04 March 2008

Matius 9:9-13: WHO THE SINNER IS?

Ringkasan Khotbah : 24 April 2005
Who the Sinner is?
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:9-13


Pendahuluan
Hari ini kita kembali menajamkan tentang separasi yang berasal dari kata kudus atau kadosh (bahasa Ibrani) yaitu pemisahan antara orang yang berada di dalam Kristus dengan orang yang berada di luar Kristus. Hati-hati jangan tertipu dengan segala sesuatu yang kelihatan secara fenomena yang kelihatan saleh dan beragama tetapi sesungguhnya dia bukanlah seorang pengikut Tuhan sejati. Bagaimanakah seharusnya sikap seorang pengikut Tuhan sejati? Matius memberikan kesaksian tentang perubahan drastis yang terjadi dalam hidupnya, yakni dari seorang pemungut cukai menjadi pengikut Kristus. Matius tidak menulis dengan panjang lebar (Mat. 9:9). Matius adalah seorang Yahudi tetapi ia lebih memilih menjadi pemungut cukai, dicap sebagai seorang pengkhianat dan dikucilkan oleh bangsanya, semua itu ia lakukan karena satu alasan, yaitu uang. Orang rela melakukan apapun demi untuk uang bahkan ada orang yang mau berlaku seperti binatang. Orang lupa kalau dirinya dicipta menurut gambar dan rupa Allah yang begitu mulia dan harus mempertahankan harkat.
Matius merasakan hidupnya kosong dan ternyata uangnya yang banyak itu tidak dapat menolongnya. Di tengah kondisi yang desperate itu Tuhan Yesus datang dan berkata, “Ikutlah Aku“. Tanpa berpikir panjang lagi Matius langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengikut Tuhan Yesus. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Matius rugi dan menyesal setelah mengikut Kristus? Jawabnya: tidak, Matius sangat bersyukur atas anugerah Tuhan. Bandingkanlah dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, mereka menganggap dirinya yang paling benar karena telah mentaati lebih dari 600 peraturan. Tuhan Yesus tidak suka dan menegur sikap mereka yang munafik. Matius menyadari bahwa di luar sana masih banyak orang yang hidup bergelimang dalam dosa karena itu ia mengundang semua pemungut cukai dalam pestanya dimana Tuhan Yesus yang menjadi tuan rumahnya. Matius ingin supaya orang-orang berdosa ini bertemu dengan Tuhan Yesus dan mendapat keselamatan seperti yang ia alami.
I. Perbedaan Posisi
Orang Farisi berkata kepada murid-murid Yesus, “Mengapa gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa?“ Dengan kata lain mereka hendak mengatakan bahwa Yesus, seorang Rabbi Yahudi maka tidak seharusnya Ia bersama pemungut cukai dan orang berdosa tetapi Dia seharusnya ada bersama dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang mendasari atau yang menjadi pola pikir mereka sehingga berpikir kalau Yesus salah posisi? Sesungguhnya yang salah posisi bukan Tuhan Yesus tetapi orang Farisi dan ahli Taurat. Tuduhan mereka terhadap Tuhan Yesus membuktikan mereka tidak mengenal dirinya sendiri sebab dimana kita berada itu menunjukkan seberapa jauh kita “tahu diri“. Ciri-ciri orang yang tahu diri, yaitu: 1) kenal diri, 2) tahu dimana posisi, 3) tahu apa ia kerjakan sebagai eksistensi manusia. Ketika pertama kali manusia jatuh ke dalam dosa, Allah juga menanyakan keberadaan posisi: “Dimanakah engkau?“ (Kej. 3:9).
Secara fenomena orang Farisi kelihatan baik tapi sesungguhnya mereka sangat licik, mereka ingin menguasai Yesus. Hati-hati, di dunia modern ini banyak orang yang kelihatan baik tetapi di balik kebaikan itu sebenarnya ada motivasi buruk. Inilah sifat manusia berdosa. Memang siapakah manusia sehingga berani mempersalahkan Tuhan? Tuhan Yesus tahu dimana seharusnya Ia berada, yakni berada di tengah-tengah orang berdosa yang tahu diri kalau dirinya adalah orang berdosa dan memerlukan penyelesaian; bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Orang Farisi tidak beda dengan pemungut cukai yakni sama-sama orang berdosa maka seharusnya mereka juga berada di posisi yang sama seperti pemungut cukai. Seandainya orang Farisi menyadari dirinya orang berdosa dan mau bertobat maka ia pasti ada di posisi yang sama seperti pemungut cukai. Orang Farisi telah membuat garis pemisah, mereka ingin Tuhan Yesus ada di posisi mereka tetapi mereka tidak mau Tuhan Yesus memimpin hidup mereka. Garis pemisah ini tidak pernah mempertemukan keduanya; kemungkinan yang terjadi adalah salah satu harus pindah, Tuhan Yesus bergabung dengan orang Farisi atau orang Farisi yang harus bergabung dengan Tuhan Yesus. Dimanakah positioning kita? Kalau kita merasa diri hebat, saleh, dan tidak berdosa maka sadar dan bertobatlah justru pada saat itu kita adalah orang yang paling berdosa dan seharusnya kita berada di posisi para pemungut cukai. Di tengah dunia ini banyak orang yang berdosa yang berpikir kalau Tuhan Yesus yang harus ada bersama mereka, Tuhan Yesus yang harus tunduk dan taat padanya. Salah! Tuhan Yesus menegur dengan keras karena Dia ingin menyadarkan manusia supaya kembali pada posisi yang tepat karena selama ini manusia tidak sadar kalau telah salah posisi, kita telah mengalami keterkiliran posisi. Kalau kita masih mengeraskan hati dan tidak mau pindah ke posisi pemungut cukai, berarti kita adalah orang yang tidak tahu diri, kita tidak mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya.
Celakanya, manusia mencoba menyelesaikan semua persoalan manusia melalui pendekatan psikologi yang baru muncul di abad ke-20 yang merupakan hasil humanisme modern. Padahal dari keempat mazhab besar, yaitu: 1) psikoanalisa, 2) behaviorism, 3) humanism, 4) mystical, tidak ada satu pun mazhab yang memahami: pertama, manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, manusia tidak kenal siapa dirinya tapi berteori tentang diri sendiri dan memakai istilah psikologi; kedua, manusia adalah manusia berdosa, orang tidak mau mengakui dirinya berdosa tetapi orang lebih suka mengatakan dosa itu sebagai akibat kegagalan dari masa lalu maka tidaklah heran kalau manusia sukar kembali pada Tuhan. Dan celakanya, hari ini seluruh kurikulum sekolah dibasiskan pada psikologi. Inilah yang disebut sebagai keterkiliran posisi, kita tidak tahu posisi diri kita dimana karena itu hendaklah kita sadar bahwa kita adalah orang berdosa dan seharusnya dimurka Tuhan namun Tuhan masih berbelas kasihan pada kita, Dia mau mengembalikan kita pada posisi yang benar, yaitu di posisi Kristus. Akan tetapi keputusan ada ditangan kita, dimanakah kita memposisikan diri? Sebab Tuhan tidak dapat mengerjakan semua ini pada orang yang memang mau memisahkan diri dari Kristus.
II. Perbedaan Konsep Dosa
Orang Farisi membenci Tuhan Yesus karena Tuhan Yesus makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Perhatikan kata “berdosa“, sinners disini berarti orang Farisi ini menuduh pemungut cukai dan orang lain yang duduk bersama Kristus sebagai orang berdosa. Kristus tahu apa yang ada dalam pikiran orang Farisi maka Tuhan Yesus berkata: “Jadi, pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa (sinners).“ Orang Farisi dan Tuhan Yesus memakai kata yang dipakai sama, yakni sinners tetapi definisinya berbeda. Orang Farisi memakai kata “berdosa“ sifatnya eksklusif, yaitu hanya untuk orang-orang yang duduk bersama Kristus saja dan dirinya bukanlah termasuk dalam golongan orang berdosa. Tuhan Yesus justru menggunakan kata “berdosa“ yang sifatnya insklusif, yakni semua manusia berdosa tidak terkecuali orang Farisi.
Konsep orang Farisi tentang dosa adalah hubungan di dalam relasi horisontal maka mereka pikir kalau mereka tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain berarti mereka tidak berdosa begitu juga kalau mereka tidak melanggar peraturan yang ada tertulis berarti mereka tidak berdosa. Bukankah konsep dosa orang Farisi ini sampai sekarang juga sama? Dunia mengajarkan kalau kita tidak melanggar peraturan maka secara pasif orang tidak berdosa, berarti kalau saya tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak bersaksi dusta, tidak mengingini milik orang lain dan menghormati orang tua berarti saya adalah orang baik. Orang yang merasa diri baik justru membuktikan kalau dia bukanlah orang baik sebab ia membandingkan diri dengan orang lain yang lebih jelek darinya. Tidak ada orang baik yang mengaku dirinya baik, orang baik selalu mengasumsikan diri kurang baik. Orang Farisi merasa dirinya baik, hal ini dapat kita lihat pada sikap dan isi doa mereka; mereka berdoa di tempat dimana banyak orang bisa melihat dan cara mereka berdoa adalah membandingkan diri dengan orang lain yang lebih jelek, seperti pemungut cukai misalnya. Alkitab mencatat ada seorang anak muda yang kaya mendatangi Yesus, ia merasa diri baik karena telah melakukan semua hukum Taurat. Benarkah demikian? Ketika Tuhan Yesus menyuruh dia untuk menjual seluruh hartanya dan mengikut Dia, anak muda ini langsung pergi. Hal ini membuktikan kalau sesungguhnya ia tidak mengasihi Tuhan, ia tidak melakukan semua hukum Taurat, ia hanya melakukan hukum Taurat yang sifatnya horisontal, yakni hukeum ke enam sampai hukum ke sepuluh saja. Kalau seandainya hari itu Tuhan Yesus hanya meminta 10% dari seluruh hartanya pastilah anak muda ini bersedia melakukannya. Bahkan kalau Tuhan meminta 50% dari hartanya maka demi untuk mendapatkan Sorga, ia pasti akan rela menjual hartanya namun Tuhan tahu sifat manusia yang humanis materialis ini karena itu Tuhan menyuruhnya untuk menjual seluruh hartanya, Tuhan ingin mereka taat. Ukuran dosa bukanlah urusan berbuat baik menurut standar manusia. Tidak!
Tuhan Yesus menghubungkan konsep dosa secara vertikal; dosa terkait dengan melakukan kehendak Tuhan, dosa terkait dengan ketaatan kepada Tuhan. Dosa kalau kita melawan Tuhan, kita tahu kita seharusnya taat pada apa yang menjadi kehendak-Nya tetapi kita tidak melakukan dan mengabaikan-Nya maka kita sudah berdosa. Tuhan ingin supaya kita memberitakan Injil, melayani dan hidup menjadi kesaksian indah bagi dunia tapi kita mengabaikannya maka kita sudah berdosa. Tuhan Yesus menegaskan bukan orang yang berseru: Tuhan, Tuhan yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga tetapi mereka yang melakukan kehendak Bapaku yang di Sorga, dialah yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga. Di hadapan Tuhan manusia sama, yaitu sama-sama berdosa, we are sinners maka jangan seorangpun menyombongkan diri dan merasa diri baik. Kalau kita memahami konsep dosa seperti yang Kristus mengerti maka kita berada di pihak Kristus tapi kalau kita mengerti dosa sama seperti orang Farisi maka kita terpisah dari Kristus. Dosa di dalam konsep Kekristenan jauh lebih dalam dari yang dunia mengerti. Biarlah kita peka akan kehendak Tuhan dengan demikian kita tidak berbuat dosa dan segala sesuatu yang kita kerjakan sesuai dengan kehendak Tuhan.
III. Perbedaan Arah Pandang
Pada umumnya, orang ketika memperhatikan segala sesuatu, arah pandangnya selalu dari dirinya dan dikenakan kepada Allah. Manusia bukanlah pusat yang menjadi titik sudut proyeksi dari gambar diri kita sendiri karena itu pemilihan perspektif tidak boleh dari sudut manusia kepada Allah dan sekelilingnya. Kita harusnya melihat dari arah pandang Tuhan, bagaimana segala sesuatunya kita mengerti dari arah yang tepat, sehingga cara kita mengimplikasi tepat sesuai dengan kehendak-Nya. Orang Farisi memandang dari sudut pandangnya sendiri, yakni ia merasa dirinya sudah saleh karena telah melakukan semua peraturan dan ritual agama tetapi perhatikan apa yang dikatakan Tuhan Yesus: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan bukan persembahan. Sebagai contoh, seorang anak kecil melihat pekerjaan kakaknya yang begitu banyak maka ia ingin membantu meringankan pekerjaan kakaknya tersebut. Tanpa sepengetahuan kakaknya ia mengerjakan pekerjaan tersebut dan sungguh di luar dugaan sang kakak, apa yang dilakukan adiknya justru tidak membantunya malah mengacaukannya. Terkadang, kita pun sama seperti anak kecil ini, kita merasa berjasa pada Tuhan karena telah melayani dan memberikan persembahan. Tidak! Memang siapakah kita merasa sudah menolong Tuhan? Kita justru seringkali melawan Tuhan, apa yang Tuhan ingin kita kerjakan justru tidak kita lakukan dan sebaliknya kita justru melakukan pekerjaan yang dibenci Tuhan. Biarlah kita peka akan kehendak Tuhan dengan demikian kita melihat pekerjaan Tuhan bukan dari sudut pandang kita.
Kita seharusnya bertanya pada Tuhan terlebih dahulu, kita bergumul apakah segala sesuatu yang kita kerjakan sudah sesuai dengan kehendak-Nya? Biarlah kita mengevaluasi diri kita masing-masing, jangan-jangan di dalam pelayanan kita justru telah berdosa maka segeralah minta ampunan pada-Nya. Mungkin Tuhan justru ingin kita melakukan pekerjaan yang memang tidak kita suka. Hendaklah kita peka akan pimpinan dan kehendak Tuhan dengan demikian kita tidak berdosa. Ini merupakan dua arah yang berbeda, total separated. Dan kalau sudah jelas dengan pimpinan Tuhan dan kehendak Tuhan maka kita harus mengerjakannya dan jangan takut sebab Tuhan pasti tidak akan membiarkan kita berjalan sendiri. Ingat, bukan berarti orang yang melayani maka ia tidak berdosa. Tidak! Orang Farisi telah membuktikan justru di dalam kesalehannya, ia telah berbuat dosa. Paulus di dalam semangatnya melayani “tuhan“, dia telah menganiaya Kristus. Biarlah kita bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan demikian hidup kita diarahkan oleh Firman, kita peka akan kehendak Tuhan dan seluruh paradigma, prinsip dan direction kita diubahkan dengan demikian kita semakin serupa Kristus. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: