28 June 2007

Roma 2:3-4 : MURKA ALLAH TERHADAP KEBEBALAN MANUSIA DAN PENTINGNYA PERTOBATAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-7


Murka Allah Terhadap Kebebalan Manusia dan Pentingnya Pertobatan


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:3-4

Pada ayat sebelumnya (ayat 1-2), manusia yang berdosa yang sudah mengetahui hukuman Allah tetap menghakimi mereka sebagai orang berdosa. Mereka menyangka dengan menghakimi sesamanya, mereka kelihatan hebat, dan bisa terlepas dari murka Allah. Mereka secara tidak sadar sedang menyombongkan diri, padahal apa yang mereka hakimi terhadap orang lain, mereka melakukannya sendiri. Dengan kata lain, mereka munafik. Bagi Paulus, orang yang munafik tidak pernah akan lolos dari murka Allah, seperti yang dikatakannya pada ayat 3, “Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?” Sejarah Israel membuktikan bahwa mereka membangkang di hadapan Tuhan, tetapi mereka tidka sadar sadar lalu mereka menghakimi orang-orang di luar Israel sebagai orang kafir, padahal mereka sendiri kafir dengan menyembah berhala-berhala di luar Allah. Kitab Raja-raja membuktikan hal ini di dalam kedua kerajaan yaitu Israel dan Yehuda, kalau seorang raja memerintah dengan baik dan sesuai kehendak Allah, maka seluruh umat menyembah Allah, tetapi jika raja penggantinya memerintah dengan melawan Allah, maka seluruh umat kembali menyembah ilah-ilah lain. Bukankah ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya munafik, menghakimi orang lain sebagai orang kafir (karena tidak memiliki Taurat), tetapi di sisi lain, mereka sendiri juga kafir dengan menyembah ilah-ilah lain. Kepada mereka yang munafik, Paulus menantang mereka, apakah mereka akan luput dari hukuman Allah ? Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Mengingat surat ini juga ditujukan kepada orang Kristen, maka surat ini juga harus menjadi pelajaran bagi setiap kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen gemar menghakimi orang lain sebagai penghuni neraka karena mereka telah berbuat dosa yang begitu keji, sedangkan kita sendiri tidak jauh bedanya dengan mereka ? Berwaspadalah, dosa bukan sekedar dalam bentuk perbuatan, melainkan esensi dosa adalah pemberontakan terhadap Allah. Bagi kita jugalah tersedia murka Allah yang berupa penghakiman-Nya yang adil.

Apakah wujud penghakiman dan murka Allah itu ? Paulus mendeskripsikannya pada ayat 4, “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Atau kalian pandang enteng kemurahan Allah dan kelapangan hati serta kesabaran-Nya yang begitu besar? Pasti kalian tahu bahwa Allah menunjukkan kebaikan hati-Nya karena Ia mau supaya kalian bertobat dari dosa-dosamu.” Perhatikan. Paulus langsung menghakimi jemaat di Roma bahwa mereka terkesan memandang rendah (merendahkan)/tidak menghargai atau membenci (KJV : despise ; Yunani : kataphroneō) kekayaan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati-Nya. Mengapa bisa demikian ? Karena menurut mereka, Allah itu Mahakasih dan panjang sabar, maka Ia tidak akan pernah menghukum (bandingkan ayat 3). Ini pulalah yang diajarkan di dalam keKristenan abad postmodern ini. Allah yang diajarkan hanya berfokus kepada Allah yang Mahakasih, Maha Memberi, panjang sabar, Maha Pengampun, dll, lalu tidak heran banyak orang Kristen hari-hari ini “mempermainkan” Allah yang diajarkan seperti ini dengan “menodong” Allah agar mengabulkan apa yang dimintanya. Bagi mereka, Allah adalah “pembantu” mereka yang bisa disuruh dengan dalih “Mahakuasa”, “Mahakasih”, dll. Sehingga, Allah yang Mahakasih secara tidak sengaja “dihina” habis-habisan sampai-sampai Ia bukan lagi sebagai Allah, tetapi “Pemenuh” kebutuhan hasrat/nafsu birahi manusia berdosa. Percuma sajalah mereka beribadah, menyembah Allah di dalam gereja (bahkan mengangkat tangan, dll), padahal paradigma mereka telah diracuni oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab yang diklaim dari “Allah” dan mereka sebenarnya sedang menghina dan merendahkan Allah. Lalu, apa sebenarnya maksud dari Allah yang Mahakasih ini ? Paulus mengajarkan bahwa Allah yang Mahakasih adalah Allah yang kaya akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati. Kata “kekayaan” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunani ploutos yang identik dengan wealth (kekayaan), richness (kekayaan), abundance (kelimpahan), valuable bestowment (hadiah yang berharga), dll. Dengan demikian, Allah yang Mahakasih adalah Allah yang memiliki suatu kekayaan atau suatu hal yang berharga yang tak mungkin bisa ditandingi oleh Pribadi yang lain akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati.

Ada 3 bentuk kekayaan yang dimiliki oleh Allah yang Mahakasih ini, yaitu, pertama, kemurahan Allah. Kata ini identik dengan kebaikan (KJV : goodness). Albert Barnes menafsirkan kata ini sebagai kindness (=kebaikan hati, keramahan, perbuatan baik, kasih sayang) dan benignity yang artinya penuh dengan belas kasih, baik hati, anugerah, mementingkan kepentingan orang lain (altruisme), dll. Dalam bahasa Yunani, kata ini diterjemahkan sebagai chrēstotēs berarti usefulness, that is, moral excellence (in character or demeanor) : - gentleness, good (-ness), kindness (=manfaat, yaitu kebaikan moral dalam hal karakter atau pembawaan diri) : kelemah-lembutan, kebaikan, kebaikan hati). Jadi, Allah yang penuh dengan kemurahan berarti Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah yang lemah lembut, baik hati dan selalu memberikan anugerah. Hal ini diajarkan sejak dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Kasih setia Allah dicurahkan kepada umat-Nya, Israel, meksipun mereka terus berdosa. Ketika Allah harus menghukum Israel karena kebebalan hati mereka yang terus menyembah berhala, Ia tetap mengasihi mereka, sehingga setelah mereka bertobat Allah tetap mengasihi dan memulihkan keadaan mereka. Kasih setia Allah selalu berbarengan dengan keadilan Allah. Di dalam penebusan Kristus pun, Allah juga menunjukkan kasih sayang-Nya kepada manusia (hanya umat pilihan-Nya) (Yohanes 3:16-18a) dan menunjukkan juga keadilan dan kemarahan-Nya berupa hukuman-Nya kepada mereka yang menolak percaya kepada Kristus (Yohanes 3:18b,19). Kemurahan Allah selalu berkaitan dengan kekerasan-Nya. Hal ini ditunjukkan Paulus di dalam Roma 11:22, “Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” Allah yang bermurah hati akan menyelamatkan umat pilihan-Nya, dan di sisi lain Ia yang Maha Pemurah itu juga pasti menghukum mereka yang tidak taat. Selain itu, kebaikan atau kemurahan Allah berkenaan dengan keselamatan umat pilihan-Nya. Hal ini diajarkan oleh Titus di dalam Titus 3:4-5, “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus,” Allah yang murah hati adalah Allah yang menyelamatkan umat-Nya bukan berdasarkan perbuatan baik mausia, tetapi atas belas kasihan dan kedaulatan-Nya saja dengan rela mengorban Putra Tunggal-Nya, Kristus Yesus, Tuhan kita untuk mati menebus dosa-dosa manusia. Kemurahan hati Allah dalam hal ini berkaitan dengan pengorbanan. Kedua, kesabaran Allah. Kata “kesabaran” ini dari bahasa Yunani anochē yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai forbearance (=kesabaran) atau bisa berarti tolerance (=toleransi). Apa arti kesabaran ini ? Mari kita lihat apa yang Paulus katakan di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Kesabaran-Nya pada bagian ini berkaitan dengan waktu Allah yang “sengaja” membiarkan dosa manusia terjadi, sampai pada waktu yang Ia telah tetapkan di mana Kristus harus inkarnasi untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Pembiaran terhadap dosa ini tidak membuktikan dan mendorong kita untuk terus-menerus berbuat dosa, tetapi seharusnya mendorong kita untuk segera bertobat. Ketiga, kelapangan hati-Nya. Kata “kelapangan hati” dalam King James Version (KJV) diterjemahkan longsuffering dan dalam bahasa Yunaninya makrothumia identik dengan kesabaran (patience, forbearance). Kata ini dipakai oleh Paulus di dalam Roma 9:22, “Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Mengapa Allah tetap bersabar dan tetap menahan murka-Nya agar tidak menimpa orang-orang yang layak dibinasakan ? Ayat 23-24 di dalam Roma 9 ini, Ia berfirman melalui Paulus, “justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain,” Jadi, dalam kekekalan Allah, Ia telah menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan di dalam Kristus, dan bagi merekalah (perhatikan pernyataan, “benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya”), Ia menunjukkan kemuliaan-Nya yang melimpah, sedangkan sebagian orang yang tidak Ia pilih, secara otomatis, Ia tolak. Ini disebut Paulus sebagai, “benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Jadi, apa yang diajarkan oleh theologia Reformed mengenai predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan) MUTLAK tidak salah, karena bagian Roma 9 ini telah mengajarkannya dengan jelas dan teliti !

Lalu, apakah motivasi dari kemurahan-Nya yang berlimpah ini ? Paulus berkata, “maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” Kata “kemurahan” yang dipakai di sini adalah wujud pertama dalam kasih-Nya yaitu kebaikan atau kebaikan hati-Nya. Jadi, Allah yang baik hati (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) bermaksud BUKAN agar kita terus berkanjang di dalam dosa, tetapi untuk menuntun kita supaya bertobat. Kata “menuntun” dalam KJV diterjemahkan lead artinya memimpin. Jadi, kebaikan hati-Nya bukan langsung membuat kita menjadi bertobat dan kudus 100% secara instan, tetapi memimpin kita secara bertahap kepada pertobatan. Saya dapat membagi dua macam pertobatan. Pertobatan bisa terjadi secara langsung, misalnya Roh Kudus bekerja langsung mempertobatkan salah seorang umat pilihan ketika mendengarkan Injil sekali, atau bisa juga pertobatan terjadi secara bertahap, artinya melalui pendengaran Injil beberapa kali. Itu semua tergantung pada kedaulatan-Nya melalui pencerahan Roh Kudus. Kata “pertobatan” dalam ayat ini dari bahasa Yunani metanoia berarti compunction (=perasaan bersalah, menyesal, termasuk reformasi/perubahan radikal) atau reversal (of [another’s] decision) (=perubahan dari keputusan seseorang). Jadi, pertobatan meliputi tiga hal, yaitu :
Pertama, perasaan bersalah dan mengaku diri bersalah. Pertobatan terjadi dahulu mulai dari perasaan bersalah. Tanpa ada perasaan bersalah/dosa, maka mustahil terjadi pertobatan. Perasaan bersalah bukan sekedar perasaan manusia yang bersalah melakukan tindakan-tindakan yang salah, tetapi lebih ke arah esensi, yaitu perasaan manusia yang bersalah karena telah berdosa dan melawan Allah. Ingatlah, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dicipta (created), terbatas (limited) dan terpolusi dosa (polluted). Karena ada tiga status manusia ini, manusia seharusnya sadar bahwa dirinya hanya debu tanah yang mudah rapuh. Renungkanlah apa yang dikatakan oleh Raja Daud, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mazmur 8:4-6). Raja Daud juga mengajarkan, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu. Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya.” (Mazmur 103:13-18) Manusia itu makhluk yang mudah rapuh, lemah, terbatas, berdosa, meskipun mereka telah dikaruniai mahkota kemuliana dan hormat dari Allah, sehingga akhirnya mereka tidak taat kepada perintah Allah yang melarang mereka memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Akibat ketidaktaatan manusia terhadap perintah-Nya, Allah terpaksa harus membuang mereka dari Taman Eden. Itulah dosa, suatu tindakan yang bukan melawan perintah manusia, tetapi melawan perintah Allah. Kalau di abad postmodern, orang-orang dunia (bahkan orang-orang “Kristen” yang masih indekos di dalam gereja) menganggap bahwa manusia itu hebat, superman, pintar, berintelek, cerdas, lalu menganggap diri tidak mungkin berdosa lagi, karena telah menganggap dirinya identik dengan “allah”, maka bagaimana dengan anak-anak Tuhan sejati ? Biarlah kita tidak ikut-ikutan dengan arus zaman yang semakin menggila ini. Akuilah dosamu sebagai prinsip dasar pertobatan. Caranya ? Jika Firman Tuhan baik melalui perenungan/khotbah maupun Alkitab mengoreksi dosa yang telah kita perbuat, maka segera mengakui dosa-dosa tersebut, jangan menutup-nutupinya dengan beribu alasan, misalnya khilaf, dll !
Kedua, perasaan dan sikap menyesal. Setelah mengakui dosa, benarkah itu sudah cukup? TIDAK. Perasaan dan pengakuan dosa harus dilanjutkan dengan sikap menyesal. Penyesalan bukan sekedar suatu perasaan tetapi juga sebuah sikap. Sikap penyesalan ini bisa ditandai dengan menangisi dosa, sedih terhadap dosa, dll. Tetapi ekspresi menangis tidak boleh dimutlakkan lalu kalau tidak menangis, dicap sebagai orang yang tidak mau menyesali dosa. Kebangunan rohani yang dipimpin oleh Jonathan Edwards di Amerika pada abad 18 pun ditandai dengan sikap penyesalan terhadap dosa oleh jemaat-jemaat yang hadir setelah mereka mendengarkan khotbah Jonathan Edwards yang berintikan murka Allah terhadap dosa. Mungkin sekali sikap penyesalan terhadap dosa menimbulkan kita yang melakukannya akan dicap sebagai orang bodoh, sok rohani, dll, karena bagi orang dunia, hal itu tak perlu dilakukan. Lalu, apa sikap kita ? Kita sebagai anak-anak Tuhan sejati tidak perlu menghiraukan ide-ide gila dari orang-orang dunia yang juga ikut-ikutan gila di abad postmodern ini. Kalau Roh Kudus menggerakkan dan mendorong kita untuk bertobat, sesalilah dosa-dosa kita.
Cukupkah hanya menyesali dosa ? TIDAK. Pertobatan mencakup hal terakhir/ketiga, yaitu berubah total. Kata Yunani, metanoia bukan sekedar berarti perubahan tingkah laku, tetapi perubahan radikal yang mencakup segala sesuatu, pertama-tama dari hati, pikiran, perkataan, sifat, tingkah laku sampai perbuatan kita. Hal ini saya sebut sebagai holistic reformation (perubahan radikal secara menyeluruh). Yohanes Pembaptis menegur orang-orang Farisi dan Saduki yang ingin dibaptis dengan mengatakan, “Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan.” (Matius 3:8). Yohanes mengerti prinsip pertobatan yang berkaitan dengan buah/hasil. Pertobatan jika hanya diucapkan di dalam mulut saja, itu adalah hal yang sia-sia, tetapi pertobatan harus diwujudnyatakan di dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya perubahan hati dan pikiran yang memimpin perubahan perilaku, perkataan, sifat dan tindakan kita. Paulus menasehatkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2). KJV menerjemahkan ayat ini dengan lebih teliti, “And be not conformed to this world: but be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God.

Biarlah setelah mendengarkan perenungan Firman Tuhan ini, kita semakin disadarkan pentingnya pertobatan atas dosa-dosa kita sebelum Tuhan menimpakan murka-Nya kepada kita. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: