19 August 2007

Roma 2:17-20 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH-3 : Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-3 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1


oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.


Nats : Roma 2:17-20.

Setelah membahas mengenai standar penghakiman Allah yang berpusatkan kepada pengadilan Kristus, maka Paulus seolah-olah mengganti topik pembahasan, tetapi sesungguhnya tidak lah demikian. Topik selanjutnya mulai ayat 17 ini, Paulus sedang mengontraskan pengadilan Allah yang berorientasi pada esensi (dan bukan fenomena) dengan pengadilan/penghakiman ala manusia yang berorientasi pada hal-hal fenomenal (lahiriah). Keempat ayat mulai dari ayat 17 sampai dengan 20 ini, Paulus mendeskripsikan ciri-ciri lahiriah yang terus dijadikan tameng orang-orang Yahudi untuk tidak mau bertobat. Ciri-ciri ini ditetapkan oleh para pemimpin agama Yahudi itu sendiri untuk mengadakan pemisahan antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang kafir berdasarkan standar Taurat. Karena bangsa-bangsa lain tidak memiliki Taurat, orang-orang Yahudi menghina mereka sebagai orang-orang kafir yang patut dibinasakan, padahal Allah tidak menginginkan tindakan keji seperti itu. Kita pun sebagai orang Kristen tidak ada bedanya dengan orang-orang Yahudi. Merasa diri paling benar dan memiliki wahyu khusus dari Allah, yaitu Alkitab dan Kristus, kita menjadi lupa diri, menghina orang-orang yang beragama lain, bahkan tidak mau memberitakan Injil kepada mereka. Itulah yang seharusnya menjadi refleksi bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita menelusuri ciri-ciri “superioritas” penghakiman yang orang-orang Yahudi bangun dan dirikan lalu kita akan mengaplikasikannya.


Pada ayat 17, Paulus mengungkapkan citra diri awal seorang Yahudi, “Tetapi, jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi dan bersandar kepada hukum Taurat, bermegah dalam Allah,” Di dalam terjemahan King James Version, ayat 17 ini diawali dengan suatu seruan Behold yang bisa berarti perhatikan dengan seksama. Seruan ini sangat penting karena melalui seruan ini Paulus ingin menegur orang-orang Yahudi tentang hubungan antara status mereka dan tindakan ketaatan manusia yang seharusnya mereka sadari. Di dalam ayat 17-20, kita menemukan ciri-ciri “superioritas” penghakiman ala orang-orang Yahudi, yaitu,


Pertama, status sebagai orang Yahudi itu sendiri. Sebutan ini dalam bahasa Ibrani yehudi ; Aram : yehudai ; Yunani : joudaios ; dan Latin : judaeaus. Menurut Ensiklopedia Masa Kini-2, pada mulanya sebutan ini menunjuk kepada penduduk Yehuda (2 Raja-raja 16:6) dan terus dipakai dalam naskah-naskah Asyur paling tidak sejak abad 8 s.M. Kata ini biasanya dipakai oleh orang-orang non-Yahudi untuk menandakan orang Ibrani keturunan Abraham pada umumnya. Kata itu juga bisa dipakai untuk menunjuk kepada bahasa Semit setempat di Yehuda (2 Raj. 18:26, 28 ; Yes. 36:11, 13 ; Neh. 13:24). Kitab Daniel 5:13 menggunakan kata “Yehuda” dan Lukas 23:5 ; Yohanes 7:1 memakai kata “Yudea”. Menjelang zaman Perjanjian Baru, bentuk jamak “Yahudi” sudah umum untuk orang-orang Israel. (Ensiklopedia Masa Kini-2, 1995, p. 544). Kalau kita menelusuri ulang makna kata Israel, maka Musa mendeskripsikan istilah ini melalui perkataan seorang yang bergulat dengan Yakub, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kejadian 32:28). Kata “Israel” sendiri berarti Prince of God (Pejuang atau Pangeran Allah). Kalau orang Yahudi disebut pejuang Allah, maka orang-orang Kristen disebut pengikut Kristus. Istilah Kristen sebenarnya merupakan istilah ejekan dari orang-orang non-Kristen kepada orang-orang Kristen, tetapi istilah ini sebenarnya beresensi lain, yaitu kita dipanggil untuk mengikut Kristus, meneladani dan menTuhankan Kristus di dalam hidup kita. Itulah makna Kristen sejati. Kalau nama Yakub diganti menjadi Israel yang berarti kehidupan lama Yakub diubah dan diganti oleh Allah sehingga Yakub memiliki kehidupan baru melalui nama baru “Israel”, maka kita pun juga diubah status kita oleh Allah dari anak-anak kegelapan menjadi anak-anak terang di dalam Kristus. Status kita seharusnya menyadarkan kita bahwa kita bukan hanya menikmati status kita sebagai pengikut Kristus dan anak-anak Allah, tetapi kita harus keluar menjadi saksi Injil di tengah-tengah masyarakat dunia berdosa.

Kedua, bersandar kepada Hukum Taurat. Seperti yang telah dipaparkan di atas, hanya bangsa Israel yang mendapatkan wahyu khusus dari Allah yaitu kitab Taurat (Kejadian s/d Ulangan) yang ditulis melalui perantaraan Nabi Musa. Dibandingkan orang-orang non-Yahudi yang pada waktu itu tidak memiliki konsep Allah yang sejati, maka orang-orang Yahudi benar-benar mendapatkan anugerah yang besar dari Allah karena hanya merekalah yang diizinkan dapat mengenal Allah yang sejati melalui Taurat. Tetapi bukannya bersyukur, orang-orang Yahudi malahan memperalat Taurat untuk kepentingan mereka sendiri (bandingkan dengan Roma 2:21-24). Para pemimpin mereka menambahi aturan-aturan di dalam sistem Yudaisme, misalnya menetapkan hari Sabat sebagai perhentian kerja bahkan pekerjaan seseorang harus diukur agar tidak melanggar hari Sabat, misalnya tidak boleh berjalan sekian mil, tidak boleh mengangkat barang, dll. Mereka bersandar kepada Taurat tanpa mengerti esensi Taurat. Hal ini akan dibahas pada bagian lain di dalam ayat 21-24 nanti. Bagaimana dengan kita ? Bukankah kita sudah sempurna menerima wahyu Allah melalui Alkitab dan Kristus ? Tetapi herannya kita sebagai orang Kristen bukannya bersaksi memberitakan Injil, malahan menyombongkan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran Allah lalu menghina yang lain. Inilah yang harus menjadi refleksi bagi kita.
Ketiga, bermegah dalam Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bangga atas hubungan Saudara dengan Allah.” Orang-orang Yahudi merasa bangga karena hanya mereka sajalah yang dapat berhubungan dengan Allah yang sejati melalui upacara korban. Hubungan ini bukan hanya bersifat satu arah yaitu orang-orang Yahudi kepada Allah, tetapi bersifat dua arah. Allah juga pernah menghampiri nabi-nabi mereka seperti Musa, Yosua, Yesaya, dll untuk menjadi pemimpin dan penuntun hidup dan perilaku mereka. Hal-hal ini lah yang mereka banggakan karena menurut mereka, bangsa-bangsa lain yang menyembah ilah-ilah yang tidak bisa berbicara (alias mati) tidak mendapatkan hak istimewa seperti mereka. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen bukan hanya mendapatkan hak istimewa (privilege) berhubungan dengan Allah, kita dinyatakan sebagai anak-anak Allah di mana Allah menjadi Bapa kita (Roma 8:15). Bukan hanya itu saja, kita tidak lagi memerlukan upacara korban seperti yang diajarkan di dalam Taurat Yudaisme, karena darah penebusan Kristus telah mengalahkan kuasa dosa di dalam pribadi anak-anak Allah, melainkan kita dapat berhubungan langsung dengan Allah di dalam satu-satunya Pengantara yaitu Tuhan Yesus Kristus. Bukankah ini suatu hak istimewa dari Bapa kepada anak-anak-Nya yang mustahil bisa dimiliki oleh orang-orang non-Kristen yang tidak dipilih Allah ? Hak-hak istimewa ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita dipanggil untuk menyaksikan cinta kasih dan keadilan Allah di dalam Injil kepada mereka yang belum mendengarkan Injil. Allah mau kita bukan hanya menikmati hak-hak istimewa ini seorang diri tetapi berkeinginan membagikannya kepada orang lain yang beberapa di antara mereka dipilih oleh-Nya “sejak” kekekalan.

Keempat, tahu akan kehendak-Nya melalui Taurat (ayat 18, “dan tahu akan kehendak-Nya, dan oleh karena diajar dalam hukum Taurat, dapat tahu mana yang baik dan mana yang tidak,”). Orang-orang Yahudi belajar Taurat sejak kecil dan baru pada usia 30 tahun, mereka baru boleh keluar mengajar Taurat. Tentu saja, melalui tradisi ini, kita dapat mengerti bahwa orang-orang Yahudi bukan hanya membaca Taurat, tetapi mengerti dan menghafalnya (meskipun tidak mengerti inti Taurat yang sesungguhnya). Mereka hanya mengerti Taurat sebatas rasio saja. Hal ini dijelaskan oleh Paulus melalui kata “tahu” yang dalam bahasa Yunani ginosko yang bisa berarti mengerti (understand). Bagaimana dengan kita sebagai orang-orang Kristen ? Kita sebagai anak-anak Tuhan seharusnya bukan hanya terus menambah pengetahuan theologia dan Alkitab saja, tetapi juga harus mengaplikasikannya ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk itulah, di dalam surat Roma pada pasal 12 ayat 1-2, Paulus mulai mengaplikasikan doktrin-doktrin yang telah diajarkannya sebanyak 11 pasal dengan mendahuluinya dengan pengajaran bahwa anak-anak Tuhan harus mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan kepada Allah lalu disambung dengan perintah agar mereka berubah oleh pembaharuan akal budi mereka sehingga mereka dapat mengerti kehendak Allah dan membedakannya dengan kehendak manusia dan iblis. Pada Roma 12, mulai ayat 3, Paulus langsung mengaplikasikannya di dalam hal pertanggungjawaban karunia dari Allah oleh manusia untuk memuliakan-Nya. Mari kita belajar dari sosok Paulus, yang bukan hanya pandai berlogika dan berteori, tetapi juga berusaha mengaplikasikan apa yang telah diajarkannya dan diketahuinya di dalam kehidupannya sehari-hari, meskipun terkadang ia juga pernah gagal.

Kelima, penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang ada di dalam kegelapan (ayat 19, “dan yakin, bahwa engkau adalah penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang di dalam kegelapan,”). Ayat 19 ini berkaitan dengan hal-hal etis/moral. Orang-orang Yahudi juga merasa bangga bahwa melalui Taurat, mereka dapat menuntun orang-orang non-Yahudi maupun Yahudi yang masih buta secara rohani dan menerangi mereka yang hidup di dalam kegelapan. Hal ini dipaparkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23:15, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.” Orang-orang Yahudi merasa diri sudah menjalankan tindakan pewartaan Taurat kepada mereka yang bukan Yahudi tetapi sebenarnya mereka sedang menjerumuskan orang-orang lain ke dalam kesalahan yang lebih jahat dari mereka sendiri. Mengapa ? Karena mereka mulai tidak mengajarkan Taurat secara esensial, tetapi secara harafiah. Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita sebagai orang Kristen. Kita memang diperintahkan oleh Kristus untuk memberitakan Injil (Matius 28:19). Kita bukanlah orang Kristen jika tidak mengabarkan Injil. Tetapi apakah cukup hanya dengan mengabarkan Injil, kita sudah layak disebut Kristen ? Sebelum mengabarkan Injil, kita harus mengerti apa yang kita beritakan, sehingga kita tidak salah di dalam memberitakan Injil. Ketika ada seorang pemimpin gereja atau orang “Kristen” yang memberitakan bahwa yang mengikut “Kristus” pasti kaya, sukses, sehat, dll, apakah itu disebut memberitakan Injil ? TIDAK. Itulah yang disebut Paulus sebagai “injil-injil” palsu yang mirip Injil tetapi sebenarnya bukan Injil (Galatia 1:6b-7). Mari kita belajar dari peringatan Paulus kepada Timotius yang muda, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” (1 Timotius 4:16). Sebelum memberitakan Injil, kita harus mengerti Injil, Kristus, dll, sehingga dengan demikian, kita tidak menjerumuskan orang yang kita injili ke dalam kesalahan-kesalahan melalui berita yang kita sampaikan. Penginjilan tanpa theologia adalah suatu kesia-siaan, sebaliknya theologia tanpa penginjilan adalah mati dan statis.

Keenam, pendidik dan pengajar mereka yang bodoh dan tidak dewasa (ayat 20, “pendidik orang bodoh, dan pengajar orang yang belum dewasa, karena dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian dan kebenaran.”). Ayat 20 ini berkaitan dengan aspek pengetahuan. Orang-orang Yahudi menganggap diri pandai karena memiliki Taurat sebagai dasar pengetahuan. Sampai sekarang kita juga mengamati bahwa banyak orang Yahudi (keturunan) selain Jepang dan Tiongkok yang juga memiliki kepandaian yang luar biasa hebat bahkan diangkat menjadi salah satu pejabat pemerintah di negara lain, misalnya Amerika Serikat, dll. Mengapa bisa demikian ? Karena mereka adalah umat pilihan Allah yang mendapatkan wahyu-Nya di dalam Taurat. Mereka akan tersinggung jika mereka dikalahkan di dalam pengetahuan tentang Taurat. Ini terbukti melalui peristiwa penyembuhan orang buta sejak lahir (Yohanes 9). Di dalam peristiwa ini, setelah orang buta ini disembuhkan oleh Kristus, orang-orang Farisi menghakimi orang buta ini dan mengatakan bahwa Kristus itu seorang berdosa karena menyembuhkan di hari Sabat. Terhadap pernyataan orang Farisi ini, orang yang tadinya buta ini menjawab, “Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku. Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 9:30-33). Terhadap jawaban inilah, orang-orang Farisi tersinggung dan berkata, “Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?” (Yohanes 9:34), lalu Alkitab mencatat bahwa orang-orang Farisi mengusir orang yang tadinya buta ini. Perkataan sombong dalam Yohanes 9:34 yang keluar dari orang Farisi ini hendak menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti esensi Taurat, tetapi berani mengklaim diri sebagai pendidik orang bodoh dan pengajar orang yang belum dewasa. Sebenarnya mereka lah yang belum dewasa karena belum mengerti totalitas esensi Taurat tetapi berani mengangkat diri menjadi pemimpin agama. Bagaimana dengan keKristenan abad ini ? Bukankah gejalanya sama dengan fakta orang-orang Yahudi ini ? Bukankah kita menjumpai bahwa banyak pemimpin “gereja” atau bahkan istri pemimpin “gereja” sudah menganggap diri senior, bergelar tinggi (bahkan Ph.D.) lalu “menghina” mereka yang bodoh atau kurang berpengetahuan lalu menipu mereka dengan khotbah-khotbah atau ajaran-ajaran palsu untuk memuaskan keinginan orang-orang bodoh tersebut ?? Sudah lama, jemaat-jemaat Kristen dianggap “bodoh” oleh para pemimpin gereja mereka. Dan hal ini harus diberantas habis, jemaat-jemaat Kristen sudah saatnya tidak boleh dibodohi oleh banyak pemimpin “gereja”, mereka harus diajarkan Firman Tuhan secara bertanggungjawab. Firman Tuhan ini harus ketat dan benar sesuai dengan Alkitab dan penafsirannya yang mendekati arti asli Alkitab. Alkitab bukanlah monopoli pendeta atau pemimpin gereja, tetapi harus dipelajari oleh semua orang Kristen yang masih menganggap diri Kristen dan beriman Kristen (yang tidak lagi beriman Kristen {beriman kepada materialisme, humanisme dan pluralisme/relativisme}, harus tetap belajar keKristenan agar mereka bertobat dari dosa mereka). Pembelajaran ini bukan sebagai sarana untuk menyombongkan diri, tetapi sebagai sarana kerendahan hati dan ketaatan kita sebagai anak-anak-Nya yang ingin terus-menerus mengenal kehendak Bapanya. Pengetahuan sejati berkaitan erat dengan ketaatan dan kesetiaan. Ketika kita ingin mempelajari Firman Tuhan, sudahkah kita menuntut diri untuk taat mutlak dan setia kepada-Nya setelah mempelajarinya ? Itulah keinginan dan kehendak-Nya bagi kita.

Hari ini, setelah kita merenungkan keenam ciri berdosa dari orang-orang Yahudi di dalam empat ayat ini, maukah kita menyadari bahwa Tuhan tidak menciptakan strata-strata rohani di dalam gereja, tetapi Ia menganggap kita sama dengan karunia yang berbeda ? Jangan sekali-kali menetapkan strata rohani seseorang berdasarkan karunia Allah. Semua karunia Allah diberikan secara berlainan dan bertujuan satu yaitu untuk melayani Allah. Marilah kita mempergunakan semua karunia Allah yang dipercayakan kepada kita untuk melayani dan memuliakan-Nya saja. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: