudi, melainkan karena ia melakukan apa yang tercantum dalam hukum itu.” dan juga menurut King James Version, ayat ini diterjemahkan, “(For not the hearers of the law are just before God, but the doers of the law shall be justified.” Perhatikan kedua tindakan yang dipaparkan Paulus di dalam ayat 13 ini, yaitu mereka yang hanya mendengar (hearers/hear) Taurat dan mereka yang melakukan Taurat. Kata “mendengar” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani akroatēs yang identik dengan listen (mendengar dengan seksama). Kata ini berasal dari akar kata Yunani akouō yang juga bisa berarti understand (mengerti). Dengan kata lain, Paulus ingin mengatakan bahwa bukan orang yang hanya mendengar sambil mengerti Taurat yang dibenarkan. Bagi Paulus, Taurat dan kebenaran firman Allah bukan hanya menguasai rasio dan pengertian saja, tetapi juga menguasai seluruh hidup manusia. Mendengar untuk mengerti tidaklah salah, karena Rasul Yakobus sendiri mengingatkan, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;” (Yakobus 1:19). Kata “mendengar” yang dipakai di dalam Yak. 1:19 ini adalah kata Yunani akouō yang juga bisa berarti mengerti. Lalu, kata “cepat” bisa diterjemahkan segera/siap (ready) selain swift to (tangkas/cepat). Dengan kata lain, Yakobus ingin mengingatkan orang Kristen bahwa sebelum bertindak maupun berkata apapun, hendaklah kita harus cepat dan siap untuk mendengar. Mendengar apa ? Gosip atau fitnahan? TIDAK. Ayat 21 di dalam Yakobus 1 ini memberitahukan bahwa kita harus mendengar firman dengan menerimanya dengan lembut hati/kelembutan/kesabaran. Bahkan, Rasul Paulus sendiri berkata, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Roma 10:17). Kata “mendengar” (KJV / ESV : hearing ; ISV : listening) di dalam Roma 10:17 ini menggunakan kata Yunani akoē yang berarti tindakan atau pengertian atau sesuatu yang didengar (kata ini merupakan perluasan dari kata Yunani akouō). Iman sejati timbul dari mendengar (tentu mendengar sambil mengerti apa yang didengar), dan pendengaran ini didasarkan pada berita tentang Kristus (firman Kristus). Salomo juga pernah mengatakan perihal tentang pentingnya mendengar, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” (Amsal 18:13). Dengan kata lain, dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, tindakan mendengar adalah sesuatu yang penting, karena mendengar adalah tindakan awal sebelum berkata-kata dan bertindak sesuatu. Mendengar ini tentu melibatkan unsur kognitif/pengetahuan. Ketika kita mendengar tanpa menggunakan rasio, maka kita hanya mendengar tanpa mengerti makna. Bahasa Inggris membedakan kedua kata di dalam satu arti “mendengar”, yaitu hear (mendengar tanpa mengerti atau mendengar sepintas lalu) dan kata kedua, listen (mendengar dengan seksama). Contoh untuk kata listen adalah Adi mendengarkan radio : Adi listens/is listening to the radio (tidak menggunakan : Adi hears/is hearing the radio), karena mendengarkan radio bukan dilakukan dengan sepintas lalu, tetapi dengan seksama. Mendengar firman tentu bukan sekadar mendengar sepintas lalu, tetapi mendengar sambil mengerti esensi firman. Tetapi cukupkah kita hanya mendengar dan mengerti firman ? Yang Tuhan perhatikan bukan pada rasio manusia, tetapi pada hati mereka. Kegagalan utama para ahli Taurat pada waktu itu adalah mereka mendengar Taurat sejak kecil dan menghafalkannya bahkan setelah menjadi dewasa mereka berani mengajarkan Taurat, tetapi yang patut disayangkan mereka masih belum mengerti esensi Taurat. Dengan kata lain, mendengar dan mengerti tidaklah cukup, oleh karena itu, Paulus mengajarkan bahwa orang yang melakukan Taurat itulah yang dibenarkan di hadapan Allah. Hal ini pula yang dipaparkan oleh Yakobus setelah membahas pentingnya mendengar Firman (ayat 19-21), yaitu pentingnya melakukan Firman, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22) Kata “pelaku” di dalam Yak. 1:22 maupun Roma 2:13 ini sama-sama menggunakan kata Yunani poiētēs yang berasal dari akar kata Yunani poieō yang bisa diartikan menyetujui, melaksanakan, dll. Dengan demikian, tindakan melakukan firman atau Taurat bukan hanya melakukan tanpa pengertian, tetapi melakukan dengan pengertian karena mereka melakukannya setelah menyetujuinya. Bagi Yakobus, mendengar tanpa melakukan itu sama saja dengan menipu diri sendiri, karena mereka yang mendengar hanya pintar beradu logika, tetapi tindakan mereka nol besar atau mereka tidak melakukan tindakan baik sesuai kehendak Allah. Hal ini dipaparkan Yakobus kembali di ayat 23-24 di dalam Yakobus 1, “Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” Inilah yang Yakobus maksudkan dengan menipu diri sendiri, yaitu seorang yang setelah mengamati mukanya di depan cermin, lalu melupakannya. Demikian pula, seorang yang hanya mendengar Firman dan mengertinya, tetapi tidak melakukannya, sama saja orang ini tidak mengerti Firman, karena pengertiannya hanya berhenti di otak saja. Kita seringkali rindu belajar theologia dan Alkitab secara teliti dan mendalam. Hal ini tidak salah dan malah wajib bagi orang-orang Kristen yang menyebut diri sebagai pengikut Kristus yang ingin menyenangkan hati-Nya. Bagaimana kita bisa menyenangkan hati-Nya kalau kita tidak mengenal diri dan firman-Nya secara bertanggungjawab ? Tetapi hanya mengenal diri dan firman-Nya secara kognitif saja tidak cukup, orang-orang Kristen sejati harus melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya di dalam firman-Nya. Firman-Nya ini tercakup ke dalam perintah-perintah-Nya (Taurat) yang harus dikerjakan oleh anak-anak-Nya dengan kasih karena Kristus telah menebus kita dengan kasih-Nya sehingga kita dimampukan menaati hukum-hukum Allah (Taurat) bukan dengan terpaksa, tetapi dengan kasih. Banyak orang Kristen mengira bahwa setelah diselamatkan oleh karya penebusan Kristus, kita tidak perlu lagi menjalankan Taurat. Itu anggapan yang salah. Taurat tetap penting, karena bagi Calvin, Taurat itu pedoman yang menuntun perilaku kita sehari-hari. Kalau Taurat tidak penting, maka saat ini orang Kristen boleh membunuh, mencuri, berzinah, dll, padahal hal-hal itu dilarang di dalam Taurat. Tidak ada salahnya kita mematuhi Taurat, tetapi kita tidak mematuhi Taurat untuk diselamatkan, tetapi sebagai respon kita yang telah diselamatkan. Demikian halnya, kita berbuat baik bukan untuk diselamatkan, tetapi sebagai respon dan pertanggungjawaban kita setelah kita diselamatkan oleh karya penebusan Kristus. Itulah yang saya sebut sebagai melakukan Firman dengan pengertian yang bertanggungjawab. Lalu, kita menjalankan apa yang Taurat perintahkan dengan berbuat baik, dll sesuai kehendak Allah itu dengan rasa kasih, karena kita telah ditebus oleh Kristus dengan kasih-Nya. Kasih Kristus yang berkorban ini memampukan kita juga memiliki kasih di dalam menaati apa yang Tuhan perintahkan. Melakukan Taurat yang dimaksudkan di sini meliputi segala hal, yaitu, perkataan, tindakan dan cara pikir kita harus sesuai dengan maksud dan kehendak-Nya. Di dalam perkataan, misalnya, kita tidak boleh mengucapkan saksi dusta, atau berbicara sekehendak hatinya. Hal ini dipaparkan Yakobus di dalam ayat 26 di dalam Yak. 1, “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Lalu, di dalam pikiran, kita tidak boleh berpikiran yang jorok dan najis di hadapan-Nya. Kita harus memiliki pikiran yang dikuduskan (sanctified mind). Hal ini juga diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri tentang dosa pikiran, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:28). Hal ini diungkapkan oleh Tuhan Yesus sebagai perluasan makna esensi dari kata “Jangan berzinah” (Mat. 5:27). Tuhan Yesus mereinterpretasi Taurat dengan pengertian-Nya, karena Ialah yang menciptakan Taurat itu dan Ia berhak menjelaskan ulang makna asli dari setiap perkataan Taurat. Di dalam tindakan, kita juga dilarang oleh Taurat untuk membunuh, mencuri, dll. Lebih lanjut, Allah sendiri berfirman alasan kita tidak boleh membunuh, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6). Ingatlah, semua perintah di dalam Taurat ini termuat di dalam satu esensi yang paling penting yang Tuhan Yesus sabdakan sendiri, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Matius 22:37-40). Inti hukum Taurat BUKAN keterpaksaan atau ancaman hukuman tetapi kasih. Melakukan Taurat dan Firman Allah harus dengan kasih dan kasih itu sudah diteladankan oleh Tuhan kita Yesus Kristus yang rela berkorban bagi kita. Itulah makna kasih sejati yang memungkinkan kita terus-menerus melakukan apa yang Allah inginkan dengan perasaan kasih bukan keterpaksaan. Oleh karena itu, di dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus pernah bersabda, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:10-12). Anak-anak Tuhan yang dapat menerima aniaya dan penderitaan karena nama Kristus itulah bukti nyata bahwa mereka bukan hanya mengerti firman Tuhan secara kognitif tetapi menjalankannya dengan menerima resiko sambil bersyukur kepada Tuhan. Seorang yang tidak mau menyangkal diri dan memikul salib sambil mengikut-Nya bukanlah menunjukkan seorang Kristen sejati yang melakukan firman-Nya. Seorang “Kristen” yang selalu mengkompromikan berita Alkitab, pastilah mereka bukan orang Kristen yang mengerti Firman, karena mereka tidak melakukan apa yang Allah perintahkan untuk taat kepada-Nya dan menTuhankan Kristus.

Setelah kita merenungkan ayat 13 ini, sudahkah kita sadar bahwa pengertian ini barulah lengkap dan menyeluruh ketika kita mendengar, mengerti sambil melakukan firman Allah ? Lalu, sadarkah kita bahkan melakukan firman Tuhan ini harus dengan perasaan kasih dan hati yang menyenangkan Allah ? Ingatlah, Tuhan melihat hati manusia, bukan fenomena luar manusia. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: