18 May 2007

Roma 1:21-23 : KEBEBALAN MANUSIA

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-3


Kebebalan Manusia

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:21-23


Setelah kita membahas tentang realita murka Allah atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman di ayat 18, dengan cara mengabaikan hati nurani dan alam semesta yang merupakan wujud dari wahyu umum Allah, maka saat ini melalui ayat 21-23, Alkitab hendak menjelaskan kepada kita tentang realita kebebalan manusia yang meskipun sudah mengenal Allah, tetapi tidak mau menyembah-Nya.
Pada ayat 21, Alkitab menyatakan, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Manusia mengenal Allah, tetapi manusia tidak menghormati Dia sebagai Allah dan tidak juga berterima kasih kepada-Nya. Sebaliknya manusia memikirkan yang bukan-bukan; hati mereka sudah menjadi gelap.” Melalui apa yang telah Allah wahyukan kepada semua manusia yaitu melalui hati nurani dan alam semesta, manusia bukan tidak mengenal Allah, tetapi mereka mengenal-Nya. Ini yang Alkitab ajarkan. Kata “mengenal” dalam bahasa aslinya (Yunani) yaitu ginōskō yang berarti mengetahui atau mengerti (understand), tetapi Alkitab terjemahan King James Version (KJV) menerjemahkan kata “mengenal” ini sama dengan kata “ketahui” di ayat 19 dengan satu kata know, tetapi Alkitab Terjemahan Baru (TB) membuat perbedaan kata, di mana ayat 19 menggunakan kata “mengetahui”, sedangkan di ayat 21 memakai kata “mengenal”. Mengapa Alkitab TB membuat perbedaan semacam ini ? Jika kita menyelidiki, di ayat 19, Alkitab berkata bahwa manusia sudah mengetahui tentang keberadaan Allah, karena Ia telah menyatakan diri-Nya secara umum yaitu melalui hati nurani dan alam semesta. Tetapi apakah mereka hanya sebatas tahu ? TIDAK. Di ayat 21, Paulus memaparkan fakta bahwa mereka pun juga sudah mengenal Allah (satu tahap lebih dalam ketimbang mengetahui), tetapi meskipun demikian, mereka tidak memuliakan-Nya. Kata “memuliakan” dalam bahasa Yunaninya adalah doxazō berarti menghormati (honor) atau memuliakan (magnify) atau memberikan kemuliaan. Di dalam KJV dan International Standard Version (ISV), kata “memuliakan” diterjemahkan glorify, di dalam terjemahan English Standard Version (ESV) memakai kata honor. Yang lebih menarik, Alkitab menambahkan bahwa mereka bukan hanya tidak memuliakan-Nya tetapi juga tidak memuliakan-Nya sebagai Allah. Ketika Allah tidak dipermuliakan sebagai Allah, hanya ada satu “saingan” yaitu manusia yang dipermuliakan sebagai “Allah”. Itu adalah ide dari atheisme dan humanisme yang berlaku dari zaman modernisme hingga postmodern yang semakin menggila.
Di dalam titah pertama dari kesepuluh Titah yang Allah berikan melalui Musa, Allah bersabda, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20:3 ; TB) atau terjemahan BIS lebih jelas mengartikannya, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” Perintah ini sudah sangat jelas, tetapi kembali, di dalam sejarah bangsa Israel, mereka yang dari dulu sudah mengikat perjanjian dengan Allah bahwa mereka akan berbakti selama-lamanya kepada-Nya, akhirnya mereka melanggar perjanjian tersebut dengan bersungut-sungut (tidak bersyukur kepada-Nya), dll. Itulah realita yang Alkitab ajarkan mengenai kebebalan manusia. Apakah ini juga tidak terjadi di zaman postmodern ? TIDAK. Hal ini bukan saja tidak terjadi di zaman postmodern yang gila ini, tetapi sudah menjadi life style bagi manusia berdosa, khususnya banyak orang “Kristen” yang dengan bangganya menyebut diri Kristen apalagi “melayani Tuhan” di gereja. Kalau mereka ditanya apakah mereka sudah mengenal Tuhan Yesus, mereka pasti menjawab dengan lantang, “Sudah !”, tetapi sebaliknya jika mereka ditanya pertanyaan lebih dalam lagi, “Apakah Anda sudah memuliakan-Nya dengan membawa berita Injil di dalam kehidupan Anda dan bersyukur kepada-Nya ?”, mereka yang menjawab semakin berkurang kuantitasnya. Mengapa ? Karena meskipun mereka sudah mengenal Tuhan Yesus bahkan sejak dari kecil di sekolah minggu sampai dewasa bahkan ikut terlibat aktif di dalam pelayanan gereja, mereka pada dasarnya masih childish, mau mengenakkan diri tetapi tidak mau menyangkal diri. Itulah realita keKristenan di abad postmodern ini. Mereka menganggap Allah bukan sebagai Allah lagi, tetapi sebagai “pembantu”nya yang selalu mengabulkan apapun yang mereka perlukan di dalam doa, lalu mereka terus mengklaim mereka sedang “melayani Tuhan”. Yang lebih parah lagi, banyak orang “Kristen” yang mengaku “melayani Tuhan”, ketika dirinya diberikan penyakit yang ganas, mereka langsung marah-marah kepada Tuhan, dan bertanya mengapa Tuhan memberikan penyakit kepadanya, padahal mereka sudah melayani-Nya. Mereka mengira Tuhan membutuhkan mereka untuk melayani-Nya. Ini adalah akibat kesalahan fatal dari konsep “theologia” sukses dan “theologia” Arminian yang menekankan kehendak bebas manusia dan menghilangkan kedaulatan Allah (termasuk di dalamnya pengaruh dari buku Rick Warren, “The Purpose Driven Life”). Allah hanya dianggap sebagai pemuas kebutuhan jasmaniah (yang dibungkus dengan hal-hal “rohani”, misalnya, “Dengan ‘iman’, maka minta apa saja, pasti dikabulkan.”, dll), tidak beda dengan pekerjaan seorang pelacur (maaf). Itu bukan Allah Alkitab ! Itu setan ! Jangan mengira setiap orang “Kristen” beriman di dalam-Nya, kebanyakan mereka beriman di dalam diri mereka sendiri, yang lebih celaka lagi beriman di dalam setan, meskipun setiap Minggu pergi ke gereja. Apakah dengan cara demikian, mereka boleh dikatakan mereka pintar ? TIDAK. Alkitab jelas mengajarkan di dalam ayat 21 ini bahwa pikiran mereka sebenarnya sia-sia atau tidak berharga (worthless) dan hati mereka itu bodoh dan menjadi gelap. Di sini menurut pengamatan saya, kebebalan manusia yang tidak mau memuliakan Allah berdampak kepada seluruh kehidupannya, yaitu pikiran dan hati mereka menjadi rusak/cemar. John Calvin mengatakan bahwa manusia itu sudah rusak total, artinya seluruh keberadaannya sudah rusak, tidak peduli, apakah itu otak, hati, perkataan, dll. Tidak usah heran, mengapa di ayat 21, Paulus menjabarkan dua bagian di dalam pribadi manusia yang merupakan efek langsung dari kebebalan manusia, yaitu otak/pikiran dan hati. Ketika manusia bebal, pikiran mereka ikut bebal juga. Pikiran ini diungkapkan Paulus sebagai pikiran yang tidak berharga/sia-sia. Pikiran manusia yang sudah diciptakan oleh Allah dengan tujuan untuk memuliakan-Nya, tetapi faktanya, akibat dosa, pikiran itu dicemari oleh dosa, dan akhirnya dipergunakan untuk memuliakan diri manusia sendiri. Selain itu, hati mereka juga dikatakan bodoh dan gelap. Kata “bodoh” diterjemahkan foolish oleh terjemahan KJV dan dalam bahasa aslinya asunetos berarti without understanding (tanpa pengertian). Lalu, kata “gelap” dalam bahasa aslinya skotizō berarti obscure (=samar-samar, kabur, tidak jelas, dll). Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengaitkan heart dengan afeksi. Ini berarti ketika manusia berdosa, hati/afeksinya sudah dicemari dosa, sehingga mereka tidak lagi peduli dengan orang lain yang menderita, tetapi sangat sedih jika dirinya yang menderita. Ambil contoh, manusia berdosa akan sangat kegirangan (secara implisit, bahkan eksplisit) bila orang lain yang ditipu, tetapi akan sangat sedih bila dirinya yang ditipu (atau orang lain menipu dia). Inilah realita efek dosa di dalam diri manusia, yaitu pikiran mereka itu sebenarnya sia-sia/tidak berharga dan hati mereka itu tidak disertai pengertian yang beres dan kabur.

Kemudian, apakah pikiran ini mereka akui sebagai pikiran yang sia-sia ? TIDAK. Di ayat 22, Paulus membuka fakta lebih dalam lagi, “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Atau terjemahan BIS mengartikannya, “Mereka merasa diri bijaksana, padahal mereka bodoh.” Kalau kita melihat kembali konteks surat Roma ini, di Roma, banyak filsuf Yunani yang merasa diri hebat, bijaksana, pintar, dll, lalu pikiran dan hati mereka tertutup oleh apa yang mereka anggap sebagai bijaksana dan pandai. Kalau Plato menegaskan filsafat dualisme yang sengaja memisahkan hal-hal yang jasmaniah (natural) dengan hal-hal rohaniah (supranatural), di mana filsafat gila ini digandrungi oleh hampir semua manusia (termasuk banyak orang “Kristen” yang tidak bertanggungjawab) di dalam abad postmodern, maka Max Horkheimer menegakkan filsafat Dialectical Positivism yang berusaha menggabungkan hal-hal yang bertentangan satu sama lain. Tidak heran, di dunia Timur, muncul istilah Yin Yang, di mana kebaikan pasti bersatu dengan kejahatan (di dalam hitam ada putih dan di dalam putih ada hitam). Mereka menganggap bahwa mereka itu berbijaksana dan pintar karena bisa mengeluarkan suatu teori yang diakui oleh seluruh dunia (bahkan yang paling celaka, juga diakui oleh banyak orang “Kristen”). Apakah teori mereka benar ? Mari kita uji. Teori Plato jelas salah karena telah memisahkan kedua bagian manusia yang saling bersatu, yaitu antara tubuh dan jiwa/roh. Jika kita memisahkan tubuh dan roh/jiwa, maka kita pasti mati. Sebaliknya, teori Horkheimer pun juga salah, karena menggabungkan hal-hal yang bertentangan menjadi satu, lalu teori ini juga ada di dunia Timur dengan konsep Yin Yang. Benarkah konsep Yin Yang dari kacamata Kristen ? Setelah mendapat penjelasan singkat dari Pdt. Sutjipto Subeno, saya setuju dengan pendapat beliau bahwa Yin Yang itu tidak sesuai dengan Alkitab. Perhatikan. Kalau di dalam hitam ada putih dan di dalam putih ada hitam, pertanyaannya bukankah yang hitam dan putih sama-sama menjadi kabur dan tidak jelas (persis yang Paulus ungkapkan di dalam ayat 21 tadi dengan mengatakan bahwa pikiran mereka itu sia-sia dan hati mereka menjadi kabur/gelap). Lalu, apakah kita berani mengajarkan kepada anak-anak kita akan konsep Yin Yang ini lalu berkata bahwa kita jangan selalu berbuat baik saja, tetapi kita juga perlu berbuat jahat sesuai dengan ajaran Yin Yang bahwa putih dan hitam selalu bersatu ? TIDAK. Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa hitam itu bukan sebuah warna yang bertentangan dengan putih, tetapi hitam adalah ketidakadaan putih, demikian pula, gelap bukan suatu entity, tetapi gelap adalah suatu ketidakadaan terang. Kalau terang ada, maka gelap pasti tidak ada. Itu yang Alkitab ajarkan sejak Allah menciptakan dunia (Kejadian 1:1-3). Di dalam penciptaan, ketika Allah melihat dunia ini gelap, maka Ia berkata, “Jadilah terang.” (Kejadian 1:3), maka terang itu mengalahkan kegelapan dan kegelapan tidak ada lagi di dalam dunia ini. Dengan kata lain, teori Horkheimer salah. Lalu, manakah yang benar ? Jelas, iman Kristen yang berpusat di dalam Kristus. Di dalam 1 Korintus 1:18, Paulus mengajarkan satu prinsip penting, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Di dalam pasal yang sama, di ayat 22-25, Paulus mengajarkan pula, “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” Orang-orang dunia selalu merasa diri pemikiran mereka hebat, tetapi benarkah demikian ? Bagi Allah, pemikiran orang-orang dunia yang paling pintar sekalipun lebih kecil dari kebodohan Allah. Lho, kok bisa ? Kebodohan Allah, yang artinya Allah yang dianggap “bodoh” oleh orang-orang dunia yang berdosa, tetap lebih pandai daripada hikmat manusia yang selalu membanggakan diri mereka pandai dan berbijaksana. Inilah pemikiran paradoks di dalam iman Kristen. Kebodohan Allah itulah salib, yang sebenarnya melambangkan kemenangan dan kebijaksanaan Allah yang terbesar yang tak mungkin bisa dicapai dan dimengerti oleh manusia yang selalu menganggap diri bijaksana dan pandai, padahal mereka sesungguhnya bodoh dan berdosa. Zaman postmodern adalah zaman yang lebih celaka daripada zaman modern, karena di zaman yang gila ini, banyak orang bahkan boleh dibilang dosen-dosen sekuler menimba ilmu di luar negeri bahkan sampai Doctor of Philosophy (Ph.D.), tetapi apakah itu menunjukkan diri mereka pandai ? TIDAK. Sori, saya harus mengatakan satu hal, banyak dosen saya di kampus Petra yang bergelar Master dan Doctor, pemikirannya masih dangkal sekali apalagi tentang iman Kristen. Jangan mengira orang yang sudah studi Master dan Doctor pasti lebih pintar ! Ada seorang dosen saya yang baru bergelar Master sudah sok tahunya bahkan menghina saya yang selalu bersaksi tentang Tuhan. Dia kira dia hebat, TIDAK, saya boleh mengatakan bahwa dia lebih bodoh dari siapapun, karena TELAH MENGHINA ALLAH. Celakalah kamu jika menganggap diri pintar, lalu tidak membutuhkan Allah. Anda tahu cerita dari F. Nietzsche yang mencetuskan God’s Death “Theology” (“Theologia” Allah Mati) ? Nietzsche yang adalah seorang anak pendeta dan katanya pernah sekolah theologia akhirnya mengatakan bahwa ia telah membunuh mati Allah bukan dengan pistol, tetapi dengan pikirannya, lalu apakah dengan demikian, “Allah” yang telah Nietzsche bunuh mati lalu benar-benar mati ? TIDAK. Sejarah membuktikan bahwa Nietzsche pada akhirnya harus mati, tetapi, puji Tuhan, Allah kita tetap hidup untuk selama-lamanya. Ini membuktikan suatu kebodohan orang-orang yang menganggap diri pintar. Dengan mengutip Yesaya 29:14, di dalam 1 Korintus 1:19, Tuhan berkata melalui Paulus, “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” Kalau sejenak kita membaca Yesaya 29:14, ayat ini sebenarnya ingin mengajarkan bahwa hikmat para orang berhikmat di dalam bangsa Israel yaitu mereka yang menghafal dan mengajarkan Taurat secara harafiah (ayat 10-13) akan hilang dan kearifannya pun akan bersembunyi.

Apakah wujud kebebalan manusia hanya sekedar merasa diri pintar ? TIDAK. Pada ayat 23, Paulus melanjutkan penjelasannya, “Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” (TB) atau terjemahan BIS mengartikannya, “Bukannya Allah yang abadi yang mereka sembah, melainkan patung-patung yang menyerupai makhluk yang bisa mati; yaitu manusia, burung, binatang yang berkaki empat, dan binatang yang melata.” Melalui ayat 23 ini versi Terjemahan Baru (TB) maupun Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), kita mendapatkan suatu kesimpulan bahwa kebebalan manusia bukan hanya sekedar merasa diri pintar, tetapi juga ketidakmampuan mereka membedakan antara esensi dengan fenomena, antara hal yang bersifat kekal dan tidak kekal. Di zaman postmodern ini pun, realita ini juga sering dan banyak terjadi. Mereka tidak melihat esensi dan hal-hal yang bernilai kekekalan, tetapi selalu berkutat pada hal-hal fenomenal dan bersifat kesemantaraan, lalu anehnya, mereka terhibur jika sudah melihat hal-hal fenomenal tersebut. Sungguh celaka mereka. Apakah wujud hal-hal fenomenal tersebut ? Alkitab menjelaskan bahwa wujudnya adalah menyembah patung-patung yang dapat dilihat sebagai ilah lain yang menggantikan Allah. Kata “patung-patung” menunjukkan sebuah sesembahan lain (ilah lain) di luar Allah yang sejati yang disembah oleh manusia yang berdosa. Manusia di dunia ini merasa bahwa dengan menyembah patung-patung tersebut identik dengan menyembah “Allah”, yang lebih parah lagi, mereka berdalih bahwa bukan patung yang mereka sembah, tetapi “Allah”, lalu patung hanya mereka jadikan sebagai sarana/cara. Apakah ini dapat dibenarkan ? Di dalam titah kedua dan ketiga di dalam Dasa Titah, Allah bersabda, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” (Keluaran 20:4-6) Titah kedua ini mengajarkan kepada kita untuk tidak membuat patung. Tindakan membuat patung adalah suatu tindakan kedua setelah tindakan menganggap sesuatu sebagai ilah lain selain Allah (pelanggaran dari titah pertama). Jadi, urutannya adalah jika seorang di dalam ide dan “iman”nya sudah menganggap diri atau sesuatu yang lain sebagai ilah lain di luar Allah, maka otomatis orang ini akan berusaha untuk merealisasikannya dengan membuat patung sebagai obyek realisasinya. Jangan mempercayai orang yang berkata bahwa patung hanya sebagai cara/sarana untuk menyembah “Allah”. Allah tidak ingin kita membuat patung dalam bentuk apapun. Lalu, titah ketiga juga mengajar kepada kita bukan hanya untuk tidak boleh membuat patung, tetapi kita pun tidak boleh menyembah patung yang dibuat tersebut, karena Allah adalah Allah yang cemburu yang tidak segan-segan menghukum mereka yang tidak setia kepada-Nya. Inilah realita murka Allah yang jarang disampaikan di dalam banyak khotbah mimbar di dalam banyak gereja-gereja kontemporer yang pop. Setelah Allah selesai menuliskan kesepuluh titah-Nya kepada bangsa Israel melalui Musa, apa yang terjadi dengan bangsa Israel sambil menunggu Musa di atas gunung Sinai ? Keluaran 32:1-6 memberitahu kita tentang peristiwa yang mengerikan ini, “Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya: "Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia." Lalu berkatalah Harun kepada mereka: "Tanggalkanlah anting-anting emas yang ada pada telinga isterimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya kepadaku." Lalu seluruh bangsa itu menanggalkan anting-anting emas yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun. Diterimanyalah itu dari tangan mereka, dibentuknya dengan pahat, dan dibuatnyalah dari padanya anak lembu tuangan. Kemudian berkatalah mereka: "Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!" Ketika Harun melihat itu, didirikannyalah mezbah di depan anak lembu itu. Berserulah Harun, katanya: "Besok hari raya bagi TUHAN!" Dan keesokan harinya pagi-pagi maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan, sesudah itu duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria.” Hal ini sangat berkontradiksi dengan puji-pujian yang mereka nyanyikan sendiri di dalam Keluaran 15 tentang kebesaran dan keagungan Allah Israel. Harun yang sebenarnya harus menuntun Israel untuk tidak berbuat dosa selama Musa berada di atas gunung Sinai, ternyata malahan membuat bangsa Israel tambah berdosa dengan menuruti permintaan bangsa Israel untuk membuat patung dan ditambah dengan perkataan bahwa patung itulah Allah yang telah menuntun Israel keluar dari Mesir. Dosa yang diperbuat Harun itu berlapis dua, yaitu menuruti kemauan berdosa dari Israel ditambah dengan pernyataan Harun yang mengatakan bahwa patung itu adalah Allah yang menuntun mereka keluar dari Israel. Itulah agama yang diciptakan manusia yang menyimpang dari kebenaran Allah di dalam Alkitab. Israel kalau boleh diimplikasikan ke dalam zaman sekarang adalah para penganut agama-agama non-Kristen yang melawan Kristus yang menggantikan Allah dengan ilah-ilah lain yang bisa dilihat secara kasat mata, dan Harun boleh diimplikasikan sebagai para pemimpin agama yang juga ikut berdosa dengan menuruti kemauan umatnya yang memberontak terhadap Allah. Bagaimana respon Allah dan Musa setelah mengakui kebiadaban Israel tersebut ? Apakah mereka bisa mentolerir kesalahan mereka lalu mengatakan bahwa jangan menghakimi, itu tergantung pada pribadi masing-masing, patung hanya sebagai sarana untuk menyembah “Allah” ? TIDAK. Allah murka kepada mereka dan Alkitab mencatatnya, “Siapa yang berdosa kepada-Ku, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitab-Ku…Demikianlah TUHAN menulahi bangsa itu, karena mereka telah menyuruh membuat anak lembu buatan Harun itu.” (Keluaran 32:33, 35). Musa pun marah sesuai dengan kemarahan Allah. Hal ini dapat dibaca pada Keluaran 32:19-20, “Dan ketika ia dekat ke perkemahan itu dan melihat anak lembu dan melihat orang menari-nari, maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua loh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu. Sesudah itu diambilnyalah anak lembu yang dibuat mereka itu, dibakarnya dengan api dan digilingnya sampai halus, kemudian ditaburkannya ke atas air dan disuruhnya diminum oleh orang Israel.” Para hamba Allah sejati memiliki emosi dan afeksi yang dikuduskan sehingga emosi mereka sinkron dengan emosi Allah, lalu ketika Allah murka, mereka pun marah sesuai dengan kemarahan-Nya. Belajarlah dari Musa. Allah tidak pernah mentolerir setiap dosa penyembahan berhala, karena Ia adalah Allah yang Mahakudus dan Tidak Terbatas yang tidak dapat dipersamakan dengan hal-hal yang tidak kudus atau terbatas. Kalau di zaman penulisan kitab Roma, banyak manusia pada waktu itu menyembah patung, maka di zaman postmodern, ilah lain bukan lagi berwujud patung, tetapi rasio dan feeling. Di zaman postmodern, meskipun remah-remah penekanan rasio pada zaman modern masih ada, tetapi feelinglah yang sangat diutamakan bahkan disembah oleh mereka sebagai ilah di dalam hidup mereka, meskipun mereka tidak pernah mau mengakuinya. Tidak usah heran, di dalam zaman yang gila ini, ada seorang dosen “Kristen” yang adalah seorang pemuja relativisme mengatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi, masing-masing memiliki standar yang berbeda-beda, itu tergantung masing-masing orang. Itukah orang Kristen ? TIDAK. Mereka boleh dengan bangga menyebut diri “Kristen”, tetapi sori, saya lebih menyebut mereka sebagai seorang atheis yang berjubah “Kristen”. Jangan mengira orang Kristen cukup ditandai dengan KTP mereka yang menyebut agama mereka Kristen. Banyak orang “Kristen” (bahkan para “pemimpin gereja) yang sebenarnya bukan termasuk umat pilihan Allah sedang meracuni gereja dan keKristenan perlahan-lahan. Ingatlah akan perkataan Tuhan melalui Paulus di dalam Galatia 6:7-8, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Ketika Anda lebih mengilahkan relativisme di dalam hidup kita, terimalah akibatnya bahwa suatu saat Anda akan dihajar oleh murka Allah karena Anda telah menggantikan kemuliaan Allah yang suci dan kekal dengan sesuatu yang najis dan fana. Ingatlah, Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibrani 12:29).
Kalau Allah kita adalah api yang menghanguskan, maukah kita hari ini tidak lagi mempermainkan iman kita dan Allah yang kita sembah ? Maukah Anda hari ini bertobat dari dosa dan kebiasaan kita yang menghina Allah baik secara eksplisit maupun implicit ? Amin.

No comments: