14 July 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:17-19 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:17-19

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:17-19



Sekilas bagian ini tampaknya tidak berkaitan dengan bagian sebelumnya. Bagian sebelumnya membahas tentang berbagai hal seputar perkawinan – misalnya perkawinan (ay. 1-5), selibasi (ay. 6-9) dan perceraian (ay. 10-16) – tetapi bagian ini membahas tentang etnis dan perbudakan. Beberapa penafsir bahkan menganggap bagian ini sebagai sisipan yang diletakkan secara tidak tepat oleh seorang redaktur. Pandangan di atas tidak dapat dibenarkan. Bagian ini bukan hanya berkaitan, tetapi justru menjadi inti dari seluruh pembahasan di pasal 7. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, problem utama yang dihadapi jemaat Korintus adalah konsep spiritualitas yang salah. Mereka berpikir bahwa hubungan seksualitas antara suami-istri dapat merusak spiritualitas (ay. 1b), karena itu mereka berusaha saling menjauhi (ay. 2-5), bahkan mengupayakan perceraian (ay. 10-16). Dengan kata lain mereka berusaha mengadakan perubahan status sosial untuk kepentingan spiritual. Mereka menganggap bahwa perubahan status sosial akan berdampak pada keadaan spiritual mereka.

Untuk meresponi kesalahpahaman ini Paulus di ayat 17-24 menegaskan bahwa mereka tidak perlu mengupayakan perubahan status. Tiga kali dalam bagian ini ia menasehati agar mereka tetap berada dalam keadaan seperti pada waktu mereka dipanggil (ay. 17, 20, 24). Ia bahkan secara eksplisit menerapkan prinsip ini dalam konteks perkawinan (ay. 26-27). Pengulangan ini sekaligus menjadi inti, bukan hanya untuk ayat 17-24, tetapi seluruh pasal 7. Jemaat Korintus tidak perlu mengupayakan perubahan status dengan harapan bahwa perubahan itu akan mempengaruhi spiritual mereka. Relasi horizontal dengan orang lain (status sosial) tidak akan membawa pengaruh bagi relasi vertikal dengan Tuhan (status spiritual).

Nasehat ini tidak berarti bahwa Paulus melarang semua bentuk perubahan status sosial. Sebelumnya di ayat 9 ia tidak melarang para duda dan janda untuk kawin lagi. Di ayat 21 ia mengizinkan para budak yang mendapat kesempatan menjadi orang bebas untuk menggunakan kesempatan itu. Di ayat 28 ia mengizinkan perkawinan, walaupun ia tetap menganggap hal itu bukan pilihan yang terbaik. Yang dilarang Paulus bukanlah perubahan status sosial itu sendiri (per se), tetapi motivasi di baliknya yang didasarkan pada konsep spiritualitas yang salah.

Struktur ayat 17-19 dapat diketahui dengan mudah dan mirip dengan struktur di ayat 20-23. Paulus mula-mula menyatakan prinsip yang ia pegang, yaitu tetap dalam keadaan seperti ketika dipanggil Tuhan (ay. 17). Selanjutnya ia mengambil contoh status sosial yang berkaitan dengan etnis. Orang Yahudi tidak perlu mengubah keadaan dirinya yang bersunat, begitu pula orang non-Yahudi tidak perlu menyunatkan diri mereka (ay. 18). Nasehat ini didasarkan pada alasan theologis bahwa sunat atau tidak bersunat tidak memiliki arti apa-apa (ay. 19).


Prinsip: Tetap Dalam Keadaan Seperti Ketika Dipanggil (ay. 17)
Kata sambung ei mē (lit. “jika tidak”) telah diterjemahkan secara berbeda oleh para penafsir. Sebagian mengikuti pemakaian umum dari konstruksi seperti ini (misalnya “bagaimanapun” atau “kecuali”), sedangkan yang lain menganggap ungkapan ini memiliki arti yang sama dengan kata sambung “tetapi”. Dalam hal ini terjemahan “bagaimanapun” tampaknya lebih tepat karena didukung oleh pemakaian umum dan konteks. Kata sambung ini berkaitan dengan ayat 15a. Walaupun perceraian dengan orang yang tidak beriman diperbolehkan asalkan inisiatif bukan dari pihak orang percaya (ay. 15a), namun hal itu bukanlah sebuah peraturan baku atau standar yang ideal. Allah tetap menghendaki orang Kristen hidup dalam damai (ay. 15b). Di samping itu, prinsip umum yang harus dipegang adalah “tidak mengupayakan perubahan status sosial” (ay. 17).

Bagian selanjutnya dari ayat 17 dimulai dengan kata “sebagaimana kepada tiap-tiap orang Tuhan sudah menentukan” (LAI:TB memilih untuk meletakkan kata perintah “hendaklah tiap-tiap orang hidup” di bagian depan). Peletakan ungkapan “kepada tiap-tiap orang” (ēkastō) di bagian awal kalimat menyiratkan penekanan. Paulus ingin menegaskan bahwa setiap individu adalah unik di mata Tuhan, terlepas dari apa pun status sosial mereka.

Keunikan tersebut dihubungkan dengan fakta bahwa Tuhan telah menentukan (emerisen) kepada tiap-tiap orang. Apa yang ditentukan? Paulus tidak menyebutkan secara eksplisit. Kata dasar merizō secara hurufiah hanya menunjukkan tindakan memberikan atau membagi sesuatu, namun objek dari tindakan ini sangat variatif. Berdasarkan pemunculan kata merizō (“menentukan”) di Roma 12:3 dan dalam konteks pemberian berbagai karunia rohani (Rm. 12:4-8), beberapa penafsir berpendapat bahwa yang ditentkan oleh Tuhan di 1 Korintus 7:17 adalah karunia rohani.

Pendapat tersebut tidak diikuti oleh banyak penafsir lainnya. Pasal 7 tidak berbicara tentang karunia dalam konteks pelayanan gerejawi seperti yang dibahas di Roma 12:3-8. Secara khusus ayat 17-24 bahkan menyinggung tentang etnis (ay. 17-19) dan status budak (ay. 20-23) yang tidak berkaitan sama sekali dengan karunia-karunia rohani seperti itu. Sebagai tambahan, jika Paulus memaksudkan karunia rohani seperti itu, maka ia kemungkinan besar tidak akan memakai kata merizō. Ia akan memakai kata didōmi (“memberikan”), yang dalam surat 1 Korintus secara konsisten dia pakai ketika membicarakan tentang karunia pelayanan (3:5; 12:4-11).

Penggunaan kata kerja merizō di 7:17 mungkin dimaksudkan sebagai rujukan untuk karunia lain di luar daftar karunia pelayanan gerejawi. Hal ini didukung oleh konteks pasal 7. Di bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan bahwa perkawinan maupun selibasi sama-sama karunia Allah (ay. 7), walaupun bentuknya berbeda. Di ayat 17-24 ia membahas tentang status sosial seseorang, entah dari sisi etnis (Yahudi/Yunani) maupun pekerjaan (budak/orang merdeka). Dengan kata lain Paulus ingin mengajarkan bahwa status sosial apa pun yang disandang oleh seseorang, hal itu merupakan ketentuan dari Tuhan. Jemaat tidak hanya didorong untuk menerima status itu, tetapi mereka juga harus menggunakan itu untuk kemuliaan Allah, karena itu adalah pemberian (karunia). Konsep pelayanan yang sangat holistik ini sesuai dengan nasehat Paulus di bagian lain bahwa apa pun yang kita lakukan, termasuk yang tampak sepele sekalipun, kita melakukan itu untuk Tuhan (10:31).

Bagian selanjutnya dari 1 Korintus 7:17 adalah “dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil Allah” (LAI:TB). Dalam kalimat Yunani kesejajaran frase ini dengan frase sebelumnya lebih kentara. Secara hurufiah frase ini berbunyi “sebagaimana tiap-tiap orang Allah telah panggil”. Apakah yang dimaksud Paulus melalui frase ini? Dalam pemakaian sehari-hari kita memahami panggilan Allah dalam beberapa arti: dipanggil untuk bertobat, dipanggil menjadi hamba Tuhan, dipanggil pada pekerjaan/panggilan hidup yang khusus, dan dipanggil pulang ke rumah Bapa di surga. Di antara empat arti ini, tiga kemungkinan pertama sama-sama memiliki dukungan. Paulus kadangkala memakai frase “Allah memanggil” dalam arti yang pertama (1:9, 24, 26), kedua (1:1; 15:9) maupun ketiga (7:15b).

Bagaimanapun, sebagian penafsir cenderung memilih arti yang pertama. Arti kedua tidak didukung oleh konteks pasal 7 (pasal ini tidak membahas tentang status hamba Tuhan sama sekali). Arti terakhir membuat frase ini memiliki arti yang sama persis dengan frase sebelumnya, sehingga kita bertanya-tanya mengapa Paulus perlu memakai dua frase yang berbeda jika ia memaksudkan hal yang sama? Di sisi lain, makna pertama lebih sesuai dengan penggunaan frase ini dalam tulisan Paulus (Rm. 11:29; Ef. 1:18; 4:1, 4; Flp. 3:14; 2Tes. 1:11; 2Tim. 1:9). Di Surat 1 Korintus sendiri Paulus sebelumnya pernah menyinggung kaitan antara panggilan Allah dan status sosial jemaat. Allah tetap berkenan memanggil mereka ke dalam pertobatan, terlepas dari etnis mereka (1:24) maupun derajad sosial mereka (1:26). Makna seperti inilah yang ada dalam pikiran Paulus ketika ia menggunakan frase “Allah memanggil” di pasal 7. Melalui frase ini ia ingin mengingatkan jemaat untuk tetap hidup seperti pada waktu mereka dipanggil dalam pertobatan oleh Allah. Panggilan itu menunjukkan bahwa relasi dengan Allah tidak dibatasi oleh status sosial apa pun.

Sebagaimana sikap mereka yang mengagungkan hikmat dunia tidak sesuai dengan status mereka dahulu (1:26-28), demikian pula keinginan mereka untuk mengubah status sosial mereka dalam konteks perkawinan (7:2-5, 10-16), etnis (7:17-19) maupun pekerjaan (7:20-23) tidak sesuai dengan makna pertobatan. Kalau dulu Allah berkenan memanggil mereka dalam keadaan sosial apa pun, maka itu berarti bahwa status itu pasti tidak bisa menghalangi relasi mereka selanjutnya dengan Allah. Mereka tidak perlu mengubah status itu agar lebih diterima oleh Allah. Yang paling menentukan bukanlah status sosial, tetapi anugerah Allah.

Penggunaan tense perfect untuk kata “memanggil” (keklēsen) dalam konteks ini menyiratkan bahwa tindakan tersebut dilakukan di masa lampau tetapi akibatnya masih ada sampai sekarang. Pertobatan harus membawa perubahan tertentu (6:11) yang permanen, tetapi perubahan itu tidak mencakup perubahan status sosial. Karakter kitalah yang perlu diubah supaya lebih berkenan di hadapan Tuhan, bukan status sosial kita.

Setelah menjelaskan dua frase di ayat 17 Paulus baru menuliskan induk kalimat dalam ayat ini. Induk kalimat yang dimaksud adalah frase “demikian hendaknya ia hidup” (ēoutōs peripateitō). Dari cara penulisan seperti ini terlihat bahwa yang dipentingkan bukan sekadar “hidup” tetapi “hidup seperti apa”. Bentuk present tense yang dipakai untuk kata “hidup” mengindikasikan tindakan yang terus-menerus (tidak berhenti atau berubah). Kata “hidup” (peripateō) secara hurufiah berarti “berjalan”. Penggunaan ungkapan ini merupakan tipikal orang Yahudi. Mereka memandang hidup sebagai sebuah dinamika (tidak statis) dan memerlukan sebuah jalan tertentu, entah jalan yang dilalui adalah benar atau salah (Rm. 6:4; 8:4; 13:13; 14:15; 1Kor. 3:3; 2Kor. 4:2; 5:7; 10:2–3; 12:18; Gal. 5:16; Ef. 2:2, 10; 4:1, 17; 5:2, 8, 15; Kol 1:10; 2:6; 3:7; 4:5; 1Tes. 2:12; 4:1, 12; 2Tes. 3:6, 11). Orang Kristen pun seharusnya melihat kehidupan rohani mereka dengan cara yang sama. Hidup adalah sebuah proses dan harus dijalani dengan pedoman tertentu. Dalam konteks 1 Korintus 7 pedoman yang dimaksud adalah status sosial yang sudah ditentukan Allah dan yang sesuai dengan keadaan waktu kita dipertobatkan Allah.

Prinsip di atas merupakan ketentuan yang diberikan Paulus di semua jemaat. Bentuk present tense dari kata kerja diatassomai (“aku menentukan”) menyiratkan bahwa ini merupakan kebiasaan Paulus di segala tempat. Penjelasan tambahan bahwa nasehat Paulus ini juga disampaikan di seluruh jemaat telah menarik perhatian para penafsir. Paulus berkali-kali dalam surat ini menegaskan hal tersebut (4:17; 11:16; 14:33). Ada beberapa hal yang ingin disampaikan melalui penjelasan ini: (1) wibawa rasuli Paulus yang diakui oleh jemaat-jemaat lain. Hal ini perlu ditegaskan Paulus karena jemaat Korintus sering bersikap negatif terhadap dirinya (1:12; 4:3; 9:3); (2) ajaran ini bukan hal yang baru. Berbeda dengan jemaat Korintus yang suka mengandalkan ‘pewahyuan baru’ dari Roh Kudus, Paulus menegaskan bahwa ajarannya tidak seperti itu, walaupun ia tetap memiliki Roh Kudus dalam dirinya (7:40); (3) ajaran ini bukanlah situasional. Prinsip yang diajarkan Pauus bukanlah sikap subjektif Paulus yang ditujukan secara khusus untuk menentang jemaat Korintus; (4) sikap jemaat Korintus merupakan penyelewengan terhadap tradisi gereja mula-mula. Kecenderungan jemaat Korintus yang gemar terhadap hal-hal baru adalah tindakan yang tidak bijaksana.


Contoh Aplikasi: Bersunat atau Tidak Bersunat (ay. 18)
Di ayat ini Paulus memberikan contoh praktis dari prinsip yang sudah ia ajarkan di ayat 17. Ia mengambil contoh tentang sunat. Topik ini memang seringkali menjadi isu yang sensitif dan kontroversial waktu itu. Dari cara Paulus menyinggung topik sunat dalam bagian ini, para penafsir yakin bahwa isu ini bukanlah isu utama dalam jemaat Korintus. Ia tidak membahas hal ini dengan penuh semangat dan emosional seperti ketika ia menghadapi penganut Yudaisme yang merongrong jemaat di Filipi (3:1-8) atau Galatia (1:6-9; 3:1-5). Bagian lain dari Surat 1 Korintus juga tidak membahas tentang permasalahan seputar sunat. Pendeknya, Paulus hanya meyinggung sunat sebagai salah satu contoh aplikasi saja.

Ungkapan “sunat” dan “tidak bersunat” tidak hanya menunjukkan perbedaan etnis, sekalipun orang Yahudi memang terbiasa membagi manusia menjadi dua” yang bersunat (Yahudi) dan tidak bersunat (non-Yahudi). Jika “sunat” di sini hanya sinonim dari “Yahudi” (Kis. 11:2; Ef. 2:11), begitu pula sebaliknya, maka aplikasi Paulus menjadi tidak berarti. Orang Yahudi jelas tidak mungkin menjadi non-Yahudi! Paulus memandang sunat di bagian ini bukan hanya sekadar nama lain dari “Yahudi”, tetapi ia memang memaksudkan sunat secara hurufiah sebagai tanda perjanjian menurut orang Yahudi.

Apakah ada kemungkinan bahwa orang Yahudi yang bergitu bangga dengan bangsanya sendiri justru ingin tidak bersunat? Tentu saja! Pada waktu itu orang-orang non-Yahudi memandang sunat sebagai tindakan yang tidak beradab (barbar). Tindakan ini dipandang sebagai bukti status sosial yang rendah dari para pelakunya. Ada kemungkinan sebagian orang Yahudi ingin lebih dihargai secara sosial/kultural dengan cara mengoperasi kembali kulit khatan mereka. Catatan historis pun mendukung bahwa tindakan ini sangat dimungkinkan untuk terjadi. Waktu penganiayaan kejam di bawah Antiokhus Epifanes, sebagian orang Yahudi rela melakukan operasi agar mereka bisa terlibat dalam kegiatan/perlombaan olah raga di stadion (1Mak. 1:14-15; Ant. 12.241). Mereka ingin diterima (dan diperlakukan sama) oleh orang-orang non-Yahudi. Motivasi seperti ini sangat mungkin ada dalam diri sebagian orang Yahudi, walaupun mereka tidak menghadapi penganiayaan lagi. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial yang “lebih tinggi” ini sesuai dengan sikap jemaat Korintus yang mengupayakan perubahan status sosial.

Di sisi lain, orang-orang non-Yahudi juga mungkin ingin menyunatkan diri mereka, walaupun hal itu secara sosial/kultural membuat mereka dipandang rendah. Praktik proselit (orang non-Yahudi yang memeluk agama Yudaisme dan rela disunat, bdk. Mat. 23:15) menjadi bukti bahwa hal tersebut cukup umum ditemui waktu itu. Dalam konteks kekristenan, orang-orang non-Yahudi yang sudah percaya kepada Kristus bisa jadi mendapat tekanan/pengaruh dari pihak Yahudi (Kis. 15:1; Gal. 5:1-3, 12). Mereka juga mungkin secara sukarela ingin mencari keabsahan sebagai keturunan spiritual dari Abraham (Rm. 4:9-12; Gal. 3:7-8).


Alasan: Sunat atau Tidak Bersunat Tidak Memiliki Arti Apa pun (ay. 19)
Bagi orang Yahudi sunat merupakan salah satu elemen keagamaan dan kebangsaan yang sangat penting. Sunat merupakan salah satu tanda perjanjian (Kej. 17:9-14) selain Taurat. Sunat bahkan dianggap lebih tinggi daripada Sabat (bdk. Yoh. 7:22). Tidak demikian halnya bagi Paulus. Dengan lantang ia menyatakan bahwa sunat tidak penting (1Kor. 7:19a; lihat juga Gal. 5:6; 6:15; Rm. 2:25–26).

Ketika Paulus mengatakan “sunat tidak penting” (ay. 19a), kita perlu memahami bahwa pernyataan ini tidak berarti bahwa sunat tidak memiliki arti sama sekali. Menjadi orang Yahudi jelas menyiratkan berbagai kelebihan secara historis (Rm. 3:1-2; 9:4-6; bdk. Flp. 3:5a). Maksud Paulus di sini adalah dalam konteks relasi dengan Allah (secara theologis). Baik orang bersunat maupun tidak bersunat adalah sama-sama orang berdosa (Rm. 3:9-20) dan diselamatkan dengan cara yang sama (Rm. 3:21-23). Jika Allah berkenan memanggil orang Yahudi dan Yunani, maka hal itu berarti bahwa sunat atau tidak bersunat bukanlah hal yang menentukan dalam kerohanian. Bahkan kebanggaan etnis justru seringkali menghalangi penerimaan injil. Orang Yahudi menghendaki tanda sehingga melihat salib sebagai batu sandungan, sedangkan orang non-Yahudi menuntut hikmat sehingga memandang salib sebagai kebodohan (1Kor. 1:22-23). Bagi mereka yang dipanggil Allah, baik Yahudi maupun non-Yahudi, salib adalah kuasa dan hikmat Allah (1Kor. 1:24).

Paulus sebenarnya tidak anti terhadap sunat. Ia pernah menyuruh Timotius untuk bersunat sebelum menyertainya dalam perjalanan misi (Kis. 16:2). Tindakan ini sesuai dengan prinsip pelayanan “menjadi semua orang bagi semua orang supaya injil diterima” (1Kor. 9:19-23). Dalam konteks relasi horizontal di lingkungan orang Yahudi, sunat jelas memegang peranan penting, tetapi dalam relasi vertikal hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Demikian pula tidak bersunat juga tidak akan mengurangi atau menambah kualitas relasi vertikal yang ada. Yang paling penting adalah menaati hukum-hukum Allah (ay. 19b). Kata jamak entolh di bagian ini seharusnya diterjemahkan “perintah-perintah”, bukan “hukum-hukum” (kontra LAI). Hukum adalah kumpulan perintah. Pernyataan Paulus pada bagian ini cukup mengagetkan. Sesudah menyatakan bahwa sunat tidak berarti apa-apa, sebagian orang mungkin akan berharap ia melanjutkan “begitu pula dengan hukum/perintah Allah”. Ternyata ia mengatakan sebaliknya!

Apakah ungkapan “perintah-perintah Allah” di sini merujuk pada Hukum Taurat? Tentu saja tidak. Kata yang biasa dipakai untuk “Hukum Taurat” adalah nomos (9:8, 20, 21; 15:56), bukan entolh. Ungkapan ini juga tidak bisa ditafsirkan aspek hukum moral dalam Taurat. Pembedaan Taurat menjadi hukum moral, sipil dan seremonial tidak sesuai dengan Alkitab (Musa tidak pernah membeda-bedakan) dan tidak konsisten (beberapa perintah mencakup dua aspek atau lebih). Kita sebaiknya memahami “perintah-perintah Allah” di sini secara luas, yaitu semua kehendak Allah yang harus dilakukan oleh orang percaya. Kumpulan perintah Allah ini bukanlah Hukum Taurat, tetapi hukum yang sempurna (Yak. 1:25) dan memerdekakan (Yak. 2:12).

Ketika Paulus menegaskan bahwa ketaatan pada perintah Allah merupakan sesuatu yang penting, ia sebenarnya sedang menyindir jemaat Korintus yang mengukur kerohanian berdasarkan pengalaman mistis tertentu bersama Roh Kudus atau kepemilikan karunia rohani tertentu. Dua hal ini kadangkala menyeret seseorang jauh dari kebenaran firman Tuhan. Bagi Paulus, kriteria kerohanian yang sejati adalah ketaatan, bukan pengetahuan, pengalaman maupun karunia rohani (bdk. 1Kor. 13). #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Juni 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2017-19.pdf

No comments: