22 March 2009

Roma 14:4-6: KONSEP MENGHAKIMI-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-15


Konsep Menghakimi-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:4-6.



Setelah membahas mengenai dasar untuk jangan menghakimi di ayat 1-3, maka Paulus melanjutkan mengapa kita tidak boleh menghakimi hal-hal yang sekunder. Alasan ini akan kita uraikan dalam tiga bagian, di mana bagian pertama ini, kita akan membahas ayat 4-6.

Di ayat 4, Paulus mengingatkan alasan jemaat Roma untuk tidak menghakimi hal-hal yang sekunder, yaitu, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Di ayat ini, Paulus mengatakan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?” Mengapa Paulus tidak mengatakan, “..., sehingga kamu menghakimi orang lain?” Apa signifikansi kata “hamba” di ayat ini? Kata Yunani yang dipakai untuk “hamba” bukan doulos, tetapi oiketēs yang bisa diartikan (household) servant (atau pembantu rumah tangga) Dengan kata lain, kita mendapatkan gambaran bahwa setiap orang dihubungkan dengan tuan yang memilikinya. Ambil contoh, bos X tidak bertanggungjawab atas karyawan bos Y, karena karyawan bos Y harus bertanggungjawab terhadap bos Y, bukan kepada bos X. Begitu juga dengan Allah kita. Allah memelihara setiap umat-Nya. Pemeliharaan umat-Nya ini digambarkan Paulus dengan kata “berdiri” dan “jatuh.” Seorang penafsir menafsirkan “berdiri” sebagai seorang yang melayani Tuhan, sedangkan “jatuh” sebagai orang yang telah keluar dari anugerah Allah. Dengan kata lain, di dalam kedaulatan-Nya, Ia membiarkan seseorang melayani-Nya (di dalam anugerah-Nya), di sisi lain, Ia juga membiarkan orang-orang tertentu keluar dari anugerah-Nya (reprobasi/tertolak). Siapa pun orang yang dipilih Allah untuk menjadi anak-Nya atau bukan itu tergantung pada kedaulatan Allah dan kita tidak punya wewenang untuk menghakimi seseorang sebagai orang yang tidak dipilih Allah hanya gara-gara orang lain tidak menganut doktrin seperti yang kita anut (doktrin sekunder). Bagaimana dengan kita? Kita terkadang terlalu mudah menghakimi orang lain bahkan gereja lain yang berbeda doktrin dalam hal-hal SEKUNDER. Bukan hanya menghakimi, kita dengan mudahnya menjatuhkan lagnat, fitnahan, bahkan kutukan kepada mereka yang tidak setuju dengan pemikiran kita. Ambil contoh, gereja-gereja tertentu langsung mengatakan bahwa baptisan bayi dan percik itu tidak “Alkitabiah,” hanya gara-gara gerejanya menjalankan penyerahan anak dan baptisan selam. Hal-hal sekunder ini biarlah tidak memancing perdebatan tanpa arah yang jelas. Sebisa mungkin, belajarlah untuk menerima ajaran gereja lain dalam hal-hal SEKUNDER. Jika dimungkinkan, marilah kita sama-sama belajar dari Alkitab tentang suatu ajaran. Jika salah satu pihak tidak mau menerima, ya, biarkan saja, karena itu hal-hal sekunder yang tidak perlu diributkan. Hal ini tidak berarti kompromi! Jangan pernah mengkompromikan doktrin-doktrin dasar iman Kristen orthodoks, tetapi kita boleh bersikap “agak fleksibel” untuk doktrin-doktrin sekunder dalam iman Kristen.

Bukan hanya masalah “berdiri” dan “jatuh,” Paulus juga membahas tentang “berdiri,” yaitu “Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Seseorang dapat “berdiri” atau melayani Tuhan, itu semua adalah anugerah Allah, sehingga umat Tuhan yang saling melayani hendaklah saling bersekutu dan membangun, bukan menjatuhkan. Berapa banyak dari kita yang katanya melayani Tuhan, sebenarnya kita tidak melayani Tuhan, tetapi kita melayani diri kita sendiri. Kita melayani Tuhan sambil menjatuhkan sesama pelayan Tuhan lainnya dengan beribu alasan, salah satunya tidak sesuai dengan “konsep pelayanan” kita. Biarlah kita yang suka menjatuhkan orang lain di dalam pelayanan hari ini segera bertobat. Ingatlah, Tuhan yang memberi anugerah kepada kita untuk melayani-Nya. Biarlah kita melayani-Nya dengan bertanggungjawab, gentar, dan takut akan Tuhan.


Alasan kedua Paulus melarang jemaat Roma agar tidak terlalu cepat menghakimi hal-hal sekunder adalah karena setiap orang harus bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Alasan ini diuraikan Paulus di ayat 5-6. Di ayat 5, Paulus membahas tentang perbedaan konsep tentang hari. Ada orang yang menganggap hari tertentu lebih penting dari hari yang lain, sedangkan orang yang lain menganggap semua hari itu sama saja. Perbedaan ini bagi Paulus tidaklah penting, yang terpenting adalah iman dari orang-orang yang percaya itu. Jika seseorang diyakinkan dalam hatinya bahwa hari tertentu lebih penting ketimbang hari lain, biarlah ia melakukannya untuk Tuhan. Bukan hanya tentang hari, di ayat 6, Paulus juga membahas tentang makan atau tidak makan (bdk. ay. 2) dalam hubungannya dengan sayur-sayuran atau tidak. Yang unik di ayat 6 adalah Paulus mengatakan bahwa mereka yang makan atau tidak makan semua jenis makanan, semuanya melakukan hal tersebut (makan) untuk Tuhan dan ia mengucap syukur kepada Allah (terjemahan NIV: karena ia mengucap syukur kepada Allah). Dengan kata lain, orang yang makan atau tidak makan, biarlah mereka melakukannya dengan tanggung jawab penuh kepada Allah, karena mereka bersyukur kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Kadang kita terlalu mempermasalahkan suatu cara baptisan, bahkan ada yang mengutuk bahwa baptisan percik itu tidak “Alkitabiah” dan barangsiapa yang dibaptis percik tidak selamat, sehingga harus dibaptis selam. Kedua ayat ini mengingatkan kita tentang sikap kita di dalam menghadapi doktrin-doktrin sekunder yang tidak perlu diperdebatkan. Ketika ada orang yang mempercayai baptisan selam, biarlah ia melakukannya untuk Allah dengan penuh tanggung jawab sebagai ungkapan syukur kepada-Nya, begitu juga dengan penganut baptisan percik. Penganut baptisan selam JANGAN memaksa orang Kristen dari gereja yang menganut baptisan percik untuk diselam lagi. Yang dipentingkan BUKAN cara baptisan, tetapi esensi baptisan, yaitu pengakuan iman di depan umum, bukan syarat keselamatan! Setiap penganut cara baptisan yang berbeda biarlah mempertanggungjawabkan masing-masing di hadapan Tuhan nanti. Begitu juga halnya dengan hal-hal sekunder lainnya.


Biarlah setelah kita merenungkan tiga ayat ini secara singkat, kita mendapatkan penjelasan tentang alasan jangan menghakimi orang lain di dalam hal-hal SEKUNDER. Sudahkah kita berkomitmen untuk lebih taat kepada Kebenaran Firman, ketimbang pada suatu denominasi/ajaran tertentu? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: