05 December 2007

Roma 4:9-12 : IMAN, KEBENARAN DAN PERJANJIAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Fokus Iman-3


Iman, Kebenaran dan Perjanjian Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 4:9-12.

Setelah Paulus memaparkan tentang theologia dibenarkan melalui iman di dalam Perjanjian Lama, ia menjelaskan lebih lanjut bahwa iman itu berfokus/bersumber pada perjanjian Allah.

Pada ayat 9, Paulus mengatakan, “Adakah ucapan bahagia ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau juga bagi orang tak bersunat? Sebab telah kami katakan, bahwa kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran.” Melanjutkan ayat 7-8, di ayat 9, Paulus bertanya apakah ucapan bahagia/yang diberkati ini (KJV : blessedness) ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau lebih luas lagi yaitu juga bagi orang yang tidak bersunat? Pertanyaan ini muncul mengingat surat ini ditulis juga kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di Roma yang memiliki konsep bahwa hanya umat Israel yang mendapat berkat Tuhan, sedangkan bangsa lain dianggap kafir. Paulus membongkar konsep umat Israel yang “fanatik” ini dengan pengajaran bahwa selain bangsa Israel, Tuhan juga menyediakan jalan keselamatan. Mengapa ? Karena semua manusia yang beriman seperti iman Abraham diperhitungkan Allah sebagai kebenaran. Para “theolog” religionum/social “gospel” yang notabene liberal terselubung (salah satunya Jusufroni) mungkin menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa yang penting beriman di dalam iman Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), maka manusia diselamatkan. Tafsiran ini sesat ! Semua manusia tanpa memandang dari suku, ras atau bangsa manapun yang memiliki iman seperti iman Abraham berarti mereka beriman di dalam Kristus, barulah iman mereka diperhitungkan sebagai kebenaran. Mengapa iman Abraham identik dengan iman di dalam Kristus ? Inilah iman Perjanjian Lama yang mengarah dan menuju kepada finalitas Kristus yang diutus Bapa. Mengapa ? Karena Allah yang menyatakan diri kepada Abraham adalah Allah yang sama yang juga menyatakan diri kepada umat pilihan-Nya di dalam Pribadi Kristus. Lalu, kata “iman” sendiri di dalam ayat ini dalam bahasa Yunani pistis bisa berarti secara khusus reliance upon Christ for salvation (bergantung pada Kristus untuk keselamatan). Jadi, iman sejati seperti iman yang dimiliki Abraham adalah iman hanya di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus. Dengan iman seperti inilah, umat pilihan-Nya diimputasikan kebenaran Allah. Kata “kebenaran” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya dikaiosunē berarti righteousness (kebenaran keadilan atau kebenaran dalam proses). Kalimat terakhir pada ayat ini menurut terjemahan King James Version (KJV) adalah, “for we say that faith was reckoned to Abraham for righteousness.” Terjemahan literalnya adalah “karena kita mengatakan bahwa iman diperhitungkan kepada Abraham bagi kebenaran.” Kata “for” kedua pada kalimat ini dalam bahasa Yunani eis berarti to, into (pada, ke dalam). Sehingga kalimat ini dapat diterjemahkan, “karena kita mengatakan bahwa iman diperhitungkan kepada Abraham ke dalam kebenaran.” Jadi, iman di dalam Kristus diperhitungkan Allah dan dimasukkan ke dalam kebenaran. Bagaimana dengan kita ? Kita yang sudah beriman di dalam Kristus pun diperhitungkan Allah dan iman kita dimasukkan ke dalam kebenaran (proses) menuju kebenaran kekal (Yunani : aletheia) di Surga kelak. Dengan kata lain, iman memimpin kita kepada kebenaran. Apakah ini berarti tanpa iman, kebenaran tidak bisa berbuat apa-apa ? Tidak. Yang saya maksudkan adalah iman dan kebenaran saling mengisi. Hal ini mirip dengan pendapat dari Bapa Gereja Augustinus, credo ut intelligam yaitu aku percaya/beriman supaya aku dapat mengerti. Demikian juga dengan hubungan antara iman dan kebenaran. Iman memimpin kita mengenal kebenaran di dalam Allah (Yunani : dikaiosunē) dan kebenaran ini terus memimpin iman kita menuju kepada kebenaran kekal di dalam Kristus (Yohanes 14:6). Saya menyebut hal ini dengan istilah the relationship between progressive faith and progressive knowledge of God in righteousness and truth (=hubungan antara iman yang progresif/berkelanjutan dengan pengetahuan Allah yang progresif di dalam proses kebenaran keadilan dan kebenaran mutlak).

Lalu, Paulus melanjutkan pernyataannya dengan pertanyaan sekaligus jawaban di ayat 10, “Dalam keadaan manakah hal itu diperhitungkan? Sebelum atau sesudah ia disunat? Bukan sesudah disunat, tetapi sebelumnya.” Ayat ini merupakan kelanjutan pernyataan dari ayat 9 dengan mempertajam fokus masalah yaitu ketika iman Abraham diperhitungkan Allah sebagai (atau ke dalam) kebenaran, maka kapankah itu terjadi, apakah sesudah Abraham disunat atau sebelum ? Kata “sunat” sengaja dimunculkan oleh Paulus untuk mengubah pola pikir orang Yahudi. Orang Yahudi menganggap bahwa sunat sebagai perjanjian Allah adalah syarat mutlak bagi seseorang yang ingin diselamatkan/dibenarkan oleh Allah. Padahal konsep ini tidak diajarkan baik di dalam Taurat maupun Perjanjian Lama lainnya. Sehingga Paulus menyadarkan orang Yahudi bahwa Abraham dibenarkan melalui iman bukan setelah ia disunat, tetapi sebelum ia disunat. Perbandingan antara sebelum dan sesudah disunat di dalam terjemahan KJV diartikan circumcision (penyunatan) dan uncircumcision (keadaan tidak disunat), di dalam terjemahan International Standard Version (ISV) dan New American Standard Bible (NASB) juga diartikan circumcised (yang disunat) dan uncircumcised (yang tidak disunat), sedangkan dalam terjemahan English Standard Version (ESV) dan New Revised Standard Version (NRSV) mengartikan sebelum dan setelah disunat sama seperti terjemahan LAI. Kedua terjemahan ini memang hampir mirip artinya, tetapi saya pribadi lebih memilih arti “disunat” dan “tidak disunat”. Mengapa ? Karena arti ini lebih dekat dengan pengertian seluruh perikop yaitu Abraham dibenarkan melalui iman. Kalau kita menggunakan arti “sebelum disunat” dan “setelah disunat”, maka pengertiannya berubah dan berfokus pada pentingnya disunat, padahal hal ini ditentang di dalam perikop ini dan dalam pengajaran Alkitab lainnya secara menyeluruh. Kembali, Abraham diimputasikan kebenaran dari Allah sehingga ia dapat beriman justru terjadi di dalam kondisi Abraham tidak disunat. Kalau kita meneliti kitab Kejadian khususnya mengenai Abraham, maka Allah lah yang mengambil inisiatif aktif untuk memanggil Abraham keluar dari negerinya Urkasdim untuk menuju negeri yang dijanjikan Allah. Setelah itu, barulah Abraham dapat meresponi panggilan Allah ini dengan beriman dan taat. Apa signifikansi pengajaran ini ? Geneva Bible Translation Notes mengatakan, “...Abraham was justified in uncircumcision, therefore this justification belongs also to the uncircumcised…” (=Abraham dibenarkan di dalam kondisi tidak bersunat, oleh karena itu pembenaran ini juga menjadi milik mereka yang tidak bersunat.) Jadi, fokusnya tetap iman yang meresponi panggilan Allah. Sehingga, theologia Reformed yang mendekati pengertian Alkitab mengajarkan bahwa anugerah dan panggilan/pilihan Allah mendahului iman umat pilihan-Nya. Sungguh suatu anugerah Allah yang begitu agung ketika kita sebagai umat pilihan-Nya dikaruniai iman di dalam Kristus, sehingga ketika kita beriman, sudah seharusnya kita bersyukur kepada-Nya dan memuliakan Dia atas apa yang Dia telah kerjakan (bukan atas apa yang kita dengan kemampuan sendiri lakukan). Jadi, “theologia” Arminian yang berfokus pada kehendak bebas manusia adalah salah dan melawan Alkitab, karena “theologia” ini menjunjung tinggi humanisme yang melawan Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita yang sudah beriman Kristen sekalipun seringkali memiliki paradigma bahwa kita lah yang beriman (berusaha), seolah-olah tanpa kita, Allah “kewalahan” menawarkan anugerah penebusan Kristus. Konsep ini jelas salah (dipengaruhi oleh “theologia” Arminian) dan melawan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa iman itu anugerah Allah (Efesus 2:8-9) dan iman itu membawa kita mengenal kebenaran Allah (baik righteousness maupun truth).

Kalau sunat bukan menjadi fokus pembenaran umat pilihan, maka apakah berarti sunat tidak perlu ? TIDAK. Di ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka,” Tanda sunat di dalam Perjanjian Lama tetap berguna bukan sebagai fokus/syarat dibenarkan, tetapi akibat dari pembenaran yaitu janji atau meterai kebenaran berdasarkan iman Abraham. Kata “meterai” sama dengan kata “perjanjian” yang Paulus kutip dari Kejadian 17:10, “Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat;” Kata “perjanjian” di dalam Kejadian 17:10 dalam terjemahan KJV dan ISV adalah covenant. Iman yang berfokus pada perjanjian Allah inilah yang menjadi dasar iman (bapa) bagi semua orang percaya yang tak bersunat, sehingga mereka yang belum mengenal Allah dapat mengenal Allah melalui iman Abraham. Orang yang beriman sejati yang berfokus pada kebenaran dan janji Allah juga melakukan apa yang diimani dengan menaati apa yang difirmankan Allah. Dalam konteks Perjanjian Lama, tindakan menaati firman Allah yaitu dengan melakukan sunat dan segala syariat di dalam Hukum Taurat. Di dalam era Perjanjian Baru, beberapa tafsiran menerjemahkan sunat dengan sunat rohani yaitu sakramen baptisan sebagai tanda pembersihan. Seorang penafsir Matthew Henry menyatakan bahwa sunat itu sebagai tanda pembersihan dengan pemotongan, demikian juga baptisan merupakan tanda pembersihan untuk masuk ke dalam anggota tubuh Kristus di dalam gereja yang kelihatan (visible church). Demikian juga dengan umat pilihan-Nya yang berasal dari agama lain yang masuk ke dalam anggota tubuh Kristus harus menerima sakramen baptisan sebagai tanda pembersihan (tidak ada hubungannya dengan tanda masuk Surga). Selain itu, di dalam ayat ini, kata “tidak disunat” (uncircumcised) dalam bahasa Yunani akrobustia secara figuratif berarti unregenerate (tidak dilahirbarukan). Maka, secara otomatis, sunat identik dengan lahir baru. Dengan demikian, selain sakramen baptisan, sunat bisa berarti pembaharuan. Tetapi jangan langsung menyalahartikan konsep ini lalu mengajarkan bahwa kelahiran baru terjadi sesudah beriman. Kelahiran baru terjadi sebelum umat pilihan-Nya beriman. Lalu, apa arti sebenarnya ? Kelahiran baru di dalam konsep ini adalah proses pengudusan (progressive sanctification) yang dialami oleh semua umat pilihan-Nya setelah mereka beriman di dalam Kristus. Anak Tuhan sejati bukan hanya berhenti di titik beriman di dalam Kristus, tetapi mereka juga tetap berusaha menaati firman Allah dengan bersedia hidup kudus, setia dan taat mutlak sebagai respon dari iman mereka.

Lalu, bagaimana dengan orang percaya yang bersunat ? Di dalam ayat 12, Paulus mengatakan, “dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat, yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa leluhur kita, pada masa ia belum disunat.” Bagi mereka yang sudah disunat, dalam konteks Perjanjian Lama adalah orang Yahudi, mereka bukan memfokuskan sunat sebagai syarat dibenarkan, tetapi harus pada iman seperti iman Abraham dalam kondisi tidak bersunat sebagai fokus pembenaran. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca Kejadian 15:6 (baca seluruh pasal) sebagai tanda iman Abraham sebelum dia menerima perjanjian sunat dari Allah (Kejadian 17). Ini berarti iman mereka harus melampaui fenomena (sunat dan tanda-tanda lahiriah lainnya). Iman sejati bukan iman yang berfokus pada fenomena, tetapi iman yang melampaui fenomena dan berfokus pada esensi sejati. Itulah iman Kristen yang beres. Sayangnya, di dalam era postmodern, banyak orang “Kristen” selalu memfokuskan iman mereka pada hal-hal fenomenal, sehingga ketika mereka digoyahkan dengan isu-isu seperti penemuan kubur Yesus, Yesus menikah dengan Maria Magdalena, dll, banyak dari mereka yang tergoyahkan dan hampir menjadi ateis. Inilah akibat dari fokus iman pada hal-hal fenomenal. Oleh karena itu, iman sejati di dalam keKristenan harus dibereskan yaitu hanya berfokus kepada Allah dan Alkitab, di luar itu, termasuk mukjizat-mukjizat harus ditundukkan di bawah prinsip Firman Allah (Alkitab).

Sudahkah iman kita berfokus pada kebenaran Allah di dalam Alkitab ? Jika belum, mulai sekarang, bertobatlah dan kembalilah kepada Kristus dan Alkitab. Soli Deo Gloria. Amin.

No comments: