01 December 2008

Matius 12:1, 8, 50: KRISTUS ADALAH TUHAN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 24 September 2006

Kristus adalah Tuhan
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 12:1, 8, 50


Pendahuluan
Hari ini kita masuk pada injil Matius pasalnya yang kedua belas di mana pada pasal ke-12 ini Matius membukakan pada kita tentang siapakah Kristus, yaitu Kristus adalah Tuhan. Injil Matius 12 ini dibuka dengan suatu peristiwa yang terjadi pada hari Sabat. Seperti kita ketahui hari Sabat adalah hari yang sangat penting bagi orang Yahudi dimana didalamnya banyak aturan Sabat yang harus ditaati dan bagi mereka yang melanggar, akan dihukum. Orang Yahudi sangat ketat menjalankan aturan sabat tersebut dan khusus aturan sabat, mereka setitik pun tidak mau bertoleransi. Sabat dimulai jam 6 sore – 6 pagi – 6 sore maka selama 24 jam itu mereka menjalankan ritual yang sangat ketat; mereka tidak akan berjalan atau mengangkat benda seberat dan sejauh seperti yang ditetapkan dalam aturan Sabat dan masih banyak lagi aturan-aturan Sabat yang harus mereka taati. Dapatlah dikatakan iman Yahudi adalah iman Sabat. Bagaimana dengan kita?
Pertama, Kristus adalah Tuhan atas semua ritual agama.
Adalah pendapat yang salah kalau dengan melakukan semua ritual agama berarti: 1) ia sudah menyembah dan beriman pada Allah. Salah! Ritual ini bersifat visual, artinya dapat dilihat dengan langsung oleh orang lain dan siapapun dapat melakukan ritual agama bahkan dalam beberapa aspek secara psikologi, semua ritual agama itu dapat memberikan suatu kepuasan batiniah, 2) orang yang menjalankan ritual agama dianggap sebagai orang saleh dan ia sangat dihormati. Dengan kata lain, orang yang menjalankan ritual agama ini mendapat status sosial di tengah masyarakat, 3) orang melakukan ritual agama berarti ia telah menggenapkan seluruh tuntutan agama, fulfill maka timbullah rasa aman karena ia merasa telah mendapatkan surga.
Dalam hal ini Tuhan tidak lagi menjadi yang utama tetapi ritual agama itulah yang dipentingkan. Perhatikan, ritual agama tidak salah. Setiap agama pasti ada ritualitas, ada aturan, tata cara atau liturgi tertentu tetapi ritual agama sejati harusnya membawa manusia melihat kebesaran dan keagungan Tuhan bukan sebaliknya mengunci orang dalam ritual agama. Orang Yahudi sangat ketat memelihara dan mengutamakan sabat sampai-sampai ia tidak kenal Kristus yang adalah Allah atas sabat. Lalu semua ritual sabat itu dilakukan untuk siapa dan buat apa? Untuk sekedar bersabatkah atau menyembah Tuhan? Kalau kita bertanya pada orang Yahudi, mereka pasti mengaku bahwa semua ritual sabat itu dilakukan untuk menyembah Tuhan. Benarkah demikian? Mengapa ketika Kristus Tuhan ada di depan mata mereka, mereka tidak mengenal-Nya? Orang menjalankan ritual tetapi ia tidak tahu siapakah yang sesungguhnya disembah dalam semua ritual tersebut.
Iman sejati harus kembali pada Allah. Iman sejati tidak dikunci pada suatu ritual keagamawian atau tindakan-tindakan yang sifatnya ritualitas. Perhatikan, semua aturan keagamaan yang lepas dari Kristus berarti penyelewengan agama maka seluruh ritual agama tersebut tidak ada artinya. Apalah artinya kita mempersembahkan korban dan menjalankan seluruh ritual agama tetapi hal yang utama, yaitu Tuhan justru kita buang. Orang lebih mementingkan ritual atau aturan di atas Tuhan tidak hanya terjadi pada jaman Alkitab saja, di dunia modern sekarang inipun, orang disibukkan dengan berbagai ritual agama, bagaimana menikmati ibadah untuk mendapat kepuasan diri sehingga ketika Kristus hadir, kita justru tidak mengenalinya karena kita telah menggantikan Dia dengan figur-figur lain. Kristus dengan menegur keras dan bukan hanya pada orang Yahudi tetapi juga pada kita hari ini, biarlah kita kembali pada Kristus sebagai the final authority.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksudkan Allah dengan sabat dalam seluruh iman Kekristenan? Tanpa kita sadari, sesungguhnya konsep agama yang ada dalam pemikiran kita itu terbentuk dari ritualitas yang kita kerjakan selama ini akibatnya ketika Tuhan hadir, kita tidak mengenal Dia. Pertanyaannya adalah sekarang siapa yang lebih berotoritas, Tuhan ataukah aturan Sabat? Pengenalan akan Yesus akan kita peroleh melalui kita menyangkal diri, memikul salib lalu mengenal Kristus dengan benar maka seluruh ritual agama itu tidak artinya. Adalah percuma setiap minggu kita rajin beribadah dan melayani tetapi kita tidak mengutamakan Kristus. Terkadang, kita sering mendengar ada orang yang berkata,“Saya merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau hilang ketika ia tidak pergi ke gereja“; perasaan tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya namun yang menjadi letak permasalahan disini adalah bukan pada kepuasaan diri orang tersebut, yakni orang merasa lega karena ia telah pergi ke gereja, ia telah menjalankan ritual agamanya. Tidak! Akan tetapi yang menjadi evaluasi kita adalah sudahkah Firman itu mengubahkan hidup anda? Sudahkah kita melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan? Realitanya justru berkata orang tidak peduli dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan, orang merasa sudah melakukan kehendak Tuhan dengan melakukan semua ritual agama. Orang tidak sadar kalau ia telah lepas dari Kristus yang adalah esensi iman yang sejati. Kristus adalah Tuhan yang mengatur hidup kita, Dia adalah pemegang otoritas tertinggi yang menentukan segala sesuatu.
Janganlah kita menjadi orang yang sok pandai dan berani menentang dan melawan Dia karena kita sudah merasa menyembah Allah dengan semua ritual agama yang kita jalankan. Matius di titik pertama mengajak orang Yahudi untuk merekonstruksi ulang, membongkar konsep mereka yang salah tentang Sabat dan ritual agama untuk mengenal siapa Kristus yang sesungguhnya. Kristus adalah Tuhan atas sabat dan semua ritual agama.
Kedua, Kristus adalah Tuhan atas kuasa-kuasa iblis.
Pada pasalnya yang kedua belas, Matius mencatat tentang Tuhan Yesus melakukan mujizat. Sebelumnya kita telah merenungkan suatu kebenaran, yakni mujizat hanya dapat dilakukan oleh Kristus Tuhan dan enam hal telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dimana itu membuktikan bahwa Dia adalah Mesias. Manusia tidak mungkin dapat melakukan mujizat seperti yang dilakukan oleh Kristus (Mat. 11:5-6), sebab kuasa setan yang bekerja di dalamnya. Orang yang melihat tanda yang Kristus kerjakan tersebut harusnya mengakui Dia adalah Mesias, Anak Daud. Perhatikan, Anak Daud disini merupakan figurasi yang menggambarkan Kristus sebagai keturunan Daud yang akan menjadi Mesias namun ironisnya, orang Yahudi tidak percaya tetapi mereka justru menyelewengkan kebenaran. Bagi orang Farisi yang begitu kuat memegang konsep Yudaisme menganggap Tuhan Yesus dianggap sebagai ancaman. Mereka memfitnah Kristus dengan mengatakan bahwa otoritas yang ada pada-Nya bukan dari Allah melainkan dari setan.
Hati-hati dengan akal licik si setan yang sengaja memutarbalikkan kebenaran – Roh Kudus dianggap sebagai roh setan dan sebaliknya roh setan dianggap sebagai Roh Kudus. Upaya memutarbalikkan kebenaran ini bukan terjadi baru-baru ini saja. Tidak! Tetapi sejak jaman Tuhan Yesus, orang sudah memakai metode memutarbalikkan kebenaran. Puji Tuhan, Kristus adalah Tuhan, Dia telah membuktikan bahwa kuasa setan dan kuasa lain yang diagung-agungkan oleh manusia tersebut berada di bawah kuasa Ilahi. Kristus adalah otoritas final, yang mengalahkan kuasa setan. Matius membukakan pada kita dua macam orang yang kerasukan setan, yaitu: 1) orang secara harafiah kerasukan setan, hal ini dapat kita lihat secara visual, seperti ia berteriak-teriak, orang ini juga dikucilkan karena dianggap membahayakan orang lain dan biasanya orang kerasukan setan juga bisu, tuli atau buta tetapi Tuhan Yesus membuktikan kuasa setan berada dibawah kuasa Ilahi dan orang yang kerasukan setan masih bisa disembuhkan, 2) orang yang kerasukan setan tapi tidak nampak secara visual, ciri-ciri ini nampak dalam diri orang-orang Farisi. Dengan kuasa yang dimilikinya, mereka berani menyelewengkan kebenaran sejati. Mereka tidak sadar kalau melawan Roh Kudus akan berakibat fatal, tidak ada lagi keselamatan baginya; mereka akan binasa di dalam kebinasaan.
Adalah lebih berbahaya orang yang berada dalam kuasa iblis namun tidak nampak secara visual, mereka selalu melawan kebenaran sejati dan menaruh kuasa Roh Kudus di bawah kuasa Beelzebul, mereka menganggap diri penuh dengan kuasa Roh Kudus padahal bukan kuasa Roh Kudus yang ada pada dirinya tetapi kuasa Beelzebul. Adalah lebih berbahagia orang yang kerasukan setan secara harafiah sebab ketika kuasa Kristus itu melawat dirinya, ia dapat melihat kuasa Kristus yang mengalahkan kuasa setan yang mencengkeram dirinya. Waspadalah dengan akal licik si iblis yang selalu berusaha menggoda manusia supaya masuk dalam cengkeraman kuasanya. Hendaklah kita kembali pada Kristus satu-satunya otoritas final sebab tidak ada kuasa siapapun dalam alam semesta ini yang lebih besar dari kuasa Kristus. Kalau kita tidak kembali pada kuasa Kristus maka kita akan diombang-ambingkan oleh berbagai rupa-rupa pengajaran dunia apalagi sekarang kita berada dalam suatu jaman dimana gerakan new age yang bermain-main dengan roh-roh setan ini secara pelan namun pasti telah mempengaruhi dunia. Pada awal abad 20, gejala spiritualitas ini ditandai dengan gejala-gejala psikologis dan luapan emosi, yakni orang menangis, ketawa, berbahasa roh dan masih banyak lagi. Dan celakanya, orang yang menampakkan gejala spritualitas semu tersebut malah menuduh orang-orang yang menyatakan kebenaran, mendidik orang untuk hidup benar, belajar Firman dengan baik justru dikatakan sebagai orang yang tidak ada Roh Kudus. Ironis, bukan? Perhatikan, gejala psikologis yang ditunjukkan tersebut bukanlah pekerjaan Roh Kudus. Alkitab menegaskan kalau Roh Kudus turun atas seseorang maka orang diinsyafkan akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh. 16:8).
Ketiga, Kristus adalah Tuhan diatas semua kebenaran dan keadilan manusia.
Orang-orang Farisi dan Saduki mengadu antara otoritas Kristus dengan kebenaran yang mereka miliki, otoritas Yudaisme. Sungguh ironis, manusia menolak dua esensi yang paling penting, yakni kebenaran dan keadilan maka dapatlah dipastikan akibatnya, yakni dunia semakin rusak dan hancur. Sesungguhnya setiap manusia pasti ingin hidup sejahtera tetapi orang tidak sadar kalau hidup sejahtera itu tidak mungkin tercapai tanpa kebenaran dan keadilan. Hari ini, berapa banyak orang yang dihukum atas perbuatan mereka membakar gereja, membunuh dan menganiaya orang-orang Kristen? Tidak ada satu orang pun yang diadili. Namun percayalah, keadilan Tuhan tidak akan dapat dipermainkan, keadilan Tuhan akan dinyatakan di muka bumi ini. Tidak hanya sampai disitu, dua tokoh terbesar yang ada di dunia harus mati dengan cara keji: 1) Socrates, seorang filsuf Yunani yang sangat berpengaruh dalam pemikiran garis besar filsafat Yunani harus mati dengan cara keji. Hal ini menjadikan Plato dan Aristotle benci dengan demokrasi sebab pemimpin yang sangat baik justru mati dalam permainan massa yang mempermainkan kebenaran dan keadilan, 2) Tuhan Yesus, Dia datang mengajarkan kebenaran sejati, Dia datang dengan cinta kasih, Dia membawa manusia kembali pada Allah tetapi Dia justru berhadapan dengan kayu salib. Inilah permainan kebenaran dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menyebut diri sebagai orang beragama. Sepintas, mereka memang mempunyai kekuatan otoritas yang menyatakan kebenaran dan keadilan palsu dari manusia, tetapi mereka tidak sadar bahwa otoritas yang ada padanya sekarang itu asalnya dari Tuhan; kalau Tuhan tidak berikan kuasa itu kepadanya maka orang tidak ada apa-apanya. Pdt. Stephen Tong dalam pengajarannya menyatakan pertemuan antara Pilatus dan Kristus merupakan pertemuan dua otoritas yang paling besar. Pada saat itu, Pilatus menaikkan otorisasi ke posisi tertinggi sebaliknya Kristus menurunkan otorisasi ke posisi terendah, hal ini justru menunjukkan kebodohan dan kegagalan otorisasi manusia. Otorisasi manusia berakhir dengan kehancuran dan Kristus yang bangkit justru menjadi kekuatan kemenangan; Dia melawan kuasa kejahatan dengan kebajikan. Kristus adalah otoritas final atas semua kebenaran dan keadilan manusia. Tidak ada satu pun kebenaran dan keadilan di alam semesta ini yang dapat melawan kebenaran sejati.
Keempat, Kristus adalah Tuhan atas semua otoritas yang ada di dunia.
Dalam religiusitas, orang seringkali mengkontraskan antara otoritas Tuhan dengan otoritas keluarga. Khususnya di dunia timur, hal ini seringkali terjadi dan banyak menimbulkan konflik. Dalam bagian ini, Injil Matius membukakan pada kita siapa pemegang otoritas tertinggi dengan menuliskan tentang kehadiran ibu dan saudara-saudara Tuhan Yesus. Menurut kebudayaan yang berlaku jaman itu, anak harus tunduk pada orang tua namun Tuhan Yesus menegaskan barangsiapa melawan Allah dan mentaati otoritas yang lain berarti ia melawan Allah. Dalam bagian ini, Alkitab tidak mengajarkan kita menjadi seorang pemberontak. Tidak! Alkitab mengajarkan kita untuk menghormati orang tua akan tetapi kalau orang tua tidak lagi beriman pada Kristus atau orang tua menyeleweng pada kebenaran Allah maka anak tidak perlu taat pada orang tua tetapi ia harus taat pada Allah sebagai otoritas final. Seorang anak haruslah taat pada Allah lebih daripada pada orang tua kita karena Dia adalah pemegang otoritas tertinggi. Biarlah sebagai orang tua kita hidup taat dan beriman sejati sehingga apa yang kita nyatakan merupakan wakil dari kebenaran Allah. Hai, para orang tua janganlah mengambil alih otoritas yang merupakan otoritas Allah lalu memakai otoritas untuk memisahkan anak dari Allah. Orang tua yang demikian akan berhadapan langsung dengan Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi. Kristus membukakan kebenaran tentang siapakah ibu-Ku, siapakah saudara-Ku laki-laki, siapakah saudara-Ku perempuan? Dia adalah yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Konsep ini mengharuskan kita melihat Kristus sebagai otoritas tertinggi, tidak ada siapa pun yang dapat menggeser Kristus sebagai otoritas final dalam garis order.
Sebagai seorang warga negara yang baik, kita harus tunduk dan taat pada pemerintah tapi ketaatan itu hanya sejauh pemerintah tersebut takut akan Tuhan maka kalau pemerintah mulai menyeleweng dari kebenaran Tuhan, kita harus melawannya. Sebagai contoh, kalau suatu hari kelak pemerintah mengeluarkan larangan beribadah dan menyembah pada Tuhan Yesus bagi mereka yang beragama Kristen maka apa yang harus kita lakukan? Tunduk pada pemerintah ataukah melawannya? Kristus tidak ingin ada cabang dalam garis otoritas yang Ia sendiri tetapkan sebab hal ini merupakan penyelewengan rohani. Mempermainkan otoritas Allah karena kita takut pada otoritas lain berarti membuktikan otoritas lain tersebut lebih berkuasa dari otoritas Allah. Tuhan akan sangat marah dan Dia berhak untuk marah karena Dialah satu-satunya pemegang otoritas tertinggi. Otoritas dalam Kristus itulah yang manjadi dasar kehidupan kita. Bayangkan, apa jadinya hidup kita kalau kita hidup dalam multiple authority, yakni banyak otoritas yang berbeda-beda dan celakanya, tidak berada dalam satu garis otoritas. Tentu saja, kita akan dibingungkan, kita tidak tahu harus taat pada otoritas yang mana; taat pada otoritas A maka si B akan marah, taat pada otoritas B maka si A dan si C akan marah, begitu seterusnya akibatnya kalau dalam dunia kerja mungkin kita dipecat namun bayangkan, kalau itu menyangkut hidup kita. Betapa celaka hidup kita kalau kita berani mempermainkan otoritas Tuhan dan menggantinya dengan otoritas lain maka kita akan dibuang dari Kerajaan Sorga maka itu berarti kehancuran hidup kita.
Otoritas siapakah yang menjadi otoritas final dalam hidup kita? Siapa yang mengatur hidup kita? Siapa yang menjadi penentu setiap keputusan kita? Kalau kita mengaku anak Tuhan yang sejati maka Tuhan menuntut kita untuk taat pada-Nya. Biarlah dalam hidup kita semakin takut dan hormat kepada Allah yang berdaulat dan biarlah kita juga semakin taat dan setia. Berpeganglah senantiasa pada perintah Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi. Hendaklah kita terus berproses untuk semakin diubahkan dan semakin bertumbuh dalam iman untuk menjadi semakin serupa Dia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: