28 November 2008

Bagian 3

2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para orangtua Kristen harus membentuk kemandirian anak-anak mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam keluarga. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik anak-anak untuk hidup berdikari. Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para orangtua Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak orangtua “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para orangtua Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran anak-anak Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita uraikan di sini. Sesuatu hal yang sedang kita gumulkan di sini adalah mengajar: etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu.
(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para orangtua Kristen harus mengajar para anak mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini. Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Apa wujud kedua macam etika dan moralitas itu? Mari kita kaji dan coba bandingkan serta analisa.

Etika dan moralitas Alkitabiah mengajarkan untuk menghormati orangtua (Kel. 20:12). Hal yang mirip juga diajarkan oleh etika dunia Timur khususnya dari filsafat Tionghoa yang menganut kepercayaan Budha dan Kong Hu Cu. Tetapi bedanya, filsafat Tionghoa tentang menghormati orangtua itu diekstrimkan, sehingga menghormati orangtua tidak ada bedanya dengan menyembah orangtua. Tidak heran, ketika orangtua meninggal, anak-anak mereka (bahkan ada yang sudah “Kristen”) masih ikut-ikutan sembahyang di depan foto orangtua mereka, bahkan ada yang membeli roti, mobil-mobilan, dan hal-hal lain untuk diletakkan di depan foto orangtua mereka. Beberapa saudara dan rekan saya yang beragama Kristen Katolik yang saya tanyai, mereka katanya hanya menghormati orangtua ketika mereka ikut sembahyang di depan orangtua. Mereka berkata bahwa itu tradisi leluhur dan tidak ada hubungannya dengan agama atau penyembahan. Itu SALAH! Alkitab mengajar kita untuk menghormati orangtua, bukan untuk menyembah orangtua. Menghormati orangtua dilakukan ketika orangtua masih hidup, bukan ketika orangtua sudah meninggal. Ketika orangtua kita meninggal, lalu kita sembahyang, itu tandanya kita tidak lagi menghormati, tetapi sudah menyembah, karena yang kita hormati sudah meninggal. Dan lagi, Alkitab mengecam keras bahwa barangsiapa yang menyembah ilah-ilah lain di luar Allah, mereka akan dihukum Allah sampai keturunan yang ketiga dan keempat (Kel. 20:4-5).

Etika dan moralitas Alkitabiah yang lain mengajarkan agar kita tidak membunuh (Kel. 20:13). Sedangkan dalam etika dan moralitas ala Budha dan Kong Hu Cu yang mempengaruhi filsafat Tionghoa, hal ini diekstrimkan, lalu mengajar bahwa membunuh binatang pun tidak boleh. Padahal Alkitab mengajar bahwa kita tidak boleh membunuh manusia (bdk. Kej. 9:6), bukan tidak boleh membunuh binatang. Tidak ada satu ayat Alkitab pun yang mengajar kita untuk tidak boleh membunuh binatang. Mengapa? Karena Alkitab mengajar bahwa Allah menciptakan binatang untuk manusia. Hal ini tidak berarti manusia bisa menyiksa binatang. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan hamba Tuhan lain mengajar bahwa kita sebagai manusia boleh membunuh binatang untuk dimakan dagingnya, tetapi kita TIDAK boleh menyiksa binatang, misalnya kita memelintir dan menggunting kaki semut/nyamuk, dll. Berarti, tetap ada batas etikanya.

Wujud etika dan moralitas Alkitabiah lainnya dapat kita pelajari sendiri di dalam Dasa Titah (Kel. 20:1-17) dan Peraturan Emas yang Tuhan Yesus ajarkan di Matius 7:12.

(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para orangtua Kristen harus mengajar karakter kepada anak-anak mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan. Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi yang sangat lemah dalam hal ini. Orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk tidak membicarakannya kepada orang lain terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Belajarlah untuk menanggung kesulitan itu sendiri, baru kalau memang kesulitan itu benar-benar tidak bisa kita atasi, kita boleh mensharekan kepada orang lain. Jika memang tetap tidak bisa, berdoalah kepada Tuhan dan percayalah Ia akan memberikan kekuatan ekstra kepada kita untuk menghadapi kesulitan itu.

Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Orang yang karakternya dewasa segera tanggap ketika mereka mengetahui orang lain sedang kesusahan, misalnya dengan memperhatikan mereka baik dari segi kesehatan, dana, dll. Sedangkan orang yang karakternya tidak dewasa terus-menerus mencari perhatian dari orang lain, misalnya dengan keantikan pribadinya, misalnya berbicara sendiri ketika khotbah disampaikan, dll.

Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Saya pribadi sangat ngeri melihat banyak orang Kristen di era postmodern ini. Mereka menampilkan kepribadian ganda. Ketika di gereja, muka mereka tampak alim dan “rohani” seperti malaikat kurang dua sayap (heheheJ), tetapi ketika di luar gereja, mereka lebih mirip seperti setan, licik, jahat, menipu, dll. Ketika membantu seseorang di gereja, orang Kristen bisa tampak sangat agresif, menolong sini sana, dll, tetapi ketika keluar dari gereja, orang Kristen yang sama membicarakan kejelekan orang yang ditolongnya. Bukan hanya itu saja, kepribadian ganda orang Kristen ditandai dengan kemunafikan mereka. Kepada orang lain, mereka mengajar bahwa kita tidak boleh meniru kejelekan orang lain, tetapi anehnya, ketika mereka sendiri terlambat datang beribadah di gereja, mereka berdalih bahwa jemaat lain juga ada yang telat. Nah, masa kekonsistenan pengajaran orang ini? Bukankah ini suatu kepribadian ganda atau kemunafikan seorang Kristen? Biarlah kita bertobat. Apa yang kita ajarkan dan katakan, hendaklah kita sendiri yang mempraktikannya sendiri.

(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, barulah para orangtua Kristen mulai mengajar anak-anak mereka dengan ilmu. Saya meletakkan ilmu di bagian terakhir, karena itu adalah bagian yang paling tidak penting. Seperti yang telah saya paparkan di atas, seorang yang berilmu tetapi tidak beriman, tidak beretika, dan tidak berkarakter beres akan menghasilkan para bajingan, atheis, dan teroris masa depan. Oleh karena itulah, saya meletakkan mengajar ilmu di bagian terakhir. Mengajar ilmu dari kecil itu penting. Misalnya, mengajar 1+1=2, lalu mengajar nama benda-benda, binatang, dll. Setelah mengajar ilmu tersebut, jangan lupa untuk mengaitkannya dengan Allah sebagai Pencipta. Misalnya, ketika orangtua mengajar anak kecil bahwa ini jerapah, ini gajah, dll, lalu mereka harus segera mengaitkannya bahwa semua binatang ini diciptakan oleh Tuhan. Ilmu yang diintegrasikan dengan iman mengakibatkan anak dari kecil langsung mengerti aplikasi iman di dalam kehidupan sehari-hari khususnya di dalam bidang pengetahuan, sehingga ketika dewasa, mereka memiliki paradigma yang theosentris, yaitu takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Ams. 1:7), bukan mendewakan pengetahuan sebagai segala-galanya. Mengapa banyak orangtua “Kristen” dan siswa/mahasiswa “Kristen” saat ini menjadi atheis praktis? Karena mereka tidak pernah diajar oleh para orangtua mereka dahulu bahwa Tuhan itu sumber pengetahuan. Akibatnya, mereka pun tidak pernah takut akan Tuhan ketika berada di sekolah/universitas. Biarlah hal ini jangan sampai menimpa kita sebagai anak didik Kristen dan orangtua Kristen.


b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para orangtua Kristen dituntut untuk mengajar anak-anak mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, hendaklah orangtua Kristen mengajar anak-anak mereka untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Hal ini harus dibiasakan dari hal-hal sepele/kecil. Lalu, setelah itu, ketika anak sudah mulai remaja, ajarlah mereka untuk bijaksana memikirkan sesuatu dari perspektif jangka panjang dan terlebih penting kaitkan itu dengan rencana dan kehendak Allah di dalam hidup mereka. Ketika sesuatu dilihat dari perspektif kedaulatan Allah dan jangka panjang, maka kita bisa memiliki pandangan yang luas dalam menggenapkan rencana dan kehendak-Nya. Misalnya di dalam memilih pasangan hidup dan pekerjaan. Hal yang akan saya soroti di sini hanya untuk memilih pasangan hidup, sedangkan memilih pekerjaan sudah saya jelaskan di atas di bagian Kedewasaan Eksternal di subbagian Bijaksana.

Di dalam memilih pasangan hidup, Alkitab sudah menegaskan bahwa orang Kristen harus mencari pasangan yang seiman (2Kor. 6:14). Ini adalah prinsip terpenting. Bagaimana kita mengerti bahwa pasangan kita benar-benar seiman? Kita bisa melihatnya dari keseriusan pasangan kita dalam mengikut Kristus. Adakah ia bermain-main di dalam mengikut Kristus, misalnya sambil ke gereja, sambil percaya dukun, peramal, dan selamatan (slametan)? Itu jelas bukan Kristen dan dengan pengertian iman yang bertanggungjawab, ia TIDAK usah dijadikan pasangan hidup kita. Selain itu, seiman atau mengikut Kristus kedua ditandai dengan taatnya seseorang hanya kepada Allah. Ketaatan umat Tuhan kepada Allahnya ditandai dengan mengorbankan dan memberikan apa pun demi kehendak-Nya terlaksana, termasuk memberikan persepuluhan, dll. Tetapi ingatlah, memberi persepuluhan pun TIDAK didasari oleh motivasi agar kita diberkati berkali-kali lipat ganda, tetapi kita memberi persepuluhan tulus dari hati kita yang terdalam (2Kor. 9:6-8). Jika pasangan hidup kita yang katanya “Kristen” tetapi melarang kita memberi persepuluhan dengan alasan irit, tidak perlu, dll, berhentilah memilih dirinya sebagai pasangan hidup kita!

Selain beriman sungguh-sungguh kepada Kristus, kita tetap memperhatikan juga kesepadanan di dalam memilih pasangan hidup. Apa arti sepadan? Pdt. Sutjipto Subeno mengajar bahwa sepadan itu BUKAN sama, tetapi sepadan itu adalah dua hal yang berbeda bahkan bertolak belakang, namun saling melengkapi, seperti dua roda gigi yang saling masuk. Lebih lanjut, sepadan dalam arti apa? Apakah kalau si cewek suka tepat waktu (on time), maka si cowok harus suka telat? Apakah kalau si cewek perhatian, maka si cowok tidak perlu terlalu perhatian? Apakah kalau si cewek jujur, maka si cowok tidak jujur? Itu BUKAN kesepadanan! Perhatikan! Cowok/cewek yang suka telat, tidak terlalu memperhatikan pasangannya (bahkan berani membandingkan pacar/pasangannya dengan orang lain di depan orang lain itu, meskipun dengan alasan bergurau), apalagi yang tidak jujur, dll itu TIDAK mengandung unsur positif sedikitpun! Bahkan jika ada cowok/cewek seperti itu, dengan bijaksana dari Tuhan, kita TIDAK perlu memilih orang itu sebagai pasangan hidup kita apalagi menikah dengannya. Itu sangat berbahaya. Ingatlah, kesepadanan TIDAK berlaku untuk hal-hal negatif, tetapi untuk hal-hal positif yang saling melengkapi. Misalnya, kalau si cewek orangnya agak lambat bekerja, sedangkan si cowok lebih cepat bekerja. Dua-duanya memberikan sumbangsih, yaitu jika si cowok bekerja, si cewek sebagai pasangannya akan meneliti kembali pekerjaan si cowok supaya tidak terjadi kesalahan. Sebaliknya, jika ceweknya bekerja dan terlalu memperhatikan hal-hal detil yang tidak signifikan, maka si cowok akan cepat mengobrak-abrik si cewek supaya segera menyelesaikan pekerjaannya dan tidak terlalu memperhatikan hal-hal detil yang tidak signifikan itu.

Prinsip ketiga di dalam memilih pasangan hidup tentunya adalah mencintai kita apa adanya dan orangtua. Pasangan hidup yang beres adalah orang yang mencintai pasangannya dengan tulus, bukan dengan bermain-main. Ketulusan di dalam membina hubungan pacaran, tunangan, dan pernikahan itu sangat diperlukan di tengah zaman postmodern yang serba tidak tulus ini. Ketulusan itu ditandai dengan mencintai pasangan kita apa adanya bukan pada hal-hal fenomenal (superficial) seperti fisik, tetapi pada hal-hal esensial, yaitu iman, karakter, etika, dll. Keanehan yang terjadi yang saya perhatikan baru-baru ini adalah ada seorang cewek (X) yang sudah bertunangan dengan seorang cowok (Y). Cewek ini memiliki seorang rekan cewek juga (B) dan rekan ini suatu saat mengunjungi X dan Y ini. Tiba-tiba waktu mau pulang, B bercerita kepada saya bahwa Y dengan bergurau mengatakan kepada B bahwa B tambah gemuk saja, tidak seperti ceweknya (X), alhasil si X diam-diam saja. Mengapa diam? Cinta itu “buta,” tetapi tidak sadar, gurauan cowoknya itu pelan namun pasti akan menunjukkan keseriusan dan kasihan si cewek ini waktu menikah terus menerima perlakuan perbandingan dari si cowok yang menuntut si cewek.
Tanda ketulusan yang lain adalah memperhatikan pasangan kita, bukan malahan merusak pasangan kita. Saya memiliki contoh konkrit akan hal ini. Ini mengenai teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas yang memiliki seorang pacar. Dia berkata bahwa cowoknya itu orangnya sayang kepadanya. Bagaimana membuktikannya? Dia berkata bahwa cowoknya selalu membelikan makanan kecil kepadanya. Ketika saya mendengar itu, saya langsung geleng-geleng kepala. Itu namanya mencintai atau sayang? BUKAN! Itu merusak. Dia tidak tahu akan bahaya penyakit lemak, kolesterol, dll. Dia pikir bahwa memberi itu selalu diidentikkan dengan baik dan sayang. Puji Tuhan, Alkitab mengajar bahwa Tuhan TIDAK selalu memberi apa yang kita minta, karena apa yang kita minta berbeda dengan kehendak-Nya (Yes. 55:8).
Tanda ketulusan ketiga adalah tidak menuntut dan membelenggu pasangan kita. Ketulusan kita mencintai pasangan kita ditandai dengan TIDAK menuntut apalagi membelenggu pasangan kita seolah-olah pasangan kita itu seperti maling/pencuri yang perlu diburu setiap waktu. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berujar bahwa Christian marriage is not to get something, but to give something to another (pernikahan Kristen bukan untuk mendapat sesuatu, tetapi untuk memberi sesuatu kepada pasangan kita). Lagi-lagi, realitas yang saya pakai adalah teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas. Dia menceritakan bahwa cowoknya itu over-protective, bahkan cowoknya sempat meminta kepadanya alamat e-mail dan Yahoo Messenger (YM) untuk mengecek dengan siapa saja ceweknya chat. Spontan saja, saya agak tertawa melihat tingkah kekanak-kanakan cowok ini. Dan anehnya, si cewek ini sebelumnya berkata bahwa dia memilih cowok bukan karena tampangnya, tetapi karakternya. Saya berpikir, dari sisi sebelah mana karakter cowok ini baik? Hehehe. Untungnya, kata teman saya ini, cowoknya berubah, tetapi berubahnya berapa lama itu yang saya tidak tahu?
Tanda ketulusan terakhir adalah belajar bersama-sama tentang kelebihan masing-masing pasangan. Jika Pdt. Sutjipto tadi mengatakan bahwa pernikahan itu bukan mendapat sesuatu, tetapi memberi sesuatu, maka saya menambahkan bahwa di dalam masa pacaran, tunangan, dan pernikahan, masing-masing pasangan perlu belajar satu sama lain. Artinya, jika si cowok memiliki iman dan karakter yang baik, si cewek harus belajar darinya, begitu sebaliknya. Proses pembelajaran ini bukan untuk rebutan saling mendapat manfaat, tetapi sebagai sarana yang berguna juga bagi pertumbuhan masing-masing pasangan dan bagi pendidikan anak-anak mereka kelak. Jika masing-masing pasangan tidak mau belajar satu sama lain, melainkan hanya salah satunya saja yang memiliki kelebihan, misalnya dalam iman dan ketaatan, maka bagaimana mereka bisa mendidik anak dengan beres? Misalnya, si cowok/suami taat dan cinta Tuhan: rajin memberi persepuluhan, suka membaca Alkitab, berdoa, memberitakan Injil, dan dari segi karakter juga baik, sedangkan si cewek/istri katanya “Kristen”, tetapi mengajari suami untuk tidak usah memberi persepuluhan, karakternya juga egois (mau menang sendiri), merasa diri berjasa (kalau tidak ada dirinya, dunia akan runtuh), dll, silahkan pikir sendiri, jika kedua orang ini menikah dan memiliki anak, bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak mereka? Lalu, teladan yang mana yang harus diikuti oleh anak-anak mereka? Si ayah itu cinta Tuhan dan baik, sedangkan si ibu berjiwa materialis dan atheis praktis, tetapi dibungkus dengan nama “Kristen.”
Selain tulus mencintai kita, pasangan kita juga harus mencintai orangtua kita. Adalah suatu kekonyolan jika pasangan kita hanya mencintai kita dan bukan orangtua kita. Ada contoh fakta dari sebuah keluarga di mana istri menelantarkan ibu suaminya (ibu mertuanya) yang sudah tua dan sakit-sakitan, lalu akibatnya si ibu ini akhirnya meninggal karena pada waktu sakit, si ibu ini dipaksa bekerja oleh istri (menantu) ini. Sungguh tragis. Biarlah Roh Kudus memimpin kita memiliki kebijaksanaan khususnya dalam memilih pasangan hidup dan pekerjaan dari perspektif kedaulatan Allah, bukan dari perspektif keinginan manusia sekuler.

(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Bijaksana bukan hanya dalam mengambil keputusan, tetapi juga dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Mengapa banyak orang Kristen hari-hari ini hidupnya kacau? Karena banyak orangtua Kristen kurang mendidik pentingnya pengelolaan waktu, keuangan, dll. Banyak orangtua Kristen membiarkan anak-anaknya terlalu banyak memakai waktu untuk hal-hal yang tidak penting, misalnya jalan-jalan ke mal. Jalan-jalan ke mal itu tidak salah, karena itu suatu refreshing, tetapi hal tersebut tidak boleh kita lakukan hampir setiap hari. Ketika kita hampir setiap hari jalan-jalan ke mal, itu membuang waktu, apalagi kalau kita jalan-jalan ke mal Sabtu malam sampai larut malam, lalu besok Minggunya kita tidak bisa pergi ke gereja karena kecapekan. Hal-hal tersebut harus kita kurangi. Belajarlah mengelola waktu kita dengan memilah-milah aktivitas yang terpenting dengan yang tidak penting. Untuk aktivitas yang penting bahkan terpenting, sediakanlah waktu yang paling banyak, sedangkan untuk aktivitas yang kurang atau bahkan tidak penting, luangkan waktu sedikit. Misalnya, waktu ke gereja, saat teduh, berdoa, dll, sediakanlah waktu yang paling banyak, sedangkan untuk pergi ke mal, dll, luangkan waktu sedikit. Itulah wujud kedewasaan Kristiani yang sehat yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil.

Kedua, banyak orangtua Kristen juga membiarkan anak-anak mereka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting, terutama banyak anak cewek yang suka membeli baju yang mahal. Mereka memperhatikan dandanan luar (fenomenal). Hal ini tidak berarti para cewek tidak boleh tampil cantik, lalu tidak boleh membeli baju. TIDAK. Mereka boleh membeli baju, tetapi usahakan jangan terlalu sering dan jangan membeli baju yang mahal. Sesuaikan budget kemampuan kita dengan daya beli kita. Orangtua Kristen harus mengajari anak-anak mereka akan hal ini, yaitu bagaimana menyesuaikan kemampuan finansial mereka dengan daya beli mereka, sehingga tidak terjadi pemborosan yang berlebihan. Sebelum mengajari anak-anak, hendaklah para orangtua Kristen pun harus memberi teladan terlebih dahulu. Biarlah para orangtua Kristen juga bijaksana dalam mengelola keuangan mereka, sehingga tidak boros. Hal ini juga berlaku di dalam memberi persepuluhan. Orang Kristen yang didorong oleh cinta kasih Tuhan harus memberi persepuluhan sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya. Tuhan tidak melihat jumlah persepuluhan yang kita berikan, karena Ia lebih melihat hati kita. Sehingga kita pun tetap harus menyesuaikan kemampuan kita dengan persepuluhan yang kita berikan. Dengan alasan ini, TIDAK berarti kita memberi persepuluhan sedikit saja, karena yang terpenting Tuhan melihat hati. TIDAK, ini pun salah. Yang benar adalah berikan persepuluhan sesuai dorongan Roh Kudus di dalam hati kita dan kemampuan yang kita miliki. Selanjutnya, kita tetap harus memperhatikan ke gereja seperti apa kita memberikan persepuluhan. Jika gereja itu tidak layak menjadi tempat kita memberi persepuluhan, karena banyak dikorupsi oleh “pendeta”nya, maka kita tidak perlu memberi persepuluhan di tempat tersebut. Ingatlah, persepuluhan adalah bukti iman kita yang tidak melihat kepentingan kita dahulu, tetapi kepentingan Tuhan.


c) Mengajar bertanggungjawab
Setelah mengajar anak untuk bijaksana, para orangtua Kristen harus mengajar mereka untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini berarti bertanggungjawab atas: segala sesuatu dan segala sesuatu yang mereka telah putuskan.
Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka dari kecil untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat atau katakan. Misalnya, ketika seorang anak kecil tersandung ketika berjalan, biasanya orangtua langsung menyalahkan kursinya yang membuat anaknya tersandung. Itu pendidikan yang salah. Jika ini dilakukan, maka anak dari kecil sudah diajar bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi orang lain yang salah. Akhirnya, ketika mereka beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan membangun semangat mencintai diri secara berlebihan dan menganggap diri lebih hebat, pandai, bijak, dll dari orang lain. Jangan salah, orang-orang ini akan sangat sulit ditegur kesalahannya, apalagi disuruh bertobat.
Di sisi lain, pendidikan seperti ini mengakibatkan anak yang bersalah akan cuek seumur hidupnya akan apa yang mereka lakukan dan katakan. Jika mereka salah, mereka tidak pernah benar-benar memperhatikan kesalahannya, karena dari kecil, mereka sudah dibiarkan tidak bersalah. Akibatnya, ketika sudah beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan susah diajar untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka lakukan dan katakan. Sudah terlalu banyak realitas yang terjadi sebagai contoh praktis akan konsep ini. Ada seorang dewasa “Kristen” kalau melakukan sesuatu selalu tidak mau bertanggungjawab. Contoh sederhana, ketika dia meminjam atau melihat-lihat barang milik orang lain, dia tidak pernah mengembalikannya di tempat asalnya, melainkan dia menaruhnya sembarangan, sehingga pemilik barang tersebut kebingungan mencarinya. Lalu, ketika pemilik barang ini menanyakan kepada orang ini di mana barang yang dipinjamnya sebentar, orang ini mengajukan argumentasi “logis”, misalnya: “Sori, saya lupa menaruhnya di mana”, dll. Kalau memang lupa sekali, harap dimaklumi, tetapi realitas yang terjadi, kelupaannya ini terjadi hampir berkali-kali, apa ini lupa? Tentu tidak, ini namanya TIDAK BERTANGGUNGJAWAB! Selanjutnya, bukankah kita cukup sering melihat orang dewasa (bahkan “Kristen”) kalau mengatakan sesuatu selalu sembrono dan tidak bertanggungjawab, lalu ketika dirinya ditegur, dia akan memakai ribuan argumentasi “logis” bahkan “religius” untuk melarikan dari apa yang telah mereka katakan yang sebenarnya salah? Semua perkataannya dipelintir, supaya orang lain tidak menemukan kesalahan perkataannya. Bukan hanya orang “Kristen” biasa yang melakukan hal ini, ada juga “pendeta” yang katanya studi program doktoral di Amerika pun melakukan hal yang memalukan. Oleh karena itulah, jika anak kita dari kecil sudah salah, misalnya, tersandung, biasakan kita sebagai para orangtua Kristen mengingatkan dia untuk berhati-hati ketika jalan. Ketika para orangtua Kristen mendidik mereka seperti ini, percayalah, mereka akan memiliki kerendahan hati untuk terus-menerus diingatkan dan ditegur serta mereka memiliki tanggung jawab setelah mereka mengatakan atau melakukan sesuatu.

Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah mereka putuskan. Hal ini berkait dengan poin b. Dengan kata lain, setelah mengajar mereka untuk bijaksana baik dalam mengambil keputusan dan mengelola: waktu, keuangan, dll, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk mempertanggungjawabkannya. Misalnya, setelah anak mereka bijaksana memilih pasangan hidup mereka, mereka harus mempertanggungjawabkan segala risikonya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan ibu beliau yang mengajar kepada anak-anaknya ketika sudah beranjak dewasa bahwa mereka memilih pasangan hidup: lihat sendiri, pilih sendiri, kalau baik: untung sendiri, kalau jahat/tidak baik: rugi sendiri, semua serba sendiri. Ini namanya bertanggungjawab. Jangan sampai setelah kita salah memilih pasangan hidup, kita mengomel, menyalahkan orangtua, apalagi menyalahkan Tuhan. Itu kesalahan kita sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan. Oleh karena itulah, sebagai anak-anak Tuhan, kita harus memiliki hati dan pola pikir yang bijaksana yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah ketika memilih pasangan hidup maupun pekerjaan. Jangan sekali-kali memakai pola pikir duniawi, karena itu bertentangan dengan pola pikir Kerajaan Sorga. Jika Anda masih bebal juga dan menggunakan pola pikir duniawi, silahkan tanggung sendiri hidup pernikahan dan masa depan Anda yang jauh dari kehendak dan rencana Allah.


d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah melatih anak untuk hidup susah. Setelah bertanggungjawab, para orangtua Kristen harus melatih anak-anak mereka untuk menerima risiko untuk hidup susah sesudahnya entah akibat salah pilih atau hal lain. Menerima risiko ini berarti anak-anak dilatih untuk belajar hidup susah. Buat apa? Bukankah zaman yang serba enak ini menuntut segala sesuatu harus enak? Bahkan khotbah-khotbah di banyak gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa orang “Kristen” pasti kaya, sukses, sehat, dll? Lagu sekuler pun mengajarkan, “Buat apa susah? Susah itu tiada gunanya.” Konsep inilah yang sering dilakukan oleh banyak orangtua yang kaya kepada anak-anak mereka. Mereka memanjakan mereka dengan adanya supir yang mengantarkan mereka ke sekolah. Lalu, sejak kecil, mereka sudah menjadi bos kecil di rumah, mau memasang kaos kaki pun menyuruh 2 pembantu untuk memasangkannya. Bahkan Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ketika anak kita masih kecil (bayi), kita memanjakan mereka, yaitu ketika mereka tidur, kita memasang pengumuman, “Baby sleeps here.” (=bayi tidur di sini) dengan tujuan agar orang lain tidak menganggu ketenangan tidur sang bayi. Lalu, kalau si bayi ini sudah beranjak dewasa, bayi ini akan kaget setengah mati ketika mendengar anjing “kentut.” Hehehe... Benarkah konsep bahwa susah itu tidak ada gunanya? TIDAK! Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan, kesusahan, dll (BUKAN karena kesalahan kita) itu berguna untuk mendewasakan iman dan karakter kita. Orang yang tidak pernah mengalami kesusahan tidak akan mengerti hidup. Lalu, bagaimana kita bisa mengerti konsep kesusahan yang Alkitabiah?

Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. di dalam bukunya Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku mensharekan banyak berkat tentang hal ini. Daftar isi buku ini pun disusun dengan sangat sistematis, yaitu mulai dari pemahaman bahwa Allah itu Kasih, konsep kelegaan ada di mana, lalu mulai masuk ke inti masalah yaitu problematika kesusahan, kemudian kita diajar agar kita melihat seperti Allah melihat di dalam kesusahan itu ditambah dengan kesimpulan bahwa susah itu ada gunanya. Dari alur pikir di daftar isi buku ini, kita dipimpin untuk mengerti bahwa sebelum kita mengerti kesusahan hidup, kita harus mengerti konsep Allah itu Kasih dan sebagai Sumber Kelegaan kita. Setelah kita mengerti konsep tersebut, kita baru memiliki kesiapan hati untuk menghadapi kesusahan, lalu ditutup dengan pengertian bahwa di dalam kesusahan, kita harus melihat seperti Allah melihat sehingga kesusahan itu memiliki signifikansi penting bagi kedewasaan iman dan karakter kita.

Dalam melatih anak-anak pun, konsep ini harus ditanamkan. Dari kecil, tanamkanlah konsep kepada anak-anak bahwa Allah itu Kasih. Allah yang adalah Kasih itu TIDAK berarti Ia akan memberikan kita kelancaran, kesehatan, kesuksesan, dll. Allah yang adalah Kasih adalah Allah yang mengasihi, memelihara kita, bahkan menginginkan kita untuk tumbuh dewasa baik secara iman, karakter, dll. Agar kita dewasa, Ia tentu menginginkan kita menerima segala bentuk kesusahan agar iman dan karakter kita ditumbuhkan dan makin matang. Ketika mengalami kesusahan itulah, para orangtua Kristen harus mengarahkan anak-anaknya untuk memiliki pola pikir yang melihat segala sesuatu bukan dari perspektif diri manusia yang berdosa, tetapi dari perspektif kedaulatan Allah. Ketika kita melihat sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, maka kita akan menemukan signifikansi kesusahan yang kita alami di dalam kerangka kehendak-Nya bagi kita. Hal ini akan menuntun kita kepada kesimpulan terakhir bahwa kita akan bersyukur dan mengatakan, “Susah itu ada gunanya.” Lalu, bagaimana caranya orangtua Kristen melatih anak-anak untuk hidup susah?

Pertama, tidak memanjakan anak-anak. Biasakan dari kecil, anak-anak tidak dimanja dengan menyediakan semua fasilitas, termasuk pembantu untuk melayani mereka. Ajarkan kepada anak-anak dari kecil untuk memasang sepatu dan kaos kaki sendiri. Setelah waktu kecil mereka sudah bisa mandiri melakukan hal-hal tersebut, maka ketika dewasa, mereka akan juga mandiri melakukan hal-hal yang lebih kompleks dan tidak akan mengomel. Saya pribadi memiliki banyak kelemahan di dalam hal ini dan sedang ada di dalam proses untuk bisa menguasai banyak hal.

Kedua, tidak selalu menuruti kemauan anak-anak. Tidak memanjakan anak-anak diikuti dengan sikap tidak selalu menuruti kemauan anak-anak. Ketika anak-anak mau sesuatu, biasakan untuk tidak selalu menuruti kemauannya. Ini TIDAK berarti kita tidak menuruti sama sekali kemauan anak-anak. Yang dimaksud di sini adalah orangtua Kristen TIDAK SELALU menuruti kemauan anak-anak, bukan tidak menuruti sama sekali. Tidak selalu berarti jarang. Dengan kata lain, kita boleh mengabulkan permintaan anak-anak kita, misalnya membeli mainan yang harganya murah, tetapi jika anak-anak kita menginginkan mainan yang harganya mahal, misalnya hampir ratusan ribu bahkan jutaan, kita tidak perlu membelikannya, meskipun anak-anak kita menangis. Lalu, dengan standar apa kita menuruti atau tidak menuruti kemauan anak-anak kita? Standarnya tetap adalah kebenaran baik dari segi iman maupun pembentukan karakter anak-anak kita. Jika sesuatu itu membangun iman dan karakter anak-anak Anda serta disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak-anak, sebagai orangtua, kita harus menuruti kemauannya. Misalnya, jika anak-anak kita ingin pergi ke Sekolah Minggu, ya, turuti kemauannya. Itu adalah hal yang baik (meskipun kita menyadari bahwa banyak anak di zaman postmodern jarang memiliki keinginan ini, hehehe).

Ketiga, berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri. Tidak memanjakan anak-anak juga diikuti dengan sikap berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri (tidak banyak tergantung pada orangtua). Inilah kegagalan banyak orangtua Kristen termasuk saya sebagai akibatnya. Banyak orangtua Kristen apalagi yang memiliki anak tunggal merasa bahwa anaknya itu seperti malaikat, selalu dijaga supaya tidak lecet kakinya, tidak mengalami kecelakaan, dll. Hal tersebut tidak salah, tetapi juga tidak benar. Mengapa? Karena kasih sayang orangtua Kristen ini di satu sisi baik, tetapi di sisi lain berakibat buruk, yaitu anak yang sudah beranjak dewasa tidak memiliki kemandirian. Dari kecil, seorang anak tunggal sudah ditanamkan konsep bahwa pandangan orangtua lah yang benar, lalu ketika sudah besar dan dewasa, konsep ini tidak berubah bahkan tambah ekstrim, termasuk hal-hal sepele, misalnya baju, dll, orangtua sangat berpartisipasi aktif menentukan mana yang harus dipakai dan mana yang tidak dipakai. Akibatnya, kalau si anak tunggal yang sudah besar ini memilih sendiri baju yang ia sukai, orangtua (khususnya pihak cewek yang kebanyakan cerewet untuk hal-hal yang tidak perlu) akan marah-marah karena yang anaknya pilih tidak sesuai dengan selera ibunya. Lucu bukan? Yang memakai baju itu anaknya, tetapi yang tidak suka itu ibunya. Jadi, yang pakai baju itu sebenarnya siapa: anaknya atau ibunya?? Inilah akibat pendidikan kuno yang egois! Bukan hanya mengenai masalah baju, masalah lain seperti pergi sendiri pun menjadi masalah. Ada orangtua “Kristen” yang memiliki anak tunggal sangat over-protective terhadap anaknya yang sudah beranjak dewasa dengan tidak mengizinkannya pergi sendiri. Mau tahu alasannya? Sangat irasional! Katanya, takut, kalau di tengah jalan, ada orang jahat yang berbuat jahat kepada anaknya, sedangkan kalau pergi dengan orangtua kan aman. Hehehe. Ketika saya share konsep ini kepada teman-teman saya, teman-teman saya langsung tertawa, memangnya, kalau orang jahat itu jumlahnya 5-6 orang, apakah dengan hadirnya orangtua, orang jahat itu bisa kabur? Hehehe... Saya pribadi takut dengan konsep tidak bertanggungjawab ini, di mana konsep ini pelan namun pasti mengakibatkan si anak ketika berpacaran mutlak bersama orangtuanya atau pun jika tidak bersama orangtuanya, minimal orangtuanya akan seperti “polisi” menelpon anaknya hampir setiap menit dan jam untuk memantau keadaan anak tunggalnya ini. Dan percayalah, waktu anaknya menikah pun, orangtua ini akan terus mencampuri urusan rumah tangga anaknya yang terus dianggap kurang dewasa (padahal sebenarnya, orangtua ini pun belum tentu bisa dikategorikan sebagai orangtua yang dewasa, meskipun sudah menganggap diri sebagai “orangtua,” hehehe). Di sisi lain, jika anaknya mau pergi melayani di gereja harus didampingi orangtuanya ketika menyetir mobil. Akibatnya, orang-orang di gereja akan menyangka anaknya tidak bisa mandiri, padahal sebenarnya, orangtua inilah yang sangat amat kuatir dan tidak pernah mau mendewasakan anaknya yang sudah besar, karena anaknya itu anak tunggal.
Sudah saatnya para orangtua Kristen BERTOBAT dari kekeliruan konsep di atas. Belajarlah berani untuk melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk mandiri. Anak yang sudah besar ini usianya mungkin di atas 18 tahun. Sebelum melepas anak-anak yang usianya di atas 18 tahun itu, sebagai orangtua Kristen, kita harus memantau tingkat pertumbuhan iman dan karakter anaknya. Jika sudah bisa dikategorikan cukup dewasa, baru boleh dilepas. Tetapi bagaimana jika belum bisa dikategorikan dewasa, apa belum boleh dilepas? Tidak juga. Sekali lagi, kedewasaan adalah sebuah proses, bukan karena ia belum dewasa, orangtua belum boleh melepas. Bagaimana kita bisa mengetahui anak kita dewasa jika kita tidak berani melepas mereka untuk hidup mandiri? Yang dipentingkan di sini adalah kedewasaan iman. Ketika seorang anak yang sudah dewasa imannya sudah beres dan kuat, maka kedewasaan iman ini mengakibatkan si anak memiliki kedewasaan karakter, dll di dalam proses. Dengan demikian, sebagai orangtua Kristen yang waras beranilah melepas anak-anak ini untuk hidup mandiri, supaya anak-anak mereka kelak ketika sudah beranjak dewasa mampu hidup mandiri. Jika orangtua terus mengatakan (menceramahi) anaknya bahwa ia masih kekanak-kanakan, tetapi TIDAK diikuti dengan langkah selanjutnya yaitu berani melepas anak itu untuk hidup mandiri, itu bukan solusi yang bertanggungjawab! Ini persis seperti orang yang suka mengkritik ajaran atau orang lain itu salah, tetapi tanpa ada inisiatif untuk mengoreksi ajaran atau orang itu dengan ajaran yang benar.



3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Selain mendidik anak untuk hidup mandiri, para orangtua Kristen pun harus mendidik anak-anak mereka untuk hidup bersosialisasi. Seharusnya, budaya sosialisasi dan non-individualistik bukan hal yang sulit di dunia Timur, karena dunia Timur memang mendukung budaya tenggang rasa dan kerja sama, meskipun kadang ada yang mengekstrimkan sampai-sampai kerja sama pada waktu ujian, hehehe... Oleh karena itulah, orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang baik dengan motivasi yang murni, bukan untuk mencari keuntungan. Bagaimana orangtua Kristen mengajar anak-anak mereka untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang beres itu?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Pokok dasar sebelum kita mengajar anak-anak untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama, lebih baik kita mengajar anak-anak kita tentang pentingnya peranan orang lain. Apakah ini bertentangan dengan konsep bahwa orangtua Kristen harus mengajar anak-anak dari kecil untuk hidup mandiri? TIDAK! Ini bukan suatu kontradiksi, tetapi saling melengkapi. Ada kalanya kita harus mandiri di dalam hidup dan ada saatnya kita memerlukan orang lain untuk membantu kita, karena Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk individualis dan egois, tetapi sebagai makhluk sosial. Sehingga, kita harus mengerti bahwa peranan orang lain itu penting bagi kita, baik itu teman, pasangan hidup, orangtua, atau saudara. Seberapa signifikan peranan mereka? Mereka yang dekat dengan kita bisa mendorong, menguatkan, menegur, dan menghibur kita ketika kita lemah, salah, dan sedih. Tuhan memakai orang lain untuk menjadi berkat bagi kita dan tentunya kita pun dipakai-Nya untuk memberkati orang lain juga.


b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah anak-anak kita diajar tentang pentingnya peranan orang lain, mereka pun harus diajar untuk memperhatikan orang lain. Didiklah anak dari kecil bukan hanya menerima sesuatu dari orang lain, tetapi juga untuk memperhatikan orang lain juga. Ketika ada orang lain yang susah, kita dituntut untuk memberi perhatian kepada mereka, entah itu menolong dalam bentuk materi, tenaga, dll. Kalau ada jemaat yang sakit, biarlah kita juga memperhatikannya, misalnya dengan ikut menjenguk dan mendoakannya. Para orangtua Kristen bisa mulai mengajar anak-anaknya dari kecil misalnya dengan menyuruh anak kita yang bungsu untuk memperhatikan kakaknya yang mungkin sedang sakit demam dengan mengompresnya, menyuapkan makanan, atau yang lainnya.


c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para orangtua Kristen di dalam mengajar anak-anaknya. Didiklah anak kita dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi makanan yang orangtua berikan kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti, setelah beranjak dewasa, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing kita. Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain. Bagaimana dengan kita?

No comments: