14 July 2008

Roma 9:9-18: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-3: Pemanggilan, Pemilihan, dan Penolakan Allah

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-3


“Israel” Sejati atau Palsu-3 :
Pemanggilan, Pemilihan, dan Penolakan Allah


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:9-18

Setelah mempelajari tentang perbedaan Israel sejati dengan yang palsu di mana Allah melalui Paulus menyingkapkan realita pembeda ini di dalam ayat 6 s/d 8 saja, maka di ayat 9 s/d 18, kita akan merenungkan lebih dalam lagi tentang pemilihan dan penolakan Allah di dalam proses pemilihan/predestinasi-Nya.

Setelah menjelaskan tentang anak-anak Perjanjian sebagai Israel sejati di ayat 8, maka Paulus menjelaskan tiga prinsip tentang anak-anak Perjanjian ini di dalam ayat 9 s/d 13.
Pertama, ayat 9 berkata, “Sebab firman ini mengandung janji: "Pada waktu seperti inilah Aku akan datang dan Sara akan mempunyai seorang anak laki-laki."” Pernyataan “firman ini mengandung janji” kurang tepat terjemahannya, karena beberapa terjemahan Inggris, misalnya King James Version (KJV) menerjemahkannya, “this is the word of promise”, kemudian American Standard Version (ASV) menerjemahkannya, “a word of promise” yang berarti firman dari janji/Sabda. Bahasa Yunaninya diterjemahkan : (sabda) dari janji (Sutanto, 2003, p. 848) Di sini, jelas terlihat bahwa janji itu yang ditekankan dan firman itu keluar dari janji Allah. Apakah firman yang keluar dari janji Allah ini ? Untuk memahami lebih dalam mengenai hal ini, kita akan mundur sejenak ke Kejadian 18:10. Ada baiknya kita memahami konteks seluruh Kejadian 17 dan 18. Di dalam Kejadian 17, Allah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bapa segala bangsa (ayat 4), lalu Ia mengikat perjanjian dengan Abraham dan keturunannya (ayat 7), kemudian Ia akan memberikan keturunan sebagai realisasi dari berkat Allah ini (ayat 15-16). Tentang janji Allah memberikan anak melalui Sara (sebelumnya Abraham telah memperoleh anak, Ismael dari Hagar—baca Kejadian 16), Abraham pada waktu itu tertawa karena baginya mustahil memiliki anak di usia 100 tahun (Kej. 17:17), lalu ia menawarkan Ismael untuk menerima perjanjian (ayat 18). Tetapi Tuhan TIDAK mengabulkan permintaan Abraham dan tetap menunjuk Ishak sebagai anak perjanjian, sedangkan Ismael tetap diberkati-Nya (ayat 19-21). Setelah itu, Allah kembali mengunjungi Abraham (18:1) dan memberitahukan bahwa Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki (ayat 10). Di sini, kita mempelajari bahwa janji Allah dikonfirmasikan dua kali (tidak berarti harus demikian) untuk menunjukkan bahwa janji Allah itu pasti ditepati dan manusia jangan bermain-main. Kembali, anak-anak Perjanjian di poin pertama menunjuk kepada perjanjian Allah dengan Abraham untuk pertama kalinya. Ketika Allah membuat perjanjian dengan Abraham, seringkali banyak orang mengatakan bahwa perbuatan baik Abrahamlah yang menentukan (Kejadian 17:1). Benarkah demikian ? TIDAK. Sepintas kelihatan benar, tetapi tidaklah demikian, mengapa ? Karena sebelumnya, ketika Allah memanggil Abraham keluar dari Urkasdim di Kejadian 12:1, Allah tidak meminta Abraham dahulu untuk beriman, tetapi panggilan Allah berdasarkan kehendak-Nya sendiri yang berdaulat. Di sini, kita melihat kedaulatan Allah mendahului respon manusia. Inilah prinsip pertama anak-anak Perjanjian, yaitu semua itu karena anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, kita tak mungkin bisa menerima janji-janji Allah. Anugerah-Nya inilah yang memungkinkan kita bisa berbuat baik dan menerima berkat-berkat-Nya kemudian.

Kedua, setelah Abraham mendapatkan janji Allah tentang Ishak, keturunannya, maka keturunannya, yaitu Ishak pun mendapatkan janji Allah melalui salah satu dari kedua anaknya, yaitu melalui Yakub. Pada ayat 10 dan 11, Paulus memberitahu kita tentang hal ini, “Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, --supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya--” Allah yang berdaulat bukan hanya memanggil umat-Nya (dalam hal ini, Abraham), tetapi Ia yang memanggil juga adalah Ia yang telah memilih beberapa orang untuk menjadi umat-Nya. Perhatikan ayat 11, Paulus berkata, “Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, --supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya--” English Standard Version menerjemahkannya, “though they were not yet born and had done nothing either good or bad--in order that God's purpose of election might continue, not because of works but because of his call--” Pemilihan Allah PASTI mendahului respon manusia. Hal ini jelas kelihatan dari tiga hal yang dipaparkan Paulus di ayat 11 ini. Pertama, mereka belum dilahirkan. Allah memilih beberapa manusia pada waktu itu dunia belum dijadikan (Efesus 1:4), tentu otomatis ketika manusia (dalam hal ini, Esau dan Yakub) belum dilahirkan. Berarti, ketika mereka belum dilahirkan, otomatis prinsip kedua yang mengikutinya yaitu mereka tentu tidak bisa melakukan mana yang baik dan jahat. Kata “melakukan” dalam struktur teks Yunaninya menggunakan Aorist Tense dan bentuk aktif. Artinya, Allah memilih beberapa manusia sebelum mereka sanggup secara aktif melakukan sesuatu yang baik dan jahat. Di titik inilah, “theologia” Arminian gagal total. Arminianisme mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat bahwa orang-orang yang dipilih-Nya itu akan bertobat. Jika hal ini benar, maka Arminianisme sedang mengecilkan kedaulatan Allah dan menekankan superioritas manusia yang bahkan mampu menentukan Allah memilih dia atau tidak. Ayat 11 jelas menentang keras doktrin ini, karena anugerah Allah yang berdaulat TIDAK bergantung pada jasa baik manusia apapun. Lalu, prinsip ketiga yang mengikutinya yaitu sebuah kesimpulan Paulus bahwa maksud pemilihan Allah tetap berjalan TANPA bergantung pada perbuatan manusia (terjemahan teks Yunani : perbuatan-perbuatan {yang dituntut Taurat}) apapun. Ini adalah sebuah penegasan ulang dari Paulus bahwa jangan berharap jasa baik manusia mampu bersumbangsih bagi anugerah kedaulatan Allah di dalam pemilihan, tetapi anugerah kedaulatan Allah hanya berada di dalam panggilan-Nya. Setelah Ia telah memilih dan menentukan manusia, Ia pulalah yang memanggil mereka (Roma 8:29-30).

Ketiga, Allah yang memilih manusia bukan hanya memilih beberapa orang saja, tetapi Ia juga berdaulat memilih beberapa orang (predestinasi) dan membuang sisanya (reprobasi). Ini yang disebut Predestinasi Ganda (Double Predestination). Kamus Teologi Katolik dengan tidak bertanggungjawab mengatakan bahwa Predestinasi Ganda ini, “sudah diyakini oleh rahib Gottschalk (804-869) dan dinyatakan sesat dalam sinode di Mainz dan Quiercy.” (Kamus Teologi, 1996, p. 262) Dengan menyatakan Predestinasi Ganda ini sesat, berarti secara langsung menyatakan bahwa ayat 12 s/d 13 adalah sesat, padahal kedua ayat ini adalah ayat ALKITAB. Presuposisi orang yang mengatakan bahwa Predestinasi Ganda ini sesat lebih dilatarbelakangi oleh filsafat humanisme dan relativisme yang atheis, ketimbang presuposisi Alkitab ! Karena orang-orang ini “beriman” bahwa semua agama sama, maka mereka mengajarkan bahwa semua orang pasti selamat dan “dipilih Allah”. Padahal Alkitab melawan keras bidat ini di ayat 12 s/d 13. Di ayat 12 s/d 13, Allah melalui Paulus membukakan mata rohani kita tentang arti predestinasi lebih mendalam lagi, “dikatakan kepada Ribka: "Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda," seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau."” Predestinasi Ganda di dalam kedua ayat ini meliputi dua hal. Pertama, anak sulung (Esau) akan menjadi hamba bagi anak bungsu (Yakub). Hal ini dikutip dari Kejadian 25:23. Sungguh menarik. Konsep manusia selalu menyatakan bahwa anak sulung pasti yang terkenal, dan menjadi tuan dari saudara-saudaranya. Tetapi konsep Allah sangat bertolak belakang dengan konsep manusia berdosa, yaitu justru anak bungsulah yang menjadi tuan dari anak sulung. Ini terjadi hanya pada kasus Esau dan Yakub. Predestinasi Allah TIDAK melihat jasa baik atau sistem urutan kelahiran manusia atau hal-hal fenomenal lainnya, tetapi predestinasi Allah adalah pemilihan yang berdaulat yang jauh melampaui seluruh konsep manusia. Dalam hal ini, Yakub dalam kisahnya di Perjanjian Lama dikisahkan sebagai orang yang tenang, ‘jaga kandang’ (suka tinggal di kemah), dan akhirnya menipu ayahnya Ishak, sedangkan Esau suka berburu, tidak menipu, dll (baca : Kejadian 25:27). Di sini, sangat kelihatan predestinasi Allah bertolak belakang dengan konsep manusia sekaligus melampaui semua konsep manusia. Manusia selalu berpikir bahwa yang kuat, berkuasa adalah anak sulung, sehingga anak sulung yang selalu dimanja, harus dihargai, sedangkan yang lemah itu tidak perlu dihargai. Tetapi konsep Allah sangat berbeda dan melampaui semua konsep manusia. Allah tidak menghina mereka yang lemah, tetapi justru memilih mereka dan membuang mereka yang kuat. Tuhan menginginkan kita menyadari hal ini.
Kedua, ayat 13, “seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau."” Ayat ini dikutip dari Maleakhi 1:2-3. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kita membaca Maleakhi 1:2-5, di situ Allah membukakan kepada kita bahwa Esau (Edom) yang ditolak oleh Allah tidak akan diberkati oleh Allah. Lalu, banyak orang “Kristen” postmodern menghina konsep Predestinasi Ganda ini dengan mengartikan bahwa Allah itu tidak mengasihi manusia, karena Ia tidak menyelamatkan SEMUA manusia. Mereka ingin menjadi “penasehat” Allah yang “berhak” menentukan konsep kasih dan keadilan Allah (dalam hal ini, Paulus sudah mengkritik orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini di ayat 19, tetapi kita akan membahasnya di bagian berikutnya). Mereka sering berkata bahwa predestinasi adalah bukti bahwa Allah itu tidak kasih. Sayangnya, mereka TIDAK mengerti bahwa kasih Allah TIDAK pernah dilepaskan dari kedaulatan, keadilan, kekudusan dan keagungan Allah. Memisahkan atribut-atribut Allah ini secara langsung berarti menggusur Allah dari tahta-Nya dan menempatkan manusia menjadi pemegang tahta di atas Allah. Ya, itulah esensi DOSA sejati, yaitu meleset dari sasaran Allah dan ingin menggantikan Allah dengan superioritas manusia (humanisme atheis). Kembali, Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil yang berdaulat penuh memilih beberapa dari antara manusia dan secara otomatis, menolak sisanya. Tetapi ada perbedaan penerapan antara kedua tindakan ini, yaitu ketika Allah memilih manusia, Ia menyiapkan proses, misalnya dari pemilihan dan penentuan dari semula, pemanggilan, pembenaran dan pemuliaan (Roma 8:29-30), sedangkan ketika Allah secara otomatis membuang sisanya, Ia membiarkan mereka (tidak memimpin mereka kepada dosa). Di sini, ada perbedaan antara Calvinisme/Reformed dengan Hyper-Calvinisme. Calvinisme jelas tidak mengajarkan bahwa Allah sebagai Pencipta dosa, tetapi Ia mengizinkan dan membiarkan dosa, sedangkan Hyper-Calvinisme (mirip Islam) mengajarkan bahwa Allahlah yang menciptakan dosa, sehingga ketika Allah membuang sisa dari pilihan-Nya, Ia memimpin mereka untuk berbuat dosa. Ini bukan ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta dosa, sebaliknya manusia lah yang harus bertanggungjawab terhadap dosa yang diizinkan Allah. Predestinasi Ganda mengakibatkan dua reaksi. Pertama, bagi yang menerima doktrin ini, itu adalah suatu anugerah (bahagia) sekaligus bahaya. Disebut anugerah/bahagia, karena kita sebagai umat pilihan-Nya beriman sekaligus bersyukur bahwa nama kita tercantum di dalam Kitab Kehidupan karena anugerah-Nya membuat kita yang berdosa dan najis ini bisa beriman di dalam Kristus. Disebut bahaya ketika kita yang merasa yakin bahwa kita umat pilihan-Nya tetapi sebenarnya kita tidak pernah dipilih dan menjadi anak-anak-Nya. Kedua,bagi yang menolak doktrin ini, sebenarnya merekalah yang tidak mengerti makna dosa dan anugerah. Seorang bapa gereja mengaitkan prinsip anugerah Allah dengan dosa, di mana orang tidak akan pernah mengerti anugerah Allah, jika ia tidak mengerti makna dosa yang benar. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita merasa yakin bahwa kita adalah umat pilihan-Nya ? Bagaimana kita bisa yakin ? Kalau kita memang adalah umat pilihan-Nya, Roh Kudus yang memberi kesaksian akan hal itu (Roma 8:16), sehingga Roh Kudus yang akan memurnikan dan menyucikan kita di dalam proses kehidupan supaya sesuai dengan gambar dan rupa Kristus (Roma 8:29). Dengan kata lain, di dalam proses penyucian kita, Roh Kudus akan mengingatkan kita ketika kita ingin berbuat dosa. Itu tandanya kita sebagai umat pilihan-Nya. Tetapi ketika Roh Kudus enggan mengingatkan kita, berhati-hatilah, mungkin sekali kita bukan umat pilihan-Nya. Jangan pernah berbangga hati akan hal tersebut! Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Jangan pernah mengeraskan hati kita ketika Roh Kudus menegur kita.

Lalu, setelah menjelaskan predestinasi ganda, banyak orang “Kristen” dan orang dunia mulai protes dengan mengajukan argumentasi bahwa predestinasi ganda itu tidak adil. Tetapi benarkah demikian ? Terhadap pernyataan konyol itu, Allah melalui Paulus, yang pasti sudah mengetahui akan timbul pernyataan konyol itu, menjawab, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil!” Pernyataan “Apakah Allah tidak adil” dalam terjemahan bahasa Yunani adalah “Apakah (ada) perbuatan yang tidak adil pada Allah?” (Sutanto, 2003, p. 849) Di sini, Paulus dengan jelas melihat esensi masalah predestinasi ganda bukan pada logika kasih, tetapi pada logika Allah. Postmodern yang mempengaruhi relativisme dan pluralisme mengakibatkan orang-orang yang dipengaruhi filsafat ini menitikberatkan tentang “kasih” yang tidak berkaitan dengan keadilan, kekudusan, dll, sehingga tidak heran muncul ‘etika situasi’. Akibatnya, ketika suatu iman/doktrin dari Alkitab mengajar sesuatu yang melawan filsafat mereka, misalnya tentang predestinasi ganda ini, di titik pertama, mereka secara tidak sadar menyerang diri Allah. Benarkah predestinasi ganda membuktikan bahwa Allah itu tidak adil ? Terjemahan Indonesia mengartikan “Mustahil!” New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Not at all !” (=sama sekali tidak). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Of course not !” (=tentu tidak). American Standard Version (ASV), King James Version (KJV) dan Geneva Bible menerjemahkan, “God forbid.” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “By no means!” (=sama sekali tidak). Terjemahan dari teks Yunani adalah “sekali-kali tidak.” (Sutanto, 2003, p. 849) Perbedaan terjemahan ini tidak menunjukkan adanya kontradiksi yang terpecah, tetapi memperkaya pengertian kita bahwa predestinasi ganda tidak mengakibatkan Allah menjadi tidak adil, mengapa ? Karena konsep keadilan Allah TIDAK bisa dilepaskan dari kasih, kekudusan, dan keagungan-Nya. Ketika Alkitab mengatakan, “Mustahil!” di dalam ayat ini, lebih berbijaksana bagi seorang anak Tuhan sejati untuk TIDAK mencari tahu apa alasan Allah melakukan predestinasi-Nya itu, karena Ia tidak membukakannya kepada kita. Dengan kata lain, umat Tuhan sejati diminta untuk DIAM dan beriman akan sesuatu yang sengaja Tuhan tidak singkapkan bagi kita. Ingat prinsip : Ulangan 29:29.

Mengapa predestinasi ganda justru TIDAK menunjukkan ketidakadilan Allah ? Karena keadilan Allah dikaitkan dengan kedaulatan dan kasih-Nya. Hal ini tampak pada ayat selanjutnya, ayat 15, “Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati."” Konsep ini diambil dari Keluaran 33:19 di mana Allah memimpin Musa melewati padang gurun. Dari ayat ini, kita belajar dua hal.
Pertama, keadilan Allah tidak bisa dilepaskan dari kasih dan kesucian-Nya. Di dalam kedaulatan-Nya, Ia memilih beberapa manusia bukan berdasarkan perbuatan baik manusia, tetapi murni karena kasih-Nya. Di dalam Efesus 1:5, Paulus mengajarkan, “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” Allah memilih dan menentukan kita di dalam Kristus dalam KASIH. Kedua, Allah memiih dan menentukan kita menurut kerelaan kehendak-Nya. ASV dan KJV menerjemahkan “sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” dengan “according to the good pleasure of his will.” (=menurut kesenangan kehendak-Nya yang baik). Ketika Allah memilih dan menentukan beberapa orang berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya, respon umat Tuhan yang benar adalah bersyukur bahwa kita termasuk salah satu umat yang diselamatkan-Nya, bukan sebaliknya, bertanya dan memprotes kepada Tuhan mengapa Ia tak menyelamatkan istri atau rekannya juga. Memprotes Tuhan menandakan bahwa Tuhan membutuhkan kita menjadi “penasehat”-Nya, dan pada saat yang sama, orang itu sedang menghina Tuhan meskipun mengaku diri “Kristen”.
Kedua, keadilan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan-Nya. Allah yang Mahaadil bukan hanya Mahakasih, tetapi juga Berdaulat penuh. Apa itu kedaulatan Allah ? Di dalam artikel saya yang lain, saya sudah menguraikan 7 prinsip kedaulatan Allah, salah satunya adalah Allah yang berdaulat adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri dan tidak bergantung pada yang lain. Pdt. Dr. Stephen Tong mengartikannya sebagai : self-existence, self-eternal and self-dependency of God (=Allah yang berada pada diri-Nya sendiri, Allah yang kekal pada diri-Nya sendiri dan Allah yang bergantung pada diri-Nya sendiri). Ketidakbergantungan Allah pada yang lain menunjukkan kekekalan Allah dan kedaulatan-Nya. Dengan demikian, ketika Allah menyatakan kemurahan dan belas kasihan-Nya kepada beberapa orang, itu adalah hak mutlak Allah yang TIDAK boleh diprotes oleh manusia paling pandai sekalipun, karena Ia tidak pernah mengangkat manusia menjadi ‘penasehat’-Nya. Meskipun umat pilihan-Nya tidak bisa mengerti total mengapa Allah memilih beberapa manusia dan menolak sisanya, kita harus tetap DIAM dan menunggu jawaban-Nya di dalam kekekalan nantinya.
Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sibuk menekankan keadilan Allah, lalu melupakan kasih, kekudusan dan terutama kedaulatan Allah ? Ataukah kita sebaliknya, sibuk menekankan “kasih”, dan mengabaikan kedaulatan, keadilan dan kesucian-Nya ? Hari ini, kita perlu bertobat dari pemisahan “atribut-atribut” Allah ini.

Lalu, sebagai kesimpulan, Paulus mengulang kembali di ayat 16, “Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah.” Ayat ini menyadarkan kita kembali bahwa keselamatan kita bukan berdasarkan kehebatan kita, tetapi murni karena anugerah dan belas kasihan Allah. Ketika kita dipilih Allah pun, itu anugerah, karena anugerah-Nya tiba pada kita, dan bukan pada rekan atau saudara kita yang mungkin kelihatan lebih “baik” dari kita. Tetapi hal ini tetap mendorong kita semakin berbuat baik untuk memuliakan Allah.

Paulus memberikan contoh konkrit kedaulatan dan kasih-Nya di dalam predestinasi yaitu Firaun. Di ayat 17, Paulus mengatakan, “Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi."” Hal ini diambil dari Keluaran 9:16. Kalau kita melihat kedaulatan Allah di dalam 10 tulah bagi Mesir, kita melihat reaksi Firaun ada di dalam kedaulatan-Nya. Terhadap tulah pertama, Alkitab mencatat bahwa Firaun berkeras hati (Keluaran 7:22-23), lalu terhadap tulah kedua, reaksi Firaun sama (Keluaran 8:15), demikian juga reaksi terhadap tulah ketiga (Keluaran 8:19), juga terhadap tulah keempat (Keluaran 8:32) dan terakhir reaksi terhadap tulah kelima (Keluaran 9:7). Sebagai reaksi terhadap tulah keenam, Alkitab mencatat bahwa Tuhan lah yang mengeraskan hati Firaun (Keluaran 9:12). Hal yang sama juga terjadi pada reaksi terhadap tulah kedelapan sampai dengan tulah kesepuluh, di mana Tuhan mengeraskan hati Firaun (Keluaran 10:20, 27 ; 11:10). Dengan kata lain, enam kali Alkitab mencatat bahwa Firaun mengeraskan hati, dan empat kali Alkitab mencatat bahwa Allah lah yang mengeraskan hati Firaun. Apa artinya ? Ketika Alkitab mencatat bahwa Allah mengeraskan hati Firaun TIDAK berarti Ia memimpin Firaun untuk melawan umat Allah, tetapi Ia melepaskan tangan kasih-Nya dari Firaun, sehingga atas kehendaknya sendiri, ia berdosa dan ia harus bertanggungjawab untuk itu (mengutip perkataan seorang rekan Reformed saya, Sdr. Cahaya Desyanta). Di sinilah, adanya peranan yang seimbang yang diajarkan oleh theologia Reformed/Calvinisme antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Semua tindakan Allah adalah ditujukan untuk memuliakan diri-Nya sendiri yang memang patut untuk dimuliakan selama-lamanya (Roma 11:36). Predestinasi Ganda bukan ajaran sesat, tetapi ajaran Alkitab, karena itu diajarkan oleh Allah sendiri untuk kemuliaan Allah sendiri. Adalah tidak benar jika ada yang mengajarkan Predestinasi Tunggal yang hanya menerima pengajaran bahwa Allah memilih beberapa orang saja. Apalagi yang paling sesat adalah mereka yang mengajarkan bahwa semua orang dipilih dan diselamatkan oleh Allah.

Di dalam ayat 18, contoh Firaun ini akhirnya ditutup dengan kesimpulan yang sama dengan ayat 15, “Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya.” Kembali, kata “dikehendaki-Nya” muncul dua kali di dalam ayat ini, menunjukkan segala sesuatu terjadi menurut kehendak-Nya. Mengapa demikian ? Bukankah zaman postmodern lebih suka meneriakkan kehendak manusia, hak asasi manusia, dll dan meniadakan kehendak dan keinginan Allah ? Mengapa kita perlu mempercayai kehendak Allah, sedangkan orang-orang di sekitar kita lebih mempercayai kehendak pribadi ? Karena kehendak Allah adalah kehendak dari Pribadi yang Kekal, Sempurna, Mahakudus, Mahaadil, Mahakasih dan berdaulat penuh, sehingga kehendak-Nya TIDAK mungkin berubah seperti kehendak manusia yang sementara, terbatas, dan berdosa. Adalah suatu kekonyolan jika manusia mengagungkan kehendaknya sendiri yang lemah, terbatas, sementara, dan juga berdosa. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen sudah mensinkronkan kehendak kita supaya sesuai dengan kehendak Allah yang berdaulat dan kekal ? Ataukah kita masih mengagungkan keinginan kita sendiri ? Sudah seharusnya umat pilihan Allah menyadari hal ini dan menyerahkan totalitas hidup kita pada kehendak Allah yang berdaulat, karena Ia adalah Pencipta, Pemelihara, Penebus dan Penyempurna hidup dan keselamatan kita.
Hal kedua yang bisa kita pelajari di dalam hal ini berkaitan dengan penginjilan. Di dalam penginjilan, banyak orang Kristen seolah-olah membuat Injil menjadi murah dengan cara terus-menerus mengabarkan Injil kepada orang-orang yang sudah menolak Injil di titik pertama. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Ia berdaulat menyatakan belas kasihan-Nya kepada orang-orang tertentu, dan berdaulat pula mengeraskan hati orang-orang yang tidak dipilih-Nya. Dengan kata lain, penginjilan sejati berkaitan dengan predestinasi Allah. Kita harus peka, ketika orang-orang yang kita injili tidak menerima Injil pada kesempatan pertama, hendaklah kita tidak perlu berulang kali mendatanginya dengan memberitakan Injil. Kita mungkin perlu menunggu waktu yang agak lama lalu kita boleh mendatanginya lagi untuk memberitakan Injil. Tetapi jika sampai 5-10 kali, orang itu tidak mau menerima Injil juga, kita TIDAK perlu melunakkan makna Injil, sebaliknya yang kita perlu lakukan : tinggalkan orang itu, karena mungkin sekali orang itu bukan umat pilihan-Nya. Langkah selanjutnya, kita mencari orang-orang lain yang dapat kita injili. Jangan membuang waktu kita memberitakan Injil hanya untuk orang tertentu, dunia kita membutuhkan Injil, sehingga wilayah penginjilan kita masih sangat luas dan banyak, jangan pernah kuatir kita akan kekurangan orang untuk diinjili.

Sesudah merenungkan kesepuluh ayat ini, apakah kita hari ini berkomitmen untuk menyerahkan hidup dan hati kita kepeda hidup dan kehendak-Nya sehingga kita setiap hari ingin mencintai dan melakukan apa yang Tuhan cintai dan membenci apa yang Tuhan benci ? Kiranya Tuhan memimpin dan menguatkan iman dan hati kita dalam menjalankan kehendak-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: