06 May 2008

Matius 9:32-34: INTERPRETATION OF REALITY

Ringkasan Khotbah : 14 Agustus 2005
Interpretation of Reality
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 9:32-34



Kalau kita bandingkan etika hukum Kerajaan Sorga yang diajarkan oleh Kristus dalam Khotbah di Bukit (Mat. 5-7) dengan konsep hukum dan filsafat dunia yang dipaparkan tokoh filsuf dunia seperti Aristotle, Socrates, Plato, Lao Tze dan lain-lain maka semua konsep tersebut tidak berarti. Hal ini diakui oleh dunia karena itulah dunia menyebut hukum Kerajaan Sorga ini sebagai the Golden Rule sebab sepanjang sejarah jaman ini tidak ada standar hukum atau etika kehidupan yang lebih tinggi dari etika yang diajarkan oleh Kristus. Setiap aturan atau hukum dunia yang ditata dengan menggunakan standar atau mengacu pada the Golden Rule pastilah mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan hukum dunia yang menggunakan standar lain.
Setiap orang yang menjadi warga Kerajaan Sorga tentulah harus mentaati setiap hukum Kerajaan Sorga yang ditetapkan oleh Kristus Sang Raja. Kita telah memahami implikasi hukum Kerajaan Sorga, yakni: pertama, the Lordship of Christ, yakni melihat Kristus bukan sekedar sebagai Juruselamat tetapi Kristus adalah Tuhan yang berkuasa atas hidup kita. Hari ini banyak orang yang mengaku percaya Kristus tetapi tidak mengakui Dia sebagai Tuhan, orang hanya mencari keuntungan, orang tersebut beriman humanis; kedua, discipleship, pengikut Kristus bukan bersifat sementara tetapi selamanya; ketiga, separation, anak Tuhan sejati haruslah hidup kudus dan memancarkan sifat Ilahi sebab kita memang dipisahkan untuk suatu tugas khusus di tengah-tengah dunia yang bobrok, keempat, faith, beberapa waktu lalu kita telah memahami tentang iman sejati melalui orang buta yang disembuhkan dan kini, kita kembali memahami iman tetapi terkait dengan orang bisu yang kerasukan dan disembuhkan.
Sepintas kalau kita baca kisah tentang orang bisu ini sepertinya tidak berkaitan dengan iman sebab tidak ada kata “percaya atau iman.“ Di dunia modern ini orang seringkali mengkaitkan iman dengan hal-hal yang spektakuler sebaliknya orang tidak peduli dengan pemikiran yang mendasari kepercayaannya padahal justru disinilah letak permasalahan iman yang paling besar sebab dalam hal berbicara itulah nampaklah imannya. Orang bisu yang dikisahkan oleh Matius disini bisunya bukanlah pembawaan sejak lahir tetapi karena ia dirasuk setan, terbukti setelah Tuhan Yesus mengusir setan yang ada padanya maka ia pun dapat berkata-kata kembali. Di satu pihak, ada orang ingin berbicara tetapi ia tidak dapat berbicara namun di pihak lain, ada orang yang dapat berbicara namun kata-kata yang keluar dari mulutnya bukanlah kebenaran. Realitanya sama, yakni orang bisu yang kerasukan disembuhkan namun orang Farisi justru mempunyai penafsiran berbeda. Ternyata realita yang tampak di depan mata bukan sekedar realita tetapi di belakangnya ada masalah rohani; kisah ini bukan sekedar bicara sebab di balik perkataan itu, iman seperti apakah yang mendasari?
Pertama, iman, realita dan penafsiran saling terkait erat. Alkitab yang sama tetapi diinterpretasikan berbeda-beda dan dari hasil interpretasi ini terungkaplah iman seseorang. Wajarlah kalau hari ini banyak orang dibingungkan karena banyaknya ajaran Kristen yang muncul dan semuanya mengajarkan hal yang berbeda. Iman tersembunyi di belakang tapi iman tidak dapat disembunyikan. Iman menjadi kacamata ketika seseorang melihat suatu realita, iman itu akan mempengaruhi seluruh pemikiran kita. Jadi, letak permasalahannya bukan pada Alkitabnya sebab Alkitab tidak pernah bersalah. Seorang teolog bernama Ronald Nash mengungkapkan bahwa terbentuknya pola pikir seseorang itu dipengaruhi oleh pendidikan baik dari sekolah maupun lingkungan dan membentuk suatu kerangka pemikiran yang menyatu dan saling terkait layaknya sebuah jaringan laba-laba dan ini menjadi dasar pemikiran ketika seseorang hendak mempertimbangkan, memutuskan dan melihat suatu realita. Alkitab menyebutnya dengan akal budi (Rm. 12:2). Seorang atheis melihat suatu realita maka penafsiran yang muncul pastilah menggunakan konsep atheis dan itu bertentangan dengan iman Kekristenan maka ketika dia bertobat, akal budi itu tidak langsung berubah, jelaslah ini menjadi suatu perintah aktif: 1) jangan serupa dengan dunia; 2) berubahlah oleh pembaharuan akal budimu. Iman sejati barulah dapat diimplikasikan kalau kita mempunyai obyek iman yang tepat dengan demikian ketika kita melihat suatu realita kita tidak salah menafsirkan. Sebuah realita misalnya kecelakaan mobil bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni: ekonomi, hukum, kedokteran akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Orang ekonomi pasti melihat dari kacamata ekonomi sehingga interpretasi yang muncul terkait erat dari sudut mana orang memandang suatu realita. Presuposisi yang muncul bukan sekedar presuposisi; presuposisi yang ada di sekitar wilayah dunia maka akan menjadi suatu relativitas belaka tetapi ketika kita memandang dari presuposisi Tuhan maka disanalah kita mendapatkan obyek iman yang sejati.
Orang Farisi mengaku diri sebagai seorang beriman, seorang yang mempraktekkan seluruh peraturan hukum Taurat tetapi ketika ia melihat mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus reaksinya justru berbeda. Hati-hati jangan terlalu cepat menafsir sebuah realita, cobalah kita mengevaluasi diri sendiri kenapa muncul interpretasi demikian? Apakah iman yang mendasari itu iman sejati ataukah iman dari setan? Iman sejati seharusnya terimplikasi dalam seluruh bidang kehidupan kita namun hari ini, orang cenderung mendualismekan antara iman dan kehidupannya; iman tidak dapat terintegrasi dalam seluruh bidang kehidupan. Di dunia modern orang biasa dididik konsep dualisme sehingga antara ilmu dan iman tidak saling berhubungan dan ironisnya orang tidak menyadari pentingnya integrasi tetapi merasa diri pandai dan paling benar, orang tidak mau kembali pada kebenaran sejati. Iman, realita menimbulkan penafsiran, hal ini menjadi aspek spiritual. Orang yang bisu ini bukan cuma sebatas tidak berbicara tetapi kebisuan ini masuk dalam urusan rohani sebab yang membuat bisu adalah setan sebaliknya orang yang dapat berbicara ternyata tidak beda dengan orang yang bisu, ia tidak lebih dari alat setan sebab kata-kata yang keluar dari berasal dari iblis. Karena itu kita harus berhati-hati dalam berkata-kata, biarlah kita uji dan mengevaluasi diri kita masing-masing benarkah setiap perkataan kita itu berasal dari Tuhan dan sesuai dengan kehendak Tuhan ataukah kita sama seperti orang Farisi, tidak lebih hanya sebuah alat setan?
Beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah: Pertama, apakah setiap perkataan yang keluar itu memuliakan Tuhan? Kalau memang benar dari Tuhan dan sesuai dengan kebenaran maka siapa kita manusia sehingga berani melawan Allah? Kedua, setiap perkataan yang sudah keluar dari mulut kita haruslah dipertanggung jawabkan. Kekristenan sangat melawan keras konsep postmodern, yaitu the death of the author yang mengajarkan bahwa setiap perkataan yang sudah keluar dari mulut kita bukanlah menjadi tanggung jawab kita maka perkataan lepas dari pembicaranya. Allah berfirman maka Firman yang keluar dipertanggung jawabkan oleh Allah. Begitu pula setiap hamba Tuhan yang memberitakan Firman haruslah mempertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Panggilan Tuhan dan perkataan saling terkait erat; Ketiga, hasil akhir adalah untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemuliaan diri. Sebab segala sesuatu dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia; Bagi Dia kemuliaan untuk selama-lamanya (Rm. 11:36). Ini merupakan prinsip Kekristenan.
Kedua, Kisah orang bisu ini sekaligus membukakan suatu fakta bahwa mujizat itu tidak akan membawa orang semakin mengenal Tuhan. Terbukti, Tuhan Yesus, Anak Allah sendiri yang melakukan mujizat tetapi toh orang tidak bertobat tetapi orang justru melawan Tuhan dengan mengatai-ngatai Tuhan Yesus adalah penghulu setan. Jelaslah bahwa orang kalau sudah menolak Tuhan maka ia akan tetap tidak mau percaya meski ia sudah melihat bukti; segala sesuatu yang positif akan menjadi negatif. Realita tergantung dari iman maka kalau orang dapat beraksi tepat dan menanggapi suatu mujizat dengan benar, itu merupakan suatu anugerah. Ingat, hari ini kalau kita dapat beriman maka itu bukan hasil usaha kita tetapi pemberian Allah. Mujizat paling besar bukan orang buta dicelikkan atau orang bisu berbicara atau memberi makan lebih dari lima ribu orang dengan lima roti dua ikan. Bukan! Mujizat terbesar di dunia adalah Kristus yang sudah mati itu bangkit kembali pada hari ketiga. Kristus bangkit dan Dia hidup bukanlah sekedar isapan jempol sebab hal ini disaksikan dan dibuktikan oleh kurang lebih 500 orang. Namun fakta sejarah yang sedemikian dahsyat ini toh tidak membuat orang percaya dan bertobat karena pada dasarnya orang menolak Kristus, dengan segala cara orang memelesetkan semua kebenaran bahkan berusaha menutupinya. Iman adalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hati setiap manusia. Jelaslah, mujizat bukanlah sarana atau cara yang Tuhan kehendaki untuk mempertobatkan seseorang. Itulah sebabnya Tuhan Yesus melarang untuk kedua orang buta yang telah dicelikkan untuk tidak mengatakan pada orang lain. Jangan sandarkan iman pada mujizat atau hal-hal yang spektakuler. Sayangnya, dunia tidak mengerti hal ini, memang benar, mujizat menjadikan orang kagum namun hal tersebut tidak membuat orang bertobat. Biarlah kita meneladani iman dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego, yakni Iman sejati adalah kembalinya kita pada Kristus, percaya bahwa Kristus dapat melakukannya dan kita juga akan tetap percaya kalau seandainya Tuhan tidak melakukan mujizat atas kita.
Ketiga, Perhatikan, kata-kata yang diucapkan oleh orang Farisi: “Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan“ sepintas kalau kita dengar sepertinya orang Farisi ini memusuhi setan namun kalau kita cermat, sesungguhnya ia telah menjadi alat untuk mempublikasikan kuasa setan. Setan sangatlah licik, ia mempromosikan dirinya dengan cara mengusir setan dan ia memakai seorang teolog sebagai alat. Strategi yang sangat licik. Kalimat yang diucapkan itu sekaligus membalik semua kebenaran. Tuhan Yesus melakukan tindakan benar tapi dengan perkataan orang Farisi itu, kini seolah-olah ia menjadi salah sebaliknya mereka yang salah justru menjadi benar; hanya dengan satu kalimat seluruh pekerjaan Tuhan Yesus menjadi tidak bernilai. Biarlah kita mengevaluasi diri, hati-hati dengan segala akal licik iblis karena itu, kita harus kembali pada Firman Kebenaran itu, sola scriptura. Itulah sebabnya Martin Luther dengan keras menentang tindakan Yohan Tetzel, seorang pastor yang menjual surat pengampunan dosa sebab apa yang dilakukan justru tidak membuat orang kembali pada Kristus tapi semakin merusak iman Kekristenan. Iblis tidaklah bodoh, cara yang dipakai sangatlah luar biasa; iblis memakai seorang teolog sebagai ajang untuk mempromosikan dirinya.
Orang-orang Israel berdecak kagum melihat hal yang spektakuler, katanya: “Yang demikian belum pernah dilihat di Israel.“ Namun orang Farisi langsung mematahkan dengan kalimat yang diucapkan: “Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan“ disini jelas, setan memakai orang Farisi ini untuk menyatakan bahwa yang melakukan mujizat itu bukan Tuhan Yesus tetapi setan. Dengan kata lain: pakai kekuatan Tuhan Yesus tapi dipasangi label setan sehingga seolah-olah setan yang lebih hebat dari Tuhan Yesus. Inilah cara licik yang dipakai oleh setan maka kita harus berhati-hati dan waspada. Tuhan Yesus tahu segala tipu muslihat iblis yang memakai kekuatan Tuhan tapi mengakui itu sebagai kekuatannya. Tuhan tidak akan tinggal diam karena tiba hari-Nya Tuhan akan menghukum mereka. Tuhan menegaskan bahwa pada hari terakhir banyak orang akan berseru: “Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu kamu sekalian pembuat kejahatan!“ (Mat. 7:23-24).
Janganlah kita mudah terjebak dengan akal licik si iblis yang memang sengaja membuat manusia merasa terganggu dan akhirnya menjadi marah ketika melihat orang mempermainkan kebenaran dan itu berakibat pada tindakan kita. Biarlah kita menjadi bijak sehingga kita dapat bertindak tepat. Dalam bagian ini Tuhan Yesus membukakan suatu kebenaran dan tugas kebenaran adalah memproklamasikan kebenaran dan Tuhan memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih dan tugas kita mempertanggung jawabkan setiap keputusan yang kita pilih. Biarlah kita meneladani sikap dan tindakan Kristus ini dengan demikian di tengah dunia ini kita dapat melangkah dengan tepat. Setan sangat pandai membalik setiap realita, setan sangat pandai membuat orang sepertinya mengikuti arah yang benar padahal itu berujung dengan maut. Tugas setiap anak Tuhan untuk memberitakan kebenaran, membawa orang kembali pada kebenaran.
Bagian terakhir ini tidak ada kata “iman“ namun ini justru menjadi puncak evaluasi iman kita, yakni bagaimana kita mengimplikasikan iman. Inilah yang membuktikan siapakah kita? Apakah kita seperti orang Farisi yang katanya “beriman“ namun sesungguhnya kita tidak beda dengan anak iblis? Dimanakah keberadaan posisi kita? Cara kita melihat suatu realita dan menafsirkannya itu membuktikan iman kita, membuktikan siapa sesungguhnya diri kita. Karena itu, janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: