12 May 2007

ESENSI ATAU FENOMENA ? (oleh : Denny Teguh Sutandio)

ESENSI ATAU FENOMENA ?

oleh : Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN
Dunia postmodern adalah dunia yang sedang mengilahkan relativisme dengan me“mutlak”kannya. Memang terdengar aneh, tetapi begitulah kenyataannya. Selain relativisme, abad postmodern ini juga ditandai dengan semangat pragmatisme murni yang mengabaikan prinsip dan mengilahkan sesuatu yang bukan prinsip. Dengan kata lain, zaman postmodern adalah zaman yang lebih menitikberatkan pada fenomena dan meniadakan esensi. Sehingga, tidak usah heran, sesuatu yang fenomena gemar digandrungi orang. Misalnya saja, diluncurkannya buku The Da Vinci Code dari Dan Brown, Misquoting Jesus dari Bart D. Ehrman, Jesus Tomb, dll mengakibatkan tidak sedikit orang “Kristen” tergoncang imannya karena menemukan bahwa Kristus tidak mati dan kubur-Nya ditemukan. Sebaliknya, gereja-gereja Kristen terlalu dangkal dan pasif serta tidak mau mengajar doktrin Kristen yang solid. Yang lebih parah, banyak gereja “Kristen” yang malas mengajar doktrin, tiba-tiba begitu fenomena yang mendiskreditkan Kristus muncul, mereka langsung mengadakan pembinaan jemaat. Jika tidak ada fenomena yang menantang, mereka diam dan membisu seperti orang mati. Untuk itu, marilah kita melihat sekilas apa yang dunia ajarkan tentang hubungan esensi dengan fenomena ini.


PANDANGAN ABAD POSTMODERN TERHADAP HUBUNGAN ESENSI DAN FENOMENA
Seperti yang telah dijelaskan bahwa abad postmodern salah satunya ditandai dengan filsafat pragmatisme yang mencengkeram manusia, bahkan tidak sedikit banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’” ternyata juga seorang pragmatis tulen. Apa yang mereka pikirkan di dalam jiwa pragmatis ini?

Prinsip utama yang mereka pikirkan adalah, “jangan hanya teori saja, yang penting prakteknya.” Bukankah ini yang kerapkali didengungkan oleh banyak orang dunia, bahkan tidak sedikit orang “Kristen” yang pragmatis ? Mereka hendak mengatakan bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting itu perbuatannya. Dengan mengutip Yakobus 2:26, banyak orang “Kristen” terkesan “religius” dengan mengajar bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Apa motivasi di balik perkataan mereka ? Benarkah motivasi mereka tulus ? TIDAK. Justru, motivasi mereka busuk. Mengapa ? Karena dengan mengatakan demikian, mereka sejujurnya sedang menawarkan beberapa prinsip konyol yang sebenarnya melawan Alkitab, yaitu : pertama, mereka sedang mementingkan perbuatan baik (jasa) ketimbang iman. Para pragmatis “Kristen” lebih memilih mengajarkan bahwa perbuatan baik menentukan iman seseorang. Atau dengan kata lain, mereka hendak mengajarkan bahwa perbuatan baik seseorang itu sangat berharga bahkan lebih berharga daripada iman. Mereka sedang menegakkan prinsip humanisme (mengilahkan manusia) dan membuang theisme (meskipun mereka menganggap diri “Kristen”). Kalau ditelusuri, apa yang mereka ajarkan sangat mirip dengan pandangan Arminianisme yang mengajarkan bahwa kehendak bebas manusia itu lebih menentukan ketimbang kedaulatan Allah, sehingga mereka mengajarkan bahwa iman itu adalah tindakan aktif manusia tanpa melibatkan tindakan aktif Allah di dalam Roh Kudus. Konsep ini jelas-jelas ditentang oleh Alkitab dengan berkali-kali mengajarkan bahwa orang percaya dibenarkan dan diselamatkan hanya melalui iman saja, bukan melalui perbuatan baik (Efesus 2:8-9). Tetapi hal ini tidak berarti perbuatan tidak penting. Yakobus 2:14-26 mengajarkan suatu konsep penting bahwa iman sejati harus menghasilkan perbuatan baik sejati yang berfokus pada iman. Jangan asal-asalan menafsirkan Alkitab khususnya Yakobus 2:14-26 ! Kedua, konsep yang penting perbuatan sebenarnya dilontarkan oleh seseorang yang malas belajar doktrin. Dewasa ini, seperti yang diungkapkan juga oleh Prof. David F. Wells, Ph.D. dalam bukunya No Place for Truth, banyak gereja Injili yang dahulu ketat di dalam theologia tetapi sekarang sudah berkompromi dengan psikologi dan manajemen. Di dalam abad ini, doktrin bukan lagi konsumsi para jemaat gereja, tetapi yang menjadi konsumsi orang “Kristen” saat ini adalah training psikologi ala Gerakan Zaman Baru dengan salah satu idenya adalah Success is My Right (dari Andrie Wongso), dll ditambah training manajemen lewat MLM (Multi Level Marketing). Bukan hanya itu, banyak orang “Kristen” apalagi yang selalu mengklaim diri “melayani ‘tuhan’” ternyata tidak suka mengenal Tuhan melalui studi Alkitab, tetapi lebih menyukai hal-hal fenomenal seperti konser musik yang tidak jelas arahnya (kontemporer, rock), dll. Tidak usah heran, banyak dari mereka pasti menolak kalau diajak untuk belajar theologia (apalagi kalau membayar), tetapi herannya, orang yang sama ketika diajak melihat konser musik kontemporer (baik sekuler maupun yang berjubah “religius”), tidak usah diajak dan meskipun bayar mahal, mereka pasti mau. Ditambah lagi, gereja yang gemar dicari oleh para pragmatis ini adalah gereja-gereja yang sanggup memuaskan hawa nafsu mereka, misalnya gereja yang tidak mau menggunakan liturgi, membuang doktrin/pengajaran di dalam mimbar gereja, dll. Inilah realita dunia kita yang pragmatis dan anti-doktrin, tetapi mereka selalu menyangkalnya.

Kalau gereja-gereja dan orang-orang “Kristen” terus mementingkan fenomena, mau jadi apa hari depan keKristenan ? Tidak ada jalan lain, keKristenan tidak seharusnya mementingkan berbagai fenomena, tetapi terus-menerus berfokus pada esensi, karena esensi lebih penting daripada fenomena. Oleh karena itu, marilah kita mempelajari beberapa prinsip Kristen tentang hubungan esensi dengan fenomena dari sudut pandang theologia Reformed.


PANDANGAN KRISTEN (REFORMED) TENTANG HUBUNGAN ESENSI DAN FENOMENA
Kalau orang-orang postmodern mengabaikan pentingnya esensi/konsep, bagaimana sikap keKristenan sebenarnya ? Saya mengkategorikan hubungan antara esensi dan fenomena ke dalam beberapa prinsip :
Pertama, esensi bukanlah fenomena. Prinsip ini sangatlah penting, yaitu jangan mengidentikkan esensi dengan fenomena. Mengapa ? Karena kedua hal ini berbeda secara prinsip. Esensi adalah suatu inti yang mendasar dan sangat penting (pusat), sedangkan fenomena adalah suatu turunan yang dapat dilihat (dari bahasa Yunani : phainomenon yang berarti “apa yang bisa terlihat”). Di dalam keKristenan, yang menjadi esensi adalah iman. Ibrani 11:1 mendefinisikan iman sebagai, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Kata “dasar” dalam terjemahan King James Version adalah substance dan teks Yunaninya adalah hupostasis yang secara konkrit berarti esensi (essence) dan secara abstrak berarti jaminan/asuransi (assurance). Jadi, iman adalah inti atau pusat dari keKristenan. Dengan kata lain, seperti yang pernah diungkapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, keKristenan adalah agama yang berinti iman. Apa arti iman ? Dalam bahasa Yunani, kata “iman” di dalam Ibrani 11:1 adalah pistis yang secara khusus berarti reliance upon Christ for salvation (=bergantung pada Kristus untuk keselamatan). Dengan kata lain, iman sebagai esensi keKristenan adalah suatu kebergantungan total kepada Allah di dalam Kristus. Sehingga, tidaklah benar jika mengidentikkan iman dengan berpikir positif, karena iman bukan 100% tindakan aktif manusia, tetapi merupakan 100% tindakan anugerah Allah sehingga manusia pilihan-Nya dapat beriman. Khusus di dalam theologia Reformed, kita belajar bahwa iman sejati harus berfokus kepada kedaulatan Allah yang menjadi inti berita Alkitab. Itulah yang disebut esensi. Kedaulatan Allah adalah esensi berita Alkitab. Prinsip pertama ini dapat disimpulkan bahwa karena esensi bukan fenomena, maka ingatlah prinsip : jangan mengorbankan esensi hanya demi fenomena ! Jika kita berani melakukannya, kita sedang menurunkan makna hidup dan nilai yang berarti.

Kedua, esensi menghasilkan fenomena. Selanjutnya, kita harus mengerti bahwa esensi sejati harus menghasilkan fenomena. Di dalam keKristenan, iman sejati sebagai esensi harus menghasilkan fenomena yang sejati yaitu perbuatan baik yang benar-benar baik (Yakobus 2:14-26). Meskipun kita tidak dibenarkan melalui perbuatan baik, tidak berarti kita dapat sembarangan hidup dengan dalih kita dibenarkan melalui iman. Kita memang dibenarkan melalui iman yang dianugerahkan oleh Allah, tetapi kita diperintahkan oleh Allah melalui Paulus untuk mengerjakan keselamatan kita (Filipi 2:12) dan ingatlah bahwa kalau pun kita dapat berbuat baik sesuai iman kita itu juga merupakan anugerah Allah yang bekerja di dalam diri kita (Filipi 2:13), sehingga baik iman maupun perbuatan baik yang kita kerjakan semuanya untuk memuliakan Allah (Roma 11:36). Dan ingatlah satu prinsip bahwa perbuatan baik kita sama sekali tidak mempengaruhi keselamatan yang telah kita peroleh, karena perbuatan baik hanyalah respon/ucapan syukur setelah kita diselamatkan oleh Allah di dalam Kristus. Di dalam theologia Reformed, ketika kedaulatan Allah menjadi esensi, maka esensi itu menghasilkan fenomena positif yaitu mendorong orang untuk memberitakan Injil. Banyak orang yang bertheologia Reformed malas atau enggan memberitakan Injil karena mereka percaya bahwa kalau segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah, untuk apa memberitakan Injil, toh nanti orang-orang pilihan akan kembali kepada Kristus dengan sendirinya. Pandangan ini salah dan harus ditolak, karena Alkitab sendiri mengajarkan tentang pentingnya memberitakan Injil dengan memuridkan orang (Matius 28:19-20). Justru, ketika kita mempercayai kedaulatan Allah, kita semakin giat memberitakan Injil, karena kita percaya bahwa ada kuasa Allah yang menaungi dan memimpin kita sehingga kita tidak salah sasaran dalam memberitakan Injil.

Ketiga, esensi menjadi standar penghakim bagi semua fenomena.
Bukan hanya sebagai penghasil fenomena, esensi juga harus berperan sebagai pusat sekaligus penghakim bagi semua fenomena. Semua fenomena harus tunduk di bawah esensi. Di dalam keKristenan, iman yang menjadi esensi harus berani menghakimi semua fenomena yang tidak beres, misalnya munculnya buku-buku seperti The Da Vinci Code, Misquoting Jesus, dll harus dihakimi dengan kacamata iman di dalam Kristus dan Alkitab. Sehingga, sudah sewajarnya orang-orang dan gereja-gereja “Kristen” tidak terlalu meresponi apa yang dunia tawarkan, misalnya dengan mengadakan seminar yang mengkritik semua fenomena dunia. Itu tanda orang dan gereja Kristen yang tidak dewasa. Kedewasaan iman Kristen dinilai dari kesiapan dan ketangguhan iman Kristen yang berpusat pada Alkitab untuk menghakimi dan menilai semua fenomena dari sudut pandang Allah. Khusus, di dalam theologia Reformed, ketika kedaulatan Allah menjadi esensi berita Alkitab, maka semua fenomena yang kerapkali terjadi di dalam lingkungan “Kristen” misalnya mukjizat kesembuhan, minyak urapan, dan fenomena lainnya harus diuji dan dihakimi berdasarkan prinsip esensi kedaulatan Allah. Mujizat kesembuhan dan hal-hal fenomena supranatural lainnya dari Allah dapat terjadi di zaman sekarang ini, karena Allah kita adalah Allah yang tetap berkuasa (Mahakuasa), tetapi jangan berhenti hanya pada konsep Allah yang Mahakuasa, itu berbahaya. Allah yang Mahakuasa juga adalah Allah yang Maha Berdaulat. Meskipun Ia mampu menyembuhkan seseorang yang sakit, tetapi Ia belum tentu mau melakukannya, karena kehendak-Nya selalu berbeda dari kehendak kita (Yesaya 55:8). Kalau kita selalu terjebak dengan banyaknya mukjizat supranatural lalu kita mengidentikkannya pasti dari “Allah”, kita sedang ditipu oleh setan, karena setan dapat menyamar sebagai malaikat terang dan pesuruh-pesuruhnya dapat menyamar juga sebagai pesuruh-pesuruh Allah (2 Korintus 11:14-15). Semua fenomena yang tidak mau diuji berdasarkan esensi Kebenaran di dalam Alkitab, berhati-hatilah terhadap fenomena itu, fenomena itu pasti datang dari setan, bukan dari Allah. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan teguran Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (King James Version : “Prove all things; hold fast that which is good.”)

Sudahkah kita sebagai orang Kristen lebih memperhatikan esensi yaitu iman sejati di dalam Kristus lebih dari fenomena-fenomena yang dapat menipu ? Iman sejati bukanlah iman yang berfokus kepada fenomena, tetapi kepada kedaulatan Allah dan firman-Nya, Alkitab sehingga iman itu terus-menerus bertumbuh di dalam kedewasaan (maturity of faith) sekaligus kesederhanaan (meminjam istilah dari Pdt. Billy Kristanto : simplicity of faith) sampai menuju kepada kesempurnaan kelak melalui tindakan aktif Roh Kudus yang memimpin kita di dalam pengudusan dan pengenalan akan Allah terus-menerus (progressive sanctification dan progressive knowledge of God). Soli Deo Gloria... Amin.

1 comment:

Anonymous said...

> Bukan hanya itu, banyak orang “Kristen” apalagi yang selalu mengklaim diri “melayani ‘tuhan’” ternyata tidak suka mengenal Tuhan melalui studi Alkitab, tetapi lebih menyukai hal-hal fenomenal seperti konser musik yang tidak jelas arahnya (kontemporer, rock), dll.

tanggapan:

saya belajar lebih mengenal dan mengasihi Tuhan lewat theologia (sekolah formal dan informal), dan pada saat yang sama, saya menekuni genre musik kontemporer (hiphop dan rock) yang memuliakan Tuhan.