28 November 2008

Bagian 2

2. Kedewasaan Eksternal (External Maturity)
Setelah kita mempelajari kedewasaan internal, maka kita akan mempelajari kedewasaan eksternal. Kedewasaan eksternal adalah kedewasaan yang lahir dari kematangan rohani (atau kedewasaan internal). Dengan kata lain, kedewasaan eksternal adalah buah nyata dari kedewasaan internal. Ketika kedewasaan internal tidak beres, maka kedewasaan eksternal tidak beres. Apakah wujud kedewasaan eksternal ini?
a) Mandiri
Ketika di dalam kedewasaan internal, kita merindukan mengonsumsi makanan keras dan peka membedakan yang baik daripada yang jahat, maka wujud kedewasaan eksternal kita adalah sikap mandiri. Mandiri bukan singkatan dari mandi sendiri (heheheJ), tetapi mandiri adalah sikap berdikari sendiri, berani melakukan segala sesuatunya secara sendiri. Mandiri tidak berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain sama sekali, tetapi mandiri adalah sikap seorang yang dewasa dalam mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain, entah itu teman, orangtua, dll (meskipun bantuan mereka TIDAK boleh kita abaikan sama sekali). Apa saja wujud dari kemandirian itu?
(1) Menguasai banyak hal
Kemandirian ditandai dengan keinginan seseorang menguasai banyak hal. Saya mengatakan “banyak hal” bukan “semua hal”, karena manusia sejenius apa pun tak akan pernah mungkin menguasai semua hal, yang ada hanyalah manusia bisa menguasai banyak hal. Dengan menguasai banyak hal, orang Kristen tersebut belajar banyak hal dan tentu memiliki mandat bagaimana menebus hal-hal yang dipelajarinya itu untuk kemuliaan Tuhan. Hal yang saya maksud di sini bisa mencakup ilmu, etika, kebudayaan, dll di luar hal-hal yang berhubungan dengan theologi. Terus terang, saya LEMAH dalam poin ini dan saya terus belajar dari hamba-hamba Tuhan, baik dari Pdt. Dr. Stephen Tong (hamba Tuhan yang bagi saya menguasai banyak bidang, a.l.: theologi, filsafat, seni, musik, arsitektur, biologi, pendidikan, politik, dan ekonomi) dan Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. (gembala sidang GRII Andhika, Surabaya yang mengkhususkan dirinya di dalam bidang apologetika dan mandat budaya yang menyoroti masalah-masalah: pendidikan, ekonomi, politik, dan isu-isu sosial lainnya). Selain itu, saya juga tetap belajar dari hamba-hamba Tuhan lain, seperti Pdt. Billy Kristanto, M.C.S., Ev. Ivan Kristiono, M.Div., Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.), dll. Mereka semua memperkaya pengertian saya tentang integrasi iman Kristen terhadap semua bidang kehidupan.

(2) Bijaksana
Setelah menguasai banyak hal, kita tidak boleh menjadi sombong, melainkan apa yang telah kita pelajari dan kuasai itu menuntut kita untuk berbijaksana. Kita bukan hanya pintar mengerti banyak hal, tetapi kita dituntut untuk bijaksana. Secara implisit, Pdt. Sutjipto Subeno mendefinisikan bijaksana sebagai suatu tindakan yang diambil dengan tepat dengan pertimbangan yang matang di dalam kondisi yang tepat. Artinya, selain pintar, bijaksana juga membutuhkan hikmat tertinggi yaitu dari Tuhan. Bijaksana dalam hal apa saja?

Pertama, bijaksana dalam mengambil keputusan. Setelah mempelajari dan menguasai banyak hal, kita dituntut untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Misalnya, di dalam memilih pekerjaan, setelah kita mempelajari dan menguasai banyak hal berkenaan dengan profesi, maka kita dituntut untuk bijaksana dalam membuat dan mengambil keputusan yang benar. Keputusan ini harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan tentunya sebagai orang Kristen, harus dari hikmat dan pimpinan Roh Kudus. Pertimbangan yang matang di sini adalah menyangkut banyak aspek yang harus diperhatikan, misalnya: aspek iman (apakah pekerjaan ini tidak melawan kehendak Allah), aspek etika (apakah pekerjaan ini berdampak positif bagi masyarakat dan tidak merusak), dan aspek religius dan mandat budaya (sampai sejauh mana pekerjaan ini menjadi berkat bagi kita, yaitu dalam membentuk iman dan karakter kita serta mendewasakannya dan sebaliknya, kita bisa menjadi berkat bagi orang lain).

Kedua, bijaksana dalam mengelola segala sesuatu: keuangan, waktu, dll. Setelah kita menetapkan keputusan untuk memilih profesi tertentu atau hal lain, kita harus bijaksana mengelola segala sesuatu yang diperlukan bagi keputusan itu. Misalnya, kita harus bijaksana mengelola waktu yang kita pakai untuk disesuaikan dengan profesi kita. Begitu juga, kita harus bijaksana mengelola keuangan yang kita pakai setelah kita menekuni profesi tersebut, sehingga hidup kita tidak boros. Orang yang sudah bisa mengelola keuangan, waktu, dll baru bisa dikatakan dewasa. Ada banyak orang (“Kristen”) yang mengaku sudah dewasa, tetapi sayang tidak bisa mengatur waktunya. Untuk hal-hal yang penting, misalnya sebagai orang Kristen harus ke gereja, mereka dengan seenaknya sendiri telat ke gereja dengan segudang argumentasi, misalnya: telat bangun, hujan, dll, tetapi herannya kalau mereka pergi bekerja/ke kantor, mereka tidak pernah telat. Itu membuktikan bahwa mereka TIDAK bisa mengatur waktu yang berkaitan dengan nilai hidup. Bagi mereka, kerja lebih penting daripada menghadap Tuhan. Itukah ciri orang Kristen? Perlu dipertanyakan...

(3) Bertanggungjawab
Setelah kita selesai dengan tugas kita yaitu bijaksana dalam mengambil keputusan dan mengelola segala sesuatu, selanjutnya kita dituntut untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini meliputi dua hal, yaitu: bertanggungjawab atas segala sesuatu dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah kita putuskan.

Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, ciri kedewasaan Kristiani secara eksternal adalah kita bertanggungjawab atas segala sesuatu. Artinya, ketika kita mengatakan atau melakukan sesuatu, kita harus berani mempertanggungjawabkannya. Jangan pernah melarikan diri atau memelintir apa yang telah kita katakan atau lakukan kalau itu salah. Akuilah jika memang salah. Tetapi dunia postmodern hari-hari ini mengajarkan hal yang sebaliknya. Dunia ribut untuk mengajarkan apa saja tanpa memikirkan motivasi, cara, isi, dan tujuan apakah benar dari perspektif kedaulatan Allah atau tidak. Yang sibuk mereka pikirkan adalah keuntungan dan kesenangan pribadi. Bukan hanya orang dunia, orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” melakukan hal ini, bahkan bisa lebih mengerikan, karena semuanya diatasnamakan “Tuhan.” Akibatnya, dunia kita banyak memproduksi generasi yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh praktis dan alasan mengapa mereka tidak mau bertanggungjawab ini, kita bisa mempelajarinya di poin IV yang dikaitkan dengan peranan pendidikan Kristen.

Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah kita putuskan. Kalau kita mengambil keputusan yang benar, puji Tuhan, bagaimana jika kita mengambil keputusan yang salah ditambah tidak bisa mengelola keuangan, waktu, dll yang ada pada kita? Kita tetap harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Ada banyak orang (“Kristen”) yang setelah mengambil keputusan dan mengelola segala sesuatu, lalu cuek dengan tindakannya, akibatnya, semua yang telah mereka kerjakan menjadi kacau, ujung-ujungnya mereka akhirnya menyalahkan Tuhan atau orang lain. Itu bukti ketidakdewasaan kita! Kita sebagai anak-anak Tuhan jangan meniru sikap demikian!
Setelah kita benar mengambil keputusan tentang profesi tertentu, selanjutnya kita dituntut lebih lanjut untuk bertanggungjawab atas pemikiran, perkataan, dan perbuatan kita di dalam menekuni profesi tersebut. Ingatlah, tanggung jawab itu dilakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (bdk. Kol. 3:23). Sebelum mengatakan segala sesuatu, belajarlah berpikir terlebih dahulu akan apa yang hendak kita ucapkan, karena perkataan yang tanpa dipikir adalah suatu kesia-siaan dan itu akan dihakimi Tuhan kelak (Mat. 12:36-37). Begitu juga dengan apa yang kita pikir dan perbuat, semuanya itu harus kita pertanggungjawabkan. Belajarlah minta pimpinan Tuhan akan apa yang hendak kita pikirkan, katakan, dan perbuat, supaya nama Tuhan jangan dipermalukan ketika apa yang kita pikirkan, katakan, dan perbuat itu salah. Jangan sekali-kali lari dari tanggung jawab. Itu bukan tindakan seorang yang dewasa!

(4) Tahan menderita
Terakhir, setelah kita mengambil keputusan dalam memilih satu profesi dan ternyata pilihan kita itu salah, maka kita harus rela menerima risiko. Risiko itulah yang disebut penderitaan. Seorang yang dewasa ditandai dengan orang itu tahan menderita baik sebagai akibat kesalahan pilihan yang dia buat. Di sisi lain, mungkin sekali, keputusan yang kita buat itu benar, tetapi kita masih saja ditimpa penderitaan. Penderitaan itu memang diizinkan Tuhan. Kita sebagai anak-Nya harus tahan menderita di dalam segala situasi, baik karena kesalahan kita sendiri maupun ujian dari Tuhan. Kesemuanya itu turut mendewasakan iman dan karakter kita. Ketika kita menderita, belajarlah berfokus bukan kepada penderitaan yang kita alami, tetapi kepada Allah. Ketika kita terus berfokus kepada Allah di dalam penderitaan, kita akan mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk melewati berbagai macam penderitaan. Belajarlah dari Paulus yang mengajarkan, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp. 4:13) maupun, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Tim. 1:12) Di dalam penderitaan, percayalah, sebagai anak-anak-Nya, Tuhan pasti memberikan kekuatan iman, sehingga kita nantinya pasti meraih kemenangan demi kemenangan, karena Kristus yang telah mengalahkan iblis dan kemenangan-Nya itu memberikan kuasa kemenangan-Nya itu kepada anak-anak-Nya. Percayakah Anda akan hal ini? Biarlah kita mengalami sendiri kuasa kemenangan Kristus di dalam penderitaan.


b) Kemampuan Bersosialisasi
Kedewasaan eksternal bukan hanya ditandai dengan kemandirian. Budaya Barat yang menekankan kemandirian itu baik, tetapi sangat berbahaya, karena akan mengakibatkan individualisme dan cuek dengan kondisi sekitar. Saya pribadi menemukan realitas ada seorang jemaat awam yang sangat suka membaca buku-buku theologi, tetapi sayang jemaat ini kurang bersosialisasi. Kemandirian yang sehat harus diimbangi dengan kemampuan bersosialisasi. Kemampuan bersosialisasi itu ditandai dengan kemampuan seseorang membina persahabatan dengan sebanyak mungkin orang dan bagaimana berinteraksi dengan mereka. Di situlah kedewasaan seseorang mulai muncul. Apakah kemampuan bersosialisasi ini berkaitan dengan temperamen seseorang? Apakah seorang melankolis tidak bisa bersosialisasi? Tidak juga. Fakta membuktikan ada seorang teman saya satu gereja yang mengaku melankolis, tetapi dia juga memiliki banyak teman. Jadi, kemampuan bersosialisasi tidak ada hubungannya dengan temperamen seseorang. Belajarlah untuk terbuka dan bersosialisasi dengan orang lain. Mengapa? Dengan banyak bersosialisasi, kita semakin terbuka akan lingkungan sekitar. Kita akan semakin mendapat banyak ilmu, pengalaman hidup, dll yang bisa kita pelajari dan saring sendiri menurut firman Tuhan. Saya pribadi mengalami hal ini, di mana banyak berteman, kita mendapat banyak berkat yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya. Selain itu, kita juga mendapatkan banyak pengalaman hidup dari mereka. Tuhan bisa mengajar kita melalui kehadiran rekan-rekan kita.

Kemudian, dengan banyak bersosialisasi, kita juga dapat saling berinteraksi. Saling berinteraksi itu maksudnya saling menguatkan, mengingatkan/menegur, dan mengajar, sehingga masing-masing rekan/teman mendapat berkat dan bertumbuh dewasa baik secara iman dan karakter. Saya mengalami hal ini. Dengan memiliki banyak teman seiman, kami saling menguatkan, menegur, dan mengajar, sehingga masing-masing dari kami bertumbuh. Ketika saya salah, teman saya bisa mengingatkan dan menegur saya. Ketika saya sedang sedih dan ada masalah, teman saya bisa menguatkan. Sebaliknya, ketika teman saya sedang sedih, saya yang menghibur mereka. Saya memiliki suatu cerita, teman saya ini sedih karena beberapa barang berharganya hilang dan dicuri, di saat itulah, ketika ia curhat ke saya melalui chat di satu kantor, saya menguatkannya bahwa jangan sampai hal-hal tersebut mengurangi kasih kita kepada-Nya, karena Ia mengizinkan hal-hal tersebut terjadi demi pertumbuhan iman kita yang berpusat kepada Kristus. Ini semua saya alami ketika saya masih melayani Tuhan di Momentum Christian Literature. Saya mengalami sendiri apa bedanya melayani Tuhan bersama dengan rekan-rekan seiman dengan tidak bersama dengan rekan-rekan tersebut. Kehadiran teman-teman tersebut saling mengisi, menguatkan, menegur, dll, sehingga iman dan karakter makin diasah dan didewasakan. G. I. Jeffrey Siauw, M.Div. di dalam khotbahnya tentang komunitas di dalam Seminar Redemptive Spirituality Series mengajarkan bahwa pentingnya komunitas itu membukakan kepada kita realitas kita yang negatif dan teman kita dapat memberi terang kepada diri kita. Tanpa komunitas, kita tidak pernah merasa diri kita memiliki kelemahan/hal negatif. Tuhan memakai komunitas yang bertanggungjawab sebagai sarana mempertumbuhkan iman dan karakter kita. Sudahkah dan bersediakah kita menjalin sosialisasi dengan orang lain?






IV. PERANAN PENDIDIKAN KRISTEN DALAM KEDEWASAAN


Setelah kita mengerti dua macam prinsip kedewasaan yang Alkitab ajarkan, maka sekarang kita beralih kepada pembahasan bagaimana menumbuhkan kedewasaan itu di dalam diri seseorang, khususnya sejak kecil. Tidak ada jalan lain, pendidikan Kristen harus bersumbangsih membentuk kedewasaan seorang anak sejak kecil, agar kelak mereka menjadi orang dewasa secara menyeluruh, baik iman, karakter, pemikiran, sikap, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan Kristen yang kita akan soroti adalah pendidikan orangtua dan pendidikan sekolah/gereja.
A. Pendidikan Orangtua
Pendidikan Kristen pertama yang seharusnya mengajar dan mendidik kedewasaan seorang anak sejak kecil adalah pendidikan orangtua, karena Tuhan mempercayakan anak-anak pada orangtua mereka untuk dididik dan diajar. Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa orangtua adalah satu-satunya oknum yang harus bertanggungjawab kepada Tuhan atas apa yang mereka ajarkan pada anak-anak mereka. Jika yang mereka didik dan ajarkan sejak kecil itu salah, itu mungkin akan mempengaruhi kehidupan anak mereka waktu mereka dewasa. Tidak heran, banyak anak hasil didikan orangtua yang masih memegang kepercayaan dan filsafat dunia Timur susah bertobat dan menerima serta mengikut Kristus sungguh-sungguh waktu mereka dewasa. Sudah terlalu banyak contoh realitas akan hal ini. Semuanya dipengaruhi oleh pengajaran dan pendidikan dari orangtua yang keliru yang antroposentris (berpusat kepada manusia). Oleh karena itu, marilah kita melihat dua hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan orangtua kepada anak secara Kristiani.
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Hal pertama yang harus diperhatikan orangtua Kristen ketika mengajar dan mendidik anak-anak mereka sejak kecil adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil. Banyak orangtua “Kristen” di abad postmodern MALAS mendidik tentang iman Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil. Mengapa? Karena bagi mereka, tugas mengajar dan mendidik iman Kristen adalah tugas sekolah minggu/gereja atau sekolah Kristen. Ini jelas salah. Pengajaran dan pendidikan iman Kristen kepada anak kecil dimulai dari orangtua. Di Perjanjian Lama, Musa mengajar kita, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:4-7) “Mengajarkannya berulang-ulang” dalam KJV diterjemahkan teach them diligently (ajarkanlah kepada mereka dengan tekun/rajin). Bahasa Ibrani yang dipakai adalah shânan bisa berarti to point (menunjuk, menekankan, memberikan nasihat secara paksa). Di sini, kita beroleh pengertian bahwa mengajarkan iman Kristen bukan mengajar sambil lalu atau sembarangan, tetapi mengajar dengan menekankannya berulang-ulang, bahkan bisa dibilang memberikan nasihat secara paksa. Mengapa harus secara paksa? Karena anak kita dari kecil harus mendapatkan pendidikan pertama (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya dekrit pertama/first decree) yang solid terlebih dahulu, agar mereka tidak terpengaruh oleh budaya/pemikiran luar. Jika pada waktu kecil saja, anak-anak sudah dibiarkan oleh orangtuanya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, orangtua tersebut adalah orangtua GILA, karena mereka tidak mengerti bahwa anak kecil belum mampu memilih jalan hidup sendiri. Tidak heran, banyak orangtua “Kristen” di postmodern (banyak terpengaruh oleh filsafat dunia Timur yang materialis—mendewakan materi dan utilitarianis—menekankan asas manfaat) membuat titahnya sendiri dalam mengajar anak bertolak belakang dari Ulangan 6:4-7 di atas, mereka mengajarkan berulang-ulang kepada anak-anak mereka untuk mengerjakan segala sesuatu harus dilihat dari untung ruginya, sehingga: kalau mau melayani Tuhan pun harus dilihat untung ruginya, kalau banyak ruginya, tidak usah melayani Tuhan, lebih baik membantu usaha orangtua, lebih untung. Lalu, mereka juga mengajar anak-anak mereka untuk tidak memberikan persepuluhan, karena itu membuat rugi. Daripada memberikan persepuluhan, lebih baik membeli emas, saham, dll, lebih untung. Jelas, ini ciri banyak orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (matrenya kelihatan jelas), kecuali mereka yang sudah sungguh-sungguh menyerahkan hidup dan hatinya hanya untuk Tuhan saja, mereka pasti memiliki paradigma yang berbeda total (yaitu Theosentris = berpusat kepada Allah).

Saya harap orangtua yang sungguh-sungguh Kristen TIDAK mengikuti ide gila tersebut. Saya harap juga orangtua Kristen jangan sekadar mengerti secara teori bahwa itu salah, tetapi mereka HARUS mengaplikasikannya dengan bertanggungjawab. Orangtua yang tahu secara teori akan kebenaran ini sama dengan orangtua yang TIDAK dewasa, meskipun secara fenomenal, mereka dewasa. Camkanlah! Lalu, bagaimana mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil? Saya membagikan dua prinsip.
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Prinsip pertama mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil adalah mengarahkan mereka akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para orangtua Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil (sejak balita) bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh orangtuanya atau saudara atau teman/rekan, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Dewasa ini, mengapa banyak orang dewasa kebingungan mencari jati diri? Karena mereka dari kecil tidak diajar akan arti hidup mereka di hadapan Allah. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai orangtua Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai orangtua Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Jangan biarkan anak dari kecil menganggap orangtua mereka sempurna seperti Allah! Itu penghujatan dan penghinaan kepada Pribadi Allah. Kembali, ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu tentang siapa yang mencipta mereka, bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya, dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus.

Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. JANGAN ada pemaksaan! Pemaksaan atau apalah namanya dari pihak orangtua sebenarnya mungkin menghina Allah yang telah memanggil setiap pribadi anak secara berbeda! Tuhan mungkin memakai orangtua sebagai sarana panggilan Allah bagi anak-anak, tetapi itu bukan hal mutlak! Hal ini jangan sekali-kali dimutlakkan! Memutlakkan cara ini berarti dosa, karena bagi orangtua, tidak ada sarana lain yang Allah pergunakan bagi anak-anak selain melalui orangtua, padahal Allah yang Mahadahsyat bisa memakai segala cara di luar orangtua!

Sayang, konsep ini tidak dimengerti oleh banyak orangtua “Kristen” abad postmodern apalagi banyak orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Timur)! Saya adalah keturunan Tionghoa dan sudah melihat banyak realitas ini. Secara tidak sadar, mereka mengajar bahwa panggilan hidup anak-anak mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri (yaitu orangtua). Jika di Roma 11:36, Paulus mengajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan selama-lamanya, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur mengajar bahwa segala sesuatu dari orangtua, oleh orangtua, dan untuk orangtua, bagi orangtualah, kemuliaan selama-lamanya. Mereka mungkin tidak sampai mengatakan hal itu secara eksplisit, karena “malu.” Tetapi secara implisit, saya pribadi telah menemukan fakta-fakta nyata akan hal ini. Karena konsep mereka yang mendewakan diri mereka sendiri sebagai orangtua yang tidak pernah salah (“infallibility and inerrancy” of the parents), maka anak-anak mereka pun diajar dan dididik untuk HANYA mengikuti apa yang orangtua ajarkan dan tidak usah mendengarkan perkataan siapa pun, entah dari teman, saudara, bahkan hamba Tuhan yang bertanggungjawab (bahkan yang paling ekstrim, Allah sendiri tidak perlu digubris). Alasan mereka cukup “logis”, yaitu karena HANYA orangtua sajalah yang mengerti anak-anaknya. Benarkah HANYA orangtua yang mengerti anak? Ada sedikit benarnya, tetapi tidak semua. Satu-satunya yang HANYA mengerti pribadi anak tentu Allah sebagai Pencipta mereka. Mengapa konsep ini dihilangkan oleh banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur? Karena bagi mereka, secara PRAKTIS, Allah sudah mati! Itulah atheis praktis. Secara fenomenal, mereka percaya kepada Allah, pergi ke gereja, bahkan suka menguliahi orang lain dengan iman Kristen, tetapi sayang secara praktis, mereka meniadakan Allah, karena bagi mereka, Allah hanya berdiam dan berkuasa di gereja, tidak di dunia luar. Jadi, hari Minggu, mereka ikut Tuhan, hari Senin s/d Sabtu, mereka ikut setan (meskipun di mulut berkata, “Tuhan”), nanti pas hari Minggu, balik lagi ikut Tuhan, setelah itu Senin s/d Sabtu, mereka memenuhi tuntutan setan lagi, begitu terus siklus hidup keseharian seorang atheis praktis. Sungguh mengerikan! Selain “HARUS” mengikuti apa yang orangtua ajarkan, anak-anak mereka pun dididik untuk mengikuti apa yang orangtua sudah gariskan bagi mereka. Jika di dalam theologi Reformed, kita mengenal istilah: ketetapan Allah (God’s decree), maka di dalam “theologi” atheis praktis ala banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur, mereka memperkenalkan istilah: ketetapan orangtua (the parents’ decrees)! Jika di dalam theologi Reformed, kita mengenal bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur pun memiliki konsep (secara implisit) bahwa orangtua telah menetapkan segala sesuatu dari pasangan hidup bahkan teman-teman bagi anak-anak mereka. Jika ada anak-anak mereka yang tidak menaati apa yang telah mereka tetapkan “dari semula”, maka mereka akan menganggap anak-anak mereka “durhaka atau tidak taat.” Padahal sering kali konsep-konsep yang mereka telah tetapkan “dari semula” itu belum tentu sesuai dengan ketetapan Allah, tetapi dengan bangganya mereka berani mengatakan dan menetapkan hal tersebut. Sungguh antik ya... Memang tidak ada salahnya jika ada orangtua yang menasihatkan anak-anaknya untuk memilih teman-teman dan pasangan hidupnya, tetapi JANGAN pernah MEMAKSA apalagi paksaan itu ditambahi unsur-unsur sekuler yang sebenarnya tidak sesuai dengan Alkitab.


b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum anak-anak mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan bagi orang lain. Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi terlebih dari orangtua Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah orangtua Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak mereka. Anak yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa. Mengapa? Karena mereka sudah peka mengintrospeksi diri mereka. Kedewasaan salah satunya ditandai dengan kemampuan menguji diri (lih. pemaparan saya pada Kedewasaan Internal bagian Peka Membedakan yang Baik daripada yang Jahat pada subbagian Berlaku bagi diri). Adalah suatu kekonyolan jika orangtua Kristen belum memiliki motivasi yang murni sudah pintar mengajari anak-anak mereka.

Tetapi sayangnya, pendidikan semacam ini hampir tidak diajarkan oleh banyak orangtua Kristen. Apa sebab? Karena orangtua Kristen pun hampir tidak ada yang mau menguji motivasi mereka sebelum melakukan sesuatu. Akibatnya, banyak orangtua “Kristen” mengajar anak-anak mereka tidak usah memikirkan masalah motivasi, yang penting anak-anak mereka menyukainya. Kalau anak-anak mereka menyukainya, para orangtua “Kristen” sibuk menggenjot anak untuk mendapatkan apa yang anak-anak mereka inginkan. Akibatnya, cara-cara curang lah yang mereka pergunakan agar anak-anak mereka sukses sesuai dengan keinginan anak-anaknya tersebut. Di sisi lain, ada orangtua “Kristen” yang tidak memikirkan apa yang diinginkan anak-anak mereka, lalu mengambil alih semua kebebasan mereka untuk menggenapkan keinginan para orangtua, mulai dari memilih jurusan perkuliahan, pekerjaan, bahkan pasangan hidup. Anak-anak mereka seperti robot yang tidak memiliki keinginan dan motivasi murni lagi. Akibatnya, ketika mereka menikah kelak (di mana pasangan mereka pun ditetapkan oleh orangtua), mereka tidak akan pernah berbahagia dan tidak mampu mengajar anak-anak mereka untuk memiliki motivasi murni, karena pengalaman pahit yang mereka alami. Pada akhirnya, terciptalah suatu generasi yang cuek dengan motivasi, itulah dunia kita. Mereka masa bodoh apakah Tuhan dipermuliakan atau tidak, karena bagi mereka, Tuhan itu hanya berlaku di dalam kebaktian gereja dan tidak di dalam kehidupan sehari-hari. Inilah wujud dualisme di dalam pendidikan “Kristen” di dalam keluarga.

No comments: