15 September 2008

Roma 10:16-17: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-12: Percaya atau "Percaya"?-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-11


“Israel” Sejati atau Palsu-12: Percaya atau “Percaya”-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 10:16-17


Setelah mempelajari pengajaran Paulus tentang arti percaya kepada Kristus di bagian 2 di ayat 12 s/d 15, maka kita akan menelurusi pengajaran Paulus tentang realita percaya sejati vs “percaya” di ayat 16 s/d 21.

Ayat 4 s/d 15 merupakan pengajaran Paulus yang mendalam tentang apa arti percaya di dalam Kristus dan hal-hal yang terkandung di dalamnya, yang meliputi: sentralitas Kristus, percaya di dalam hati dan pengakuan mulut (kredo), kebangkitan Kristus, universalitas iman, dan pentingnya pengutusan penginjilan untuk membuat orang lain dapat percaya. Tetapi apakah masalah percaya begitu sederhana? TIDAK! Apakah setelah diutus orang-orang yang memberitakan Injil, orang-orang yang diinjili pasti menerima? TIDAK! Realita ini disingkapkan oleh Paulus di ayat 16, “Tetapi tidak semua orang telah menerima kabar baik itu. Yesaya sendiri berkata: "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?"” Ya, realita yang terjadi adalah tidak semua orang telah menerima Injil itu. Kata “menerima” dalam terjemahan LAI kurang tepat. Mayoritas Alkitab terjemahan Inggris menggunakan kata obey yang berarti mematuhi. Dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai adalah hupakouō berarti subordinate (=menundukkan diri/menempatkan ke bawah) yaitu listen attentively (mendengar dengan penuh perhatian). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya sebagai mendengarkan (hlm. 855). Dan kata ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk kata kerja aktif. Dengan kata lain, meskipun Injil telah diberitakan, ternyata TIDAK semua orang mau mendengarkan dengan seksama Injil tersebut. Mengapa mereka tidak mau mendengarkan Injil? Apakah mereka memang tidak mau mendengar atau alasan lain? Di dalam perspektif theologi Reformed, orang yang tidak mau mendengar Injil bukan karena ia memutuskan sendiri untuk tidak mau, tetapi karena Tuhan telah menolak dan menetapkannya sebagai umat tertolak (reprobat), sehingga Ia membiarkan mereka dengan kehendaknya sendiri menolak Injil. Mengapa saya bisa sampai kepada kesimpulan demikian? Mari kita simak ayat 16b, “Yesaya sendiri berkata: "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?"” Ayat ini diambil dari Yesaya 53:1 yang berada di dalam konteks tentang nubuat Kristus di dalam Perjanjian Lama. Mari kita simak secara tuntas konteks ini. Yesaya 53:1-4, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.” Yesaya memberi penjelasan mengapa bangsa Israel tidak mau mendengar peringatan Yesaya, yaitu karena mereka tidak melihat urgensi perintah Allah di dalam mulut Nabi Yesaya dan esensi, tetapi lebih melihat fenomena. Tidak heran, ketika mereka kelak melihat Kristus yang hina, lemah, dll (nubuat Yesaya 53:2-3), mereka menolak-Nya karena di dalam pikiran mereka, Mesias datang untuk membinasakan bangsa-bangsa yang menjajah Israel dan mendirikan Kerajaan bagi Israel (bahkan para rasul Kristus sendiri pun masih beranggapan demikian menjelang Tuhan Yesus naik ke Surga). Tentu saja mereka tidak akan percaya pada Injil Kristus, karena Kristus sendiri yang mereka lihat tidak seperti di bayangan mereka. Bagaimana dengan kita? Mungkin kita sudah memberitakan Injil kepada orang lain, tetapi belum ada respon. Firman Tuhan menguatkan kita agar tidak kecewa. Mereka yang tidak mendengar dan menerima Injil mungkin belum saatnya, mungkin Tuhan memberikan waktu lain agar dia mau menerima Kristus, tetapi mungkin juga Tuhan sengaja membiarkan mereka tidak mau menerima Kristus, karena mereka memang sudah ditetapkan Allah untuk dibinasakan. Bukan hanya untuk orang-orang yang diinjili, kita pun sebagai orang Kristen harus mengintrospeksi diri, sudahkah kita benar-benar menjadi orang Kristen sejati? Banyak orang Kristen di era postmodern mengimplikasikan dengan jelas apa yang sudah orang-orang Yahudi telah lakukan di zaman Tuhan Yesus. Apa maksudnya? Kalau dulu orang-orang Yahudi menyalibkan Tuhan Yesus karena Tuhan Yesus tidak cocok dengan ambisi mereka yang hendak menjadikan Mesias sebagai Raja yang membasmi bangsa-bangsa lain, maka banyak orang Kristen di abad postmodern yang diracuni oleh banyak theologi Karismatik/Pentakosta hendak “menyalibkan” Tuhan Yesus yang kedua kalinya dengan mengajarkan dan “beriman” bahwa Tuhan Yesus itu pasti memberkati umat-Nya, anak-anak Raja pasti kaya, sukses, berhasil, karena Tuhan tidak menginginkan anak-anak-Nya menjadi miskin, gagal, dll. Mereka memiliki ambisi sosok Tuhan Yesus sebagai Sinterklas yang suka bagi-bagi kado, tetapi jika ternyata secara realita mereka tidak lagi diberkati, mereka akan marah kepada Tuhan dan mengutuki Tuhan. Berapa banyak kasus orang Kristen yang giat melayani Tuhan, tetapi ketika sudah menderita penyakit dan tidak lagi diberkati, mereka marah dan menghujat Tuhan? Tidak sadarkah kita akan hal ini? Sudahkah iman kita benar-benar disandarkan hanya kepada dan di dalam Kristus ataukah kita masih menyandarkan iman kita pada kehendak dan ambisi pribadi kita yang hendak menjadikan Kristus menurut apa yang kita mau? Apakah Kristus menjadi Tuhan dan Raja di dalam hidup kita ataukah Kristus hanya menjadi “Pembantu” kita yang setiap hari kita suruh-suruh dengan dalih “rohani”: “doa semalam suntuk”, dll? Inilah yang membedakan kita, apakah kita sungguh-sungguh percaya di dalam Kristus dengan “percaya” palsu!

Pembeda kedua antara percaya sejati dengan “percaya” palsu dipaparkan Paulus di ayat 17, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Kata “Jadi” dalam LAI atau “maka” (so then = maka/jadi kemudian) dalam terjemahan KJV menandakan bahwa ayat 16 berlanjut ke ayat 17. Untuk membuktikan apakah kita percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh atau tidak adalah dengan standar pengujian kebenaran. Dan standar itu dilakukan dengan mendengar, dan mendengar firman Kristus. Di sini, sangat unik. Ada dua hal yang mau ditekankan Paulus, yaitu:
Pertama, iman timbul dari pendengaran. “Pendengaran” di sini bukan pendengaran sambil lalu, tetapi pendengaran di sini adalah mendengar dengan penuh perhatian. Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible menafsirkan kata “mendengar” sebagai mendengar dengan penuh perhatian (heard attentively). Mengapa Paulus menggunakan kata mendengar? Karena kata ini tidaklah asing bagi budaya orang Yahudi. Di Perjanjian Lama, Ulangan 6:4, Allah berfirman, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Kata “dengarlah” dalam ayat ini bahasa Ibraninya shâma‛ berarti mendengar sambil patuh/menaati. Bukan hanya itu saja, budaya mendengar juga diajarkan oleh Tuhan sendiri supaya orangtua mengajar anak-anak mereka tentang Tuhan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:6-7) Budaya mendengar sudah dibiasakan oleh orangtua Israel sehingga anak-anak Israel dari kecil sudah mendengar Taurat dan belajar Taurat. Hal ini sangat berbeda dengan orangtua di zaman postmodern (tidak sedikit banyak orangtua yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’”) yang selalu mengajar materialisme, utilitarianisme dan atheisme praktis kepada anak-anak mereka, sehingga tidak heran dari kecil, mereka TIDAK mendengar tentang Allah, tetapi tentang uang, asas manfaat, kehebatan diri, dll. Budaya “mendengar” di zaman postmodern yang rusak ini sudah memudar, dan diganti dengan semangat pragmatis. Kalau di zaman PL, Allah memerintahkan orangtua Israel untuk mendengar pengakuan iman sejati dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka bisa mendengar kredo tersebut, sebaliknya di abad postmodern, ilah-ilah palsu buatan manusia menjadi pengganti Allah, sehingga banyak orang postmodern lebih suka mendengarkan sesuatu yang tidak berharga sama sekali ketimbang harus mendengarkan sebuah pengakuan iman. Realita ini dibukakan dengan jelas oleh Paulus sendiri di dalam 2 Timotius 4:3-4, di mana akan datang saatnya orang tidak mau lagi mendengar ajaran sehat, tetapi malahan mendengar sesuatu yang tidak bertanggungjawab (dongeng) dan mempercayainya. Jika demikian, apakah setelah mereka dari kecil telah mendengar Taurat menjamin bahwa mereka pasti percaya kepada Tuhan sungguh-sungguh? TIDAK. Paulus membukakan lebih dalam lagi di bagian kedua.

Kedua, iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus. Kata “Kristus” di dalam bagian ini diterjemahkan God (=Allah) oleh KJV. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya Kristus (seperti terjemahan LAI) dan bahasa Yunaninya Kriston. Iman bukan hanya sekadar mendengar tetapi juga mendengar firman Kristus. John Calvin di dalam tafsirannya terhadap Surat Roma menafsirkan bagian ini yaitu Firman secara urutan mendahului iman, dan iman mengikuti Firman. Lalu, Calvin menjelaskan secara implisit bahwa hal inilah yang kurang dan membedakan orang Kristen dari orang-orang Yahudi, karena orang-orang Yahudi hanya percaya kepada firman Allah, tidak kepada Kristus, sehingga iman sejati bukan hanya timbul dari pendengaran firman Allah, tetapi juga firman Kristus (PL dan PB). Dari otoritas Alkitab inilah, iman kita dibangun dan ditumbuhkan. Sejarah gereja membuktikan hal ini. Seorang bapa gereja Augustinus bertobat bukan karena diinjili atau menerima penglihatan, tetapi karena ia dicerahkan pikirannya Roh Kudus melalui seorang anak yang menyuruhnya secara tidak langsung (anak itu mengatakan, “Ambil, baca”) untuk membaca Alkitab. Dr. Martin Luther, seorang reformator besar menemukan Kebenaran iman Kristen sejati dari Alkitab yaitu manusia dibenarkan hanya melalui iman setelah sekian lama kebenaran ditutupi di dalam gereja sendiri. Iman Luther, Calvin, Beza, dan para tokoh Puritan dibangun dan ditumbuhkan hanya dengan membaca Alkitab melalui pencerahan Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Iman sejati tidak bisa dilepaskan dari Alkitab sebagai Firman Allah. Ketika kita mendasarkan iman kita pada Firman Allah, Alkitab, maka iman kita pasti kuat dan bertumbuh, sedangkan ketika kita mendasarkan iman kita hanya pada asumsi manusia yang mulai meragukan otoritas Firman Allah (meskipun sering tidak disadari), iman kita pasti lama-kelamaan akan rusak, karena iman kita didasarkan pada subjektivitas diri yang berdosa. Di atas dasar apakah iman itu dibangun?

Melalui perenungan dua ayat ini, kiranya kita dibukakan hati dan pikiran kita tentang realita pembeda antara konsep percaya yang sejati dengan konsep “percaya” palsu buatan manusia. Dan selanjutnya, kita dimampukan untuk menyandarkan seluruh kepercayaan kita hanya kepada Allah dan firman-Nya.

No comments: