13 May 2008

Matius 9:35-38: THE HEART OF THE KINGDOM

Ringkasan Khotbah : 4 September 2005

The Heart of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:35-38


Puji Tuhan, kita telah memahami secara keseluruhan implikasi Kerajaan Sorga yang dipaparkan oleh Sang Raja, yaitu Kristus Tuhan dengan demikian sebagai warga Kerajaan Sorga kita tahu bagaimana seharusnya hidup di tengah-tengah dunia yang kacau ini dan memancarkan terang Kristus dan kini kita sampai pada bagian penutup yang merupakan misi Kerajaan Sorga. Ketika kita hidup sebagai warga Kerajaan Sorga, sebagai seorang Kristen sejati maka hal itu bukan sekedar menjadi sebuah visi atau panggilan dan menjadikan kita egois, yakni seluruh anugerah Tuhan untuk diri sendiri. Memang tidak salah kalau kita mempunyai tekad untuk hidup menjadi anak Tuhan yang sejati, bertumbuh dalam iman dan hidup memuliakan Tuhan akan tetapi kalau orientasi hidup kita berhenti hanya pada diri maka itu menjadi kefatalan dalam hidup kita sebab seluruh pelayanan dan keberadaan hidup tersebut merupakan implikasi dari egoisme, yakni pencarian aktualisasi diri yang berorientasi pada diri.
Kristus tidak mengajar kita hidup egois, hidup hanya berorientasi pada diri sendiri. Tidak! Kristus Sang Raja pemilik alam semesta telah memberikan teladan indah pada kita, Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, Dia selalu mempedulikan orang-orang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka tidaklah heran kalau kemudian orang mengakui ajaran Tuhan Yesus yang kita kenal sebagai khotbah di bukit sebagai the golden rule atau hukum emas sebab di dalamnya etika hukum Kerajaan Sorga, the highest ethics, somo bo num yang tidak ada dalam seluruh pemikiran atau filsafat dunia diajarkan oleh Kristus Tuhan. Dan sebagai puncak dari hukum Kerajaan Sorga adalah: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka (Mat. 7:12).
Ajaran Socrates yang mewakili filsafat barat dan ajaran Manxius yang mewakili filsafat timur mengajarkan hukum yang kalau sepintas bunyinya hampir sama, yakni: apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu maka jangan lakukan hal itu pada orang lain. Hati-hati, kalau kita tidak pahami maka kita akan menganggapnya sama tapi ajaran filsafat dunia ini banyak kelemahannya, ajaran dunia tersebut bersifat negatif maka akibatnya orang menjadi pasif. Dengan kata lain, ajaran ini mengajarkan kalau kita tidak melakukan hal-hal negatif, seperti tidak membunuh, tidak berzinah, tidak menyakiti atau tidak merugikan orang lain atau tidak melakukan hal negatif yang lain berarti diri sudah “benar.“ Namun perhatikan, ketika ia tidak melakukan hal-hal yang negatif atau hal-hal negatif lain yang dapat merugikan orang lain maka pada saat yang sama juga, ia tidak melakukan hal yang positif.
Sebaliknya, Alkitab mengajarkan kalau kita menginginkan orang lain supaya menolong kita ketika kita berada dalam kesusahan maka kita harus terlebih dahulu menolong mereka yang sedang berada kesusahan. Konsep yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini bersifat positif, yakni orientasi pada orang lain berbeda dengan ajaran dunia yang berorientasi pada diri semata. Tuhan Yesus tidak berorientasi pada diri-Nya sendiri melainkan Dia pergi berkeliling ke semua kota dan desa untuk mengajar, memberitakan Injil dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan manusia. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (Mat. 9:35-36). Tuhan Yesus ingin supaya kita juga melihat bahwa di dalam Kekristenan ada suatu misi yang kita lakukan ebagai warga Kerajaan Sorga; kita harus hidup menurut aturan hukum Kerajaan Sorga yang Kristus tetapkan, yaitu men-Tuhankan Kristus, menjadi murid Kristus selamanya, dipisahkan dari dunia dan beriman pada Kristus namun setelah kita memahami semua itu maka semua itu tidak berhenti untuk diri sendiri. Pertanyaannya sudah seberapa jauhkah kita mengasihi orang lain? Mengasihi dan memperhatikan orang lain merupakan hal yang sangat penting mengingat keadaan dunia yang kacau balau saat ini dimana orang mementingkan dirinya sendiri, orang ingin diperhatikan bukan memerhatikan orang lain.
Celakanya, di dunia modern ini muncul suatu pendapat yang mengatakan bahwa egoisme malah membuat orang menjadi sukacita dan justru merupakan suatu kesalahan fatal kalau kita menganggap egoisme itu sebagai suatu kesalahan. Pendapat yang salah, sebab ketika orang mengembangkan sikap egoisme, pertanyaannya sekarang adalah sampai seberapa besarkah egoisme itu dapat terpuaskan? Coba pikir, kalau hanya satu orang saja yang berpikir egois maka hal itu tidak menjadi soal karena itu berarti satu orang mendapat kepuasan diri dan orang lain yang dirugikan akan tetapi, kalau semua orang egois, semua orang ingin diperhatikan maka akibatnya, orang akan saling dirugikan satu sama lain. Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kalau orang tidak boleh egois lalu orang harus berbuat apa? Seorang atheis pastilah tidak menemukan jawabannya karena ia tidak tahu segala sesuatu yang ia kerjakan harus untuk siapa lagi kalau bukan untuk diri. Maka tidaklah heran kalau banyak orang yang setuju untuk mengembangkan konsep egoisme. Biarlah kita menyadari bahwa anak Tuhan memang berbeda dengan dunia, Tuhan memanggil kita untuk melihat bahwa relasi hidup bukan sekedar horizontal tetapi ada yang lebih dari itu yakni secara vertikal.
Pertama, Tuhan mencipta manusia bukan untuk dilayani melainkan melayani, Tuhan mencipta kita bukan untuk dikasihi melainkan mengasihi orang lain. God create man not to get but to share. Ketika pertama kali, Tuhan menciptakan manusia, Tuhan melihat itu tidak baik maka Tuhan tidak langsung menciptakan Hawa tetapi Tuhan menciptakan binatang dan memberikan tugas pada Adam untuk menamai binatang-binatang tersebut dan ternyata baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan maka dari tulang rusuk Adam dibangunNya-lah seorang perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. Inilah hakekat pertama manusia sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, yakni manusia dicipta untuk saling berbagi. Seluruh struktur penciptaan adalah struktur berbagi. Manusia akan merasakan suatu kepuasan tersendiri dalam hatinya, orang akan merasakan sukacita ketika ia dapat berbagi pada orang lain ketika ia dapat meringankan beban dan menolong orang lain. Kepuasan hati dan sukacita yang kita dapatkan ini tidak akan dapat dinilai dengan uang karena harganya melampaui nilai material. Jadi, jelaslah bahwa secara natur, manusia dicipta untuk berbagi dengan orang lain.
Kedua, Tuhan Yesus melihat bukan secara fenomena, Tuhan Yesus melihat dalam diri manusia seperti domba yang tidak bergembala. Domba menjadi gambaran manusia berdosa. Seperti kita ketahui, domba adalah seekor binatang lemah, ia tidak mempunyai pertahanan diri, ia tidak mempunyai cakar yang cukup kuat untuk melawan musuh, ia juga tidak dapat berlari kencang untuk menghindar dari musuh, ia hanya dapat berteriak namun toh teriakan itu tidak dapat menghindarkannya dari maut akan tetapi meski demikian domba ini termasuk binatang yang keras kepala, ia selalu ingin berjalan sendiri padahal domba kalau dibiarkan sendiri tanpa seorang gembala pastilah akan tersesat. Inilah gambaran manusia berdosa. Manusia merasa dirinya hebat sehingga ia tidak memerlukan pertolongan orang lain dan orang baru menyadari bahwa ia tidak memiliki kekuatan cukup ketika ia berada dalam kesulitan dan tantangan, orang tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan kuasa si ibilis. Maka satu-satunya jalan, supaya kita diselamatkan adalah kita harus kembali pada Kristus Sang Gembala yang agung namun sayang, manusia lebih suka jalan sendiri.
Kita sepatutnya bersyukur karena kita aman berada di dalam naungan perlindungan Kristus Sang Raja namun hal itu janganlah kita menjadi egois sebab di luar Kristus masih banyak orang yang lelah dan terlantar, seperti domba yang tidak bergembala dan celakanya, mereka tidak merasa sebagai orang yang tersesat. Namun kita juga perlu berhati-hati sebab ketika kita merasa nyaman, janganlah kita merasa diri hebat dan kita merasa tidak memerlukan pertolongan Tuhan lagi hingga suatu saat nanti, ketika kita berada dalam kesulitan, ketika orang lain tidak dapat menolong kita maka saat itulah kita baru benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya, kita berteriak meminta tolong tapi terlambat sebab saat itu ternyata kita sudah jauh dari Sang Gembala. Itu kesalahan kita karena kita tidak mau dipimpin oleh Sang Gembala, kita menjadi terlantar dan tersesat. Sudahkah kita mempunyai hati penuh dengan belas kasih seperti Kristus yang tergerak hati-Nya ketika melihat orang-orang yang terlantar dan tersesat? Sudahkah kita mempunyai hati tidak berorientasi pada diri sendiri tetapi memandang pada Kristus? Tugas kitalah sebagai warga Kerajaan Sorga untuk berbagi dan menjadi berkat bagi mereka yang tersesat, menyadarkan orang untuk kembali dalam perlindungan Sang Gembala Agung.
Ketiga, Tuhan mengajak kita bukan berhenti sampai sekedar mempunyai hati yang berbelas kasihan saja lalu tidak bertindak apa-apa. Tidak! Tuhan ingin supaya hati yang digerakkan oleh belas kasihan itu terpancar keluar dan menjelma menjadi tindakan nyata. Jangan tertipu dengan konsep yang diajarkan Robert Tiyosaki dalam bukunya Retired Rich Retired Young. Orang hidup bukan untuk bekerja saja tetapi orang menikmati hasilnya dengan pensiun dini kalau untuk beberapa saat mungkin kita akan merasa nikmat dengan tidak bekerja tetapi bayangkan, kalau kita tidak bekerja dan seharian hanya menganggur saja maka lama kelamaan kita pasti akan mati sebab manusia bukan dicipta untuk menganggur; manusia kalau dihentikan dari suatu aktivitas yang bermanfaat maka orang tidak akan merasa sukacita tetapi ia justru kehilangan nilai dan makna hidupnya dan orang akan putus asa dan kecewa. Kristus telah memberikan teladan indah pada kita, Dia bekerja dari pagi-pagi buta sampai malam hari, Dia pergi berkeliling ke semua kota dan desa untuk memberitakan Injil pada orang yang terlantar dan tersesat. Biarlah kita terus bekerja dan bekerja bukan demi untuk egois kita tapi saat kita bekerja hendaklah kita menjadi berkat bagi orang lain. Ingat, kalau kita bekerja hanya untuk uang dan demi memenuhi kepuasan diri sendiri maka selamanya kita tidak akan merasa sukacita sejati sebab dimana hartamu berada maka disana hatimu berada maka tidaklah heran orang akan menjadi gila ketika ia kehilangan hartanya.
Mungkin kita bukanlah orang kaya, hari ini mungkin kita hidup dalam kesusahan dan kemiskinan tapi lihatlah, di luar sana masih banyak orang yang lebih sengsara dan lebih miskin dari kita maka seharusnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memberi. Justru pada saat memberi itulah kita akan merasakan hidup berkelimpahan. Biarlah kita mempunyai jiwa pelayanan yang tidak berorientasi pada diri tetapi hendaklah ketika kita bekerja itu menjadi berkat bagi orang lain. Lihatlah, seorang ibu berjerih lelah, ia tidak pernah mengeluh, ia bekerja siang malam, mengurus rumah tangga, suami dan anak, pertanyaannya untuk apa ia kerjakan semua itu? Demi uangkah? Ataukah penghargaan? Tidak! Semua yang dikerjakannya bukan berorientasi pada diri. Celakalah kalau seorang istri atau seorang ibu bekerja demi uang, ia tidak mau lagi bekerja dan mengurus rumah tangganya maka dapatlah dipastikan rumah tangga itu akan menjadi hancur. Hati-hati, di dunia modern, konsep ini mulai ditanamkan maka tidaklah heran kalau banyak kaum wanita yang tidak mau menjadi ibu rumah tangga dan lebih memilih berkarir.
Berbeda halnya kalau kita bekerja karena ada cinta kasih demi untuk menjadi berkat bagi orang lain maka kita akan mendapatkan sukacita tersendiri dimana sukacita ini tidak dapat diukur dengan materi. Begitu juga ketika kita bekerja melayani Tuhan kalau pelayanan demi untuk mendapatkan imbalan maka sia-sialah seluruh pelayanan kita sebab Tuhan tidak berkenan dengan pelayanan yang kita. Lain halnya kalau orang yang melayani Tuhan dimana seluruh hidupnya tergantung dari pelayanan saja maka Alkitab menegaskan hidupnya akan dijamin dengan demikian ia tidak berbeban ketika sedang melayani Tuhan.
Dunia semakin ke belakang semakin menuju pada kehancuran, banyak orang yang mengalami kesulitan tak terkecuali kita yang adalah anak Tuhan juga mengalami kesulitan dan di saat seperti itu akan ada banyak orang yang merasa putus asa dan kecewa maka ingatlah, di saat itu kita tidak berjalan sendiri, pandanglah ke atas sebab kita mempunyai Tuhan yang hidup, tak pernah sedetikpun kita ditinggalkan-Nya sebab tangan Tuhan selalu memegang kita namun sayang, masih banyak orang yang belum mengenal Kristus, masih banyak orang yang tidak tahu harus berpegang pada siapa maka tugas kita untuk menjadi berkat bagi mereka dengan membawa mereka kembali kepada Kristus Sang Gembala Agung. Janganlah berhenti dan cukup hanya sampai hati yang tergerak oleh berbelas kasih, tidak, tapi biarlah kita dipakai menjadi berkat bagi orang lain. Biarlah kita meneladani Kristus Tuhan, Dia Sang Raja pemilik alam semesta ini tetapi Dia berkeliling ke semua desa dan kota untuk menyembuhkan dan mengabarkan Injil. Sebagai warga Kerajaan Sorga, biarlah kita dipakai menjadi pelaku Firman bukan pendengar saja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: