22 February 2009

Roma 13:10: UTANG KASIH-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-12


Utang Kasih-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:10.



Setelah membahas tentang mengasihi sesama di ayat 9, Paulus menjelaskan arti yang lebih mendalam tentang mengasihi sesama manusia. Dunia mengerti bahwa mengasihi sesama berarti berbuat baik bagi sesama. Apakah hal ini salah? Tidak. Alkitab sendiri mengajar bahwa mengasihi sesama manusia berarti tidak berbuat jahat kepada sesama kita. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 10, “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.” Apa artinya kasih tidak berbuat jahat? Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah tidak melakukan yang jahat/yang salah (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 867-868). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Love never does anything that is harmful to its neighbor.” (= Kasih tidak pernah melakukan apa pun yang berbahaya bagi sesamanya.) Literal Translation of the Holy Bible (LITV) menerjemahkannya, “Love does not work evil to the neighbor.” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) New King James Version (NKJV) menerjemahkannya, “Love does no harm to a neighbor;” (=Kasih tidak membahayakan sesama;) English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Love does no wrong to a neighbor;” (=Kasih tidak melakukan yang salah kepada sesama;) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Love worketh no ill to his neighbour:” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) Kata “jahat” dalam bahasa Yunaninya adalah kakos berarti worthless (tidak bernilai). Dengan kata lain, kasih yang tidak berbuat jahat adalah kasih yang tidak berbuat sesuatu yang tidak bernilai. Artinya, kasih sejati adalah kasih yang melakukan sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesamanya. Hal ini mirip dengan pengajaran Paulus di pasal dan ayat sebelumnya, yaitu di pasal 12 ayat 9, yaitu, di mana kasih menjauhi kejahatan. Dunia kita mengajarkan prinsip yang terbalik. Dunia kita memang mengajar bahwa kasih itu berarti memberikan yang baik atau berbuat baik bagi sesama. Tetapi apa konsep baik itu? Dunia kita tidak bisa mendefinisikan dengan tepat. Mereka beranggapan bahwa baik itu adalah yang menguntungkan, menggembirakan, dll, sedangkan yang tidak menguntungkan itu tidak baik. Alkitab mengajarkan konsep yang bertolak belakang dari konsep dunia, meskipun kelihatan mirip. Alkitab mengajar bahwa kasih itu melakukan sesuatu yang bernilai kepada sesama. Di sini, baik dikaitkan dengan bernilai. Apakah yang dimaksud dengan baik yang bernilai? Di ayat sebelumnya (13:9), Paulus telah membahasnya bahwa inti hukum Taurat adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan Tuhan Yesus juga mengajar bahwa mengasihi Allah dahulu baru mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-40). Dari dua alasan ini, kita mendapatkan gambaran bahwa berbuat baik adalah berbuat sesuatu yang bernilai dan berbuat sesuatu yang bernilai adalah berbuat sesuai nilai kebenaran Allah. Ketika kita berbuat sesuatu sesuai nilai kebenaran Allah, maka tentu apa yang kita lakukan akan berbeda total dengan apa yang dunia ajarkan dan praktikkan. Ini diakibatkan karena konsep nilai kita didasarkan pada konsep nilai kekekalan, bukan kesementaraan. Seseorang yang memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti memiliki hati, motivasi, pola pikir, dan perbuatan baik yang mengutamakan prinsip-prinsip kekekalan, yaitu: kebenaran, kesucian, keagungan, kebajikan, keadilan, dll. Sedangkan orang yang tidak memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti mempraktikkan seluruh pola pikir dan tindakan yang berpusat pada nilai kesementaraan (antroposentris). Dari konsep ini, kita bisa membedakan sendiri antara kasih yang theosentris vs kasih yang antroposentris.


Kembali, lalu bagaimana kita bisa memiliki kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesama kita?
Pertama, kasih yang menguatkan sesama. Kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai itu adalah kasih yang menguatkan. Menguatkan di sini berarti memberikan kekuatan kepada sesama kita di kala sesama kita sedang bersedih atau lemah imannya. Bagaimana kita bisa menguatkan sesama? Ketika sesama/rekan kita sedang kesusahan karena ditinggalkan salah satu keluarganya, kita sering kali menghiburnya dengan mengutip rangkaian kata-kata mutiara dari Alkitab. Itu tidak salah, tetapi kurang tepat. Mengapa? Karena pertama, penghiburan bukan datang dari rangkaian kata-kata mutiara Alkitab yang kita kutip, tetapi dari kesungguhan hati kita bersimpatik kepadanya. Kedua, mungkin sekali orang yang sedang berduka menuding kita secara implisit bahwa kita bisa berkata demikian karena kita tidak mengalami musibah seperti dirinya. Di sini, kita perlu bijaksana untuk menguatkan sesama kita yang sedang berduka. Bagaimana dengan sesama kita yang lemah imannya? Kadang kala ketika kita mengetahui bahwa sesama kita imannya lemah, kita langsung melontarkan ratusan ayat Alkitab. Itu kurang tepat. Tindakan kita yang lebih bijaksana adalah mendengarkan apa yang dia utarakan mengenai kelemahan imannya dan alasannya. Di dalam mendengarkan, Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.T.S. mengajarkan konsep pertamanya yaitu memperhatikan (attention). Artinya, di dalam mendengarkan, kita perlu memperhatikan teman/rekan kita yang bicara. Dengan terus memperhatikan, kita bisa mengetahui akar masalah mengapa sesama kita memiliki iman yang lemah. Misalnya, seorang teman saya yang Kristen kurang memiliki hati untuk Tuhan, mengapa? Karena dia sempat berkata bahwa dia banyak mengalami hal-hal yang dia tidak inginkan, misalnya HPnya dicuri waktu di mall, beberapa perhiasannya bisa hilang di rumah sendiri, dll. Saya mencoba mendengarkan apa yang dia alami, lalu saya mencoba mengurusi inti masalahnya, yaitu kadang kala Tuhan mengizinkan semuanya terjadi demi kebaikan kita, bukan karena Tuhan itu jahat. Saya sendiri pribadi mengalami hal itu, di mana apa yang saya inginkan tidak terjadi dan di situ Tuhan mengajar saya banyak hal tentang apa arti menyangkal diri. Hal inilah yang saya bagikan kepada teman saya ini. Jadi, bukan hanya teori saja yang kita paparkan, tetapi galilah dari pengalaman hidup kita sendiri untuk dibagikan kepada sesama kita yang memiliki iman yang lemah.


Kedua, kasih yang menegur sesama. Selain menegur, kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai bisa diwujudnyatakan dengan menegur sesama. Apa, menegur sesama? Bukankah kita sering mendengar ucapan seorang “Kristen”, “Jangan menghakimi” kepada orang Kristen/hamba Tuhan yang menegur dosa orang lain? Benarkah itu? TIDAK! Alkitab mengajar bahwa kita perlu menegur dosa! (bdk. 2Tim. 4:2) Justru, Alkitab mengajar bahwa ketika kita menegur, kita menunjukkan kasih kepada orang yang kita tegur. Tetapi, apakah teguran selalu bermakna kasih? Ya dan tidak. Ya, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi kasih, cara kasih, dan tujuan kasih. Tidak, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi, cara, dan tujuan yang tidak beres (menjatuhkan). Dua pembeda inilah yang juga membedakan antara perkataan “Kau berdosa” yang dilontarkan oleh Tuhan Allah vs iblis. Mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong, ketika Allah berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti Ia mengingatkan kita bahwa kita berdosa, lalu disambung dengan perkataan, “maka bertobatlah kamu, karena Anak-Ku sudah mati bagimu,” tetapi ketika setan berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti iblis mengatakan, “kau berdosa, enak jadi anak buahku.” Itulah teguran yang harus kita bisa bedakan.

Teguran yang sejati adalah teguran yang:
Pertama, lahir dari motivasi kasih. Teguran yang lahir dari motivasi kasih adalah teguran yang membangun. Saya akan memberikan ilustrasi. Ketika kita mengetahui ada teman kita yang (maaf) resleting celananya terbuka, apa yang kita lakukan? Membiarkannya? TIDAK! Kita pasti menegur/mengingatkannya. Ketika kita mengingatkannya, kita pasti melakukannya dengan motivasi kasih, yaitu, supaya teman kita itu tidak malu, bukan dengan motivasi menjatuhkan dia. Bagaimana dengan kita? Apakah kita menegur sesama kita dengan motivasi kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Kedua, dilakukan dengan cara kasih. Teguran bukan hanya bermotivasi kasih, tetapi juga dengan cara kasih. Artinya, kita menegur sesama kita dengan cara-cara yang sopan, halus, tetapi tidak berkompromi. Hal inilah yang diajarkan Paulus di dalam 2Tim. 4:2 yaitu menegur mereka dengan kesabaran dan segala pengajaran. Artinya, kita tetap menegur dengan mengajar orang yang kita tegur, tetapi itu kita lakukan dengan kasih, bukan untuk menjatuhkan. Misalnya, ketika orangtua mengetahui bahwa anaknya kurang mandiri, adalah tindakan yang bijaksana jika orangtua tersebut tidak meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” tetapi orangtua tersebut seharusnya memberikan teguran dan saran positif bagaimana supaya anaknya mandiri. Jika ada orangtua yang terus meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” itu tidak ada bedanya dengan iblis yang meneror manusia! Itu bukan teguran dengan cara kasih, tetapi teguran dengan cara menjatuhkan (meskipun orangtua itu akan memakai segudang argumentasi “logis” bahwa dia menegur seperti itu karena dia “mengasihi” anaknya) dan itu yang iblis pakai ketika meneror manusia. Berhati-hatilah, bedanya tipis sekali. Tetapi, apakah berarti dengan demikian, kita harus terus lemah lembut kepada semua orang yang kita tegur? Ya dan tidak. Itu tergantung pada pimpinan Roh Kudus kepada kita. Ketika Roh Kudus memimpin kita untuk menegur seseorang dengan keras, maka kita harus menegur orang itu dengan keras. Meskipun keras, teguran itu pasti berdampak baik pada orang yang kita tegur, karena itu dalam pimpinan Roh Kudus. Sebaliknya, ada orang yang imannya masih kanak-kanak perlu ditegur dengan cara yang halus, itu pun kita harus peka pada pimpinan Roh Kudus. Jadi, cara kasih bukan berarti mutlak harus dengan lemah lembut, dll! Itu bukan kemutlakan, tetapi hanya sebuah cara yang harus disesuaikan dengan kepekaan kita menerima pimpinan Roh Kudus ketika menegur seseorang. Contoh, Tuhan Yesus menegur Petrus dengan mengatakan bahwa dia setan (Mrk. 8:33), apakah berarti Ia tidak menggunakan cara kasih ketika Ia menegur Petrus? TIDAK! Ia tetap mengasihi Petrus, tetapi cara yang Ia pergunakan adalah cara yang keras yang hanya ditujukan kepada Petrus yang menghalangi cara kerja Allah.

Ketiga, bertujuan kasih. Kasih yang menegur adalah menegur dengan tujuan kasih. Ini adalah tujuan terakhir dari sebuah teguran. Ketika teguran hanya berakibat orang yang ditegur menjadi marah, maka tujuan akhir dari teguran itu gagal. Tetapi jika teguran itu berakibat orang yang kita tegur berubah dan menjadi baik, maka tujuan akhir teguran kita berhasil. Di atas semuanya, Roh Kuduslah yang paling berperan, karena Ia lah yang memakai teguran kita efektif atau tidak bagi orang yang kita tegur. Dari konsep ini, hendaklah kita JANGAN pernah mengatakan bahwa jika orang yang kita tegur bertobat, lalu itu adalah usaha kita! JANGAN pernah mengambil kemuliaan Allah! Ketika orang yang kita tegur menjadi bertobat, itu berarti anugerah Allah, sedangkan kalau orang yang kita tegur tidak mau bertobat, itu berarti ada waktu Allah yang tidak ketahui atau mungkin orang yang kita tegur bukan umat pilihan-Nya. Biarlah tujuan akhir dari teguran kita benar-benar berpusat pada Allah, bukan pada diri kita. Ingatlah, Alkitab mengajarkan satu prinsip tunggal: ANUGERAH ALLAH! Jangan pernah membanggakan jasa baik kita apa pun, tetapi muliakan Tuhan saja! Hanya Tuhan! Hanya Tuhan! Biarlah kita disadarkan akan konsep ini.


Lalu, mengapa kita bisa mengatakan bahwa kasih itu tidak berbuat jahat kepada sesama? Paulus menjelaskan alasannya yaitu karena kasih adalah kegenapan hukum Taurat. Kegenapan di sini berarti kasih menggenapi/menuntaskan seluruh hukum Taurat. Dengan kata lain, inti hukum (Taurat) adalah kasih. Kasih itu meliputi 2 hal: kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Mat. 22:37-40). Jadi, kita bisa mengasihi sesama kita dengan tidak berbuat jahat kepada sesama sesudah kita mengasihi Allah terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi sesama dengan berbuat sesuatu yang bernilai kepada sesama kita?


Biarlah setelah merenungkan 1 ayat ini saja, kita ditegur dan diingatkan betapa pentingnya kasih yang disertai kebenaran, keadilan, kesucian, keagungan, dan kebajikan. Maukah hari ini kita berkomitmen mengasihi sesama kita dengan kasih Allah sejati? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: