03 May 2009

Roma 15:1-3: JEMAAT YANG SALING MENGUATKAN DAN MENYENANGKAN

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-2


Jemaat yang Saling Menguatkan dan Menyenangkan

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:1-3.



Setelah menjelaskan bahwa anak Tuhan harus menjadi berkat dengan mengejar sesuatu yang mendatangkan damai dan saling membangun/menguatkan di pasal 14 ayat 19 s/d 23, maka Paulus melanjutkan pembahasannya pada aplikasi bagaimana jemaat bisa saling menguatkan. Mengapa saya mengatakan bahwa pasal 15 ayat 1-6 merupakan kelanjutan dari 14:19-23? Karena di ayat 1, Paulus menggunakan kata “Maka” dalam teks aslinya. Terjemahan Baru LAI menerjemahkannya, “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” Terjemahan Baru LAI ini tidak menunjukkan adanya kaitan tersebut. Beberapa terjemahan Inggris ada yang menerjemahkan dengan menambahkan kata then (kemudian), sedangkan beberapa terjemahan Inggris lainnya tidak menerjemahkannya. English Majority Text Version (EMTV), King James Version (KJV), Modern King James Version (MKJV), James Murdock New Testament, 1833 Webster Bible menerjemahkannya dengan menambahkan kata then (=kemudian). God’s Word menerjemahkannya dengan menambahkan kata So (=Oleh karena itu/Jadi). Kata Yunani yang dipakai adalah de bisa diterjemahkan tetapi, dan, dll (but, and, etc). Kata ini menurut struktur bahasa Yunaninya adalah sebuah kata sambung (conjunction) yang menghubungkan kalimat sebelum dan sesudahnya secara setara (coordinating, bukan subordinating). Dengan kata lain, kita mendapatkan pengertian bahwa setelah kita dituntut oleh Paulus untuk menjadi berkat bagi sesama dengan mengejar sesuatu yang mendatangkan kedamaian dan saling membangun, kita dituntut untuk mengaplikasikannya di dalam persekutuan jemaat. Kita yang mengaplikasikannya ini disebut Paulus sebagai orang yang kuat. Kata “kuat” di dalam bahasa Yunaninya adalah dunatos yang berarti berkuasa atau mampu (powerful, capable). Berarti, kita disebut oleh Paulus sebagai orang yang berkuasa atau mampu. Berkuasa dalam hal apa? Berkuasa/mampu dalam mengerti hal-hal rohani. Sesuai konteks, kita mengerti bahwa kata ini dipakai untuk mereka yang bebas makan makanan apa pun tanpa terikat. Nah, agar kita menjadi berkat bagi sesama dengan menguatkan mereka, maka Paulus mengatakan bahwa kita harus membatasi kebebasan kita demi sesama kita. Bagaimana caranya? Paulus membagikannya menjadi dua cara, yang saya sebut sebagai cara positif dan pasif negatif. Cara itu adalah:
Pertama, wajib menanggung kelemahan orang yang lemah. Kata “menanggung” dalam bahasa Yunani adalah bastazō bisa berarti mengangkat (to lift), menanggung/membawa (to bear), membawa (to carry), dll. Di dalam Perjanjian Baru, kata ini muncul sebanyak 27x dan bisa diterjemahkan memikul, mengusung, memberitakan, menahan (penderitaan), bahkan mencuri. (Hasan Sutanto, 2003, Konkordansi Perjanjian Baru Yunani-Indonesia, hlm. 148) Dalam struktur bahasa Yunaninya, kata kerja ini berbentuk present (terus-menerus) dan aktif. Lalu, kata “kelemahan” di sini dalam bahasa Yunaninya adalah asthenēma bisa berarti kelemahan (infirmity) atau keberatan hati nurani (a scruple of conscience). Kata ini hanya muncul satu kali di dalam Perjanjian Baru. Sesuai konteks, kelemahan di sini lebih tepat diterjemahkan seperti arti dari bahasa Yunaninya yaitu keberatan hati nurani, karena konteks menunjukkan bahwa ada jemaat Roma (khususnya yang masih berpegang ada adat-istiadat Yahudi) yang memiliki keberatan hati nuraninya kalau memakan sesuatu yang tidak halal. Dengan kata lain, kita yang kuat rohaninya dituntut oleh Paulus untuk terus-menerus ikut menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah hati nuraninya. Ikutnya kita bersama-sama memikul keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah membuktikan bahwa kita memperhatikan mereka dan kita sudah menjadi berkat bagi mereka. Bagaimana caranya ikut menanggung keberatan hati nurani jemaat yang lemah ini? Di dalam 1 Korintus 8:13, Paulus memberikan contoh konkritnya yaitu ia tidak akan makan daging selama-lamanya jika makanan tersebut menjadi batu sandungan bagi sesama jemaat. Kalau Paulus bisa mempraktikkan apa yang diajarkannya, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita siap ikut menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat? Kalau di konteks Paulus, itu menunjuk kepada makanan, maka di zaman sekarang, itu bisa menunjuk kepada perbedaan doktrin secara sekunder. Kita tidak mau memahami kelemahan/keberatan jemaat lain yang mungkin belum mengerti doktrin-doktrin Alkitab secara mendalam seperti yang telah kita pelajari, tetapi sering kali kita menjadi sombong, lalu mengajar mereka yang tidak mengerti dengan istilah-istilah yang sulit. Ketika kita tahu bahwa ada jemaat yang kurang mengerti atau lemah imannya, bukankah kita yang lebih kuat imannya dipanggil menguatkan mereka, bukan sok jagoan mengajar mereka dengan istilah-istilah theologi yang rumit? Ini menjadi refleksi bagi kita yang sudah belajar theologi. Theologi yang kita pelajari sering membuat kita menjadi sombong di dalam mengajar dan berkhotbah, sehingga pendengar yang belum tentu semuanya berpendidikan tinggi diharuskan mengerti apa yang kita beritakan/ajarkan. Tugas Kekristenan dan theologi yang sehat adalah menjadikan theologi itu “mendarat” di bumi dengan istilah-istilah yang mudah dimengerti namun jelas, berisi, dan bertanggungjawab.

Kedua, tidak mencari kesenangan diri sendiri. Atau dalam terjemahan Yunaninya adalah jangan menyenangkan (KJV: please = menyenangkan) diri kita sendiri. Dalam struktur bahasa Yunaninya, kata kerja ini sama seperti kata kerja menanggung di poin pertama tadi, yaitu menggunakan keterangan waktu present (terus-menerus) dan aktif. Dengan kata lain, selain kita menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah, kita diperintahkan Paulus untuk secara negatif namun aktif untuk tidak terus-menerus menyenangkan diri kita sendiri. Mengapa? Karena bagi Paulus, orang yang terus-menerus menyenangkan dirinya sendiri adalah orang yang egois dan tidak memiliki kasih. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih masa bodoh dengan keberatan hati nurani jemaat lain yang berbeda doktrin dengan kita? Biarlah poin ini menyadarkan kita untuk tidak egois. Orang yang egois tidak akan bisa menjadi berkat bagi sesama jemaat dan itu pun dibenci oleh Allah (bdk. ay. 3).


Setelah kita diajar untuk menanggung keberatan hati nurani orang lain dan tidak terus-menerus menyenangkan diri kita sendiri, lalu apa yang kita kerjakan selanjutnya? Di ayat 2, Paulus mengajarkan, “Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” Di ayat ini, kita diharuskan Paulus untuk menyenangkan sesama kita demi kebaikannya untuk membangun. Paulus sangat teliti memakai kalimat di ayat ini. Ia tidak mengajar bahwa kita harus mencari kesenangan sesama kita, lalu berhenti. Tetapi ia menyambung dengan mengatakan, “demi kebaikannya untuk membangunnya.” Tambahan perkataan ini sangat signifikan untuk kita pelajari. Kita menyenangkan sesama kita bukan untuk kepuasan sesama kita, tetapi demi kebaikannya. Apa bedanya demi kepuasannya dan demi kebaikannya? Jika kita menyenangkan sesama kita demi kepuasannya, itu dilatarbelakangi oleh kekesalan kita karena orang lain itu cerewet bukan main, maka kita menyenangkannya supaya dia merasa puas dan tidak cerewet. Tetapi jika kita menyenangkan sesama kita demi kebaikannya, berarti kita memperhatikan dan mengasihi jemaat tersebut. Ini dua motivasi dan tujuan yang berbeda. Bagaimana dengan kita? Ketika kita mencoba menyenangkan sesama kita, apa motivasi kita? Supaya dia puas dan tidak mengomel lagi ataukah kita benar-benar memperhatikan dan mengasihi mereka?

Cukupkah menyenangkan sesama kita hanya demi kebaikannya saja? TIDAK. Paulus mengatakan bahwa kita harus menyenangkan sesama kita untuk membangunnya. KJV menerjemahkan “membangun” sebagai edification (pendidikan moral atau pengajaran yang baik). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah yang baik untuk pembinaan. (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 873) Dengan demikian, kita mengerti bahwa kita menyenangkan sesama kita tidak berarti kompromi, tetapi bertujuan untuk membina jemaat yang keberatan hati nurani itu supaya mereka bertobat dan kembali kepada pengajaran yang beres. Ujung-ujungnya, standarnya tetap adalah Kebenaran, bukan kompromi-isme seperti yang diilahkan oleh banyak orang postmodern. Bagaimana dengan kita? Apakah ketika kita menyenangkan sesama, kita mengkompromikan iman dan kebenaran hakiki? Ataukah ketika menyenangkan sesama kita, kita tetap bertujuan menuntun mereka kembali kepada kebenaran?


Mengapa kita harus menyenangkan sesama kita? Paulus memberikan dasar pijaknya yaitu teladan dari Kristus sendiri di ayat 3, “Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: "Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku."” Kata “mencari kesenangan” seperti di dua ayat di atas seharusnya diterjemahkan “menyenangkan.” Berarti, Kristus sendiri tidak menyenangkan diri-Nya sendiri. Kalau Kristus mau menyenangkan diri sendiri, itu tidak sulit bagi-Nya, karena Ia adalah Anak Allah, Ia bebas melakukan apa pun. Tetapi puji Tuhan, di dalam kebebasan-Nya, Ia “membatasi” kebebasan-Nya dengan rela menanggung semua hinaan manusia berdosa yang ditujukan kepada Bapa. Ia lebih memikirkan bagaimana menggenapi kehendak Bapa ketimbang memikirkan kesenangan diri. Saya mengganti “Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku."” dengan menanggung semua hinaan manusia berdosa yang ditujukan kepada Bapa, karena Mazmur 69:10b yang secara konteks menunjuk kepada Daud di dalam doa kesesakannya, sekarang dipakai Paulus untuk menjelaskan tentang Kristus dan itu memang benar. Mengapa Ia mau menanggung celaan manusia yang ditujukan kepada Bapa? Karena Ia mengasihi manusia berdosa. Seperti Kristus yang telah menjadi teladan bagi umat Tuhan dengan menanggung celaan yang dilontarkan manusia kepada Bapa dengan tujuan agar umat pilihan-Nya yang termasuk di dalamnya itu diperdamaikan dengan Bapa-Nya, bertobat, dan menerima-Nya, maka kita pun sebagai anak-Nya harus menanggung kelemahan/keberatan hati nurani jemaat lain dengan tujuan agar jemaat yang lemah imannya itu boleh dikuatkan dan diajar melalui perhatian dan kasih kita yang mengajar mereka. Sudahkah kita siap dipakai Tuhan menjadi berkat bagi sesama kita dengan menguatkan mereka yang lemah imannya?


Biarlah renungan dari 3 ayat ini menguatkan kita untuk terus-menerus menjadi saluran berkat bagi sesama kita dengan saling menguatkan dan menyenangkan sesama kita dengan standar kebenaran. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: