17 November 2008

Roma 11:28-32: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-20: Konsep Keselamatan dan Anugerah-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-18


“Israel” Sejati atau Palsu-20 (Penutup) :
Konsep Keselamatan dan Anugerah-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:28-32



Setelah menjelaskan tentang anugerah Allah bagi orang non-Yahudi dan nasihat Paulus agar mereka tidak berbangga diri di ayat 19 s/d 24, maka ia membukakan pengajaran tentang rahasia mengapa mereka tidak boleh berbangga diri mulai ayat 25. Alasan kedua terletak pada ayat 28-32.

Di ayat 28, Paulus mengatakan, “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” Kata “seteru” identik dengan musuh (enemies). Dengan kata lain, di dalam Injil, orang-orang Yahudi yang tidak dipilih Allah adalah seteru Allah oleh karena orang-orang non-Yahudi, tetapi mengenai pilihan, orang-orang Yahudi termasuk kekasih Allah oleh karena nenek moyang mereka. Di sini unik, Paulus mengemukakan dua standar yaitu Injil dan pilihan. Injil mengakibatkan orang-orang Yahudi yang tidak dipilih menjadi musuh Allah karena orang-orang non-Yahudi. Mengapa orang-orang Yahudi yang tidak dipilih ini disebut musuh Allah? Karena mereka menolak Kristus. Tuhan Yesus sendiri di dalam Injil Lukas 10:16 berfirman, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku."” Kristus berani berfirman bahwa barangsiapa yang menolak Dia berarti menolak Bapa yang mengutus-Nya. Di sini ada kaitan antara Allah Bapa dan Allah Anak. Mengapa mereka menolak Tuhan Yesus Kristus, padahal mereka menantikan-nantikan datangnya Mesias atau Kristus itu? Mereka menolak Tuhan Yesus sebagai Kristus karena Kristus yang hadir di hadapan mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka yang menginginkan Kristus bertakhta di Israel mengalahkan semua bangsa lain. Kristus membongkar semua kebusukan orang Yahudi yang tidak terpilih bahwa mereka tidak datang dari Allah. Di dalam Yohanes 8:37-59, Kristus membongkar kebusukan orang Yahudi tersebut dengan menuding mereka sebenarnya tidak berasal dari Allah, karena mereka tidak datang kepada Kristus (bdk. ay. 43-44, 47). Orang yang tidak datang kepada Kristus dan bahkan menentang-Nya, itulah tanda orang itu sebenarnya tidak berasal dari Allah, lebih tepatnya disebut antikristus (bdk. 1Yoh. 4:1-3). Ketidakpercayaan Israel mengakibatkan bangsa-bangsa non-Yahudi mendapat anugerah keselamatan. Di dalam bangsa pilihan (Israel) saja, ada yang tidak datang kepada Kristus, apalagi di dalam orang Kristen. Jangan mengira bahwa semua orang Kristen pasti beriman kepada dan di dalam Kristus. Secara fenomenal, mereka mungkin menyanyikan pujian kepada Kristus, tetapi jauh di dalam hati mereka, merekalah yang ingin dipuji. Apa bedanya orang Kristen sejati yang beriman kepada Kristus dengan yang tidak? Orang Kristen yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus adalah mereka yang meletakkan iman dan hidupnya total hanya kepada dan di dalam Kristus sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup mereka. Sebaliknya, mereka yang secara esensi tidak pernah menTuhankan Kristus, mereka dapat disebut musuh Allah, meskipun secara aktivitas, mereka aktif melayani di gereja. Marilah kita menguji hati kita masing-masing? Sejauh mana Kristus bertakhta di dalam hidup kita? Apakah Kristus hanya menjadi objek rasio dan analisa theologi kita ataukah Kristus sungguh-sungguh kita rasakan dan benar-benar bertakhta di dalam hati dan seluruh keberadaan hidup kita? Jangan kira semua orang Kristen pasti selamat. Tuhan berkenan memakai orang-orang non-Kristen untuk diselamatkan ketika mereka kembali kepada Kristus melalui Roh Kudus. Kesemuanya ini membuktikan bahwa keselamatan itu merupakan anugerah Allah, bukan kehendak bebas manusia.
Kedua, mengenai pilihan, mereka adalah kekasih Allah karena nenek moyang mereka. Siapakah “mereka”? Mereka di sini saya tafsirkan sebagai orang-orang Yahudi yang dipilih Allah. Mengapa? Karena ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membedakan dua macam orang: Israel secara jasmani vs Israel secara rohani. Israel secara jasmani telah dibahas dan disimpulkan bahwa mereka yang secara jasmani umat pilihan sebenarnya bukan umat pilihan secara pribadi, tetapi ada beberapa dari mereka yang dipilih (Israel rohani: Israel yang dipilih dan beberapa orang dari bangsa-bangsa non-Israel yang dipilih). Mereka yang TIDAK terpilih disebutkan di bagian pertama tadi, yaitu mereka adalah musuh Allah. Sedangkan mereka yang dipilih Allah inilah yang dimaksudkan Paulus bahwa mereka dipilih dan menjadi kekasih Allah karena nenek moyang mereka. Karena Allah telah mengadakan kovenan dengan Abraham, maka Ia yang adalah Allah yang Setia pasti memelihara kovenan-Nya pada umat Israel sejati secara rohani, sehingga Ia akan menuntun mereka kepada Injil Kristus. Ingatlah! Kita yang termasuk orang Kristen di Indonesia juga diselamatkan karena pemeliharaan kovenan Allah melalui Abraham dan Kristus, sehingga kita yang termasuk orang-orang non-Yahudi juga dimasukkan ke dalam umat pilihan Allah. Karena itulah, kita dapat disebut kekasih Allah atau orang yang dikasihi Allah. Disebut “kekasih” berarti kita itu dikasihi Allah, menjadi anak-anak-Nya yang meskipun memiliki hak, tetapi juga menerima disiplin dari Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Jangan pernah membayangkan bahwa ketika kita disebut “kekasih,” kita bisa berbuat apa saja, lalu mengklaim Allah. Itu ajaran tidak bertanggungjawab! Menjadi “kekasih” Allah, selain mendapat hak sebagai anak-anak Allah, kita juga harus menerima disiplin dari Allah dan menunaikan kewajiban kita sebagai anak-anak-Nya. Di dalam Wahyu 3:19, Allah justru berfirman bahwa tanda Allah mengasihi umat-Nya adalah dengan menegor dan menghajar mereka, oleh karena itu, marilah kita dengan rendah hati belajar dan bertobat jika ditegur dan dihajar-Nya. Di Roma 12:1-2 juga dijelaskan aplikasi praktis tentang kewajiban anak-anak Allah sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang sudah diajarkan Paulus dari pasal 1 s/d 11. Ini semua membuktikan bahwa menjadi “kekasih” Allah, bukan berarti kita menjadi manja, tetapi justru menjadi “kekasih” Allah berarti kita menjadi anak-anak Tuhan yang dewasa. Sudahkah kita layak disebut kekasih Allah? Marilah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Karena Allah berkenan memilih dan memanggil siapa pun, maka tidak ada kata “salah” dalam rencana Allah termasuk dalam pemilihan orang-orang Israel maupun non-Israel. Dengan dasar bahwa Allah itu tidak berubah di dalam rencana-Nya, maka di ayat 29, Paulus mengatakan, “Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.” Dalam bahasa Yunani, kata “tidak menyesali” identik dengan tidak menarik kembali (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 861). Artinya, rencana-Nya di dalam memanggil dan memilih beberapa orang tidak pernah gagal. Ia adalah Allah yang setia, maka Ia memelihara setiap kovenan yang telah Dia tetapkan. Karena Allah itu setia dan tidak berubah, maka kita dapat mengamini setiap kovenan yang Dia berikan kepada kita. Tetapi seolah-olah kita melihat bahwa Allah mengubah rencana-Nya dari memilih Israel akhirnya memilih bangsa non-Israel, benarkah demikian? TIDAK. Dari awal, Allah memilih Israel bukan secara bangsa, tetapi secara individu. Kovenan Allah pada Abraham diteruskan kepada keturunan-keturunannya asalkan mereka beriman seperti Abraham kepada Allah Yahweh. Meskipun banyak orang Israel yang termasuk keturunan Abraham, mereka tidak semua disebut umat pilihan, karena mereka tidak semua beriman kepada Allah dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya secara lahiriah. Di dalam Perjanjian Baru, hal ini makin dibukakan sejak Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa bapak orang Israel yang tidak dipilih adalah Iblis, lalu disambung dengan pengajaran Paulus di Surat Roma dan Galatia (bdk. Gal. 2:15-3:14). Di sini, kita melihat kekonsistenan Allah di dalam menyatakan kehendak dan rencana-Nya. Dari dahulu, Ia mengadakan kovenan kepada Abraham dan keturunan-keturunannya yang percaya kepada-Nya (individual), lalu Ia melanjutkan kovenan-Nya dengan membawa orang-orang pilihan-Nya untuk datang kepada Kristus dan diselamatkan melalui penebusan Kristus. Secara tidak langsung, ayat ini menyerang pandangan sesat dari Open-Theism yang mengajar bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya. Jika Allah dapat mengubah rencana-Nya, berarti Ia plin-plan, dan jika Ia plin-plan, masihkah Dia layak disebut Allah yang tidak berubah? Padahal, Alkitab berkali-kali dari PL sampai dengan PB mengajar bahwa Allah itu tidak berubah dan tidak ada rencana-Nya yang gagal (Ayb. 42:2; Ibr. 13:8). Kita bersyukur beriman kepada Allah yang setia dan tidak berubah ini di tengah kondisi dunia postmodern ini yang selalu berubah.

Allah yang tidak menarik kembali anugerah dan panggilan-Nya adalah Allah yang menyatakan anugerah-Nya kepada manusia dengan bebas dan tanpa syarat. Ini dijelaskan Paulus di ayat 30-31, “Sebab sama seperti kamu dahulu tidak taat kepada Allah, tetapi sekarang beroleh kemurahan oleh ketidaktaatan mereka, demikian juga mereka sekarang tidak taat, supaya oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga akan beroleh kemurahan.” Kedua ayat ini merupakan pengulangan Paulus di ayat 11-12 dengan perspektif agak berbeda. Jika di ayat 11-12, Paulus mengingatkan orang-orang non-Yahudi agar mereka tidak sombong, maka di ayat 30-31, Paulus mengaitkan tegurannya dengan anugerah Allah yang tidak berubah (bdk. ay. 29 di atasnya). Karena adanya anugerah Allah yang tidak dapat ditarik kembali, maka sebagai orang yang termasuk umat pilihan-Nya baik orang Yahudi maupun non-Yahudi, mereka sudah seharusnya bersyukur. Kita pun demikian. Dahulu kita adalah seteru Allah, tetapi karena anugerah Allah di dalam Kristus, kita dimampukan untuk datang kepada Kristus, taat kepada-Nya, dan hidup bagi-Nya. Sungguh suatu anugerah Allah jika kita yang dahulu tidak taat, lalu menjadi taat. Inilah mukjizat yang sesungguhnya secara esensial.

Untuk menjelaskan lebih tajam lagi tentang anugerah dan kemurahan Allah, Paulus mengemukakan hal ini di ayat 32, “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua.” Anugerah dan kemurahan Allah ditunjukkan-Nya dengan membuat manusia sadar bahwa mereka itu tidak ada apa-apanya tanpa-Nya. Cara membuat mereka sadar adalah dengan mengurung mereka di dalam ketidaktaatan. Kata “mengurung” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan “menahan” (ibid., hlm. 861). Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikan ayat ini, “Sebab Allah sudah membiarkan seluruh umat manusia dikuasai ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan belas kasihan-Nya kepada mereka semuanya.” Artinya, cara membuat sadar manusia akan keterbatasan dan kelemahan mereka adalah dengan menunjukkan bahwa mereka itu adalah hamba dosa dan dosalah (=ketidaktaatan) yang memerintah hidup mereka. Jika mereka adalah hamba dosa, mustahil mereka bisa keluar dari jeratan dosa dengan sendirinya tanpa anugerah Allah berlaku bagi umat pilihan-Nya yang menarik mereka keluar dari kegelapan menuju kepada terang-Nya yang ajaib di dalam Kristus. Di sini, kita kembali melihat pengajaran Paulus yang Theosentris yang memusatkan segala sesuatunya pada anugerah Allah yang mahadahsyat. Jika bukan karena anugerah Allah, usaha manusia itu nihil. Bagaimana dengan kita? Seberapa dalam dan jelas kita memahami anugerah Allah yang mahadahsyat itu? Anugerah Allah seharusnya BUKAN menjadi teori yang berkutat di dalam rasio kita saja, tetapi kita implementasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Anugerah Allah memungkinkan kita di dalam menjalankan mandat dari Allah selalu bergantung pada anugerah-Nya dan tidak memegahkan diri. Ketika kita terus bergantung pada anugerah-Nya, di saat itulah, kita mendapatkan kemurahan-Nya. Luar biasa. Kemurahan Allah dapat kita rasakan terus pada saat kita terus bergantung pada anugerah-Nya. Sudahkah kita bergantung pada anugerah-Nya sekarang?

Dari perenungan kelima ayat ini, kita disadarkan kembali akan pentingnya konsep anugerah Allah. Inti berita Alkitab bukan pada rumitnya doktrin, tetapi hanya satu, yaitu anugerah Allah yang dikaitkan dengan kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat adalah Allah yang memberikan anugerah, dan Allah yang memberikan anugerah adalah Ia yang berdaulat memberi anugerah keselamatan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan. Sungguh suatu anugerah yang mahadahsyat jika kita boleh mengerti konsep agung ini, lalu kita implementasikan dengan cara kita memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang belum percaya. Maukah kita berkomitmen menjalankan mandat Injil ini? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: