22 December 2008

Matius 12:6-8: IMAN DAN HUKUM-3 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 05 November 2006

Iman & Hukum-3
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:6-8

Pendahuluan
Kita telah memahami sebelumnya bahwa hukum sejati haruslah mengandung unsur kebenaran, kesucian dan cinta kasih dan semua unsur tersebut hanya ada dalam Kristus Yesus. Kristus adalah kebenaran yang hidup, Kristus adalah suci dan Kristus adalah kasih maka jelaslah bahwa hukum yang sejati tidak dapat dilepaskan dari Kristus; hukum akan menjadi kacau dan rusak kalau dilepaskan dari Kristus. Hari ini kita akan menajamkan kembali hukum yang dikaitkan pada kasih karena hal inilah yang membedakan iman Kristen dengan kepercayaan lain.
Kita tahu, hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari cinta dan keadilan. Cinta dan keadilan ini Tuhan tanamkan dalam diri setiap manusia, tetapi kejatuhan dalam dosa membuat pengertian cinta kasih dan keadilan menjadi rusak total karena manusia telah terlepas dari Allah. Calvin sangat menyadari bahwa dosa mengakibatkan kerusakan total, total depravity maka segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh manusia bukan membawa manusia pada pengertian hukum dan kasih yang sejati tapi malah semakin menghancurkan manusia. Orang tidak mengerti hubungan antara kasih dan keadilan.
Pada jaman Perjanjian Lama, orang salah megintepretasi hukum-hukum yang ada pada saat itu akibatnya hukum dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu hidup mereka dan celakanya, mereka menyangka dengan melakukan semua hukum tersebut mereka sedang beribadah kepada Tuhan, mereka sedang menjalankan kebenaran. Pemikiran yang salah! Biasanya, orang yang biasa terjebak dalam konsep ini adalah mereka yang mempunyai konsep yang berbasis pada filsafat wahyu tapi tidak mau kembali pada Allah yang sejati. Agama Yudaisme dan agama Islam menyatakan diri sebagai agama wahyu, yakni agama diturunkan langsung dari sorga. Mereka percaya kalau semua yang tertulis dalam kitab suci berasal dari Tuhan namun ironis, mereka justru menolak Kristus Tuhan, the center of revelation. Akibatnya mereka hanya mengenal Allah sebagai Allah yang adil, mereka kehilangan esensi paling dasar, yaitu Allah adalah kasih maka hukum tidak lebih sekedar peraturan-peraturan belaka dan kehilangan esensi. Orang tidak pernah mengerti kenapa hukum itu dibuat? Apa yang menjadi motivasi dibalik aturan tersebut? Karena itu, Tuhan Yesus datang dan mengkoreksi pemikiran mereka yang salah, Tuhan Yesus membukakan pada mereka apa yang menjadi motivasi dibalik hukum tersebut?
Dalam agama Yudaisme maupun agama Islam mengenal konsep kasih tapi realitanya, kasih itu tidak terimplikasi dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam relasi suami-istri dimana relasi itu yang paling penting dalam pembentukan cinta kasih, disana tidak ada kasih. Agama Islam mengenal konsep poligami namun ditengah-tengah masyarakat, konsep poligami itu sendiri pun masih banyak perdebatan. Ada sebagian orang yang setuju asal ada keadilan di dalamnya dan sebagian orang lagi tidak setuju karena cinta tidak dapat dibagi dengan adil. Di tengah perdebatan ini, seorang tokoh agama Islam menyatakan bahwa poligami itu salah kalau didasarkan atas hawa nafsu atau ketertarikan secara sexual belaka. Adapun latar belakang konsep poligami, yakni: 1) untuk mereduksi poligami yang terjadi jaman itu dari banyak istri dikurangi maksimal 4 orang saja; 2) untuk mempertahankan status, seorang janda dari raja statusnya akan turun kalau ia menikah dengan budak tapi dalam hal ini ia tidak boleh berhubungan sex, 3) menjaga keadilan. Dibalik semua pendapat yang ada tersebut, perhatikan ada sesuatu yang hilang, yaitu unsur kasih. Tidak ada satu pun pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan mereka terjadi karena unsur cinta kasih. Orang tidak sadar bahwa kasih merupakan unsur yang paling penting dalam relasi suami-istri. Tidak ada relasi lain, hanya relasi antara suami istrilah yang dapat mengimplikasikan cinta kasih terbesar. Apakah kita mempunyai cinta pada teman lebih besar daripada pada istri atau suami kita? Tidak, bukan? Tentu saja, cinta terbesar itu kita berikan pada suami atau istri kita; cinta kasih terbesar itu hanya ada dalam hubungan pernikahan. Maka dapatlah dibayangkan apa yang terjadi dengan pernikahan kalau tidak ada cinta kasih didalamnya.
Konsep keadilan sangatlah ditekankan oleh orang Israel maupun orang Yahudi tetapi orang tidak memahami apa artinya adil? Darimana mengukur adil? Akibatnya orang mengukur keadilan dari konsep material; hukum telah merosot sampai ke tingkat yang paling rendah. Manusia hidup di dunia ini tidak lepas dari peraturan atau hukum. Tidak dapat dipungkiri, manusia hidup membutuhkan hukum; negara juga membutuhkan hukum namun pertanyaannya apa yang menjadi landasan dasar suatu aturan/hukum itu dibuat? Pada umumnya, orang membuat aturan atau hukum karena alasan material; hukum hanya membicarakan bagaimana mendapatkan atau membagi materi secara merata dan adil. Orang lupa kalau sesungguhnya bukan materi yang utama tetapi yang lebih penting adalah motivasi dibalik hukum tersebut.
Hukum yang benar tidak boleh dilepaskan dari Kristus Sang Pemberi hukum. Tuhan Yesus mengkritik keras orang Yahudi dalam penerapan hukum. Tuhan Yesus menegaskan bahwa “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah“ (Mat. 12:7). Ketika kita menjalankan hukum dimana didalamnya hanya ada unsur keadilan maka hukum itu menjadi sangat kejam karena hukum dijalankan demi untuk memuaskan kepentingan pribadi semata. Orang lupa bahwa di dalam hukum haruslah ada unsur belas kasihan. Kasih haruslah menjadi motivasi hukum; cinta kasih merupakan esensi Allah dan cinta kasih merupakan inti iman Kekristenan.
Pertanyaannya adalah kenapa hukum harus dimotivasi oleh cinta kasih? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama, cinta sejati selalu menginginkan yang terbaik.
Cinta sejati adalah cinta yang mau berkorban dan tulus. Kristus mengasihi manusia, Dia mau berkorban untuk manusia; Dia berbelas kasih pada obyek yang dikasihi-Nya dan atas dasar kasih inilah, Ia memberikan hukum. Hukum sejati diatur dan dikerjakan karena dimotivasi oleh true love. Karena itu, hukum tidak dapat dilepaskan dari Kristus yang adalah esensi hukum. Namun sangatlah disayangkan, hari ini kita menjumpai banyak orang membuat hukum tapi hukum yang dibuat justru semakin membuat kekisruhan dan ketegangan dan menimbulkan ketidakpuasan karena semua hukum itu dibuat untuk menyelesaikan masalah demi memuaskan diri; cinta menjadi manifestasi egoisme diri. Betapa indah dunia ini kalau hukum dimotivasi oleh cinta kasih. Seorang pemimpin yang baik, ketika ia membuat hukum haruslah dimotivasi oleh kasih karena ia mengasihi rakyatnya. Namun, dosa menyebabkan konsep kasih tercemar akibatnya hukum yang dibuat pun adalah hukum yang memuaskan diri sendiri. Orang yang berhak membuat peraturan atau hukum haruslah orang yang mempunyai kasih dan peduli akan obyek yang hendak dijadikan hukum. Janganlah sekali-kali kita meminta orang yang tidak mempunyai hati yang berbelas kasih untuk membuat suatu peraturan. Apalah artinya sebuah aturan kalau aturan tersebut malah menyengsarakan orang? Aturan haruslah menjadikan orang lebih baik. Jangan membuat aturan karena didasari oleh rasa benci atau rasa jengkel pada seseorang karena hukum tersebut menjadi kacau. Biarlah kita mengevaluasi diri apakah ketika kita membuat hukum itu dimotivasi oleh cinta kasih?
Kedua, cinta sejati tidak akan mencelakakan.
Hukum yang dimotivasi oleh kasih sejati tidak akan mencelakakan orang/golongan tertentu; hukum dibuat demi menjaga keadilan atau kebaikan. Jikalau ada orang yang ingin mencelakakan kepentingan mayoritas maka ia harus dihambat dengan hukum. Bayangkan, apa jadinya negara ini kalau seorang penjahat atau seorang teroris yang telah berbuat kejahatan dan mencelakakan banyak orang tetapi tidak dihukum karena alasan cinta kasih? Tentu saja, negara akan menjadi sangat kacau. Akan tetapi, perlu diingat, hukum yang dimotivasi oleh kasih bukan tidak menghukum orang yang bersalah. Tidak! Hukum yang dimotivasi oleh kasih menghukum orang karena ia telah mencelakakan orang lain. Perhatikan, ketika Allah menerapkan hukum-Nya maka semua itu dimaksudkan demi untuk kebaikan kita; Allah tidak ingin mencelakakan manusia. Cinta kasih yang sejati justru menginginkan supaya dosa dihentikan karena dosa selalu bersifat menghancurkan; dimana ada dosa maka disana pasti ada kebinasaan; dimana ada dosa, moralitas manusia semakin rusak; dimana ada dosa, dunia menjadi kacau, chaos. Biarlah kita mengevaluasi diri bagaimana dengan hukum yang kita terapkan di keluarga kita? Apakah aturan tersebut sudah didasari oleh cinta kasih sehingga tidak mencelakakan orang lain? Betapa indah dunia ini kalau hukum yang dijalankan adalah hukum yang dimotivasi oleh cinta kasih.
Ketiga, cinta sejati selalu ingin menopang mereka yang berada dalam kesulitan.
Hukum yang diterapkan di dunia seringkali menyeleweng bahkan merugikan dan menindas golongan lain yang lemah karena dunia memakai konsep survival of the fittest, yakni siapa kuat maka dia yang menang ditambah lagi dengan konsep utilitarian yang telah mengakar kuat dalam diri manusia. Konsep utilitarian mengajarkan konsep manfaat maka kepentingan kelompok marginal, kelompok minoritas yang dianggap tidak menguntungkan atau bermanfaat akan langsung disingkirkan. Kelompok mayoritas yang lebih dipentingkan sebab kebenaran-kebenaran yang paling inti justru menjadi hilang. Hal ini dibuktikan dengan kematian Kristus; Tuhan Yesus yang penuh cinta kasih dan kebajikan ini harus dikorbankan/dibinasakan karena Dia hanyalah kelompok minoritas. Hukum dibuat untuk menjaga kelompok yang tertindas tapi bukan berarti kelompok minoritas yang tertindas kalau berbuat salah tidak dihukum. Tidak! Meski minoritas tapi kalau bersalah, mereka juga harus dihukum dan meski minoritas, mereka harus melakukan hal yang positif dan hidup baik, mereka juga tidak boleh mencelakakan siapapun. Hanya kelompok minoritas ini harus mendapat perhatian lebih dengan demikian mereka selalu terlindungi. Alkitab menegaskan bagian-bagian tubuh yang paling lemah dan tidak diperhatikan orang justru mendapat perhatian khusus. Inilah cara Tuhan melihat suatu hukum dan keadilan. Jelaslah bahwa tanpa Kristus, tidak ada pengharapan di dunia. Betapa indahnya hidup kita kalau Kristus bertahta dan menjadi Tuhan atas hidup kita. Biarlah dalam seluruh aspek hidup kita cinta kasih yang sejati itu mewarnai hidup kita dengan demikian ketika kita membuat suatu hukum atau aturan, hal itu dapat menolong orang keluar dari kesulitan bukan semakin menjerat orang lebih dalam kesulitan dan penderitaan.
Segala sesuatu yang dimotivasi oleh iman Kristen akan menghasilkan sesuatu yang baik karena cinta kasih sejati akan membawa kita pada hukum yang sejati dan hukum yang sejati akan membawa kita pada hidup yang sejati, the true love brings the true law and give the true live maka kita merasa nyaman. Untuk memudahkan kita memahami maka love – law – live dapatlah digambarkan seperti sebuah segitiga yang saling bergantung satu dengan yang lain. Dunia tidak pernah mengerti akan konsep ini karena mereka mempunyai konsep iman yang salah. Disini, iman mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap konsep pemikiran kita dan cara berpikir kita mempengaruhi perbuatan kita. Tentang hal ini telah disadari oleh Francis Schaeffer, yakni I do what I think and I think what I believe.
Montesque sebelumnya memiliki konsep bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan pemimpin; pemikiran ini dilatarbelakangi oleh imannya yang mengajarkan bahwa pemimpin tertinggi di tangan Paus dan Pope can’t do no wrong. Namun setelah ia dibukakan dan diubahkan paradigmanya, Montesque melihat ada kesalahan dalam konsep otoritas tunggal tersebut. Montesque berafiliasi pada pemikiran Calvin dan ia mengeluarkan teori politik yang dipakai di seluruh dunia, yaitu trias politica yang mengajarkan bahwa pemerintahan tidak boleh berada di tangan satu orang saja maka Montesque membaginya menjadi 3 lembaga, yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif dimana ketiganya saling berkait dan saling mengawasi. Jelas kita melihat iman sangat mempengaruhi politik dan hukum; kalau iman kita salah maka seluruh implikasi hukum juga salah.
Hendaklah kita senantiasa memohon kekuatan dari Tuhan dalam kita menerapkan hukum yang sejati di tengah dunia yang bobrok ini dan kita juga memohon pertolongan dan bijaksana sorgawi dalam kita membuat suatu hukum atau aturan dengan demikian hukum itu didasari oleh cinta kasih sejati dan hidup manusia pun menjadi nyaman. Biarlah kita diubahkan dalam seluruh paradigma dengan demikian setiap langkah dan setiap keputusan yang kita ambil dimotivasi dengan suatu prinsip keadilan dan cinta kasih sejati. Biarlah kita pakai Tuhan menjadi saksi-Nya, menjadi terang-Nya di tengah dunia yang gelap. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: